close

hutan adat

Hutan

Mencari Solusi Hutan Adat Aceh

Ilyas, Imum Mukim Beungga di Kabupaten Pidie, Aceh, merasa bingung dengan nasib hutan adat di wilayah kemukimannya yang tak kunjung ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) atau pemerintah pusat. Dirinya mengaku tidak tahu apa yang menjadi kendala sehingga hutan di wilayah adatnya tak kunjung ditetapkan.

“Karena sesuai prosedural sudah kita ikuti. Semua regulasinya telah kita serahkan. Bahkan tim dari KLHK sudah turun melakukan verifikasi awal hutan adat Mukim Beungga pada 8 Maret 2017 lalu,” ujar Ilyas pada Focus Group Discussion (FGD) bertema “Mengapa belum ada penetapan hutan adat di Aceh”, Banda Aceh, Rabu (11/9/2019) sebagaimana dilansir Acehkini.com.

Di hadapan peserta FGD, Ilyas mengungkap kronologi terkait rencana penetapan hutan adat di wilayah komunitas adatnya. “Berawal dari sebuah pertemuan pada 2007 lalu. Setelah itu kami semakin serius membahas penyelamat wilayah adat dari bencana ekologis,” sebutnya.

Dirinya punya keyakinan kuat untuk memperjuangkan nasib hutan adat di wilayahnya seiring adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 yang menyatakan bahwa hutan adat berada di wilayah adat dan bukan di kawasan hutan negara.

“Apapun yang kami lakukan demi masyarakat. Kami tidak akan merubah fungsi hutan, bahkan akan melakukan penjagaan hutan secara lebih ketat lagi. Dengan ada penetapan hutan adat mudah-mudahan kami dari perangkat adat bisa mencegah dan melarang pembalakan hutan secara aturan adat demi menyelamatkan hutan termasuk menyelamatkan sumber air dan mencegah erosi,” ungkap Kepala Pemerintahan Adat di Kemukiman Beungga itu.

Selama tiga tahun terakhir, Ilyas mengaku sudah beberapa kali menghadiri pertemuan dengan tim KLHK di Jakarta. “Di Beungga telah 3 tahun lamanya kami mengurus hutan adat, tapi sampai sekarang belum ada penetapan dari Kementerian LHK atau dari pemerintah Republik Indonesia,” sebutnya.

Di Mukim Beungga sendiri, ada sekitar 19.988 hektare yang diajukan untuk ditetapkan sebagai hutan adat. Pihak KLHK disebutkan berdalih hutan adat di Aceh umum tumpang tindih dengan konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI).

“Jadi mereka bilang hutan adat di Kabupaten Pidie atau di Aceh umumnya tumpang tindih dengan konsesi HTI. Tapi setelah kami verifikasi ulang, ternyata di Beungga tidak semuanya kena klaim masuk HTI,” kata Ilyas.
Usai dinyatakan karena tumpang tindih dengan konsesi HTI, pihaknya kembali mendatangi KLHK. Mereka meminta untuk ditetapkan saja terlebih dahulu yang diluar klaim HTI seluas 5.390 hektare kalau memang tidak boleh ditetapkan seluruh area yang telah diusulkan.

“Kalau tidak boleh ditetapkan semuanya, ya tetapkanlah dulu yang non-HTI-nya. Itu yang kami tunggu sampai sekarang,” tutur Ilyas.

Bahkan pada 27 Juni 2019 beberapa Imum Mukim di Aceh langsung datang ke KLHK untuk mempertanyakan kembali. “Kata mereka (KLHK) Pidie sudah masuk peta indikatif, cuma disuruh lengkapi peta penambahan untuk 3 mukim di Kabupaten Pidie. Tapi sampai hari ini peta ini belum kami terima dari Pemda Pidie. Itu kendala,” ujarnya.

Ilyas menceritakan saat menghadiri pertemuan dengan tim KLHK di Jakarta, seakan mereka akan segera mendapat penetapan terhadap hutan adat yang diusulkan. “Hari ini kita bicarakan, jawabannya seolah-olah besok atau lusa sudah turun penetapannya. Tapi sampai sekarang belum ada apa-apanya,” ucapnya.

Menurutnya, kalau memang tidak boleh ditetapkan, sudah seharusnya tidak dilakukan penetapan. Sehingga pihaknya pun tidak harus bolak-balik ke Jakarta. “Tapi ini diberikan harapan-harapan yang serius. Sehingga kita menggantungkan harapan,” ketus Ilyas.

Karena dirinya mengaku tidak tahu harus memberi jawaban kepada masyarakat di mukimnya saat pulang dari pertemuan demi pertemuan di Jakarta. Dimana masyarakat selalu ingin mendapat perkembangan dari setiap tahapannya. “Paling saya bisa jawab, tunggulah beberapa hari lagi. Tapi nyatanya sampai sekarang belum ada penetapannya, entah dimana tertahan,” sebut Ilyas.

Sementara itu, Sekretaris Pelaksana Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) Aceh, Zulfikar Arma menyampaikan bahwa pada Rapat Koordinasi Nasional Hutan Aceh tahun 2018 lalu, Pemerintah Aceh mengusulkan 13 mukim di Aceh untuk mendapatkan status hutan adat.

Ia menyebutkan, hutan adat Aceh yang diusulkan kepada Menteri LHK dengan total luas 145.250,24 hektare yang tersebar di empat kabupaten, meliputi Pidie, Aceh Besar, Aceh Jaya, dan Aceh Barat. Terdiri atas 144.497,27 hektare berada dalam kawasan hutan dan 752,95 hektare di luar kawasan hutan.

“Usulan hutan adat untuk mukim Beungga, Kunyet dan Paloh mulai dari 2006. Kemudian di tiap tahunnya ada beberapa kali pertemuan kita lakukan dengan pemerintah kabupaten dan pemerintah pusat berada di Direktorat PKTHA,” ujar Zulfikar.

Zulfikar menambahkan, kemudian di tahun 2017 sempat ada surat perintah dari KLHK kepada Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) wilayah Sumatera juga sempat melakukan verifikasi. “Sebenarnya jauh sebelumnya sudah dilakukan verifikasi. Bahwa ini punya persyaratan yang lengkap, tapi sampai sekarang belum ada tanda-tanda niat baik dari pemerintah pusat untuk melakukan penetapan soal hutan adatnya sendiri,” sebutnya.

Kepala Bidang Planologi Kehutanan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Aceh, Win Rima Putra, menyebutkan dalam regulasi penetapan hutan adat ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi. “Pemerintah sebenarnya konsen terhadap hutan adat. Cuma mungkin selama ini formula belum kita temukan,” ujarnya.

Menurutnya, perlu duduk bersama semua komponen untuk membuat formulanya supaya apa yang diperjuangkan bisa berhasil. “Bagaimana kita mendorong apa yang kita usul ini, bisa beberapa waktu ke depan ini dengan segala hierarki kita tempuh, bisa kita tetapkan sebagai hutan adat,” tutur Win.[]

Sumber: acehkini.com

read more
Kebijakan Lingkungan

Bupati Pidie Tetapkan Wilayah Mukim Pertama di Aceh

Pemerintah Kabupaten Pidie melalui Asisten Pemerintahan, Yusri A. Malik menyerahkan tiga Surat Keputusan (SK) Bupati Pidie tentang Penetapan Batas Wilayah Mukim di Kabupaten Pidie kepada Imum Mukim. Penyerahan dilakukan sesaat setelah pembukaan Rapat Koordinasi (Rakor) Pemerintahan Mukim Se-Kabupaten Pidie Tahun 2016 di Opprom Setdakab Pidie, tanggal 4 Agustus 2016.

SK tersebut terbit atas dasar Surat Usulan dari Imum Mukim Kunyet, Paloh dan Beungga, serta mengingat Qanun Kabupaten Pidie No 7 Tahun 2011 tentang Pemerintahan Mukim maka Pemerintah Kabupaten Pidie menetapkan batas wilayah mukim di Kabupaten Pidie, untuk saat ini baru tiga mukim yang ditetapkan melalui SK Bupati yaitu:

1. SK Bupati Pidie No 140/342/KEP.02/2016 Tentang Penetapan Wilayah Mukim Paloh Kecamatan Padang Tiji, tertanggal 11 Juli 2016 dengan luas wilayah mukim 7.128 hektar yang termasuk di dalamnya hutan adat seluas 2.921 hektar
2. SK Bupati Pidie No 140/343/KEP.02/2016 Tentang Penetapan Wilayah Mukim Kunyet Kecamatan Padang Tiji, tertanggal 11 Juli 2016 dengan luas wilayah 7.271 hektar yang termasuk di dalamnya hutan adat seluas 4.106 hektar.
3. SK Bupati Pidie No 140/344/KEP.02/2016 Tentang Penetapan Wilayah Mukim Beungga Kecamatan Tangse, tertanggal 11 Juli 2016 dengan luas wilayah 18.307 hektar yang termasuk di dalamnya hutan adat seluas 10.988 hektar.

Tujuan akhir memberikan kepastian hukum bagi masyarakat Mukim Paloh, Kunyet dan Beungga serta terhindar dari konflik batas wilayah serta dapat mengelola sumber daya alam yang berbasis pemeliharaan lingkungan hidup secara adat yang arif bijaksana sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Asisten Pemerintahan, Yusri A. Malik mengatakan pentingnya penegasan batas wilayah mukim supaya mengurangi konflik tenurial yang terjadi di masyarakat gampong-mukim, sehingga nanti akan menciptakan kenyamanan masyarakat untuk mengelola sumber-sumber daya alam di wilayahnya. Selain itu juga konflik yang terjadi di daerah Kecamatan Batee dan Muara Tiga menjadi pelajaran bagi kita agar segera menata batas-batas wilayah.

Terbitnya tiga SK ini terjadi berkat kerja sama yang baik antara Pemerintah Kabupaten Pidie dengan JKMA Aceh, JKMA Pidie, peran serta yang baik dari imum mukim, Muspika dan masyarakat di tiga mukim tersebut. Tiga SK ini menjadi contoh bagi mukim-mukim yang lain untuk mau berbuat dan memperjuangkan wilayahnya, sambung Yusri.

Rakor Pemerintahan Mukim ini dihadiri para imum mukim Se-Kabupaten Pidie juga dihadiri Staf Ahli Bupati, Kepala BPM Kab. Pidie, Kepala Kesbangpol Kab. Pidie, Kepala Distannak Kab. Pidie,  Bagian Tata Pemerintahan Setdakab Pidie diwakili Kasubbag. Pemerintahan Mukim dan Gampong, Disdukcapil Kab. Pidie JKMA Aceh, JKMA Pidie, dan wartawan.

Ketua Badan Pelaksana JKMA Aceh, Zulfikar Arma memberikan apresiasi dan penghargaan sebesar-besarnya kepada Pemerintah Kabupaten Pidie yang telah menerbitkan tiga SK Bupati tentang Penetapan Wilayah Mukim, di mana SK ini merupakan SK Penetapan Wilayah Mukim yang pertama di Aceh.

Dengan adanya SK Bupati ini akan membuka peluang untuk penetapan hutan adat, di mana hutan adat tidak bisa lepas dari wilayah masyarakat adatnya, sebagaimana tertuang dalam Keputusan MK 35 Tahun 2012. Selanjutnya Zulfikar berharap dengan ditetapkannya wilayah mukim tersebut, pemerintah mukim bersama masyarakatnya dapat mengelola harta kekayaan mukimnya dengan sebaik-baiknya sesuai aturan yang berlaku untuk kesejahteraan masyarakat.

Imum Mukim Kunyet, Ibrahim menyatakan setelah terbitnya SK Bupati ini akan melakukan koordinasi dengan para keuchik dan tokoh masyarakat yang ada di Mukim Kunyet untuk melaksanakan butir-butir yang tercantum dalam SK tersebut, selain itu juga Ibrahim berharap agar JKMA Aceh dan JKMA Pidie tetap mendampingi Pemerintah Mukim Kunyet terkait penetapan Hutan Adat Mukim serta perencanaan mukim ke depan.[rel]

read more
Kebijakan Lingkungan

Belajar dari Daerah untuk Pengakuan Wilayah Adat

Epistema Institute menyelenggarakan kegiatan diskusi pertukaran pengalaman pemerintah daerah dalam melakukan pengakuan wilayah adat dan wilayah kelola rakyat, Kamis (2/4/2015) kemarin.

“Kegiatan ini dilakukan untuk menjalin komunikasi dan pembelajaran bersama di antara pemerintah daerah dan DPRD yang sudah dan sedang memiliki inisiatif membentuk regulasi dan kebijakan daerah mengenai wilayah adat dan wilayah kelola rakyat,” ungkap Manager Hukum dan Masyarakat, Epistema Institute, Yance Arizona.

Inisiatif itu antara lain seperti yang dilakukan Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak yang setelah memiliki Perda No. 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan Tanah Ulayat Masyarakat Baduy, saat ini sedang menyiapkan Rancangan Peraturan Daerah tentang Masyarakat Kasepuhan. Pemerintah Kabupaten Kerinci juga telah memiliki sejumlah Surat Keputusan Bupati mengenai keberadaan hutan adat yang lokasinya berada di luar kawasan hutan dan memasukkaanya ke dalam Perda 24 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kerinci.

Pemerintah Kabupaten Sigi telah pula membuat Perda No. 15 tahun 2014 tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Sementara itu Pemerintah Daerah di Kabupaten Barito Selatan telah membentuk Perda No. 5 Tahun 2012 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Barito Selatan, Keputusan Bupati Barito Selatan No. 606 Tahun 2007 tentang Penunjukan Lokasi Pemanfaatan Hutan Hak di Desa Bintang Ara Kecamatan Gunung Bintang Awai serta pembentukan Tim IP4T untuk melaksanakan Peraturan Bersama Menteri yang disebutkan di atas.

Dalam pertemuan ini, Ketua DPRD Kabupaten Lebak Junaedi Ibnu Jarta, S.Hut, menyampaikan bahwa Perda Masyarakat Kasepuhan merupakan salah satu langkah untuk menyelesaikan konflik kehutanan di Kabupaten Lebak dikarenakan adanya perluasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak.

Sementara itu, Wakil Ketua DPRD Kabupaten Kerinci H. Martias, menyampaikan bahwa keberadaan hutan adat di Kabupaten Kerinci telah diakui oleh pemerintah sejak tahun 1993. Hal itu dilakukan untuk mengakomodir harapan masyarakat untuk melindungi wilayah hutan adatnya. Lebih lanjut, Neneng Susanti dari Dinas Kehutanan Kabupaten Kerinci menyampaikan bahwa saat ini sudah ada 10 Surat Keputusan Bupati tentang Hutan Adat di Kabupaten Kerinci dan peta hutan adat pun sudah dimasukan ke dalam Perda No. 24 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kerinci.

Salah satu yang unik di Kabupaten Kerinci adalah keberadaan hutan adat yang tidak berada di dalam kawasan hutan. Pengalaman di Kerinci menunjukan bahwa kekhawatiran sebagian pihak yang mengeluarkan hutan adat dari kawasan hutan negara akan membuat kondisi hutan semakin rusak. Kerinci dapat menjadi contoh mengenai pengelolaan hutan adat yang berada di luar kawasan hutan negara.

Asisten II Pemerintah Pemda Kabupaten Barito Selatan Suhardi, menyampaikan mengenai pembentukan Tim IP4T untuk melakukan penyelesaian terhadap masalah penguasaan tanah di dalam kawasan hutan. Barsel merupakan laboratorium untuk pengakuan dan pembuktian hak masyarakat di dalam kawasan hutan. Kegiatan ini penting untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi karena penetapan kawasan hutan yang selama ini menimbulkan berbagai masalah. Tim bekerja untuk sosialisasi dan sudah ada anggaran sebanyak 1 miliar. Rencana aksi sudah disusun dan sekarang sosialisasi untuk kemudian menerima pendaftaran klaim.  [rel]

read more
Kebijakan Lingkungan

Forum Mukim Aceh Barat Serahkan Draft Qanun Kekayaan Mukim

Forum Mukim Aceh Barat didampingi oleh Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) Aceh dan JKMA Bumo Teuku Umar menyerahkan draft Peraturan Bupati tentang Tata Batas Wilayah Mukim dan tentang Identifikasi Harta Kekayaan Mukim Lango Kecamatan Pante Ceuremen kepada Pemkab Aceh Barat yang diterima oleh Wakil Bupati  Aceh Barat Drs.H. Rachmad Fitri. HD, MPA.

Ketua Forum Mukim Aceh Barat T A Hadi didampingi oleh Chalid HK dari JKMA Aceh dan Syahrul YA dari JKMA Bumo Teuku Umar menyampaikan progress penyusunan Draft regulasi yang berlangsung partisipatif bersama masyarakat.

Dalam sambutannya Rachmat Fitri menginginkan penyerahan draft regulasi tersebut diikuti dengan pembahasan bersama para pihak (biro pemerintahan dan biro hukum Pemkab Aceh Barat) dapat mencermati substansi yang ada dalam peraturan tersebut agar segera ditindaklanjuti menjadi peraturan daerah atau peraturan bupati.

Budaya masyarakat adat Aceh lebih kuat dari beberapa daerah yang lain yang ada di Indonesia. Ketika persoalan adat menjadi suatu landasan dalam peraturan dan kegiatan di masyarakat maka dalam konteks Aceh dipastikan akan berhubungan erat dengan implementasi syariat Islam, kata Rachmat Fitri.

Hal yang serupa ketika dibandingkan dengan Provinsi Sumatera Barat (Padang) dimana aparatur pemerintah sangat menghormati produk hukum yang dihasilkan oleh masyarakat adatnya, dan waktu sudah membuktikan bahwa bila adat dalam suatu masyarakat itu kuat maka  segala kegiatan kehidupan akan berjalan dengan lancar dan nyaman ujar wakil bupati Aceh Barat.

Drs.H. Rachmad Fitri. HD, MPA juga menyinggung masalah reusam (aturan adat Aceh) sebagai sebuah aturan di provinsi Aceh harus kembali menjadi dasar sebuah kehidupan masyarakat. Sudah terbukti oleh sejarah dimana setiap gampong di Aceh memiliki reusam sendiri-sendiri yang berbeda antara satu gampong dengan gampong lainnya, karena reusam ini memang dibangun dengan karakteristik dan kondisi sosial politik setempat.

Wakil Bupati berharap dengan konstribusi aktif para pihak seperti Forum Mukim Aceh Barat, JKMA Aceh, JKMA BTU dan pihak MAA beserta masyarakat mendorong perubahan maka akan timbullah tatanan masyarakat yang berdaulat dan sejahtera.

Perwakilan dari mukim Lango Idrus menyerahkan qanun Mukim Lango tentang  Tata Cara Pengelolaan Hutan dan Mekanisme Pengambilan Keputusan sebagai salah satu bentuk keseriusan Mukim Lango dalam menjaga dan merawat hutan  demi  kemaslahatan masyarakat Lango khususnya dan masyarakat Aceh Barat umumnya.

JKMA Bumo Teuku Umar akan terus mendampingi masyarakat adat di kabupaten Aceh Barat agar berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan bermartabat secara budaya terus memelihara hubungan baik dengan para pihak seperti yang telah dicapai selama ini tutup Syahrul YA.

Turut hadir tokoh masyarakat dari mukim Lango dan perwakilan perempuan juga turut hadir dalam acara tersebut. [rel]

read more
Perubahan Iklim

Resolusi Konflik Dalam Implementasi REDD+

Informasi Geospasial adalah informasi ruang kebumian, yang menyangkut aspek lokasi, letak suatu objek atau peristiwa dipermukaan bumi. Peta merupakan hasil informasi geospasial, pada dasarnya peta merupakan alat untuk merencanakan pembangunan di segala sektor.

Dewasa ini, pembuatan peta dan informasi geospatial ibarat sebuah pasar, di dalamnya terpampang berbagai jenis produk makanan, pakaian, peralatan dan lain-lain. Pembeli bebas memilih dan menentukan produk apa yang ia kehendaki. Bila pembeli menghendaki informasi tentang satu jenis produk bisa ditanyakan kepada ahlinya yang ada di tempat itu. Semua tinggal pesan, pilih dan bayar, seperti inilah kondisi perpetaan dan geospatial di Indonesia.

Ini terjadi disektor kehutananan dan perkebunan, sektor ini  dibutuhkan banyak peta, seperti peta hutan primer, hutan produksi, hutan gambut  hingga perkebunan sawit. Peta dapat dipesan sesuai selera pembeli, pesan, pilih dan bayar.
Saat ini, peta bisa dioplos dari pusat hingga kabupaten dan bermuara pada  izin penggunaan lahan, tentu ini berimbas sistem perizinan, sering terjadi tumpang tindih peraturan dan lahan, kemudian hari akan memicu terjadinya konflik horizontal dan vertikal

Transaksi Lahan
Permasalahan lainnya adalah Negara ini memiliki jumlah desa dalam kawasan hutan berkisar di 2.805 desa dikawasan hutan dan 16.605 desa disekitar kawasan hutan dan umumnya miskin serta rentan konlik (DKN, 2011). Dua kawasan ini menjadi bom waktu konflik lahan, ini  disebabkan oleh batas kawasan yang belum disepakati bersama baik oleh Pemerintah maupun masyarakat, dan perencanaan pembangunan kehutanan belum mengakomodir keberadaan masyarakat yang telah ada di dalam kawasan hutan, tidak adanya kesepakatan“Satu Peta” menjadi biang kerok permasalahan ini, hingga konflik pun berkepanjangan.

Akibatnya adalah tingkat konflik lahan masih tinggi per-sektor, untuk sektor perkebunan berkisar  180 kasus dengan luas areal 527.939,27 hektar, pertambangan 38 kasus dengan 197.365,90 ha, sector kehutanan 31 kasus dengan luas 545.258 hektar, perkebunan merupakan sektor tertinggi dalam hal kuantitas kasus (Konsorsium Pembaruan Agraria, 2103). Ini salah satu bukti tidak jelasnya batas kawasan dan terjadi sengkata lahan,  peta oplosan masih berlaku di level tapak.

Secara nyata, perkebunan kelapa sawit memberikan sumbangan siginifikan bagi perluasan lahan secara besar-besaran di Indonesia. Kebun sawit seluas 9 juta hektar memproduksi 23 juta ton CPO dengan perluasan kebun sawit per tahun rata-rata 400.000 hektar (Sawit Watch, 2012). Banyak di antaranya menggunakan tanah-tanah masyarakat adat, kawasan hutan konservasi dan kawasan bergambut. Dikawasan ini selisih dan sengketa lahan tak pernah padam,beragam peta odong – odong diterbitkan oleh pihak terkait dan menjadi punca permasalahan.

Akibat dari yang disebutkan di atas, maka laju deforestasi dan degradasi hutan masih cukup tinggi, 480.000/tahun (Statistik Kehutanan, 2012). Merujuk pada data FAO 2010, angka 480.000 hektar/tahun ini disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain tingginya permintaan pasar terhadap produk-produk yang membutuhkan lahan luas. Implikasi dari hal ini adalah konflik tanah, ancaman terhadap kelestarian lingkungan dan peningkatan emisi dari konversi lahan.

Ironis memang, tumpang tindih peta masih berlaku dan masih terus digunakan di Indonesia. Faktanya adalah ada 15 lembaga pemberi izin penggunaan lahan.  Analoginya adalah Pemerintah Pusat ada lima lembaga seperti Kementrian Kehutanan, Kementrian ESDM, Kementrian BUMN, Kementrian Pertanian dan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Lalu hal sama terjadi di tingkat  propinsi dan seterusnya hingga kabupaten. Hal ini disebabkan karena sejumlah instansi memiliki peta berdasarkan sektoral dan kepentingan masing – masing, sehingga dapat menimbulkan masalah antara pemerintah, pengusaha dan masyarakat(Mubariq Ahmad, Banda Aceh, Januari 2014).

Pertanyaan mendasar pada kasus ini, Kenapa Kementrian dan LembagaNegara tidak memakai peta yang dikeluarkan oleh lembaga resmi seperti Badan Informasi Geospasial (BIG). Mungkin jawabannya adalah masih tingginya konflik kepentingan dan ego –sektoral antar lembaga pemerintahan serta konsolidasi informasi pada satu lembaga Negara yang tidak transparan dan akuntabel.  Hal ini dipersulit dengan adanya kepentingan Politik dan Ekonomi, mungkin saja ada yang akan terganggu dengan penggunaan“One Map Policy.
Memitigasi Multi Tafsir Peta dan Resolusi Konflik
MenurutMubariq Ahmad, mantan Ketua Kelompok Kerja Strategi Nasional REDD+ dalam lokakarya “Peliputan Perubahan Iklim” yang diadakan Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS) di Banda Aceh, Selasa 28 Januari 2014, setidaknya

ada tujuh Undang-Undang yang memuat dasar informasi menjadi dasar penguasaan lahan, yaitu Kementerian Kehutanan berpedoman pada UU No 41 Tahun 1999, Kementrian Pertanian mengacu pada UU No 18 tahun 2014, Kementerian ESDM dengan mengacupada UU No 4 Tahun 2009, BPN mengacu pada UU No 2 Tahun 2012, Pemerintah Daerah dengan mengacupada UU No 32 Tahun 2004, lalu juga ada UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan UU No 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Benturan peraturan ini harus segara diharmonisasikan dan diintegrasikan dalam satu peta.

Perlu ditegaskan, bahwa Indonesia harus segera melaksanakan implementasi REDD Plus, Negara ini, sedang disorot oleh dunia Internasional terhadap keseriusannya mengurangi emisi karbon sebesar 26% – 41%, dibawah perkiraan emisi tahun 2020. Pemerintah harus menyempurnakan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut. Upaya tersebut tertuang dalam Inpres No 6/2013 tentang Inisiasi Kebijakan Penurunan Emisi Karbon (REDD+). Disisi lain, Negara ini harus memulai transisi perekonomiannya menuju Energi Rendah Karbon dan secara jangka panjang pada tahun 2030 sektor kehutanan ditargetkan menjadi penyerap netto karbon.

Hal lain dari subtansi REDD plus adalah pertama, mengamanatkan penggunaan satu peta referensi pemberian izin. Kedua, Pemerintah selayaknya memperbaiki sistem tata kelola baru pemberian izin pemanfaatan lahan. Ketiga, upaya untuk perpanjangan moratorium izin perkebunan baru. Jika perlu, Pemerintah memperpanjang moratorium izin perkebunan baru sampai peta satu (one map) siap dan dilaksanakan oleh Kementrian dan Lembaga Negara.

Saat ini telah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial yang   bertujuan untuk menjamin ketersediaan dan akses Infomasi geospasial yang dapat dipertanggung jawabkan. Disamping itu adanya lembaga BIG (Badan Informasi geospasial) yang mengintegrasikan berbagai peta yang dimiliki sejumlah instansi pemerintah ke dalam satu peta dasar.

Penggunaan informasi geospasial “SatuPeta” harus dengan satu tafsir yang akuntanbel, transparansi dan kredibel. Dimasa yang akan datang, diharapkan tidak ada lagi“Multi tafsir Peta”. Kebijakan“Peta Satu” diharapkan akan dipatuhi dan ditaati oleh semua pihak dan menjadi satu-satunya peta yang digunakan oleh seluruh kementerian dan lembaga pemerintah sebagai dasar pengambilan keputusan. Kebijakan “Satu Peta” menjadi resolusi konflik lahan disektor kehutanan,  perkebunan dan masyarakat. Usaha ini tentu akan berdampak besar dalam aksi REDD  Plus di Indonesia.

Penulis adalah Alumni Sekolah Tinggi Ilmu Kehutanan Tgk. Chik Pantee Kulu, Darusalam, Banda Aceh dan Pengamar satwa liar Indonesia.

read more
Ragam

JKMA Aceh Barat Selenggarakan Workshop Asset Mukim

Pemerintah Kabupaten Aceh Barat memberikan dukungan dan apresiasi kepada Jaringan Komunitas Masyarakat Adat Aceh  ( JKMA) Aceh terhadap penguatan Mukim di Kabupaten Aceh Barat. Hal ini dikatakan oleh bupati Aceh Barat melalui asisten I bidang pemerintahan Aceh Barat, Drs. Malik Raden, M.Si, dalam kegiatan Workshop Harta Kekayaan Mukim Kabupaten Aceh Barat, bertema,“ Mendorong upaya pengelolan Sumber Daya Alam berbasis kearifan Lokal ”. Kegiatan ini dilaksanakan oleh Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) Aceh bekerja sama dengan Pemerintah kabupaten Aceh Barat, 24 Agustus 2014 di Aula Hotel Meuligoe Aceh barat.

Kegiatan ini juga merupakan kegiatan yang sejalan dengan agenda pemerintah kabupaten Aceh barat dalam mengimplementasikan Qanun no 3 tahun 2010 tentang Pemerintahan Mukim di Kabupaten Aceh Barat, sehingga diperlukannya sinergi dan koordinasi dengan seluruh stakeholder yang ada di pemerintahan dan elemen masyarakat sipil dalam upanya penguatan mukim di Aceh Barat, kata Drs. Malik Raden, M.Si.

Koordinator Dewan Adat JKMA-Bumoe Teuku Umar, T. Adian mengatakan kegiatan workshop ini merupakan upaya JKMA Aceh membantu pemerintah dalam upaya penguatan mukim di Kabupaten Aceh Barat.

Pemerintah Kabupaten Aceh Barat sangat berkomitmen dan terus berupaya serta mendukung agar qanun no 3 tahun 2010 tentang pemerintahan mukim dan gampong dapat berjalan optimal. Disamping itu upanya pemerintah kabupaten Aceh Barat dalam membina dan mengembangkan potensi masyarakat adat akan terus dijalankan dan dalam Waktu Dekat akan disahkan Pemerintahan Mukim di Kecamatan Johan Pahlawan,  tambah Drs. Malik Raden, M.Si

JKMA Aceh sebagai salah satu stakeholder masyarakat akan terus mendorong kemandirian masyarakat adat Aceh agar tercipta masyarakat yang berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan bermartabat secara budaya, tutup Ketua Badan Pelaksana JKMA Aceh periode 2013-2017 Zulfikar Arma.[rel]

read more