close

ilegal logging

Hutan

Perambahan Hutan Lindung Pidie Jaya Merajalela

Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA) mendeteksi adanya pembukaan kawasan hutan lindung di Pidie Jaya seluas lebih kurang 160 Ha yang sudah ditanami dengan tanaman sawit.  Pembukaan hutan lindung  ini terjadi di wilayah Kecamatan Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya. Temuan KPHA, pembukaan kawasan hutan untuk perkebunan sawit ini dilakukan oleh salah satu oknum petinggi/ tokoh politik Aceh.

Dari hasil investigasi yang dilakukan KPHA menunjukkan bahwa perkebunan sawit di hutan lindung tersebut tidak memiliki izin dari pemerintah Kabupaten Pidie (dinas terkait). Saat ini menurut hasil pantauan yang dilakukan tim KPHA juga terdapat sebanyak 680 Ha perkebunan sawit yang ditenggarai tidak memiliki izin.

Selain itu, hal ini sangat kontradiksi dengan kebijakan moratorium logging yang dikeluarkan oleh Pemerintah Aceh tahun 2007, seharusnya pemerintah Aceh melalui instansi terkait Dinas Kehutanan Aceh mengeluarkan berbagai kegiatan  kebijakan untuk menyambut pelaksanaan moratorium logging agar memberikan hasil maksimal dan terukur.  Namun fakta di lapangan menunjukkan hal yang berbeda, bahwa kebijakan mnoratorium logging tidak ditindak lanjuti oleh SKPA dan akibatnya kawasan hutan semakin open akses terhadap kegiatan perambahan.

Kabupaten Pidie Jaya sebagai salah satu kabupaten yang sangat rentan terhadap bencana banjir dan kekeringan, harus memiliki mitigasi khusus terhadap perlindungan kawasan hutan, apalagi kawasan hutan lindung yang akan memberi menjamin persediaan air bersih bagi warga masyarakat Keterlibatan pihak-pihak tertentu bahkan kemungkinan pejabat negara juga patut dicurigai dalam pembukaan kawasan hutan lindung menjadi perkebunan sawit ini, karena ditengah gencarnya kebijakan nasional melalui mortorium izin hutan dan gambut yang terus diperpanjang oleh pemerintah Jokowi namun kenyataan di lapangan terus terjadi pembukaan kawasan lindung, dan ini tidak mungkin dilakukan oleh masyarakat biasa yang tidak punya kekuasaan dan kewenangan.

Terhadap fakta ini, KPHA mendesak pemerintah Kabupaten Pidie dan KPH  untuk melakukan langkah-langkah strategis menghentikan pembukaan kawasan hutan untuk perkebunan. Mengingat, tindakan tersebut tanpa beroleh izin, kita juga minta Polisi untuk melakukan penyelidikan karena kuat dugaan pembukaan hutan untuk perkebunan sawit terindikasi tindak pidana kehutanan.

KPHA menghimbau pemerintah dan masyarakat untuk terus mengawasai pembukaan kawasan hutan karena hal tersebut akan memberi pengaruh besar bagi sebuah wilayah, selain karena didorong oleh perubahan iklim yang semakin ekstrim juga ancaman bencana yang dampaknya cukup signifikan terhadap kehidupan masyarakat.[rel]

read more
Kebijakan Lingkungan

Media Asing Soroti Hilangnya Ratusan Ribu Hektar Hutan di Indonesia

Data terbaru yang dirilis oleh peneliti asal RI, Belinda Arunarwati Margono, di jurnal Perubahan Iklim Alam mengenai situasi hutan di Indonesia mencengangkan. Betapa tidak, dalam data yang dirilis oleh perempuan yang bekerja di Kementerian Kehutanan itu menyebut RI telah kehilangan 6,02 juta hektar hutan.

Jumlah itu dilansir antara tahun 2000 dan 2012 silam. Maka tak heran, bila dua media asing, The Guardian dan Sydney Morning Heraldmenurunkan pemberitaan dari sumber serupa.

Harian The Guardian, Minggu 29 Juni 2014 melansir jumlah kehilangan hutan yang diderita RI bahkan kian bertambah yakni sekitar 47.600 hektar setiap tahunnya. Padahal di tahun 2012 lalu, Belinda memprediksi, RI telah kehilangan 840 ribu hektar hutan primernya.

Dengan jumlah hutan yang begitu besar dibabat habis, maka RI sukses mengambil alih predikat yang sebelumnya disematkan kepada Brasil, sebagai negara yang paling cepat menggunduli hutan. Negeri Samba itu, berdasarkan data Belinda, kehilangan 460 ribu hektar hutan hujan tropisnya.

SMH bahkan menjuluki RI dalam laporannya sebagai negara dengan tingkat pembalakkan liar terparah.
Padahal menurut The Guardian, area hutan di Indonesia mencapai seperempat hutan hujan tropis di Amazon, Brasil.
Dunia, ujar Belinda, jelas khawatir dengan fakta ini, karena Indonesia merupakan penghasil gas emisi rumah kaca terbesar ketiga setelah China dan Amerika Serikat. Sebanyak 85 persen emisi tersebut bersumber dari penghancuran dan berkurangnya lahan hutan.

Sementara hutan primer justru menjadi penyimpan karbon dalam jumlah paling besar di dunia.

Angka kehilangan hutan yang sedemikian besar, tulis The Guardian, justru tidak sejalan dengan komitmen RI yang tertuang dalam moratorium tahun 2009 silam. Sebab, Pemerintah RI justru terus memberikan izin untuk pembalakkan hutan primer dan lahan gambut. Kedua hal tersebut menjadi pemicu deforestasi hutan.

Padahal dalam moratorium itu, Pemerintah RI berniat akan mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 26 persen di tahun 2020 atau 41 persen dengan bantuan global. Pemerintah Norwegia kemudian mengucurkan dana senilai US$1 miliar atau Rp12 triliun. Namun, RI mengklaim membutuhkan dana US$5 miliar atau Rp60 triliun untuk mengatasi kerusakan hutan saat ini.

Dari hasil studi Belinda, sebanyak 40 persen pembalakkan hutan dilakukan secara ilegal di hutan produksi, konservasi dan lindung.

“Tingkat kehancuran hutan di Sumatera masih lebih cepat. Di belakangnya ada Kalimantan dan Papua,” ungkap Belinda.

Namun, imbuh Belinda, jika Pemerintah RI tidak segera berbuat sesuatu, dikhawatirkan satu hari ini, situasi serupa juga akan ditemui di hutan di Kalimantan dan Papua.

Studi itu juga seolah menyimpulkan bahwa kebijakan terkait perubahan iklim yang digagas Presiden SBY telah gagal. Kian meningkatnya populasi di Indonesia dan permintaan yang tinggi untuk kayu, karet untuk kertas dan minyak kelapa sawit, justru memicu pembalakkan hutan.

Hal itu diperburuk dengan korupsi di tingkat pemerintah pusat dan lokal serta tidak adanya penegakkan hukum.
“Hilangnya lahan gambut dalam jumlah besar, kemungkinan tidak disebabkan oleh pemangku skala kecil, tetapi pengembang lahan agro-industri skala besar,” tulis kesimpulan dalam studi tersebut.

Belinda mengaku telah memperoleh data mentah untuk proyeksi jumlah hutan yang ditebang di 2014, namun belum dirilis. Oleh sebab itu, dia enggan berspekulasi apakah trend penggundulan hutan kian meningkat atau tidak di tahun ini. [005-Vivanews]

 

read more
Hutan

FFI Gunakan Drone Pantau Hutan Aceh

Foto dan video udara yang dihasilkan oleh pesawat tanpa awak atau drone jadi referensi antara lain untuk penanggulangan konflik satwa, pengendalian kebakaran hutan maupun pemantauan lokasi bencana alam.

Biasanya pesawat diterbangkan di wilayah hutan untuk memantau kondisi tutupan hutan dan pergerakan satwa. Penerbangan di kawasan hutan juga berbahaya karena kondisi permukaan tanah yang tidak datar. Area pendaratan pesawat juga kadang sulit ditemui.

“Kami sudah berpuluh kali terbang di Cagar Alam Jantho serta beberapa tempat lain di Aceh. Mulanya, pesawat ini diterbangkan untuk memantau konflik gajah dengan manusia. Banyak gajah yang mengganggu kebun-kebun petani, tapi jarang yang mendapat informasi ke mana arah perginya gajah setelah merusak kebun,” papar staf FFI, Munirwan.

Dia menambahkan kalau tidak tahu ke mana arah perjalanan gajah, maka kita tidak dapat melakukan langkah antisipasi. Dengan mengetahui itu, biasanya masyarakat dan pemerintah dapat segera menghempang pergerakan gajah dan mengarahkannya kembali ke dalam hutan.

Namun sayangnya informasi drone belum terkoneksi dengan baik dengan sistem penanganan konflik satwa. Butuh upaya lebih untuk meyakinkan pemerintah agar dapat menangani konflik satwa secara menyeluruh.

Drone terbang melintasi perbukitan | Foto: Syafrizaldi
Drone terbang melintasi perbukitan | Foto: Syafrizaldi

Kalau sudah terbang, lanjut Munirwan, seringkali drone mendapatkan foto-foto udara yang menarik disimak. Tak jarang juga drone membawa pulang foto bekas pembalakan, pembukaan hutan untuk dijadikan tambang terbuka atau kebun, bahkan bekas kebakaran.

Informasi seperti ini penting bagi banyak pihak untuk memahami lebih jauh apa yang terjadi dengan habitat satwa liar. Setidaknya, foto-foto udara ini akan menjadi rujukan bila akan melakukan penanganan konflik satwa, penanganan kebakaran hutan, perambahan dan penegakan hukum.

Pada penerbangan di Krueng Raya, Aceh Besar, 19 Juni yang lalu, Munirwan mendapatkan foto dan video pantauan udara yang menggambarkan kondisi tutupan lahan kering.

Video drone menangkap bekas pembukaan lahan di Aceh Jaya | Foto: Dok. FFI IP Aceh)
Video drone menangkap bekas pembukaan lahan di Aceh Jaya | Foto: Dok. FFI IP Aceh)

Daerah ini memang dikenal dengan kegersangannya. “Tapi informasi ini akan bermanfaat kalau banyak pihak mau bekerja untuk melakukan perbaikan kondisi lahan,” imbuhnya.

Sebelumnya, Munirwan juga melakukan penerbangan di Pidie untuk memantau kondisi pasca gempa bumi pada November tahun lalu. Menurutnya, kerusakan akibat gempa juga dapat dipantau melalui udara.

Hasil pemantauan ini bermanfaat untuk menentukan lokasi mana saja yang membutuhkan penangan mendesak ketika jalur darat tidak bisa ditempuh.

Penggunaan drone sebagai alat bantu pemantauan udara tentunya tidak memerlukan biaya mahal. Pemerintah bisa menyediakan peralatan ini dan melatih pegawai untuk mengoperasikannya.  []

Sumber: NGI

read more
Hutan

Panggilan Melindungi Hutan Kita

Saya dan beberapa rekan berangkat ke Riau untuk menjalankan aktivitas penting yang menjadi DNA bagi Greenpeace: Bearing Witness. Bearing Witness kali ini berkaitan dengan kampanye Protect Paradise, sebuah kampanye untuk menghentikan tangisan berkepanjangan dari hutan Sumatera. Sejak ditugaskan kantor (RAcK Digital) untuk membantu kampanye Protect Paradise, perlahan paradigma saya terhadap mekanisme berjalannya dunia berubah, menjadi lebih utuh.

Dari hanya sekedar usaha menaikkan angka dalam petisi untuk menyelamatkan harimau dan hutan Sumatera, kemudian dibuat mual saat mendapat induksi dari Greenpeace mengenai keadaan hutan dan dunia saat ini, hingga merasa hampir putus asa, seolah tidak ada lagi yang bisa dilakukan, saat menjalani Bearing Witness ke Riau. Perjalanan ini adalah pengalaman yang mengoyak kotak nyaman saya dan mengirim saya pada realita akar dunia.

Kami mengunjungi tiga tempat dengan cerita yang amat berbeda. Desa Dosan, yang sering saya ceritakan melalui tulisan maupun secara langsung pada lingkungan saya adalah lokasi pertama yang kami kunjungi. Desa ini memiliki kearifan yang terpancar melalui Pak Dahlan, tokoh desa yang menyediakan tempat bermalam bagi tim kami yang berjumlah 14 orang. Desa Dosan adalah desa yang sudah memiliki komitmen untuk tidak lagi melakukan deforestasi, dan melakukan perkebunan sawit yang berkelanjutan. Mereka menerima asupan ilmu pengetahuan dari LSM setempat, Perkumpulan Elang, yang menekankan intensifikasi produksi, bukan ekstensifikasi. Di balik komitmen ini adalah kesadaran warga bahwa hutanlah yang mendatangkan kebaikan bagi kehidupan mereka, dan generasi penerus mereka.

Berkendara sekitar 5 jam dari Dosan, kami tiba di Teluk Meranti, di tepi Sungai Kampar. Kami bermalam di rumah Pak Daus, seorang warga lokal yang hingga kini bertahan untuk tidak menerima rayuan perusahaan yang membuka hutan di daerahnya. Berbeda dengan Desa Dosan, obrolan lepas makan malam kami dengan beberapa warga menimbulkan kegelisahan.

“Kuncinya di pemerintah, kalau begini terus, sudah tidak ada harapan lagi di Teluk Meranti ini” ucapan Pak Dani malam itu mengunci mulut saya. Pak Dani adalah warga tertua yang berdiskusi dengan kami malam itu, di tahun 2009, saat Greenpeace melakukan kampanye di daerah itu, Pak Dani adalah salah satu warga lokal yang memberi dukungan penuh. Teluk Meranti dikelilingi konsesi milik beberapa perusahaan besar juga perusahaan menengah yang sering disebut toke atau cukong, yang sering melakukan penebangan ilegal.

Di depan rumah pak Daus ada dermaga kecil yang menjorok ke aliran Sungai Kampar. Berbaring di dermaga saat malam hari, memandang begitu banyak bintang di langit, mendengar suara debur air sungai dan sesekali cengkrama nelayan-nelayan yang sedang menangkap udang, adalah pengalaman yang membawa otak dan hati saya pada kondisi tenang yang belum pernah saya alami.

4.5 jam perjalanan darat dari Teluk Meranti, kami tiba di lokasi akhir perjalanan Bearing Witness, Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN). Sama seperti di Teluk Meranti, di TNTN mata kami dimanjakan pemandangan luar biasa, namun telinga dan hati kami dilukai berita buruk yang tengah terjadi. Sejak diresmikan tahun 2004, hingga kini, luas TNTN telah berkurang hingga separuh, dari 83,000 hektar kini hanya sekitar 40,000 hektar, selebihnya telah berubah menjadi perkebunan sawit dan akasia. Kebanyakan lahan yang beralih fungsi ini dimiliki atau dioperasikan oleh warga setempat atau para toke, mereka mengaku ‘tidak tahu’ bahwa lahan yang mereka kelola adalah wilayah TNTN.

Erich Fromm, seorang tokoh di dunia psikologi, sosial dan filosofi, melalui buku “To Have or To Be?” menyatakan pemikirannya mengenai dua mode yang mendasari manusia dalam menandakan eksistensinya: having dan being. Mode having terfokus pada kepemilikan material, kekuasaan, agresi, dan merupakan basis dari keserakahan, iri, dan kekerasan. Sementara mode being berbasis cinta kasih, kepuasan dalam berbagi, dan aktivitas produktif. Having dan being bisa dipahami sebagai pilihan gaya hidup.

Saya pernah berpikir bahwa saya dinilai dari apa yang saya miliki, sehingga saya terpacu untuk memiliki sebanyak mungkin dan sebagus mungkin, dan inilah yang menyebabkan dunia tidak lagi seimbang. Berkat pemikiran saya saat itu, dan mungkin anda, produsen terus memacu produksi, pemasar menggenjot permintaan masyarakat, masyarakat terbuai. Kenyataan bahwa sumber daya alam terus dikuras, binatang dan tumbuhan punah, kutub mencair, dan bahwa pola iklim berubah, tidak sampai ke hati manusia.

Kenyataannya, kita dinilai dari apa yang kita lakukan, dan penilaian sesungguhnya bukan oleh manusia, melainkan oleh Sang Pencipta. Saya tidak bermimpi untuk bisa mengubah dunia menjadi lebih baik, saya bermimpi untuk mati sebagai orang yang tidak pernah berhenti menyerah mengusahakan perubahan, melakukan kebaikan.

Sumber: greenpeace.or.id

read more
Hutan

Hutan Asia Tenggara Dirambah Sejak Ribuan Tahun Lalu

Manusia sudah merambah dan memanfaatkan hutan hujan perawan di kawasan Asia Tenggara sejak ribuan tahun lalu, demikian menurut hasil studi yang dipublikasikan di Journal of Archaeological Science.

Menurut hasil studi, hutan yang sekarang berada di wilayah Borneo, Sumatera, Jawa, Thailand dan Vietnam sudah mulai dibakar dan dimanfaatkan untuk mengembangkan tanaman pangan sejak 11.000 tahun lalu, segera setelah masa es berakhir.

“Sejak lama hutan di Timur Jauh dipercaya sebagai belantara perawan, tempat manusia punya pengaruh minimal. Kendati demikian, temuan kami mengindikasikan adanya sejarah gangguan vegetasi,” kata Chris Hunt, ahli paleoekologi dari Queen’s University of Belfast di Irlandia yang melakukan studi tersebut.

Dalam Journal of Archaeological Science edisi bulan lalu, Hunt dan koleganya menjelaskan bahwa perubahan-perubahan vegetasi itu tidak bersamaan dengan periode perubahan iklim yang diketahui, tapi lebih “terjadi akibat kegiatan manusia.”

Para peneliti menjelaskan, manusia kuno yang mendiami Asia Tenggara tidak benar-benar mengganti hutan tropis dengan barisan tanaman pangan dan kandang-kandang ternak, kegiatan-kegiatan yang biasanya berhubungan dengan awal pertanian, setidaknya dalam pandangan Eurosentris.

Sebaliknya, penduduk kawasan itu mengembangkan sistem bernuansa subsisten bersama kegiatan berburu dan mengumpulkan tradisional sebelum budidaya padi dan pertanian tanaman lain meluas, kata para peneliti.

Manusia, misalnya, tampaknya membakar hutan di Dataran Tinggi Kelabit Borneo untuk membersihkan lahan supaya bisa menanam tanaman pangan.

“Sampel serbuk sari dari sekitar 6.500 tahun lalu mengandung arang melimpah, menunjukkan adanya kebakaran,” kata Hunt seperti dilansir laman LiveScience.

Menurut para peneliti, kebakaran yang terjadi secara alamiah atau disengaja biasanya diikuti oleh gulma spesifik dan pohon-pohon yang berkembang di lahan hangus.

“Kami menemukan bukti bahwa kebakaran yang seperti ini diikuti dengan pertumbuhan pohon-pohon buah. Ini menunjukkan bahwa orang yang tinggal di lahan itu sengaja membersihkan vegetasi hutan dan menanam sumber makanan di tempatnya.”

Hunt juga menunjuk bukti bahwa pohon sagu New Guinea pertama muncul lebih dari 10.000 tahun lalu di sepanjang garis pantai Pulau Borneo.

“Ini tentunya melibatkan perjalanan lebih dari 2.200 kilometer dari asalnya di New Guinea, dan kedatangannya di pulau konsisten dengan pelayaran maritim lain di kawasan pada waktu itu–bukti bahwa orang mengimpor bibit sagu dan menanamnya,” kata Hunt.

Sumber: antaranews

read more
Hutan

Negara Rugi Rp1,17 Triliun Akibat Penjarahan Hutan

Kemenhut mengakui, izin-izin tak prosedural di sektor kehutanan, sebenarnya banyak, tetapi masih diakomodir dalam kebijakan pemerintah lewat PP ‘keterlanjuran.”

Tahun ini, kejahatan kehutanan dari pembalakan liar dan perambahan hutan yang sedang ditangani baik di daerah maupun pusat, diperkirakan menyebabkan kerugian negara sekitar Rp1,17 triliun. Angka ini di luar kehilangan sumber daya hayati akibat perusakan hutan itu. Kasus-kasus ini,  sebagian sudah siap sidang, maupun proses penyidikan dan penyelidikan.

Sonny Partono, Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Kementerian Kehutanan (Kemenhut), mengatakan, kerugian paling besar dari perambahan hutan di Kolaka, Sulawesi Tengara (Sultra), oleh perusahaan tambang PT Waja Inti Lestari (PT WIL).  “Sudah jarah kayu, hutan rusak, ini sudah hilang. Ditambah kerusakan lingkungan. Belum lagi kerugian dari produk nikel sendiri,” katanya dalam jumpa pers, di Jakarta, Senin (23/12/2013).

Untuk kasus ini, tiga orang sudah menjadi tersangka, SB, ZYY dan FW dan masih dalam tahanan Bareskrim sejak 23 November 2013. SB, direktur utara PT WIL; ZYY, warga negara China, direktur perusahaan yang bekerja sama dengan PT WIL dan FW, direktur PT NP.

Perusahaan ini, katanya, melanggar karena menambang di hutan produksi konversi (HPK) yang masuk kategori moratorium.  Bukan itu saja, izin menambang mereka di Pantai Timur, tetapi beroperasi di Pantai Barat. Saat ini, mereka baru dikenai UU Kehutanan, dengan ancaman 10 tahun penjara dan denda Rp5 miliar.

Namun, Kemenhut sudah membawa kasus ini dalam pertemuan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4). Kemungkinan besar, tiga tersangka ini akan ditingkatkan dengan penegakan hukum banyak pintu. “Dari ketiga ini,  bisa saja ga aja kena tindak pindana kehutanan juga pencucian uang, dan korupsi. Kita sudah koordinasi dengan Bareskrim.”

Kasus lain, perambahan kawasan hutan lindung Lokpaikat, di Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan (Kalsel), tersangka Dar. “Ini hanya dikenai pidana kehutanan karena aksi perorangan yang menanam sawit,” ucap Sonny. Saat ini, berkas perkara dalam penelitian di Kejaksaan Agung dan Dar dalam tahanan Mabes Polri.

Perambahan hutan untuk kebun sawit seluas 4.280 hektar juga terjadi di hutan produksi tanpa izin Kemenhut di Kabupaten Kota Waringin Timur. “Satu tersangka Yoh, ditahan selama 120 hari. Masa tahanan sudah habis, tapi penyidikan terus berlanjut.”

Kasus lain, yang menyebabkan kerugian negara, yakni perambahan hutan lindung di Gunung Bawang, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat (Kalbar) untuk penambangan PT PHJ. Tersangka, Kur, sudah divonis di PT Bengkayang. Ada juga kasus perambahan kawasan Taman Nasional Tesso Nillo, tersangka tiga orang. “Saat ini sudah proses penyidikan.” Lalu, perambahan di Taman Nasional Gunung Lauser dengan empat tersangka dan beberapa kasus lain.

Kerugian negara juga datang dari perdagangan tumbuhan dan satwa ilegal (TSL). Tahun 2013, dari kasus-kasus yang ditangani potensi kerugian negara Rp16 miliar.

Menurut Sonny, pada semester I 2013, Kemenhut menggagalkan perdagangan dan peredaran TSL ilegal lima kasus. Lalu, mendekati akhir tahun, berhasil digagalkan perdagangan ilegal 238 kukang di Cilegon, Banteng oleh BBKSDA Jawa Barat. “Kukang-kukang ini akan dilepasliar 24 Desember 2013 di hutan lindung di Lampung.” Kasus lain, penggagalan penyelundupan 325 paruh rangkong di Kalbar.

‘Diselamatkan” PP Keterlanjuran
Sonny mengakui, kasus kejahatan kehutanan begitu banyak. Tak hanya yang kini sudah ditangani. Namun, dengan keluar PP 60 dan 61 tahun 2012, izin-izin yang keluar non prosedural itu bisa diakomodir. Dia mencontohkan, di Kalimantan Tengah (Kalteng), masalah tata ruang yang dikeluarkan pemerintah daerah dan tata guna hutan kesepakatan (TGHK) hingga izin keluar di kawasan hutan.

“Jadi penyelesaian lewat PP 61 untuk tambang, PP 60 untuk kebun. Data kita non prosedural. Ini sedang diselesaikan. Karena kalo sudah buat surat (permohonan ke Kemenhut), penengakan hukum holded dulu.”

Nanti, kata Sonny, jika usulan pelepasan kawasan hutan lewat PP 60 dan 61 itu ditolak, baru penegakan hukum dijalankan. “Hampir di semua provinsi ada.”

Sumber: mongabay.co.id

read more
Ragam

Sokola Rimba, Potret Pendidikan Anak Rimba

Mulai 21 November 2013 pecinta film di Indonesia dapat menyaksikan film Sokola Rimba berdurasi 90 menit di bioskop. Film ini diangkat dari kisah nyata Saur Marlina “Butet” Manurung yang mengajar anak-anak rimba di hutan Taman Nasional Bukit Dua Belas, Jambi. Kisah itu diterbitkan Butet dalam buku berjudul Sokola Rimba.

Ketika duet Riri Riza dan Mira Lesmana mengangkatnya ke layar lebar, banyak orang berharap mereka mengulang sukses mengangkat kisah anak-anak Belitong dari novel Laskar Pelangi. Sokola Rimba merupakan film keempat yang mereka adaptasi dari buku, setelah Gie (2005) yang dibuat berdasarkan buku Catatan Seorang Demonstran karya So Hok Gie (1983), serta Laskar Pelangi (2008) dan Sang Pemimpi (2009) dari novel karya Andrea Hirata.

Tokoh Butet diperankan Prisia Nasution. Seperti Laskar Pelangi, Riri kembali melibatkan orang lokal dalam filmnya kali ini. Mereka adalah Nyungsang Bungo, Beindah, dan Nengkabau, serta dibantu sekitar 80 anak rimba yang berasal dari pedalaman hutan Bukit Dua Belas. Meski bukan aktor profesional, Riri mengaku tidak mengalami kesulitan dalam mengarahkan peran mereka.

Sang produser, Mira Lesmana mengatakan film yang memakan waktu 14 hari syuting itu menelan biaya sebesar Rp 4,6 miliar. Selain melibatkan 80 orang kru Orang Rimba, film ini juga melibatkan 35 kru film dari Jakarta, 15 kru dari Jambi. Syuting film 95 persen di Provinsi Jambi yakni di Kabupaten Merangin dan Tebo.

Orang Rimba adalah masyarakat adat yang hidup berkelompok dan berpindah-pindah di pedalaman Jambi. Dengan memegang teguh adat-istiadat, mereka mencoba bertahan meski tanah tempat mereka berdiam tak serimbun dulu. Binatang buruan semakin langka. Orang-orang Rimba hanya bisa menatap ketika satu per satu pohon madu raksasa yang selama ini mereka keramatkan roboh dihajar gergaji mesin.

Segulung kertas berisi surat perjanjian yang kadung diberi cap jempol oleh kepala adat membuat mereka tak berdaya. Surat yang tak pernah mereka ketahui isinya lantaran mereka buta huruf itu jadi tameng bagi orang terang – sebutan bagi orang kota – untuk mengeksploitasi tanah leluhur mereka.

Butet, yang lahir pada 1972, bertekad membuat masyarakat Rimba menjadi pintar supaya tak gampang dibodohi. Tak sekedar membuat mereka melek huruf dan bisa berhitung. Dia juga menyelenggarakan pendidikan yang membuat Orang Rimba bisa “bersuara” dan memberdayakan diri. Tentu itu tak mudah. Bagi Orang Rimba, pendidikan merupakan hal tabu dan melanggar adat mereka. Butet tak pernah menyerah.

Tentu tak semua pengalaman Butet yang kaya warna di bukunya setebal 348 halaman itu divisualkan. Ada keterbatasan durasi. Inti film berpijak pada tokoh Butet dan Nyungsang Bungo, anak Rimba yang tinggal di Hilir Sungai Makekal. Dia adalah remaja cerdas dan serius ingin belajar. Dari Nyungsang inilah konflik dibangun.

Film ini diawali saat Butet, yang telah tiga tahun mengajar anak Rimba di hilir Sungai Makekal Ulu, terserang malaria. Dia pingsan di tepi sungai di tengah belantara dan ditolong seorang anak Rimba dari hilir. Inilah pertemuan awal Butet dan Nyungsang.

Nyungsang diam-diam memperhatikan Butet mengajar. Keinginan kuat untuk bisa membaca dan menulis mendorong Butet memperluas wilayah kerjanya ke hilir Sungai Makekal, tempat tinggal Nyungsang. Muncul masalah. Tidak hanya memanaskan hubungan Butet dengan atasannya. Butet juga mesti berhadapan dengan sikap sinis orang-orang Rimba di hilir yang menentang kehadirannya.

Butet diceritakan sebagai pekerja di Wanaraya, sebuah lembaga konservasi yang memberikan pendidikan alternatif bagi anak rimba. Tanpa disangka, perkelanaan Butet di tengah rimba itu berkembang menjadi tak sebatas kewajiban semata. Dia malah menjadi ‘abdi’ bagi ratusan anak rimba.

Dalam sebuah adegan tergambar ketegangan pecah. Menggetarkan wilayah rombong (kelompok) Tumenggung (tetua) Belaman Badai. Nyungsang bergegas menyongsong susudungan (pondok kecil) di jantung hutan Bukit Dua Belas, Jambi. Dengan wajah gusar, ia meluapkan kemarahan. ”Ke mano Bu Guru Butet pegi? Akeh ndok bolajor pado Bu Guru,” ujar Nyungsang meradang.

Anggota Orang Rimba yang masih remaja ini tidak bisa merima sikap Tumenggung Badai yang mengusir secara halus sang ibu guru. Dalam adat Orang Rimba, belajar atau sokola adalah pantangan. Mereka yakin, sokola akan mendatangkan bala, kutukan, bahkan kematian.

Bungo lari dari rombong-nya. Diam-diam ia menyusuri hutan demi ikut sokola. Di tangannya sudah ada pensil dan buku. Tapi masih saja ia ragu mengutarakan niat ingin belajar. Tekadnya itu dipantang oleh hukum adat. ”Bungo, ayo bolajor,” suara lirih Guru Butet mengajaknya bergabung belajar bersama anak rimba lainnya. Butet sadar dilema dalam diri Bungo yang terlanjur mencintai sokola, tapi juga terlahir untuk mencintai adat, kaum, dan tanah pusakanya.

Potret kehidupan Orang Rimba tersaji apik dalam film ini. Mulai dari kondisi hutan Orang Rimba yang dikepung kelapa sawit, gelondongan-gelondongan kayu bergelimpangan di sana-sini, hasil buruan yang makin berkurang seiring dengan masifnya pembabatan hutan, sampai pada transaksi ekonomi di pasar yang kerap menipu orang-orang rimba.

Riri mengungkapkan, agar bisa mendapat gambaran utuh tentang kehidupan Orang Rimba, ia dan timnya riset turun ke lapangan sebelum memulai rangkaian proses pengambilan gambar. Mereka tinggal berhari-hari di dalam hutan, merasakan hidup bersama Orang Rimba. Mira Lesmana, produser Sokola Rimba, mengaku sudah lama mengenal dan kagum pada sosok Butet Manurung. ”Ada perempuan yang mau tinggalkan kehidupannya di kota demi mengajar Suku Anak Dalam,” katanya.

Berbeda dengan novel Laskar Pelangi, buku Sokola Rimba bukanlah fiksi, yang semua adegan dan deskripsinya sudah tersaji. Dramatisasi juga tidak ada. Artinya Riri mesti membuat sendiri pengadeganannya agar muncul cerita. Di banyak tempat, Prisia Nasution yang memerankan Butet terdengar “berceramah”, menarasikan apa yang seharusnya diadegankan.

Pada tayangan premier 21 November 2013 lalu, Gubernur Jambi Hasan Basri Agus (HBA) memborong 700 tiket empat teater bioskop 21 WTC, Jambi. Hasan Basri, Riri Riza, Butet Manurung, Prisia Nasution bersama kru film Sokola serta 568 siswa SD dan SMP yang ada di Kota Jambi cukup antusias menonton bareng.

Sebagai sebuah film cerita, Sokola Rimba memang memasukkan tokoh rekaan dan dramatisasi. Tapi itu tak membuat Riri menghilangkan narasi. Dia mungkin punya alasan lain. Dengan membuatnya seperti film dokumenter, kita justru bisa melihat kehidupan anak Rimba yang natural. Misalnya cara mereka bicara, berpakaian, berburu, dan berhubungan dengan orang lain, hingga ritual adat. Apa yang mereka ungkapkan dalam film terasa betul murni dari hati.

Butet sampai mendidik Orang Rimba itu karena bekerja untuk Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi sejak 1999 hingga 2003. Setelah Butet resign, dia mendirikan SOKOLA RIMBA – sebuah lembaga yang concern di bidang pendidikan dan belakangan menyebar hingga ke Makasar, Aceh, Papua, dan Kupang.

Dewi, seorang guru yang ikut nonton bareng juga berkata bahwa film tersebut sangat bagus dan mendidik serta banyak pelajaran dan hikmah yang bisa dipetik.

Beindah dan Nengkabau mampu mencuri perhatian penonton lewat tingkah polahnya yang mengundang tawa. Terlebih umpatan mereka,”rajo penyakit” dan “melawon”. Seusai menonton, para siswa masih saja tertawa teringat dengan dua kata tersebut.

Sumber: mongabay.co.id

read more