close

BP REDD

Kebijakan Lingkungan

Pemerintah Aceh Teken MoU dengan BP REDD+

Provinsi Aceh menjadi provinsi ke-8 yang menandatangani nota kesepahaman dengan Badan Pengelola REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest and Peatland Degradation/Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan dan Lahan Gambut). Propinsi lain yang sudah meneken adalah Jambi, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sumatera Barat, Sulawesi Tengah, Sumatera Selatan, dan Riau.

Gubernur Aceh Dr. H. Zaini Abdullah, mengatakan, Pemerintah Aceh sangat mendukung komitmen yang disampaikan oleh Pemerintah Indonesia melalui Badan Pengelola REDD+ untuk mencapai target penurunan emisi. Bahkan jauh dari sebelum komitmen ini, Aceh telah terlebih dahulu memberlakukan kebijakan moratorium logging sebagai upaya mengatasi deforestasi dan degradasi hutan dan lahan gambut. Bentuk keseriusan Pemerintah Aceh dalam mendukung REDD+ ditunjukkan dengan terbentuknya tim satuan tugas (task force) REDD+ di Aceh, yang pasca penandatanganan ini bisa segera melakukan koordinasi dan langkah-langkah implementasi dengan melibatkan berbagai komponen yang ada, seperti lembaga swadaya masyarakat, masyarakat adat, akademisi, dan para pihak lainnya di Aceh.

Dalam rangka mempercepat langkah-langkah persiapan, pelaksanaan, dan pengawasan implementasi program REDD+ di Aceh, beberapa kegiatan yang akan dilakukan oleh Pemerintah Aceh adalah pengembangan dan penyempurnaan data dasar dan peta kadastral, pembentukan dan penguatan kelembagaan di Aceh untuk mengkoordinasikan dan melaksanakan program REDD+, pengarusutamaan Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) REDD+ Aceh dalam pembangunan, pengembangan, dan penyempurnaan berbagai kebijakan dan peraturan di tingkat daerah yang dibutuhkan dalam rangka memberikan kerangka hukum bagi pelaksanaan REDD+ di Aceh, dan pengembangan berbagai program, proyek, dan/atau kegiatan strategis untuk implementasi REDD+ secara penuh dalam rangka penyempurnaan tata kelola hutan dan lahan gambut.

Sementara Kepala Badan Pengelola REDD+ Heru Prasetyo, mengungkapkan pelaksanaan REDD+ di Provinsi Acehsecara langsung mendukung pelaksanaan REDD+ di Indonesia. Ada dua hal yang menjadi kunci utama bagi pelaksanaan REDD+ di Indonesia, yaitu Strategi Nasional REDD+ (Stranas REDD+) dan Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) di masing-masing provinsi. Strategi ini tidak disusun dan terpusat di tingkat nasional saja, tetapi lahir dari keterlibatan dan peran serta yang dapat berjalan dengan baik apabila dilakukan dalam bentuk kerja sama multi-pihak yang melibatkan pemerintah, sektor swasta, lembaga swadaya masyarakat, akademisi, masyarakat adat, dan yang lainnya.

Heru Prasetyo menambahkan lagi, “Bapak Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa saat ini yang ditekankan adalah budaya masyarakat bekerja. Tidak ada lagi visi dan misi sektoral, tetapi visi misi negara yang akan didukung dan diimplementasikan di masing-masing daerah. Kami berharap nota kesepahaman yang ditandatangani hari ini dapat menjadi pembelajaran bagi provinsi-provinsi lain.”

Pelaksanaan REDD+ di lapangan terpusat kepada tiga sumbu. Sumbu yang pertama adalah penurunan emisi yang juga memperhatikan kesejahteraan masyarakat; yaitu melalui sumbu kedua. Sumbu kedua adalah pembangunan ekonomi yang berkeadilan dan berkelanjutan. Dan, yang ketiga adalah mempertahankan keanerakagaman hayati dan jasa lingkungan.[rel]

read more
Perubahan Iklim

Resolusi Konflik Dalam Implementasi REDD+

Informasi Geospasial adalah informasi ruang kebumian, yang menyangkut aspek lokasi, letak suatu objek atau peristiwa dipermukaan bumi. Peta merupakan hasil informasi geospasial, pada dasarnya peta merupakan alat untuk merencanakan pembangunan di segala sektor.

Dewasa ini, pembuatan peta dan informasi geospatial ibarat sebuah pasar, di dalamnya terpampang berbagai jenis produk makanan, pakaian, peralatan dan lain-lain. Pembeli bebas memilih dan menentukan produk apa yang ia kehendaki. Bila pembeli menghendaki informasi tentang satu jenis produk bisa ditanyakan kepada ahlinya yang ada di tempat itu. Semua tinggal pesan, pilih dan bayar, seperti inilah kondisi perpetaan dan geospatial di Indonesia.

Ini terjadi disektor kehutananan dan perkebunan, sektor ini  dibutuhkan banyak peta, seperti peta hutan primer, hutan produksi, hutan gambut  hingga perkebunan sawit. Peta dapat dipesan sesuai selera pembeli, pesan, pilih dan bayar.
Saat ini, peta bisa dioplos dari pusat hingga kabupaten dan bermuara pada  izin penggunaan lahan, tentu ini berimbas sistem perizinan, sering terjadi tumpang tindih peraturan dan lahan, kemudian hari akan memicu terjadinya konflik horizontal dan vertikal

Transaksi Lahan
Permasalahan lainnya adalah Negara ini memiliki jumlah desa dalam kawasan hutan berkisar di 2.805 desa dikawasan hutan dan 16.605 desa disekitar kawasan hutan dan umumnya miskin serta rentan konlik (DKN, 2011). Dua kawasan ini menjadi bom waktu konflik lahan, ini  disebabkan oleh batas kawasan yang belum disepakati bersama baik oleh Pemerintah maupun masyarakat, dan perencanaan pembangunan kehutanan belum mengakomodir keberadaan masyarakat yang telah ada di dalam kawasan hutan, tidak adanya kesepakatan“Satu Peta” menjadi biang kerok permasalahan ini, hingga konflik pun berkepanjangan.

Akibatnya adalah tingkat konflik lahan masih tinggi per-sektor, untuk sektor perkebunan berkisar  180 kasus dengan luas areal 527.939,27 hektar, pertambangan 38 kasus dengan 197.365,90 ha, sector kehutanan 31 kasus dengan luas 545.258 hektar, perkebunan merupakan sektor tertinggi dalam hal kuantitas kasus (Konsorsium Pembaruan Agraria, 2103). Ini salah satu bukti tidak jelasnya batas kawasan dan terjadi sengkata lahan,  peta oplosan masih berlaku di level tapak.

Secara nyata, perkebunan kelapa sawit memberikan sumbangan siginifikan bagi perluasan lahan secara besar-besaran di Indonesia. Kebun sawit seluas 9 juta hektar memproduksi 23 juta ton CPO dengan perluasan kebun sawit per tahun rata-rata 400.000 hektar (Sawit Watch, 2012). Banyak di antaranya menggunakan tanah-tanah masyarakat adat, kawasan hutan konservasi dan kawasan bergambut. Dikawasan ini selisih dan sengketa lahan tak pernah padam,beragam peta odong – odong diterbitkan oleh pihak terkait dan menjadi punca permasalahan.

Akibat dari yang disebutkan di atas, maka laju deforestasi dan degradasi hutan masih cukup tinggi, 480.000/tahun (Statistik Kehutanan, 2012). Merujuk pada data FAO 2010, angka 480.000 hektar/tahun ini disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain tingginya permintaan pasar terhadap produk-produk yang membutuhkan lahan luas. Implikasi dari hal ini adalah konflik tanah, ancaman terhadap kelestarian lingkungan dan peningkatan emisi dari konversi lahan.

Ironis memang, tumpang tindih peta masih berlaku dan masih terus digunakan di Indonesia. Faktanya adalah ada 15 lembaga pemberi izin penggunaan lahan.  Analoginya adalah Pemerintah Pusat ada lima lembaga seperti Kementrian Kehutanan, Kementrian ESDM, Kementrian BUMN, Kementrian Pertanian dan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Lalu hal sama terjadi di tingkat  propinsi dan seterusnya hingga kabupaten. Hal ini disebabkan karena sejumlah instansi memiliki peta berdasarkan sektoral dan kepentingan masing – masing, sehingga dapat menimbulkan masalah antara pemerintah, pengusaha dan masyarakat(Mubariq Ahmad, Banda Aceh, Januari 2014).

Pertanyaan mendasar pada kasus ini, Kenapa Kementrian dan LembagaNegara tidak memakai peta yang dikeluarkan oleh lembaga resmi seperti Badan Informasi Geospasial (BIG). Mungkin jawabannya adalah masih tingginya konflik kepentingan dan ego –sektoral antar lembaga pemerintahan serta konsolidasi informasi pada satu lembaga Negara yang tidak transparan dan akuntabel.  Hal ini dipersulit dengan adanya kepentingan Politik dan Ekonomi, mungkin saja ada yang akan terganggu dengan penggunaan“One Map Policy.
Memitigasi Multi Tafsir Peta dan Resolusi Konflik
MenurutMubariq Ahmad, mantan Ketua Kelompok Kerja Strategi Nasional REDD+ dalam lokakarya “Peliputan Perubahan Iklim” yang diadakan Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS) di Banda Aceh, Selasa 28 Januari 2014, setidaknya

ada tujuh Undang-Undang yang memuat dasar informasi menjadi dasar penguasaan lahan, yaitu Kementerian Kehutanan berpedoman pada UU No 41 Tahun 1999, Kementrian Pertanian mengacu pada UU No 18 tahun 2014, Kementerian ESDM dengan mengacupada UU No 4 Tahun 2009, BPN mengacu pada UU No 2 Tahun 2012, Pemerintah Daerah dengan mengacupada UU No 32 Tahun 2004, lalu juga ada UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan UU No 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Benturan peraturan ini harus segara diharmonisasikan dan diintegrasikan dalam satu peta.

Perlu ditegaskan, bahwa Indonesia harus segera melaksanakan implementasi REDD Plus, Negara ini, sedang disorot oleh dunia Internasional terhadap keseriusannya mengurangi emisi karbon sebesar 26% – 41%, dibawah perkiraan emisi tahun 2020. Pemerintah harus menyempurnakan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut. Upaya tersebut tertuang dalam Inpres No 6/2013 tentang Inisiasi Kebijakan Penurunan Emisi Karbon (REDD+). Disisi lain, Negara ini harus memulai transisi perekonomiannya menuju Energi Rendah Karbon dan secara jangka panjang pada tahun 2030 sektor kehutanan ditargetkan menjadi penyerap netto karbon.

Hal lain dari subtansi REDD plus adalah pertama, mengamanatkan penggunaan satu peta referensi pemberian izin. Kedua, Pemerintah selayaknya memperbaiki sistem tata kelola baru pemberian izin pemanfaatan lahan. Ketiga, upaya untuk perpanjangan moratorium izin perkebunan baru. Jika perlu, Pemerintah memperpanjang moratorium izin perkebunan baru sampai peta satu (one map) siap dan dilaksanakan oleh Kementrian dan Lembaga Negara.

Saat ini telah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial yang   bertujuan untuk menjamin ketersediaan dan akses Infomasi geospasial yang dapat dipertanggung jawabkan. Disamping itu adanya lembaga BIG (Badan Informasi geospasial) yang mengintegrasikan berbagai peta yang dimiliki sejumlah instansi pemerintah ke dalam satu peta dasar.

Penggunaan informasi geospasial “SatuPeta” harus dengan satu tafsir yang akuntanbel, transparansi dan kredibel. Dimasa yang akan datang, diharapkan tidak ada lagi“Multi tafsir Peta”. Kebijakan“Peta Satu” diharapkan akan dipatuhi dan ditaati oleh semua pihak dan menjadi satu-satunya peta yang digunakan oleh seluruh kementerian dan lembaga pemerintah sebagai dasar pengambilan keputusan. Kebijakan “Satu Peta” menjadi resolusi konflik lahan disektor kehutanan,  perkebunan dan masyarakat. Usaha ini tentu akan berdampak besar dalam aksi REDD  Plus di Indonesia.

Penulis adalah Alumni Sekolah Tinggi Ilmu Kehutanan Tgk. Chik Pantee Kulu, Darusalam, Banda Aceh dan Pengamar satwa liar Indonesia.

read more
Perubahan Iklim

WALHI Pesimis Badan REDD Mampu Bekerja

“Kami merasa pesimis proyek ini akan berjalan dengan baik,” ujar Deddy Ratih Manager Pengembangan Program Walhi saat menanggapi proyek REDD+ di Indonesia kepada Ekuatorial (24/4/2014). Deddy merasa tugas dan fungsi serta beban kerja REDD+ sangat besar dan permasalahan struktural banyak sekali.

Kontrasnya pesimisme Walhi ini datang dari tegasnya optimisme Ketua Badan REDD+ Heru Prasetyo yang diungkapnya dalam evaluasi kinerja Badan REDD+ di Hotel Shangri-La, Jakarta, hari sebelumnya (23/4). Heru menyatakan bahwa sejauh ini mereka sudah berada di jalur yang benar dan sesuai dengan perencanaan awal, ia tetap optimis untuk terus menjalankan proyek ini.

“Saat ini kami sudah berada di fase kedua yaitu transformasi. Target kami untuk tahun 2016 mendatang ada tiga: satu, Indonesia secara operasional dan secara institusi dapat siap memasuki ke fase ke tiga; dua, Indonesia melaporkan pengurangan emisi dari 3 sektor yaitu deforestasi, dekomposisi lahan gambut, dan pembakaran lahan gambut dan tiga, Indonesia bisa mencapai perkembangan yang signifikan dalam kegiatan mitigasi emisi karbon,” jelas Heru.

Selanjutnya Heru menyebutkan daftar pekerjaan yang tengah digarap Badan REDD+ panjang lebar: menyusun database perizinan kehutanan, pertanian, dan pertambangan; membuat peta tingkat emisi untuk MRV (measurement, reporting and verification); akuisisi satelit beresosusi tinggi; melindungi kepentingan rakyat adat; berkomitmen dalam resolusi yang kuat terhadap konflik; mendukung penegakkan hukum untuk perlindungan hutan dan gambut; pembuatan pengelolaan pembakaran hutan dan lahan gambut untuk upaya mitigasi; pembuatan program desa hijau dan sekolah hijau; melakukan advokasi di semua level mulai dari adat, provinsi, negara dan internasional; melakukan komitmen kerjasama dengan berbagai pihak.

“Saat ini REDD+ sudah secara operasional bekerja di 11 provinsi di Indonesia, yaitu Aceh, Sumbar, Riau, Jambi, Sumsel, Kalbar, Kalteng, Kaltim, Sulteng, Papua dan Papua Barat. Dan di tahun 2015 akan ada 21 provinsi lainnya yang sekarang sedang dalam tahap persiapan,” tambah Heru.

Namun, daftar panjang itu tak juga membuat Walhi optimis Badan REDD+ efektif dalam usaha penurunan emisi Indonesia. Deddy menyebutkan bahwa posisi Badan REDD+ kurang jelas karena tidak ada landasan hukumnya. Ia khawatir jika nantinya Badan REDD+ akan menjadi kambing hitam jika kerjasama Indonesia dengan Norwegia tidak berhasil dilaksanakan. Deddy juga mengatakan, “Seharusnya pemerintah Indonesia sadar, pengurangan emisi karbon merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh semua pihak bukan hanya REDD+.”

Pada evaluasi kinerja REDD+, hadir juga Menteri Iklim dan Lingkungan Hidup Norwegia Tine Sundtoft. Ia mengapresiasi hasil kinerja BP REDD+ hingga saat ini, “Selamat atas pencapaiannya hingga saat ini, Indonesia sudah melakukan langkah yang baik untuk kebijakan pengurangan emisi karbon dan ini hasil yang positif.”

Selanjutnya Tine mengatakan bahwa kedepannya akan banyak sekali tantangan dan tahap ketiga merupakan tahapan yang krusial. “Sebetulnya ini adalah kerjasama yang sederhana. Kalian mengerjakan, kami membayar,” canda Tine. Januar Hakam

Sumber: equator.com

read more
EnergiKebijakan Lingkungan

Kurangi Emisi, Berikan Indonesia Keuntungan Finansial

Kepala Badan Pengelola Reducing Emmission from Deforestation and Forest Degradation atau yang disingkat REDD+ Heru Prasetyo mengatakan Norwegia sepakat dengan empat argument yang diajukan Indonesia mengenai REDD+.

“Empat argument itu adalah Ekonomi dan Finansial, Pemerintah atau tata kelola, peningkatan kesejahteraan dan Keadilan dan hak masyarakat. Pihak Norwegia menyambut positif,” ujar Heru kepada wartawan di Hotel Le Meridien, Jakarta, Selasa (22/4).

Empat argumen itu, pertama, kata Heru, bila Indonesia berhasil mengurangi emisi maka akan ada keuntungan ekonomi dan finansial yang diberikan. Problemnya, lanjut dia, didalam diskusi global saat ini hal itu masih lesu.

Heru mengatakan argument itu terjadi dikarenakan pada awal pengenalan REDD+ ada anggapan bahwa program itu akan membawa uang ke daerah. Hal itu perlu dikoreksi, sebab pasar belum terbentuk. Bila dipaksakan akan stress sendiri.

Lalu yang kedua, terkait efisiensi dari penerapan peraturan. Menurut Heru, kehadiran REDD+ adalah memperbaiki pemerintah soal efisiensi serta transparansi dan melihat apakah UU lingkungan hidup di Indonesia diimplementasikan dengan baik.

“Kemudian kekuasaan yang berbagi antara pusat dan daerah,” ujar dia.

Heru mengatakan argument ketiga merupakan suatu keputusan yang sangat fundamental dalam pelaksanaan Redd+. Jika itu terlaksana keadilan dan hak bisa didorong.

“Keempat argument itu setelah disepakati oleh Norwegia langsung di implementasikan di lapangan,” ucap dia.

Heru mengatakan pihaknya menerapkan 5 elemen dalam penerapan strategi nasional REDD+.

Pertama, Institusi harus ditingkatkan kapasitasnya. Lalu kedua regulasi dan Hukum harus ditegakkan. Kemudian keterlibatan dari seluruh stakeholder harus dilakukan.

“Keempat, kita harus berubah pikiran kita dari eksploitasi terhadap aset menjadi lebih menjaga untuk anak cucu kita,” ujar Heru.

Terakhir, perlunya dasar-dasar itu dibangun seperti peta yang baik, data yang jujur dan transparansi.

Di tempat yang sama, Seketaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Abdon Nababan mengatakan REDD+ harus menjadi jalan reformasi yang menjunjung hak-hak masyarakat adat.

“Karena mereka memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam. Serta kehidupan sosial budaya. Hal itu diatur oleh hukum adat dan lembaga adat dalam mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakat,” ujar Abdon.

Ia mengatakan REDD+ bukanlah tujuan melainkan sebuah cara untuk membuka dialog terbuka antara pemerintah dengan masyarakat adat yang selama ini tertutup. “Kita ingin Norwegia lebih mempertajam prioritas dan pendanaan,” ujar Abdon.

Sebelumnya Menteri Iklim dan Lingkungan Hidup Norwegia, Tine Sundtoft, akan datang ke Jakarta sore ini, Selasa (22/4/2014), kunjungan ini dalam rangka memperkuat kemitraan Indonesia-Norwegia dalam pelestarian hutan dan penurunan emisi yang berkelanjutan. Serta, untuk memastikan ketersediaan karbon dunia dan memastikan lingkungan hidup yang sehat bagi generasi yang akan datang.

Kunjungan kerja Sundtoft ke Indonesia pada 22-25 April 2014 ini menjadi bentuk penguatan kerjasama dan koordinasi yang baik sejak kedua negara menandatangani Letter of Intent (LoL) pada Mei 2010.

Sumber: beritasatu.com

read more