close

biomassa

Energi

Wow, Petai Cina Pun Bisa Jadi Bahan Bakar

Sore itu kami bertemu di sebuah warung kopi sederhana di seputaran kota Banda Aceh. Ia adalah pembimbing mahasiswa yang baru saja kembali dari sebuah pulau yang tertinggal di wilayah Kabupaten Aceh Besar. Mereka bersama warga mencoba membuat bahan bakar alternatif dengan memanfaatkan sumber daya alam sekitar.

Saisa A. Rani, demikian namanya, seorang dosen di Universitas Serambi Mekkah yang sangat akitf bergelut di bidang lingkungan. Dia bersama sejumlah mahasiswanya mengunjungi Pulau Nasi, Kabupaten Aceh Besar dari tanggal 15 – 22 Oktober 2014 lalu.

“Kami bersama masyarakat membuat briket arang dengan bahan baku batang pohon Lamtoro. Masyarakat antusias melaksanakan kegiatan ini,” ujar Saisa, demikian Ia biasa disapa.

Proses pembuatan briket dari pohon Lamtoro sangat mudah menurutnya. Apalagi selama ini warga setempat juga sering membakar kayu dari Lamtoro tapi mereka belum sadar bahwa batang kayu itu bisa diolah lebih lanjut menjadi sumber energi.

Pulau Nasi merupakan salah satu pulau di Kecamatan Pulo Aceh, yang terletak di sebelah Utara dari Kota Banda Aceh. Transportasi untuk mencapai pulau tersebut menggunakan kapal nelayan yang muatannya terbatas serta sangat bergantung kepada cuaca. Saat cuaca cerah perjalanan hanya memakan waktu sekitar 60 menit, namun apabila cuaca kurang bersahabat dapat memakan waktu hingga 90-120 menit. Dampaknya warga terpaksa membeli barang-barang dengan harga mahal termasuk BBM dikarenakan kondisi geografisnya tersebut.

Pulau Nasi adalah wilayah dalam gugusan pulau-pulau yang dikenal oleh masyarakat lokal dengan nama Pulo Breuh (Bahasa Aceh yang berarti Pulau Beras). Alkisah, masyarakat menamakan pulau tersebut berdasarkan jaraknya dari daratan sehingga menentukan bekal apa yang mesti dibawa saat mengunjunginya. Dinamakan Pulau Nasi karena masyarakat harus membawa bekal nasi jika mendatanginya. Sedangkan dinamakan Pulau Breuh berarti masyarakat harus membawa beras jika mengunjungi sebagai bekal karena jaraknya yang lumayan jauh dan mesti menginap di pulau tersebut.

Selama ini warga memasak dengan menggunakan minyak tanah atau gas. Harga gas per tabung 3 kg mencapai Rp. 35 ribu, padahal di daratan paling mahal Rp.22 ribu. Masyarakatnya banyak yang masih tergolong pra sejahtera bertambah pengeluarannya untuk membeli bahan bakar. Ada juga yang memasak menggunakan kayu bakar dengan memanfaatkan ranting-ranting kayu yang banyak terdapat disana.

Saisa menjelaskan, sumber biomasa sangat banyak terdapat di Pulau Nasi sehingga sangat potensial dijadikan bahan bakar alternatif seperti halnya briket. Seandainya masyarakat mampu membuat briket arang dari biomasa, walaupun dalam skala kecil setidaknya bisa dimanfaatkan sendiri. Briket lebih ramah lingkungan sebab tidak menghasilkan asap, tidak berbau jadi lebih aman buat kesehatan dan mengurangi pencemaran. Saisa dan timnya memilih limbah kayu atau bahan baku dari pohon Lamtoro (pohon petai Cina). Pohon ini dipilih sebagai bahan baku pembuatan briket karena mudah diperoleh di Pulau Nasi dan tanamannya tumbuh cepat sehingga regenerasi pohon bisa berlangsung cepat juga.

 

Mahasiswa USM Banda Aceh bersama warga Pulau Nasi membuat briket | Foto: Ist
Mahasiswa USM Banda Aceh bersama warga Pulau Nasi membuat briket | Foto: Ist

Salah seorang mahasiswa yang mengikuti kegiatan ini, M. Yasin mengatakan sebelum mereka membuat briket arang, mereka melakukan sosialisasi kegiatan dengan mengunjungi kepala desa dan tokoh masyarakat. Hal ini agar program mendapat dukungan luas dari masyarakat. “ Kami juga membuat gotong royong di kampung sebagai selingan kegiatan,” katanya.

Pembuatan briket dari pohon Lamtoro relatif mudah dan lebih kurang hanya membutuhkan waktu setengah hari atau sekitar 10-12 jam. Ada dua tahap proses yaitu pertama proses pengarangan (karbonisasi). Limbah kayu pohon Lamtoro dimasukkan dalam drum hingga hampir penuh kemudian drum ditutup rapat dan api dinyalakan melalui lubang ventilasi drum. Pembakaran dilakukan hingga semua bahan habis terbakar dan setelah dingin dilakukan pembongkaran dimana arang yang dihasilkan dipisahkan dari abu.

Sedangkan proses tahap kedua adalah proses pembuatan briket. Arang yang dihasilkan dari pembakaran dalam drum tadi digiling sampai halus dan diayak agar ukurannya seragam. Agar serbuk arang ini menyatu ditambahkan perekat dari lem  kanji dengan perbandingan 1 bagian lem kanji untuk  10 bagian arang dan diaduk sehingga tercampur sempurna. Adonan dimasukkan kedalam cetakan kubus atau silinder berukuran panjang 15 cm dengan diameter 3 cm kemudian dipress. Briket yang telah selesai dicetak  kemudian dijemur dibawah sinar matahari 2 – 8 jam, tergantung keadaan cuaca. Jika dirasa briket telah benar-benar kering maka briket dapat langsung digunakan sebagai bahan bakar tanpa perlu ada modifikasi peralatan dapur.

Saisa mengatakan nilai kalor arang bisa mencapai 5000 kalori, dibandingkan nilai kalor jika kayu dibakar begitu saja yang hanya sekitar 3000 kalori. Panas yang tinggi menyebabkan masakan cepat matang sehingga dengan sendirinya menghemat bahan bakar.

Menurut literatur, kayu Lamtoro memiliki nilai kalori sebesar 19.250 kJ/kg, terbakar dengan lambat serta menghasilkan sedikit asap dan abu. Arang kayu lamtoro berkualitas sangat baik, dengan nilai kalori 48.400 kJ/kg. Kayunya termasuk padat untuk ukuran pohon yang lekas tumbuh (kepadatan 500-600 kg/m³) dan kadar air kayu basah antara 30-50%, bergantung pada umurnya. Lamtoro cukup mudah dikeringkan dengan hasil yang baik, dan mudah dikerjakan.

Briket yang mereka buat telah diuji coba langsung usai pembuatannya. Menurut M. Yasin, masih ada kelemahan produk briket mereka yaitu api yang timbul masih kurang merata. “ Ini mungkin karena briket kurang padat dan ayakannya mesti lebih halus lagi,” analisis M. Yasin.  Ia menjelaskan jika lubang pada ayakan halus lagi maka akan dihasilkan butiran arang yang homogen dan mudah dipadatkan.

Namun menurutnya warga setempat tetap antusias membuat briket arang tersebut. “ Saya yakin warga akan mampu membuat briket nantinya, apalagi bahan baku melimpah disini,” ujar M. Yasin. Tim pun menyumbangkan peralatan membuat briket kepada masyarakat.

Briket dapat menjadi bahan bakar alternatif untuk mengatasi kelangkaan BBM. Jika masyarakat mampu memproduksi briket dalam skala besar maka hal ini bisa memberikan efek meningkatkan perekonomian masyarakat dengan menjual briket ke pedagang butuh bahan bakar seperti pedagang mie goreng, ayam bakar, ikan bakar dan lain sebagainya.

Indonesia memang sangat kaya dengan bahan bakar alternatif pengganti BBM fosil. Jika pemanfaatan biomasa dapat dimaksimalkan terutama di daerah-daerah terpencil maka beban negara dalam menyediakan bahan bakar semakin berkurang. Insya Allah masyarakat pun bisa lebih sejahtera.[]

read more
Energi

LIPI Kembangkan Biomasa non-Pati Pengganti BBM

Salah satu hal yang selalu menjadi polemik ketika harganya naik atau saat langka di pasaran adalah Bahan Bakar Minyak (BBM). Untuk itu, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) terus berupaya mencari penggantinya.

Salah satu upaya yang kini tengah dilakukan adalah mengembangkan biomasa sebagai energi yang dapat terbarukan. Merujuk tulisan di Wikipedia, Biomasa adalah sumber energi yang berasal dari bahan organik dan dapat diolah serta dikonversikan menjadi bahan bakar.

Biomasa meliputi banyak hal seperti materi tumbuhan yang telah mati, limbah terbiodegrasi dan banyak lagi.

Dalam hal ini, pihak LIPI mencoba mengembangkan biomasa non-pati atau dapat diartikan sebagai bahan organik yang mengandung lignoselulosa, seperti contohnya jerami padi, klobot, jagung, sekam padi, ilalang kering, kulit pisang, kulit nanas, serat kayu dan lain sebagainya.

“Penelitian terkait pemanfaatan biomasa non-pati terutama sellulsa sedang dikembangkan oleh peneliti LIPI saat ini,” ujar Kepala Pusat Bioteknologi LIPI, Dr Ir Witjaksono, M.Sc dalam acara “Kick off Meeting of JST-JICA-SATREPS Biorefinery” dengan tajuk Innovative Bio-Production Indonesia (Ibiol): Integrated Bio-Refinery Strategy to Promote Biomass Utilization using Super-micorbes for Fuels and Chemicals Production, seperti yang dikutip dari Antara (21/01/2014).

Witjaksono menjelaskan, pemanfaatan biomasa turunan dari industri kelapa sawit menjadi salah satu fokus kegiatan LIPI.

“Kami telah mengembangkan penelitian pemanfaatan biomasa tersebut untuk produk pangan fungsional, biothanol (pengganti BBM) dan produk lainnya,” ujarnya.

Menurut Witjaksono, selama ini, harga bioethanol berbasis biomasa non-pati masih tidak ekonomis yang disebabkan oleh teknologi yang belum tepat. Dengan penerapan teknologi proses yang memperhatikan tiga aspek tersebut di atas, harga bioethanol diharapkan bisa menjadi lebih ekonomis atau terjangkau oleh masyarakat.

“Teknologi adalah kunci agar proses menjadi enzim yang dibutuhkan secara efisien dengan menggunakan isolat lokal, dan breeding mikroba untuk menghasilkan mikroba yang cocok untuk fermentasi,” ujarnya.[]
Sumber: merdeka.com

read more
Kebijakan Lingkungan

Uni Eropa Terapkan Kriteria Biomassa Berkelanjutan

Industri semakin banyak menggunakan tumbuhan sebagai bahan baku. Tapi pengembangannya bisa merugikan alam dan manusia. Kini komunitas industri, lingkungan dan pembangunan menetapkan kriteria bagi penanaman berkelangsungan.

Perusahaan kimia Jerman setiap tahunnya menggunakan sekitar tiga juta ton bahan baku dari tumbuhan: minyak, selulosa, kanji, gula, karet alami dan banyak lagi. Dari zat kimia alamiah dibuat misalnya, perekat, sabun cuci atau plastik organik. Kebutuhan akan bahan mentah ini semakin meningkat, kata Jörg Rothermel, anggota ikatan industri kimia VCI, yang mengurus masalah energi, perlindungan iklim dan politik bahan mentah.

Meningkatnya permintaan ada dampaknya. Untuk mendapat bahan baku yang diinginkan, banyak perusahaan menebang pohon di hutan tropis, atau merampas tanah warga beserta sumber hidup mereka. Praktik ini sering didukung atau diterima pemerintah. Salah satu contohnya minyak sawit, yang jadi produk dasar minyak untuk makanan, bahan bakar, pelumas dan kosmetik. Untuk penanaman bahan baku ini, dituntut adanya kriteria ekologis dan sosial.

Bukti Kualitas bagi Biomassa Berkelanjutan
Akhir 2013 pakar dari industri kimia, organisasi bantuan Deutsche Welthungerhilfe dan ikatan perlindungan alam mengambil tindakan. Bersama agen untuk bahan baku berkelanjutan, FNR yang disokong pemerintah Jerman menerbitkan kriteria, yang memperketat pengembangbiakan, penggunaan tanah dan produksi bahan baku organik.

Kesepakatan berorientasi pada katalog kriteria Uni Eropa, bagi penggunaan biomassa dari tahun 2009. Lebih jauh lagi, disepakati 25 “kriteria ekologis”. Sehingga hutan tropis tidak boleh ditebang, rawa tidak boleh dikeringkan dan sabana yang kaya keanekaragaman satwa dan tumbuhan tidak boleh dijadikan lahan pertanian. Selain itu, kualitas tanah harus dijaga dan kadar nitrat tidak boleh berkurang.

Termasuk dalam 19 “kriteria sosial” antara lain: hak penduduk dan pekerja untuk mendapat air minum, tempat tinggal tetap serta bayaran sepadan. Mempekerjakan anak dilarang. Rafael Schneider dari organisasi bantuan Jerman Deutsche Welthungerhilfe sambut baik hal ini, karena dalam kriteria Uni Eropa tentang penggunaan biomassa dimensi ini tidak ada. Selain itu, pemerintah dan produsen bahan baku organik harus memberi bukti tidak terima suap, dan mendokumentasi cara mereka mengunakan lahan.

Dari Kertas Jadi Kenyataan
Kini harus dibuktikan, apakah kriteria itu bisa dipraktekkan. Kepala FNR, Andreas Schütte menjelaskan bagaimana pelaksanaannya. Mulai 2014 bahan baku organik, yang digunakan untuk membuat pelumas dan bahan sintetik harus diuji dan diberi sertifikat sesuai kriteria. Dengan demikian, semakin banyak perusahaan kimia memperhatikan produksi berkelanjutan ketika membeli biomassa dan juga menuntut itu dari pemasoknya. Demikian harapan Schütte.

“Tapi pada akhirnya, setiap perusahaan haru memutuskan itu sendiri,” kata Rothermel dari ikatan industri kimia VCI. Ia tidak mendukung, jika kriteria-kriteria itu ditetapkan secara hukum. Menurutnya, itu bisa mengurangi keinginan perusahaan untuk menggunakan biomassa. Rothermel berargumentasi, biomassa yang diproduksi secara berkelangsungan harganya mahal, karena pekerja harus digaji lebih baik dan perusahaan-perusahaan harus punya tempat penyimpanan pestisida yang lebih baik.

Ancaman Merugi
Norbert Schmitz, pemimpin perusahaan International Sustainability & Carbon Certification (ISCC) yang bergerak di bidang pemberian sertifikat untuk biomassa dan bioenergi di seluruh dunia memberikan contohnya. “Satu ton minyak sawit yang bersertifikat harganya sekitar 40 sampai 50 Dolar lebih mahal daripada minyak sawit tanpa sertifikat.” Dibanding dengan saingan yang tidak memakai minyak sawit bersertifikat, ini bisa berarti kerugian besar.

Perusahaan kimia yang mengalami tekanan finansial pasti tetap menggunakan bahan mentah dengan dasar minyak bumi. Di Jerman, produk kimia yang menggunakan biomassa hanya sekitar 13 persen. Rothermel dari VCI yakin, perubahan hanya akan terjadi secara perlahan. Lagi pula, biomassa tidak mungkin menggantikan sebagian besar kebutuhan akan bahan dasar. Karena itu berarti terhentinya produksi bahan pangan bagi manusia.

Sumber: dw.de

read more
Energi

Sampah, Bahan Bakar Masa Depan

Apakah bahan bakar bisa dihasilkan dari kulit buah, biji-bijian, jerami atau limbah kayu? Harapannya, produk limbah pertanian dan kehutanan yang berlimpah, di masa depan dapat menggantikan minyak bumi.

Biomassa sebenarnya tersedia di setiap sudut jalan. Potongan dahan bisa diolah menjadi ‘pelet’ bahan bakar. Dedaunan yang gugur diproses menjadi pupuk. Tapi di seluruh dunia berton-ton sampah organik dibuang begitu saja. Contohnya ampas kelapa sawit setelah minyaknya dipress keluar.

“Hanya bijinya yang dimanfaatkan. Lainnya dibuang. Dan setiap 5 tahun seluruh pohon kelapa sawit dibuang,” ujar Stefan Schöll, manajer pabrik perusahaan termokimia PYTEC di Hamburg.

“Sungguh disayangkan,” lanjutnya. Limbah produk pertanian dan kehutanan itu padahal dapat dipress melalui proses khusus. Hasilnya minyak pirolisis, yang dapat diproses lebih lanjut menjadi bahan bakar.

Pengembangan kemampuan mesin
Kini perusahaan di Hamburg itu tengah menyempurnakan cara untuk menggunakan minyak pirolisis secara langsung di instalasi pembangkit listrik dan energi panas, atau di lokasi yang tak memiliki biomassa.

Bersama pabrik mesin Amerika, Caterpillar, para peneliti mengembangkan mesin berbahan bakar minyak pirolisis tadi.

“Kami baru mampu mengembangkan mesin berdaya kerja 1000 jam. Dalam satu tahun, sistem injeksi bahan bakar harus diganti 8 kali. Kami ingin menemukan materi baru yang tahan lama seperti pada operasi mesin diesel normal,” ungkap Schöll.

Pengolahan berskala besar
Dari sampah menjadi bahan bakar masa depan. Ini juga yang menjadi salah satu fokus penelitian Universitas Ilmu Terapan HAW Hamburg.

Jelantah, plastik, minyak berat – semua diproses jadi bahan bakar minyak di laboratorium. Banyak bahan, yang dapat menggantikan minyak bumi sebagai bahan bakar berkelanjutan untuk jangka panjang.

“Secara global, kebutuhan bahan bakar mencapai 100 Exajoule,” ujar Thomas Willner, dosen HAW Hamburg. “Kalau angka ini bisa dipertahankan dan tidak meningkat di negara-negara seperti India dan Cina, kita punya kesempatan dengan biomassa berkelanjutan, untuk memenuhi kebutuhan ini.”

Masih diperlukan solusi untuk mengatasi membengkaknya permintaan negara berkembang. Metode baru sebenarnya punya potensi besar. Tinggal menunggu pengembangan instalasi yang bisa mengolah biomassa secara efisien dalam skala besar.[]

Sumber: dw.de

 

read more