close

erupsi

Sains

Abu Vulkanik Bisa Dibuat Batu Bata Ringan

Abu vulkanik erupsi gunung api yang berbahaya bagi kesehatan manusia, dapat dimanfaatkan sebagai pupuk, abu vulkanik juga bisa jadi bata ringan.

Ismail Hermana, salah satu penggagas batu bata ringan berbahan abu menuturkan, saat erupsi 2010, gunung Merapi mengeluarkan banyak material vulkanik. Mulai dari batu, abu maupun pasir. Material berupa batu dan pasir sudah banyak dimanfaatkan. Namun untuk abu yang berbentuk pasir halus, masih dianggap kurang berguna.

“Pak Gozali teman saya merasa penasaran, lalu melakukan penelitian selama satu tahun. Melihat kegunaan abu vulkanik gunung Merapi,” jelas Ismail Hermawan, salah satu pemilik usaha batu bata dari abu vulkanik saat ditemui di rumahnya di Gondang Pusung, Wukirsari, Cangkringan, Sleman, Senin (24/2/2014) petang.

Hermawan menuturkan, setelah lama melakukan penelitian, hasilnya abu vulkanik gunung api bisa digunakan untuk membuat bata ringan. Hanya, formulanya harus tepat agar bisa menghasilkan batu bata ringan yang kuat dan ringan.

“Di 2012 pak Gozali menemukan formulanya. Baru April 2013 saya dan pak Gozali membuat usaha ini,” katanya.

Selain abu vulkanik gunung api, bahan yang digunakan untuk membuat bata ringan antara lain pasir, gamping, semen, air dan busa foam (cairan pengembang).

Proses pembuatannya adalah pasir, abu vulkanik gunung api dan semen dicampur. Setelah menyatu, lalu tambahkan busa foam dan gamping, kemudian aduk kembali. Setelah bercampur, adonan itu kemudian dicetak.

Dalam sehari, produksi bata ringan berbahan abu vulkanik gunung api bisa mencapai 4-5 kubik. Satu kubik dijual seharga Rp 700.000.

Selama ini, bata ringan yang diberi label Merapicon ini dipasarkan di Jawa Tengah hingga Bogor. “Abu gunung Kelud juga bisa, asal halus. Selama ini kita masih memanfaatkan pasir halus gunung api,” katanya.

Sumber: NGI/Kompas.com

read more
Ragam

Letusan Kelud Lenyapkan Gunung Gajah Mungkur

Akibat erupsi yang super dahsyat pada Kamis (13/2/2014) pukul 22.50 WIB, Gunung Gajah Mungkur yang selama berabad-abad menemani Gunung Kelud, kini hanya tinggal kenangan saja. Gajah Mungkur hancur dan tak bisa disaksikan lagi dan bekasnya menyebar ke seluruh tanah Jawa berupa abu vulkanik.

Gajah Mungkur merupakan salah satu puncak yang berada di sisi Gunung Kelud. Selain Gajah Mungkur, yakni Gunung Sumbing yang masih berdiri kokoh.

“Kondisi Gunung Gajah Mungkur bisa dipastikan hancur bersama erupsi kemarin, sebab pandangan mata secara visual dari pos pantau tak dapat disaksikan lagi,” kata Kabid Pengamatan dan Penyelidikan Gunung Api PVMBG Bandung, Gede Suantika di Pos Pantau Gunung Kelud, Minggu (16/2).

Seperti diketahui, Gunung Kelud termasuk dalam tipe stratovulkan dengan karakteristik letusan eksplosif. Gunung Kelud terbentuk akibat proses subduksi lempeng benua Indo-Australia terhadap lempeng Eurasia.

Sejak tahun 1300 Masehi seperti tercatat dalam Kitab Negara Kertagama yang mengisahkan Kerajaan Majapahit Karya Mpu Prapanca, gunung yang dulunya bernama Kampud ini pernah mengalami erupsi hebat sekitar 8 tahun awal pemerintahan Majapahit sekitar abad ke-13.

Gunung ini tercatat aktif meletus dengan rentang jarak waktu yang relatif pendek (9-25 tahun), menjadikannya sebagai gunung api yang berbahaya bagi manusia.

Sumber: TGJ/merdeka

read more
Ragam

Kelud, Gunung yang ‘Pelit’ Gempa

Kelud merupakan gunung api teraktif setelah Gunung Merapi. Sejarah letusannya bisa dikatakan cukup panjang terkait apakah gunung itu aktif atau tidak. Tahun 1000 terjadi erupsi terpusat lalu diikuti 24 letusan setelahnya. Begitulah referensi Data Dasar Gunung Api Indonesia. Letusan tahun 1000 sendiri baru bisa diperinci hampir satu abad setelahnya meskipun tetap tidak bisa dilihat ada korban atau tidak. Berturut-turut kemudian tahun 1919, 1920, 1951, 1966, 1984, 1990, dan terakhir 2007.

Dari catatan yang diperoleh, letusan yang menghadirkan bencana terbesar adalah letusan tahun 1919. Dentuman amat keras yang terjadi pada 19-20 Mei 1919 itu bahkan terdengar hingga Kalimantan.

Kirbani Sri Brotopuspito, deson geofisika UGM yang melakukan pengamatan data kegempaan Kelud antara 1973-1990 dan 1990-200 dengan model penghitungan “b-velue”. Kirbani menjelaskan, letusan eksplosif tahun 1990 besaran angka “b-velue” adalah di bawah 1, sementara letusan efusif tahun 2007 angka “b-belue” adalah lebih besar dari 1.

Dalam ilmi seismologi itu artinya, jika “b-velua” kurang dari 1 bakal terjadi peristiwa besar, jika lebih maka tidak akan terjadi peristiwa besar. Dane memang benar, analisis Kirbani tepat; letusan ekplosif tahun 1990 memiliki dampak lebih besar dibanding letusan 2007 yang lebih kecil.

Jenis yang sulit ditebak
Seperti yang dilansir Kompas, Kirbani menyebut Kelud adalah jenis gunung yang “pelit gempa”, tak seperti Merapi, Kelud bisa berperilaku seolah-olah tak terjadi apa-apa. Kelud juga terkenal sebagai gunung yang tidak terlalu banyak memberi tanda-tanda seperti tremor, vulkanik dangkal, dan gempa-gempa lainnya.

Seperti saat ini, tidak ada tanda-tanda signifikan tiba-tiba status Kelud sudah dinaikkan menjadi waspada. Proses mitigasi bisa saja dilakukan asal ada ketaatan masyarakat pada status bencana, juga pendekatan berbagai ilmu agar kesimpulan yang dihasilkan bisa diandalkan.[]

Sumber: NGI/Intisari-online.com

read more