close

aceh

Sains

Pesantren Al-Falah Abu Lam U Gelar Science Film Festival 2017

Science Film Festival (SFF) yang disponsori oleh Goethe Institut dilaksanakan secara Internasional di 23 negara termasuk Indonesia. Secara nasional di 38 kota dari 24 Oktober – 23 November 2017. Di Provinsi Aceh dilaksanakan di Pesantren Modern Al-Falah Abu Lam U tanggal 30-31 Oktober 2017. Tema kegiatan ini yaitu Antropocene, yang berarti perubahan bumi setelah adanya manusia.

Panitia dalam rilisnya menyebutkan tujuan SFF adalah untuk menghubungkan dan merangkul anak-anak Indonesia dengan ilmu pengetahuan melalui film yang sangat menarik diikuti dengan program eksperimen dan kompetisi yang sangat interaktiv. Film yang ditayangkan sebanyak 12 Film terpilih dari 67 Film yang berasal dari seluruh dunia dan telah dialih Bahasa ke Bahasa Indonesia.

Percobaan interaktif oleh siswa Pesantren Modern Al Falah | Foto : Ist

Team Panitia yang terlibat dalam kegiatan ini antara lain Afkaryadi,M.Pd beserta Wardah,ST dan Indrawati Ismail,S.Ag. “Program ini terlaksana atas kerjasama Pesantren Modern Al- Falah Abu Lam U dengan Goethe Institut (Pusat kebudayaan Jerman) di Jakarta dan peserta kegiatan adalah seluruh sekolah dan pesantren setingkat SD,SMP dan SMA Aceh besar serta beberapa sekolah mitra Al-Falah dari kota Banda Aceh,” ujar Wardah ST.
Kegiatan dilaksanakan selama dua hari. Hari pertama diikuti sebanyak 536 siswa tingkat SMA dan hari kedua direncanakan lebih kurang 600 siswa tingkat SD dan SMP.

Dalam sambutannya pimpinan pesantren, H. Saifuddin Sa’dan,M.Ag mengatakan dengan kegiatan ini diharapkan santri dan siswa Aceh Besar serta Banda Aceh terinspirasi dari kegiatan ini. Serta dapat meningkatkan kreativitas guru Sains dalam pembelajaran.

Kegiatan SFF 2017 dibuka secara resmi oleh kepala Badan Dayah Provinsi Aceh DR. Bustami Usman, SH,SAP,M.Si. Kata sambutannya Ia menyatakan program ini disambut dengan positive karena dapat meningkatkan semangat belajar santri dan siswa di Aceh Besar dan Banda Aceh di bidang sains.

Tim Panitia dari Pesantren Modern Al Falah Abu Lam U | Foto: Ist

Apresiasi diberikan kepada Pesantren Modern Al-Falah Abu Lam U yang telah melaksanakan kegiatan ini sejak tahun 2015 sampai dengan sekarang. Beliau mengharapkan kegiatan ini terus berlanjut setiap tahun.
Sementara peserta dari guru dan siswa memberikan tanggapan yang positif. Mereka sangat tertarik dengan film yang ditayangkan dan eksperimen-eksperimen interaktif. Menginspirasi guru dalam pembelajaran Sains.
Team yang hadir dari Goethe Institute Gilang Hendyanto sebagai Koordinator SFF, Junita Sari dan Dwi Kurnia sebagai Volunteer SFF.[rel]

 

read more
Ragam

Tanggul Jebol, Banjir Rendam Aceh Utara

Banjir, memang bukan hal yang baru di alami warga di Kabupaten Aceh Utara. Tiap akhir tahun dikala musim hujan datang, banjir kerap menghantui warga. Meskipun sudah terbiasa, namun hal ini justeru masih membuat warga kesal.

Seperti yang terjadi di dua Desa Kecamatan Lhoksukon, Aceh Utara. Dua Desa masing-masing Desa Dayah KM 8 dan Desa Kumbang KM 7, dilanda banjir dengan ketinggian air 20 cm-50 cm, pada Rabu (17/12/2014). Banjir yang terjadi disebabkan oleh jebolnya tanggul sepanjang tujuh meter dan hujan deras yang mengguyur selama satu hari satu malam.

Pengguna jalanpun kesulitan melintas di jalan Lhoksukon-Cot Girek yang sedang digenangi banjir setinggi 20 cm. Tak hanya itu, sampah-sampah kayu yang dibawa arus banjir ke jalanan juga menyulitkan pengendara sepeda motor.

Dilokasi banjir, Danramil 08 Lhoksukon, Kapten. Inf. Saifullah, bersama anggotanya dan Tim Search and Rescue (SAR) Aceh Utara siap siaga dan siap mengevakuasi warga jika banjir semakin parah. Tim tiba dilokasi banjir setelah menerima informasi dari masyarakat.

“Kita disini siap membantu warga. Sepertinya debit air banjir inipun terus bertambah. Banjir terjadi karena ada tanggul yang jebol,” ujar Danramil, Kapten. Inf. Saifullah, kepada GreenJournalist.

Sementara dari pantauan GreenJournalist dilokasi, sejumlah warga mengemas barang berharga dan menggiring hewan peliharaan mereka ke tempat yang tidak tergenang banjir.

Menurut warga, banjir mulai datang sejak pukul 15:00 WIB yang mengikuti hujan deras. Arus yang datang sangat deras. Walhasil, dalam hitungan menit banjir pun merendam pemukiman warga.

“Kami tak mengira bahwa banjir datang secepat ini,” ujar Wahid (39) warga setempat.

Tidak ada korban jiwa akibat musibah banjir tersebut, warga pun tidak mengungsi. Namun hingga berita ini diturunkan, debit air terus bertambah dan arus semakin deras.[]

read more
Ragam

Bersiap Hadapi Gelombang Raksasa

26 Desember 2004. Pagi itu, Bahar, Kepala Desa Lamtengoh Kabupaten Aceh Besar, sedang menyibukkan diri di tengah sawah saat tiba-tiba tanah yang ia pijak, berguncang. Guncangan yang akibatnya tak pernah bisa dibayangkan oleh seorang pun saat itu.

Ketika kembali ke rumah, tiba-tiba anaknya berteriak, bahwa air laut yang garis pantainya terletak hanya sekitar 200 meter dari kampung mereka, naik. Bahar berseru sekuat tenaga kepada semua orang di desanya, memperingatkan mereka untuk lari ke gunung 500 meter di belakang permukiman.

“Saya bawa anak saya yang paling kecil,” kenang Bahar. Namun, balita yang baru berusia sebelas bulan itu terlepas dari tangannya saat diterjang air yang ia gambarkan seperti golakan blender. Setelah bebas dari impitan kayu dan berhasil naik ke gunung, ia bertemu dengan anak perempuannya, Dian Bahari, yang saat itu mengenyam pendidikan SMK.

Anak itu terduduk di atas batu dengan rambut yang sudah kusut. Saat melihat ayahnya ia berkata dengan lirih, “Ayah, apakah saya sedang bermimpi?” Sang ayah pun menjawab, “tidak nak, kamu tidak sedang bermimpi.”

Berbulan-bulan setelah kejadian itu, Kuntoro Mangkusubroto, yang akhirnya dilantik sebagai Kepala Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-Nias, juga tak pernah bermimpi bakal menghadapi kekacauan yang ada di Aceh, untuk mengembalikannya nyaris seperti semula.

“Ini adalah persoalan manajemen yang paling kompleks yang pernah saya alami, dan menurut saya tidak ada yang mengalahkan hal ini,” ia berkata. Di lokasi yang tertimpa bencana dan dalam keadaan kacau-balau, timnya harus melakukan koordinasi dengan beragam organisasi, baik dari dalam maupun luar negeri, termasuk memberikan pengertian kepada GAM maupun TNI terkait keberadaan mereka, juga harus berhubungan dengan pihak Jakarta, “dengan birokrasinya yang ruwet,” kenangnya.

Uluran tangan datang untuk membangkitkan kembali kehidupan yang telah diporakporandakan hantaman gelombang raksasa. Bantuan peralatan untuk mendeteksi kedatangan tsunami secara dini serta sistem peringatannya, dikerahkan antara lain oleh Jerman, Amerika Serikat, serta Malaysia.

Alat deteksi dini gelombang dalam bentuk buoy yang juga merupakan karya BPPT, disebar di pesisir pantai Indonesia yang memiliki potensi ancaman tsunami. Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dari 25 unit buoy tsunami di perairan Indonesia, saat ini hanya tiga unit yang beroperasi, akibat kerusakan teknis.

Di markas BNPB di Jalan Ir. H. Juanda, Jakarta, saya berbincang dengan Sutopo Purwo Nugroho, Kepala pusat Data Informasi dan Humas. Di ruangan di samping saya, terlihat selembar peta Sinabung yang mencuat dari alat pencetak dengan lebar kira-kira serentangan lengan orang dewasa. Di dinding, terdapat layar besar berisi informasi terkait bencana Sinabung yang dipantau selama 24 jam.

“Sirene tsunami di Indonesia masih terbatas, belum sampai 100 buah, termasuk di Aceh enam buah,” paparnya. Padahal, menurutnya Indonesia dengan rentang pesisir yang luas, butuh ribuan sirene untuk memperingati masyarakat akan bahaya tsunami. Ia pun menjelaskan, bahwa BNPB dan BPBD atau Badan Penanggulangan Bencana Daerah, membantu BMKG dalam membangun sirene berbasis komunitas.

“Contohnya di Sumatra Barat, Pacitan, Cilacap, dan Bantul,” lanjutnya. Sutopo memaparkan, saat peringatan dini tsunami dari BMKG diterima oleh masyarakat, petugas harus menekan tombol sirene untuk memperingatkan warga akan bahaya yang akan datang. “Setelah itu mereka harus mengungsi, dan tugas BNPB dan BPBD-lah untuk memberikan pelayanan dibantu lembaga lainnya,” lanjutnya.

Saat fotografer Yunaidi menyambangi beberapa fasilitas di Banda Aceh pada awal November silam, ia menyaksikan jalur evakuasi yang sempit dan kurang memadai untuk menampung massa yang harus melarikan diri menuju Bukit Seulawah di bagian barat kota, yang tidak mungkin ditempuh dalam waktu sekitar 20 menit, dengan berlari.

Sistem penanganan peringatan dini bencana terutama tsunami yang dikerjakan bersama oleh BPPT, BMKG, serta BNPB ini membuat kening Kuntoro berkerut. Bertahun-tahun bergelut dengan masyarakat korban bencana, ia meragukan jika penanganan peringatan bencana besar, masih saja harus terbagi di beberapa instansi. “Harus satu tangan, satu perintah,” tegasnya. Ia berkaca pada pengalaman gempa 2012 yang sistem peringatannya tak lebih baik dari bencana sebelumnya. Evakuasi menimbulkan kemacetan, bahkan sirene di Uleelheue tidak menyala saat tombolnya ditekan oleh masyarakat, karena aliran listrik mati.

Pengalaman dilanda bencana memang membuat masyarakat Aceh lebih waspada. Lima tahun masa pasca-tsunami diperingati dengan melibatkan ribuan penduduk di wilayah Meuraksa, dalam simulasi yang dilakukan banyak pihak, termasuk Palang Merah Indonesia. “Oktober lalu, simulasi mengenang 10 tahun tsunami juga diselenggarakan di Blang Oi, Meuraksa, dengan melibatkan anak sekolah,” ungkap Fauzi Husaini, Kepala Sub Bidang Penanggulangan PMI Provinsi Aceh.

Didukung oleh Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah, PMI membangun program Kesiapsiagaan Bencana Berbasis Masyarakat yang dilaksanakan sejak 2006. Menurut Fauzi, hingga tahun ini, ada 350 desa dari sekitar 6.600 desa di Aceh yang memiliki rencana kontingensi. Di dalam program ini terdapat tim Sibat atau Siaga Bencana Berbasis Masyarakat, yang melakukan pelatihan dalam menghadapi petaka, selama lima hari. “Kami menyiapkan SDM untuk hal ini, namun kelemahan ada di anggaran,” ujar Fauzi. Saat dana dari PMI tak lagi mengalir, masyarakat tak pernah lagi mengadakan simulasi.

Sutopo menunjukkan perhitungan indeks kesiapsiagaan per kabupaten/kota 2012 yang antara lain meliputi indeks pengetahuan dan bencana, rencana tanggap darurat, serta peringatan dini bencana. Hasilnya, tingkat kesiapsiagaan masih rendah.

“Pengetahuan masyarakat tentang bencana sudah meningkat, namun belum jadi perilaku dan budaya,” ungkap Sutopo. Padahal, pada 2012, Susilo Bambang Yudhoyono menerima penghargaan Global Champion for Risk Disaster Reduction dari badan PBB, UNISDR. Menurut Sutopo, masih banyak tantangan yang dihadapi oleh bangsa ini seperti SDM yang terbatas, luasnya wilayah Indonesia, serta kebutuhan dana yang belum tercukupi.

Saat fotografer Yunaidi menyambangi beberapa fasilitas di Banda Aceh pada awal November silam, ia menyaksikan jalur evakuasi yang sempit dan kurang memadai untuk menampung massa yang harus melarikan diri menuju Bukit Seulawah di bagian barat kota, yang tidak mungkin ditempuh dalam waktu sekitar 20 menit, dengan berlari. Selain itu, dua buah bangunan yang didirikan sebagai tempat evakuasi tsunami berlantai empat yang ia datangi pun kurang terawat.

Dalam sepuluh tahun ini, apakah masyarakat yang tinggal di seluruh wilayah Indonesia, khususnya Aceh, siap menghadapi bencana? “Kalau bencana sebesar tsunami Aceh, siapa pun tidak bakalan siap,” tegas Kuntoro. Kini, hasil kerja timnya hingga 2009 tertuang dalam bentuk BRR Institute, sebagai bentuk kewajiban berbagi ilmu kepada dunia yang telah membantu Indonesia dalam pemulihan Aceh dan Nias. Institusi ini kerap berbagi ilmu dengan negara-negara lain yang ditimpa bencana.

Di Lamtengoh, Bahar yang kehilangan istri dan seluruh anaknya yang berjumlah lima orang, telah terbiasa dengan simulasi sirene peringatan dini tsunami yang beroperasi dengan baik di daerahnya. Gampong atau kampungnya kini sudah berdiri kembali persis di tempatnya semula. “Sekarang kami sudah menjalani hidup baru, bekerja seperti biasa, dan sudah melupakan semuanya,” tegasnya. Ia yakin betul, bahwa tsunami tak akan lagi menerpanya. “Saya katakan, bisul tidak akan tumbuh di tempat yang sama,” pungkas Bahar.

Penulis, Titania Febrianti dan Yunaidi, staf redaksi NGI, berkisah mengenai aplikasi Kalender Tanam yang membantu para petani, di edisi November 2014.

read more
Kebijakan Lingkungan

Melihat Kualitas Bangunan di Aceh Pasca 10 Tahun Tsunami

Lebih kurang satu bulan lagi, masyarakat Aceh akan memperingati peristiwa 10 tahun bencana dahsyat dalam sejarah manusia yaitu gempa bumi dan tsunami, tanggal 26 Desember. Bencana dahsyat ini merenggut sekitar 200 ribu jiwa manusia dan meluluhlantakan berbagai bangunan di Aceh dan Nias. Banyak hikmah yang bisa dipetik dari bencana ini sehingga bisa dijadikan pelajaran untuk masa depan. Salah satu pelajaran penting adalah bagaimana mendirikan bangunan yang tahan gempa sehingga andal dalam meredam resiko kehilangan harta benda.

Saya adalah seorang penduduk Banda Aceh, pernah mengalami dahsyatnya bencana tersebut dan kini tinggal di rumah bantuan. Rumah bantuan itu kecil tapi cukup nyaman untuk ditinggali bersama keluarga. Saat berjalan-jalan di kota, saya sulit membayangkan bahwa Banda Aceh dulu merupakan kawasan terparah kerusakannya akibat bencana tsunami karena jarang ditemukan sisa-sisanya. Hanya di beberapa tempat pemerintah dan masyarakat mendirikan monumen untuk mengenang bencana ie Beuna (bahasa Aceh untuk tsunami) pernah terjadi di Aceh.

Bangunan-bangunan kini tegak kokoh dan nampak indah dipandang mata. Sebagian besar wilayah dalam Banda Aceh kini sudah ditata lebih rapi, teratur dan dilengkapi dengan berbagai petunjuk jalan. Namun dalam benak masih menggelayut pertanyaan besar, apakah jika bencana serupa terulang, akankah kota ini mampu bertahan dari ayunan gempa dan terjangan tsunami. Sudah cukup kuatkah bangunan-bangunan di Banda Aceh atau Aceh secara umum?

Saat bencana gempa dan tsunami lalu, banyak infrastruktur yang hancur seperti jembatan, pelabuhan, gedung serta bangunan perumahan. Bangunan-bangunan yang roboh saat terjadi gempa didominasi oleh bangunan modern atau semi modern yang menggunakan beton. Hal ini bisa disebabkan oleh berbagai hal. Seorang peneliti ITB Bandung yang sempat turun ke lokasi gempa, Biemo W. Soemardi, menyimpulkan bahwa secara umum penyebab kegagalan bangunan menahan gempa bersumber pada kesalahan atau kecerobohan dalam perancangan, material konstruksi, pelaksanaan konstruksi ataupun kesalahan dalam pemanfaatan bangunan.

Ezri Hayat, putra Aceh, yang sedang menempuh pendidikan doktoral bidang Disaster Resilience Centre, university of Salford, ketika ditanya apakah kondisi bangunan di Aceh pasca 10 tahun tsunami sudah memenuhi syarat, sulit menjawab.

“Wah.. sulit dijawab bang. Yang pertama karena kaidah rumah tahan gempa itu sulit buat dilihat sepintas lalu. Yang kedua sulit juga untuk me-generalisir nya,” ucapnya. Yang jelas permasalahan utama di pekerjaan bangunan adalah kualitas pengerjaan, sambungnya.

Seorang ahli teknik sipil dan juga berkecimpung dalam pembangunan perumahan, Ir. Faisal Ali, mengatakan di Aceh bangunan sebelum dan sesudah tsunami tidak banyak mengalami perubahan dalam hal konstruksi dan material. Faisal yang merupakan alumni Universitas Syiah Kuala menyebutkan bangunan di Aceh sebelum tsunami pun sudah dibangun tahan gempa.

“Lihat saja kemarin waktu gempa 2004, tidak banyak rumah yang roboh kan. Kebanyakan rumah sudah tahan gempa saat itu,” ujarnya.

Memang apa dikatakannya ada benarnya. Bangunan yang banyak runtuh saat gempa berkekuatan 9 SR mengguncang Aceh adalah pertokoan, termasuk pusat perbelanjaan terbesar di Banda Aceh saat itu. Bangunan kemudian baru hancur lebur karena disapu gelombang tsunami yang datang kemudian.

Ezri Hayat mengomentari pemahaman masyarakat tentang besaran gempa yang biasa diukur dengan Skala Richter atau SR. Menurutnya ini kurang tepat karena SR mengukur kekuatan gempa di pusatnya. “Sering dalam diskusi dengan masyarakat awam timbul percakapan yang kira kira ‘bangunan ini tahan buat sekian skala richter’, atau ‘di pusat nya gempa tadi sekitar 7 SR, tapi disini mungkin cuma 5 atau 6 SR,” ujarnya.

Yang lebih tepat adalah pengukuran memakai skala yang menunjukkan goncangan di suatu lokasi tertentu namanya Modified Mercalli Intensity atau MMI. “ Jadi suatu gempa mempunyai satu nilai SR yang tetap, tapi nilai MMI nya berbeda beda tergantung lokasi. Pasti SR di pusat sama namun MMI berbeda tergantung lokasinya,” jelas Ezri.

“Tsunami yang banyak membuat hancur bangunan karena gelombangnya turut membawa puing-puing reruntuhan. Puing-puing ini kemudian menghantam lagi bangunan yang lama kelamaan energinya makin besar karena makin banyak puing dibawanya,” ujar Faisal Ali.

Kualitas bangunan perumahan yang dibangunnya sejak sebelum dan sesudah tsunami tidak banyak berubah selain perubahan yang mengikuti trend. “ Kami masih menggunakan material yang sama kualitasnya, tidak ada material yang khusus. Paling modelnya yang disesuaikan dengan trend,” ucapnya.

Filosofi bangunan tahan gempa yaitu bila terjadi gempa ringan, bangunan tidak boleh mengalami kerusakan baik pada komponen non-struktural. Misalnya dinding retak, genting dan langit-langit jatuh, kaca pecah dan sebagainya. Begitu juga komponen strukturalnya tidak boleh rusak seperti kolom dan balok retak, pondasi amblas, dan lainnya.

Namun bila terjadi gempa sedang, bangunan bisa saja mengalami kerusakan pada komponen non-strukturalnya akan tetapi komponen struktural tidak boleh rusak. Sedangkan filosofi terakhir bila gempa besar, bangunan boleh mengalami kerusakan baik pada komponen non-struktural maupun komponen strukturalnya, akan tetapi jiwa penghuni bangunan tetap selamat. Artinya sebelum bangunan runtuh masih cukup waktu bagi penghuni bangunan untuk keluar dan mengungsi ke tempat aman.

Kualitas material merupakan unsur terpenting dalam konstruksi. Jika kualitas material yang digunakan jelek, maka hasilnya tidak bisa menjamin bangunan tahan gempa. Kualitas material ini dipengaruhi oleh berbagai hal pada berbagai tahapan. Kualitas material ditentukan sejak pengadaan, pengangkutan, penyimpanan sampai pengolahannya. Jangan sampai material yang sudah bagus kemudian tercampur dengan material buruk. Ini seperti mencampur pertamax dengan minyak tanah, bisa hancur jadinya.

Waktu telah membuktikan ucapan Faisal tersebut. Pasca gempa 2004, gempa-gempa susulan tak terhitung banyaknya terjadi di Aceh. Bahkan ada dua gempa kembar, karena terjadi dalam selang waktu berdekatan dengan kekuatan yang nyaris sama. Gempa terjadi hari Rabu 11 April 2012 sore, dimana gempa pertama terjadi pada pukul 15.38 WIB dengan kekuatan 8,5 skala Richter. Adapun gempa kedua terjadi pada pukul 17.43 WIB dengan kekuatan 8,1 skala Richter. Penulis yang saat itu berada di Banda Aceh, tidak menjumpai kerusakan yang signifikan akibat dua gempa tersebut. Ini paling tidak menandakan apa yang disampaikan Faisal ada benarnya.

Pasca gempa 2004 memang ada sebagian warga menjadi lebih “cerewet” alias mengajukan berbagai kriteria memilih rumah dan bangunan. Mereka terutama memprioritaskan lokasi bangunan tidak berada di wilayah bekas dampak tsunami. Namun hal ini tidak sepenuhnya dipegang erat masyarakat. Menurut Faisal, para calon pembeli rumah tetap berpegangan sesuai dengan kepentingannya masing-masing.

“Lokasi, kualitas bangunan dan harga menjadi pertimbangan utama menempati rumah. Ada yang pilih lokasi jauh dari bekas daerah tsunami, ada yang ingin dekat tempat kerja, dekat sama tempat saudara dan sebagainya,” katanya. Sedangkan bagi yang ingin investasi maka pertimbangannya lain pula. Investor memilih lokasi yang paling cepat naik harganya dan menguntungkan.

Pasca bencana tsunami, bantuan mengalir ke Aceh bagaikan air bah. Rumah, jembatan, gedung dan berbagai infrastruktur dibangun baik oleh pemerintah maupun pihak yang populer di sebut NGO (Non Govermental Organization). Lantas apakah dengan uang yang melimpah tersebut kualitas bangunan menjadi lebih baik?

Seorang warga Banda Aceh yang kini menempati rumah bantuan yang dekat pantai, Zakia Najdi, mengatakan bawah rumah yang mereka tempati kualitas betonnya lumayan baik. “ Ga ada retak-retak dindingnya kayak bantuan lain. Padahal sudah beberapa kali gempa umurnya hampir sepuluh tahun juga,” ucapnya. Zakia tidak merasa khawatir ketika ia berada dalam rumah jika gempa melanda Aceh karena yakin dengan kualitasnya. Ia menerima bantuan dari sebuah NGO asing yang sangat teliti mengawasi pembangunan rumah bantuan. Zakia menyampaikan jika ada rumah yang tidak sesuai spesifikasi maka akan dibongkar kembali oleh pengawas bangunan NGO tersebut. Namun sayangnya tidak semua rumah bantuan seperti itu.

Zakia melihat ada juga rumah bantuan milik tetangga disekitar rumahnya di daerah Peukan Bada Aceh Besar, yang berasal dari lembaga lain mempunyai kualitas buruk. Dindingnya retak, kayunya melengkung bahkan ada yang atapnya copot dihempas angin kencang. Namun Zakia juga mengakui bahwa rumahnya juga masih jauh dari sempurna. Bagian rumahnya yang terbuat dari kayu kini banyak yang rusak.

“ Kayunya bisa dibilang kayu nomor 3, udah dimakan rayap, kusen jendela pun melengkung,” tambahnya. Rumah yang ditempatinya berukuran 36 meter persegi, tidak memiliki ruang dapur dan kamar mandinya di luar.

Penataan kampung tempat tinggalnya pun sudah lumayan bagus dibanding sebelum tsunami. Kini banyak rambu-rambu petunjuk arah evakuasi jika terjadi bencana. “ Kalau dulu, pas ada kejadian kita tidak tahu lari kemana. Sekarang sudah ada penunjuk arah jadi bisa cepat larinya,” ucapnya.

Pemerintah pasca kejadian gempa dan tsunami tahun 2004 lalu menetapkan banyak persyaratan dalam mendirikan bangunan. Mulai dari persyaratan lokasi hingga material bangunan yang tercantum dalam cetak biru pembangunan (blue print) Aceh-Nias. Salah satu syarat yang menonjol adalah larangan mendirikan rumah dalam jarak 200 meter dari bibir pantai. Hal ini untuk mencegah rumah tersebut dari hantaman gelombang laut yang pada waktu-waktu tertentu sangat ganas menghantam daratan.

Sayangnya masih banyak masyarakat tak mematuhinya. Mereka mendirikan bangunan dalam radius larangan tersebut malah disebagian daerah, pemerintah setempat juga ikut-ikutan mendirikan bangunan dalam kawasan berbahaya. Ini menjadi PR pemerintah untuk terus mengawasi pembangunan pasca tsunami agar korban yang ditimbulkan akibat bencana bisa diminimalkan.[]

read more
Ragam

Pemerintah Aceh Lamban Tangani Bencana Longsor

Beberapa daerah di Aceh dilanda bencana banjir, bahkan ada juga yang terkena banjir bandang. Banjir menggenangi ribuan rumah dan fasilitas umum lainnya di dua kecamatan Kabupaten Nagan Raya, yaitu kecamatan kecamatan Tripa Makmur dan Kuala hingga membuat akses tranportasi lumpuh total di kawasan itu. Sementara di Kecamatan Lhoong, Kabupaten Aceh Besar ratusan rumah terendam banjir dan bahkan jalur transportasi putus akibat jalan amblas.

Sayangnya respon pemerintah Aceh untuk mengatasi dampak banjir ini kurang memadai. Salah seorang staf Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh, Yusriadi yang terjun langsung ke lokasi bencana mengatakan, Pemerintah Aceh dan juga pemerintah kabupaten lamban menangani bencana longsor dan banjir.

“Pemerintah saya nilai belum siap menghadapi bencana, lamban dalam bertindak untuk mengatasi dan mengevakuasi setiap  bencana yang datang,” kata Yusriadi pada wartawan, Senin (3/10/2014).

Menurut pantauannya, sejak hari pertama terjadi longsor di Gunung Kulu dan Paro, Aceh Besar, tidak ada penanganan yang maksimal paska kejadian. Hanya warga sekitar yang bergotong royong membersihkan tumpukan longsor setinggi pinggang orang dewasa.

Padahal kecamatan Lhoong, telah terisolir dikarenakan longsor yang mengakibatkan jalan amblas. Paling tidak, ada 12 titik longsor di gunung Paro yang membuat jalur transportasi Banda Aceh-Meulaboh putus total.

Kendati demikian, Yusriadi memberikan apresiasi juga kepada Pamerintah Aceh kemudian menetapkan bencana longsor dan banjir di sejumlah daerah menjadi bencana provinsi oleh Gubernur Aceh. “Sudah tepat Pemerintah Aceh tetapkan bencana provinsi, meskipun sedikit terlambat,” tutupnya.[]

read more
Kebijakan Lingkungan

Konflik Kepentingan Dibalik Polemik RTRW Aceh

Sejak tahun 2003, pemerintah telah berusaha menyusun Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Aceh. Namun, usaha tersebut sempat terhenti ketika Aceh dilanda musibah tsunami pada 2004. Pascatsunami, upaya penyusunan RTRW Aceh kembali dilakukan pemerintah Aceh, sekitar 2006 hingga 2009.

Pada periode tersebut, pemerintah Aceh menginginkan penambahan jumlah hutan pada tiap kabupaten. Penambahan luas hutan yang direncanakan nantinya akan menjadi ± 4.047.897 hektare (ha) dari luas hutan semula ± 3.248.892 ha. Dengan kata lain akan terjadi penambahan luas hutan sebesar ± 799.005 ha di wilayah Aceh.

Namun kenyataannya, kebijakan tersebut mendapat penolakan dari tiap kabupaten/kota. Alasannya adalah kebijakan tersebut akan mengurangi kawasan budidaya masyarakat. Ketakutan ini menjadi beralasan, ketika pemukiman masyarakat yang telah ada sejak lama ternyata masuk dalam usulan penambahan hutan. Akibat penolakan tersebut, akhirnya membuat pemerintah pusat tidak menyetujui kebijakan pemerintah provinsi kala itu. Hingga akhir 2012, RTRW Aceh tidak kunjung disahkan.

Polemik RTRW Aceh tidak berhenti sampai disitu. Pada November 2013, organisasi yang konsen terhadap masalah lingkungan hidup, seperti Walhi Aceh melayangkan petisi online kepada Gubernur untuk melindungi Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dari kerusakan. Petisi ini didukung sebanyak 14.835 orang. Mereka mendesak agar Gubernur tidak meloloskan regulasi yang akan memberikan izin pengembangan budidaya di KEL.

Puncaknya pada 30 Desember 2013, aliansi masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA) melakukan unjuk rasa di depan gedung DPRD Aceh. Ratusan massa protes dan menolak Qanun RTRWA 2013-2033 yang sebelumnya telah disahkan oleh DPR. Alasannya adalah karena RTRW tersebut akan mengurangi luas hutan Aceh, penyebutan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dihilangkan dan tidak memasukkan hak kelola mukim sebagai masyarakat adat di sana.

Menjadi menarik mencermati polemik tersebut, karena ada dua motif berbeda dibalik persoalan RTRW. Pertama, menjadi hal yang lucu ketika ada kebijakan pemerintah yang mencanangkan penambahan luas hutan di wilayah Aceh, tetapi justru oleh masyarakat Aceh sendiri ditiap kabupaten/kota menolak kebijakan tersebut. Disisi lain, saat ada pemerintah yang mencanangkan kebijakan sebaliknya, ada pula masyarakat yang tergabung dalam KPHA menolak kebijakan tersebut.

Jika memang kekhawatirannya adalah soal kelestarian lingkungan, maka kebijakan pemerintah Aceh periode sebelumnya ketika ingin menambah luas hutan, harusnya mendapat apresiasi baik dari segenap elemen masyarakat. Tapi pada kenyataannya tidak demikian. Rasanya ada konflik kepentingan di balik polemik RTRW Aceh ini.

Kata ‘demi masyarakat’ memang seringkali dijadikan komoditas untuk diperdagangkan. Adakalanya kata ini ampuh, namun adakalanya kata ini akan dilindas zaman pula nantinya. Rasanya kita harus benar-benar bertanya pada masyarakat Aceh yang ‘sesungguhnya.’

Kedua, dibalik itu semua, ada hal lain yang patut dicermati lebih mendalam. Adanya dua motif berbeda dibalik polemik RTRW Aceh ini menunjukkan bahwa pemerintah Aceh menjalankan manajemen coba-coba ketimbang manajemen adaptif dalam menyelesaikan RTRW-nya. Ketika satu kebijakan dicanangkan dan kebijakan tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya, maka pemerintah mencoba dengan kebijakan yang lain. Inilah potret manajemen pemerintah Aceh, khususnya dalam RTRW yang sedang berlangsung hingga saat ini.

Tentang Tata Ruang
Tata Ruang diatur melalui UU No. 26/2007. Salah satu isu utama yang sering disoroti dan kerap menjadi ketakutan banyak pihak adalah soal pertambangan. Soedomo (2012) mengungkap bahwa dalam isu tersebut perlu terjadi perombakan besar, terutama dalam pemikiran. Sebab banyak pihak yang menafsirkan pasal 5 ayat (2) UU No. 26 tahun 2007 sebagai “kegiatan pertambangan diperbolehkan hanya di dalam kawasan budidaya.” Tafsiran ini muncul karena bunyi pasal 5 ayat (2) UU No. 26 tahun 2007 yang menyatakan “Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan terdiri atas kawasan lindung dan kawasan budidaya”.

Pertanyaan yang terlebih dulu harus dijawab ialah, ‘peruntukan menentukan fungsi kawasan’ atau ‘fungsi kawasan menentukan peruntukan?’

Kita menyadari bahwa sumber daya tambang adalah sumberdaya yang hanya dapat dihasilkan melalui proses alami oleh alam dan tidak mungkin dapat diadakan secara buatan oleh manusia ataupun teknologi. Karena karakteristiknya yang alami ini (tidak dapat diadakan oleh manusia atau teknologi), maka konsekuensi logisnya adalah, peruntukan pertambangan hanya diperuntukkan bagi kawasan yang mengandung bahan tambang.

Dengan kata lain, peruntukan kawasan menentukan fungsinya, bukan sebaliknya. Adalah hal yang sangat tidak logis bila suatu kawasan diperuntukkan bagi pertambangan ketika tidak ada informasi tentang adanya sumberdaya tambang yang secara ekonomis layak untuk dimanfaatkan.

Jadi, interpretasi terhadap pasal 5 ayat (2) UU No. 26/2007 yang lebih logis adalah “bahwa kawasan dengan peruntukan pertambangan digolongkan sebagai kawasan yang berfungsi budidaya (Soedomo, 2012).” Lebih tegasnya, jika ada kawasan lindung yang dikemudian hari diketemui dan diketahui mengandung sumberdaya tambang yang layak dimanfaatkan maka fungsinya harus diubah menjadi kawasan budidaya, bukan melarang pertambangan di dalam kawasan lindung tersebut.

Kini yang perlu dilakukan masyarakat Aceh adalah bagaimana mengawal sumberdaya alam Aceh agar dapat terdistribusi secara merata dan tidak dikuasai oleh satu pihak. Satu hal yang patut diingat adalah tujuan kita untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran bagi rakyat, bukan menjauhkan sebesar-besar kemakmuran dari rakyat.

Sumber: republika.co.id

read more
Kebijakan Lingkungan

KAFT Beri Masukan Pembangunan Berkelanjutan ke Gubernur Aceh

Keluarga Alumni Fakultas Teknik (KAFT) Universitas Syiah Kuala, pada Jumat malam (24/1/2014) menyerahkan Pokok-pokok Pikiran kepada Gubernur Aceh, Dr. Zaini Abdullah di Pendapa Gubernur. Pokok-pokok pikiran yang diberi judul “Penerapan Teknologi Ramah Lingkungan Dalam Mendukung Pembangunan yang Berkelanjutan”, diserahkan dalam acara Pelantikan DPP KAFT Unsyiah Periode 2013-2018.

Wakil Sekretaris Umum Bidang Advokasi Lingkungan DPP KAFT, Ir. T. M. Zulfikar, M.P, kepada media memberikan siaran pers tentang isi pokok pikiran tersebut. Ia mengatakan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) merupakan kesepakatan global yang dihasilkan oleh kesepakatan Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro, Brazil pada tahun 1992. Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan hidup manusia melalui pemanfaatan sumberdaya alam secara bijaksana, efisien dan memperhatikan keberlanjutan pemanfaatannya baik untuk generasi masa kini maupun generasi mendatang.

KAFT Unsyiah menyampaikan beberapa pokok pikiran untuk dapat menjadi masukan dan saran kepada Pemerintah, khususnya Pemerintah Aceh dalam menjalankan roda pembangunan di Aceh menuju masyarakat  yang maju, adil, makmur dan sejahtera. Beberapa masukan tersebut kami rangkum sebagai berikut:

1. Pembangunan Berkelanjutan Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam di Aceh
Konsep pembangunan berkelanjutan seharusnya diletakkan sebagai kebijakan, karena dalam pengamatan kita selama ini, justru terjadi pengelolaan sumber daya alam yang tidak terkendali di Aceh dengan akibat perusakan lingkungan yang mengganggu pelestarian alam.  Pengelolaan sumber daya alam di Aceh yang berlangsung selama ini telah menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya serta menimbulkan berbagai konflik.

Pembangunan berkelanjutan di Aceh perlu dilakukan karena dorongan berbagai hal, salah satunya adalah kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh pelaksanaan pembangunan. Pengalaman negara maju dan negara berkembang menunjukkan bahwa pembangunan selain mendorong kemajuan juga menyebabkan kemunduran karena dapat mengakibatkan kondisi lingkungan rusak sehingga tidak lagi dapat mendukung pembangunan. Pelaksanaan pembangunan akan berhasil baik apabila didukung oleh lingkungan (sumber daya alam) secara memadai.

2. Selamatkan Lingkungan Aceh Dari Perubahan Iklim dan Bencana Berkepanjangan
Sebagian orang berpendapat, “Untuk apa memikirkan masalah lingkungan hidup? ‘itukan isu global yang masih jauh. Bukankah isu itu adalah miliknya negara-negara maju? Masih banyak yang harus diperhatikan dan diselesaikan sebelum kita mulai peduli dengan lingkungan hidup.” Ternyata, semakin lama semakin jelas bahwa masalah lingkungan jauh lebih dekat dari apa yang dikira sebagian orang tersebut.  Saat ini isu lingkungan bukan lagi milik negara-negara maju, tetapi sudah harus menjadi kepedulian kita semua, termasuk kita di Provinsi Aceh.

Sekilas berbagai persoalan lingkungan sudah mulai menjadi pembicaraan banyak orang. Tidak hanya sebatas diskusi kecil, tetapi sudah masuk pada pertemuan-pertemuan besar, mulai dari lokakarya, workshop, bahkan seminar-seminar mulai dari tingkat lokal, nasional maupun internasional. Salah satu yang dibahas diantaranya adalah masalah isu perubahan iklim (climate change). Kemarau yang semakin panjang serta musim hujan yang semakin intensif, walaupun semakin pendek periodenya, merupakan bukti nyata bahwa perubahan iklim sangat dekat dengan kehidupan kita. Kekeringan panjang serta banjir dan berbagai bencana yang berkepanjangan di banyak tempat di Aceh telah menyebabkan kerugian di banyak sektor.

Untuk itu dalam upaya mengurangi kerusakan lingkungan dan mempercepat peningkatan kesejahteraan rakyat, sudah saatnya Pemerintah Aceh untuk segera melakukan evaluasi terhadap seluruh kebijakan Pembangunan Aceh, terutama memastikan kembali apakah seluruh kebijakan pembangunan Aceh yang sedang dan akan dilakukan sudah mengarah pada pembangunan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.

3. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Guna Mendukung Pembangunan Yang Berwawasan Lingkungan
Dalam mendukung Pembangunan  Yang Berwawasan Lingkungan, sebenarnya persoalan lingkungan tidak dapat dilihat sebagai suatu hal yang berdiri sendiri, namun sangat terkait oleh perilaku manusia terutama dalam memenuhi kebutuhannya. Guna memberikan solusi teknologi, KAFT Unsyiah dengan segala keterbatasan yang ada, tentu akan terus berusaha mengkaji dan menerapkan teknologi yang ramah lingkungan sebagai bentuk kontribusi kepada bangsa dan negara ini.

Berbagai hal yang bisa dijadikan kajian diantaranya mengenai konsepsi kota hijau (green city) dan perlunya penerapan teknologi penunjangnya. Kita semua pastinya tahu bahwa situasi aktual yang terjadi hampir sebagian besar masyarakat kita bahkan dunia tinggal di perkotaan. Kota telah menjadi sumber dampak lingkungan yang masif. Penerapan teknologi ramah lingkungan termasuk perubahan perilaku masyarakat perkotaan akan membawa dampak yang signifikan bagi perbaikan lingkungan. Konsep green city tentunya tidak lepas dari pendekatan pengelolaan sampah dan limbah yang mendekati zero waste. Disini dibutuhkan berbagai teknologi seperti daur ulang limbah cair dan sampah, energi bersih sampai dengan teknologi material ramah lingkungan.

Untuk melaksanakan strategi tersebut perlu dilaksanakan program dalam pengembangan teknologi lingkungan antara lain:
1.    Meningkatkan teknologi lanjutan, teknologi proses, teknologi produksi dan “re-engineering”.
2.    Kemitraan diantara institusi peneliti, perguruan tinggi dan swasta.
3.    Mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna berwawasan lingkungan.
4.    Menciptakan iklim kondusif untuk penyebaran dan pengembangan ilmu pengetahuan serta teknologi lingkungan.
5.    Mengembangkan penelitian dan teknologi sesuai dengan hasil evaluasi terhadap kinerja teknologi yang telah diterapkan.

Peran sektor swasta sangat penting dalam mendukung kegiatan penelitian dan pengembangan teknologi lingkungan. Perlu berbagai masukan dari berbagai pihak yang bergerak di bidang pengelolaan sumber daya alam. Masing-masing perusahaan diharapkan dapat lebih meningkatkan pengelolaan lingkungan dengan terus menggunakan teknologi yang akrab lingkungan.

KAFT juga menyarankan beberapa kebijakan  agar pembangunan memungkinkan dapat berkelanjutan maka diperlukan berbagai kebijakan yang patut dipertimbangkan pelaksanaannya oleh Pemerintah, diantaranya sebagai berikut :
1.    Pengelolaan sumber daya alam perlu direncanakan sesuai dengan daya dukung lingkungannya. Dengan mengindahkan kondisi lingkungan (biogeofisik dan sosekbud) maka setiap daerah yang dibangun harus sesuai dengan zona peruntukannya, seperti zona perkebunan, pertanian, pertambangan, pertanian, peternakan, ekowisata dan lain-lain. Hal tersebut memerlukan perencanaan tata ruang wilayah Aceh (RTRWA) yang baik, sehingga diharapkan akan dapat dihindari pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan daya dukung lingkungannya.

2.    Proyek-proyek pembangunan yang berdampak negatif terhadap lingkungan perlu dikendalikan melalui penerapan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) sebagai bagian dari studi kelayakan dalam proses perencanaan proyek. Melalui studi AMDAL dapat diperkirakan dampak negatif pembangunan terhadap lingkungan.

3.    Penanggulangan berbagai pencemaran, seperti pencemaran air, udara dan tanah mengutamakan secara cermat audit lingkungan melalui tim independen.

4.    Pengembangan keanekaragaman hayati sebagai persyaratan bagi stabilitas tatanan lingkungan.

5.    Pengembangan kebijakan ekonomi yang memuat pertimbangan lingkungan.

6.    Pengembangan peran serta masyarakat, kelembagaan dan ketenagaan dalam pengelolaan lingkungan hidup.

7.    Pengembangan hukum lingkungan yang mendorong peradilan menyelesaikan sengketa melalui penerapan hukum lingkungan.

8.    Pengembangan kerja sama luar negeri.

9.    Peran Tata Ruang Dalam Pembangunan Kota Berkelanjutan Terkait dengan pembangunan perkotaan, maka kota yang menganut paradigma pembangunan berkelanjutan dalam rencana tata ruangnya merupakan suatu kota yang nyaman bagi penghuninya, dimana akses ekonomi dan sosial budaya terbuka luas bagi setiap warganya untuk memenuhi kebutuhan dasar maupun kebutuhan interaksi sosial warganya serta kedekatan dengan lingkungannya.[rel]

read more
Kebijakan Lingkungan

Gubernur Aceh akan Berlakukan Moratorium Tambang

Gubernur Aceh Zaini Abdullah mengatakan akan memberlakukan moratorium pertambangan terutama bidang galian emas dan bijih besi yang merupakan komitmen pemerintah menjaga kelestarian lingkungan hidup.

“Untuk sementara kita akan melakukan moratorium tambang emas dan bijih besi,” kata gubernur seusai pertemuan dengan Dubes China untuk Indonesia Liu Jianchao di Banda Aceh, Kamis (9/1/2014).

Dubes China di Jakarta berkunjung ke Aceh untuk menjajaki informasi peluang investasi yang memungkinkan dilakukan para investor di negeri “tirai bambu” itu.

Zaini Abdullah mengatakan komitmen pemerintah menjaga lingkungan hidup dengan memberlakukan moratorium tambang bijih besi dan emas tersebut bertujuan agar bisa dimanfaatkan oleh generasi Aceh dimasa mendatang.

“Kita akan menyekolahkan anak-anak ke luar negeri untuk mendapatkan pendidikan yang baik dengan harapan ke depan mereka dapat mengolah hasil alam dengan baik saat kembali ke Aceh,” kata gubernur menambahkan.

Terkait dengan pertambangan emas yang dilakukan masyarakat, Zaini juga mengatakan prihatin disebabkan warga tidak melihat dampak negatif dari aksi itu seperti penggunaan bahan kimia berbahaya yakni merkuri.

“Kita juga akan meninjau dan mengatur kembali masalah itu, sebab masyarakat juga harus memahami dampak kerusakan lingkungan akibat menggunakan merkuri di penambangan emas tradisional,” kata dia menambahakan.

Saat ini, katanya Pemerintah Aceh sangat fokus melayani investor bidang pertanian, perikanan, peternakan, perkebunan serta geothermal (energi panas bumi) yang sangat kaya di antaranya terdapat di Seulawah, Aceh Besar, dan Aceh Tengah.

“Untuk membuktikan bahwa Aceh masih berpotensi di sektor-sektor tersebut maka sebaiknya saya berharap Dubes tinggal beberapa hari di Aceh, berkunjung ke Sabang, Aceh Tengah dan daerah lainnya untuk melihat investasi yang cocok untuk Aceh,” kata gubernur mengajak Dubes China itu.

Apalagi, Zaini menjelaskan keadaan di Aceh kini sangat kondusif bagi para investor untuk berinvestasi. Semua pihak di Aceh telah berkomitmen untuk merawat perdamaian itu dan bersama-sama membangun daerah dengan baik.

sumber: republika.co.id

read more
1 2 3 4
Page 3 of 4