close
Pejuang Lingkungan

Jejak Panjang TM Zulfikar, Aktivis Aceh Sang Pelestari Lingkungan

T. M. Zulfikar saat memberikan presentasi dampak Bendungan Tampur di Aceh Tamiang | Foto: Leoni

Penulis: Ari Yanda dan Alfasyimi, Mahasiswa UIN-Arraniry Banda Aceh

Siapa yang tak tahu WALHI (Wahana Lingkungan Hidup), yang didalamnya terdapat banyak sosok yang mau dan amat sudi memikirkan bumi beserta sumber daya alamnya. Para pendiri WALHI merupakan nama-nama terkenal pembela lingkungan seperti Erna Witoelar, Emil Salim dan masih banyak lagi aktivis lainnya. WALHI memiliki anggota hampir diseluruh propinsi di Indonesia termasuk di Aceh yang telah terbentuk sejak Februari 1993. Hari itu penulis berkesempatan berbicara dengan salah satu tokoh muda lingkungan yang keberadaannya tidak bisa dipisahkan dari WALHI.

Seiring perkembangan dan pergantian kepemimpinan WALHI Aceh, muncul satu sosok yang amat peduli pada lingkungan sejak semasa mudanya. Beliau ialah Teuku Muhammad Zulfikar atau teman-teman sering menyingkat nama beliau menjadi TM Zulfikar. Lahir di Langsa (dulu masuk Kabupaten Aceh Timur) 26 April 1973, sejak Sekolah Dasar Zulfikar sudah menyenangi kegiatan organisasi hingga pernah menjadi Mahasiswa Teladan Tingkat Kabupaten Aceh Timur (semacam duta Aceh Timur jika sekarang-red) dan pernah mendirikan Himpunan Pelajar Islam SMA 1 Langsa (HIPISA). TM Zulfikar semasa Sekolah Dasar sudah mahir dalam hal berpidato dan tidak canggung berbicara didepan umum/publik, dimana Ibundanya langsung melatih keterampilan berpidato ini. Sejak SMA beliau memang amat menyukai pembelajaran yang berbau sosial kemasyarakatan, meskipun beliau merupakan pelajar dengan jurusan Fisika (A1).

Setelah menyelesaikan SMA, Zulfikar melanjutkan studi ke Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) di Fakultas Teknik Jurusan Teknik Kimia. Semasa kuliah beliau aktif berorganisasi di banyak organisasi kampus dan eksternal kampus seperti Himpunan Mahasiswa, Senat Mahasiswa, MPM, HMI, IMM dan organisasi eksternal lainnya. Walaupun dengan latar belakang seorang mahasiswa Teknik Kimia yang sering dicitrakan sebagai mahasiswa kutu buku, Zulfikar terlibat aktif serta ikut mendirikan berbagai Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di Unsyiah yang masih eksis hingga hari ini seperti UKM-Pers dan UKM Seni Putroe Phang Unsyiah. TM Zulfikar menyelesaikan kuliah serta diwisuda pada bulan Agustus 1998.

Aktivis masa Orde Baru

Pada era orde baru di bawah pemerintahan yang otoriter, beliau tetap saja bergerak sebagai aktivis, bersama mahasiswa dan aktivis pergerakan lainnya menyampaikan aspirasinya di garis depan. Beliau juga bagian dari pergerakan 98 atau lebih dikenal aktivis 98 yang ikut menyusun strategi menyalurkan aspirasi masyarakat. Zulfikar juga bergabung menjadi relawan Forum LSM Aceh dan sempat bergabung dengan media Tabloid Kharisma. Pengalaman ini membuatnya semakin menguasai teknik-teknik menulis dan fotografi bahkan pernah menjuarai perlombaan jurnalistik yang diselenggarakan oleh beberapa institusi saat itu.

Setelah 4 bulan mengabdi sebagai relawan Forum LSM-Aceh beliau diangkat menjadi staff di organisasi tersebut. Tahun 1999 hingga 2000 Zulfikar aktif di LSM tersebut hingga terpaksa mengundurkan diri dikarenakan ada gonjang ganjing di internal LSM. Di awal tahun 2000 setelah keluar dari Forum LSM-Aceh, TM Zulfikar mendapat kesempatan dari WALHI Aceh bekerja sebagai staff.

Di tahun 2001 setelah satu tahun mengabdi di WALHI Aceh, Zulfikar diangkat menjadi Kepala Divisi Pengembangan Sumber Daya dan Organisasi (PSDO). Karirnya di WALHI Aceh berjalan mulus, tahun 2002 TM Zulfikar diangkat menjadi Deputi/Wakil Direktur WALHI Aceh. Pada tahun 2003 saat masih menjabat Deputi Direktur WALHI Aceh, Zulfikar “dilamar” oleh Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PPIB) yang diketuai oleh ekonom terkenal saat itu Dr. Syahrir dan langsung diangkat menjadi Ketua Umum DPD Partai PIB Provinsi Aceh. TM Zulfikar mengelola Partai PIB Aceh dengan baik dan berhasil “mengantar” beberapa calon legislatif menuju kursi anggota dewan perwakilan rakyat di beberapa Kabupaten di Aceh. Uniknya, laki-laki yang akrab di sapa “Zoel” ini tetap saja menyempatkan diri melanjutkan perjuangan sebagai aktivis lingkungan, dengan ritme yang stabil beliau tak henti-hentinya mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak pro lingkungan, yang artinya merusak alam seperti pembukaan tambang, alih fungsi lahan dan lain-lain.

Pengabdian Pasca Tsunami

Saat 26 Desember 2004 terjadi bencana gempa bumi dan tsunami dahsyat yang tercatat dalam sejarah umat manusia meluluhlantakan Aceh dan sebagian dunia lainnya. Bencana ini membuat Partai PIB Aceh mengalami kevakuman dan stagnan, hal yang sama dialami hampir semua aktivitas di Aceh. TM Zulfikar sempat ditawari pendidikan S2 ke Singapura oleh Dr. Syahrir, namun Ia menolaknya dengan pertimbangan beliau baru saja menikah pada saat itu. Akhirnya Zulfikar meminta izin melaksanakan studi S2 di Aceh tepatnya di Program Magister Konservasi Sumber Daya Lahan (KSDL), Pasca Sarjana Unsyiah dengan tetap berniat mengembangkan ilmu konservasi dalam ruang lingkup yang lebih luas. Ia pun mengerjakan thesis yang menyorot soal isu lingkungan hidup dan kehutanan yaitu mengenai analisis moratorium logging yang saat itu baru saja diberlakukan di Aceh.

Meskipun belum menyelesaikan Program S2 nya, sejak tahun 2005, TM Zulfikar sudah mulai mengajar ilmu-ilmu lingkungan di Prodi Teknik Lingkungan Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh yang baru beberapa tahun membuka penerimaan mahasiswa baru yang berhubungan dengan Teknik Lingkungan saat itu. Tahun 2006 Ia bergabung ke Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias, sebuah badan khusus yang dibentuk pemerintah Indonesia dalam menata kembali pembangunan Aceh yang hancur dihantam tsunami dengan posisi awal sebagai asisten manager Bidang Kesejahteraan Sosial dan tidak lama setelah itu beliau diangkat menjadi manager mulai tahun 2006 hingga berakhirnya masa kerja BRR NAD-Nias pada bulan April 2009, dan dilanjutkan sebagai Koordinator Bidang Agama, Sosial dan Budaya pada BKRA (Badan Keberlanjutan Rekonstruksi Aceh) yang masa kerjanya berakhir hingga Desember 2009.

Sepertinya PPIB tidak menjadi pilihannya lagi, pada tahun 2006 TM Zulfikar mundur dari PPIB karena partai sudah tidak lagi produktif (vacum) dan juga karena disisi lain beliau telah bekerja di BRR NAD-Nias. Bukan hanya dari PPIB ia mundur, Zulfikar juga mundur dari keanggotaan Dewan Daerah WALHI Aceh yang diembannya saat itu, namun meskipun begitu beliau masih berkomitmen selalu siap berkontribusi terhadap kegiatan advokasi lingkungan dalam bentuk apapun.

Bersama WALHI Aceh

Pasca bencana tsunami, masa itu WALHI Aceh mengalami sejumlah gejolak internal hingga tahun 2009. Tak mau melihat WALHI Aceh terus tenggelam dalam konflik internal, Qadarullah melalui dorongan dan harapan teman-teman pada beliau, akhirnya pada Februari 2010, TM Zulfikar dicalonkan sebagai Direktur Eksekutif WALHI Aceh dan terpilih. Perjalanan besar mengadvokasi lingkungan menanti dan sebulan beliau menjabat sebagai Direktur WALHI Aceh, TM Zulfikar berhasil mencetuskan program besar yang bekerja sama dengan berbagai LSM/NGO baik lokal maupun internasional.

TM Zulfikar “tancap gas” melakukan advokasi lingkungan untuk isu-isu penting di Aceh. Mulai Maret 2010 TM Zulfikar sudah mulai berargumen dihadapan publik hingga media lokal, nasional maupun internasional. Aktivitas melakukan kampanye membela lingkungan tersebut mendapat ganjaran, pada tahun 2011 TM Zulfikar bersama beberapa aktivis dari beberapa LSM Nasional lainnya terpilih sebagai salah satu tokoh pejuang anti korupsi bidang lingkungan hidup bersama 7 tokoh nasional lainnya yang berpengaruh versi Majalah Tempo. TM Zulfikar satu-satunya orang di Aceh terpilih sebagai sosok yang memperhatikan lingkungan dengan kredibilitas yang luar biasa di mata publik.

Disela-sela kami menikmati nostalgia sejarah hidupnya, beliau sempat menyisipkan pesan penting. “Menurut saya organisasi itu penting sekali, karena organisasi ini mampu membentuk karakter kita mahasiswa dalam menyusun tata krama hidup secara terstruktur, punya visi dan pergerakan jelas kedepan, melalui organisasi saya bisa bisa berkembang sejauh ini,”ungkap aktivis nasional pada masanya ini.

Semasa menjabat sebagai direktur WALHI Aceh beliau sering bersuara mengkritisi pemerintah. Salah satunya kritikan mengenai terhadap perubahan tata guna lahan gambut yang pada saat itu Propinsi Aceh sedang menggagas program Aceh Green. Beliau rajin mengkritisi kinerja pemerintah dibidang lingkungan dan kehutanan, menjadi narasumber diskusi terkait lingkungan seperti di radio, seminar, talkshow dan diskusi-diskusi tematik lingkungan lainnya.

Tanpa pandang bulu, tanpa mau tahu arus politik saat itu seperti apa, beliau secara gamblang mengkritisi kebijakan pemerintah saat itu yang menandatangani izin pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit oleh PT. Kallista Alam. Alhasil, melalui kritikan dan masukan terhadap pemerintah yang digerakkan secara sistematis, PT. Kalista Alam harus rela melepas lahan tersebut. Apalagi setelah Satgas Unit Kerja Presiden (UKP4) saat itu mengetahui bahwa Gubernur Aceh melepas izin pembukaan lahan perkebunan di kawasan lahan gambut, padahal saat itu sedang diberlakukan Instruksi Presiden (Inpres) terkait penundaan pemberian izin di kawasan hutan primer dan lahan baru.

Akhirnya melalui perjuangan bersama WALHI Aceh kawasan lahan gambut Rawa Tripa Nagan Raya berhasil dijadikan wilayah kawasan lindung gambut dan dikelola seutuhnya oleh pemerintah Aceh. “Lahan gambut sangat baik untuk mereduksi emisi global, mampu sebagai penyimpan sumber air dan melindungi ekosistem disekitarnya,” ungkap TM Zulfikar.

Selesai pengabdiannya sebagai Direktur WALHI Aceh pada akhir tahun 2013, TM Zulfikar bergabung dengan Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) sebagai koordinator Aceh sampai sekarang.

Namun pada masa Gubernur Aceh Zaini Abdullah, sosok TM Zufikar kembali mencuat ke publik melalui kinerja, integritas dan loyalitas terhadap lingkungan hidup. Tahun 2015, bersama tokoh GAM Zakaria Saman (biasa dipanggil Apa Karya) yang merupakan Ketua Tim Asistensi Gubernur Aceh saat itu, TM Zulfikar diminta menjadi salah satu anggota tim asistensi gubernur Aceh untuk memberikan arahan dan pandangan serta nasehat terhadap kerja-kerja Pemerintah Aceh yang sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengan (RPJM) Aceh. Pemerintah memiliki kepercayaan terhadap sosok Teuku Muhammad Zulfikar. Walaupun beliau aktif di pemerintahan yang dipenuhi oleh berbagai intrik dan politik, Zulfikar tetap rajin memberi masukan terhadap upaya pelestarian lingkungan di Aceh.

TM Zulfikar juga dikenal dekat dengan kalangan media bahkan mengantongi kartu sebagai anggota muda PWI. Saat ini pun TM Zulfikar menjadi Ketua Badan Penasehat organisasi jurnalis lingkungan Greenjournalist Aceh, yang diketuai oleh Muhammad Nizar. Greenjournalist yang berdiri sejak tahun 2013 rutin memberitakan isu-isu aktual lingkungan yang terjadi di dalam atau luar negeri. Sampai hari ini pun Zulfikar masih rajin menulis dan menulis di media terkait berbagai isu sosial, pendidikan dan khususnya pada isu lingkungan, sumber daya air dan kebencanaan. TM Zulfikar bercita-cita ingin menuliskan kisah hidupnya agar pengalaman beliau selama puluhan tahun mengadvokasi lingkungan dapat menjadi pelajaran dan diketahui masyarakat luas.

Tahun 2019 menjadi salah satu tahun tersibuk bagi TM Zulfikar dimana ia diberi amanah sejumlah jabatan. Diantaranya menjadi salah seorang penasehat khusus Gubenur Aceh Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang tugasnya antara lain memberikan nasehat dan masukan terkait bidang lingkungan dan kehutanan kepada Gubernur Aceh baik diminta maupun tidak diminta. Disamping kegiatan sehari-sehari sebagai Dosen pada Fakultas Teknik Universitas Serambi Mekkah, beliau juga menjabat sebagai Koordinator Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) Aceh, Wakil Ketua Forum Pengurangan Risiko Bencana Aceh, Sekretaris Umum Yayasan Beudoh Gampong yang didirikannya bersama Mantan Gubernur Aceh Mustafa Abubakar dan Azwar Abubakar, serta beberapa tokoh Aceh lainnya. Bahkan hingga pada usia 46 tahun ini, TM Zulfikar masih sangat aktif berkecimpung dibanyak organisasi sosial kemasyarakatan di Aceh.

Di akhir pembicaaraan, sambil keluar dari pekarangan rumah, ada satu hal menggugah yang disampaikan kepada penulis. Spontan beliau berkata, “Yang paling penting, mahasiswa yang fokus kuliahnya lebih tinggi daripada yang lebih banyak aktif di berbagai organisasi, bisa jadi belum menjamin bahwa mereka lebih berhasil pasca menjadi sarjana nantinya. Tapi sebuah kesuksesan terbesar adalah dimana pengabdian yang kita lakukan mampu dan dapat membantu masyarakat kita secara luas”, pungkas Penasehat Khusus Gubernur Aceh tersebut.[]

Tags : walhiZulfikar

Leave a Response