close

jakarta

Ragam

Jakarta Jadi Kota Percontohan Berbasis Lingkungan

Kepala Badan Pengelola Lingkungan Hidup (BPLHD) DKI Jakarta Muhammad Tauhid mengatakan DKI akan menjadi kota percontohan yang berbasiskan lingkungan.

“Tidak hanya menyediakan jalur sepeda, Pemprov DKI Jakarta juga melebarkan pedestrian untuk membuat masyarakat menjadi nyaman,” ujar Tauhid dalam acara peluncuran Majalah GreenLife Inspiration di Jakarta, Ahad (2/3/2014).

Sistem angkutan umum juga ditata dengan lebih baik, sehingga semakin banyak masyarakat yang senang menggunakan transportasi umum. “Melalui kegiatan ‘car free day’, masyarakat juga didorong untuk hidup yang lebih ramah lingkungan,” tambah dia.

Kemacetan dan polusi di Ibu Kota masih menjadi persoalan serius. Di sejumlah kota besar di Indonesia, Bandung, Surabaya, Makassar, Medan dan lainnya, isu transportasi juga menjadi permasalahan.

“Di sinilah pentingnya kehadiran sebuah konsep transportasi yang bisa mengurangi kemacetan dan menghapus polusi. Program Eco Transport City merupakan tawaran alternatif bagi Ibu Kota dan kota-kota lainnya untuk mengatasi persoalan kemacetan dan polusi,” kata Direktur Green Education Pertamina Foundation Ahmad Rizali.

Gaya hidup tidak ramah lingkungan menyebabkan berbagai persoalan di Ibu Kota. Salah satunya gaya hidup membuang sampah sembarangan dan pemakaian produk hutan tanpa memikirkan kondisi hutan sebagai konservasi dan perlindungan. Hilangnya kawasan hutan adalah salah satunya. Penebangan liar telah menciptakan hutan terkikis dan hilang.

“Edisi perdana majalah GreenLife Inspiration bercerita tentang potret hutan di Indonesia dan bagaimana seharusnya gaya hidup kita untuk bisa menolong hutan kita dan kebangkitan Indonesia dari hutan,” kata Pemimpin Redaksi Majalah GreenLife Inspiration Heru B. Arifin.

Majalah GreenLife Inspiration hadir untuk mendorong hadirnya gaya hidup yang lebih ramah lingkungan, mendorong semua orang untuk lebih peduli dan ramah terhadap lingkungan. Menjaga hutan, menjaga sungai, dan masih banyak lagi.

“Kita memiliki hutan terbesar di dunia selain Brazil. Seharusnya kita bisa berjaya dari hasil hutan tanpa merusak hutan lindung,” ujar Heru.

Heru menjelaskan majalah ini akan menjadi gaya hidup ramah lingkungan yang diharapkan mampu mengemban misi menginspirasi, memberikan solusi, dan menggerakkan aksi lebih ramah dan peduli lingkungan.

Sejumlah pihak turut berkontribusi atas lahirnya majalah ini. Diharapkan semua institusi dan pegiat lingkungan bisa berperan mengisi dan menjadi mitra majalah ini.

Sumber: republika.co.id

read more
Kebijakan Lingkungan

Jokowi Terhalang Status Lahan Untuk Ruang Terbuka Hijau

Gubernur Jakarta Joko Widodo tidak yakin dapat memenuhi target penyediaan ruang terbuka hijau atau RTH sebesar 30 persen luas Jakarta pada tahun ini. Hal itu dikarenakan adanya tumpang tindih kepemilikan lahan selama bertahun-tahun.

“Sudah kita teliti, dokumennya sudah ada. Eh, pas mau dibayar, ini ada yang datang bawa dokumen lagi, ‘Pak, itu milik kita, Pak’,” kata Jokowi kepada wartawan di Balaikota Jakarta, Selasa (28/1/2014).

Akibat ketidakjelasan kepemilikan lahan itu, Jokowi mengaku sulit membebaskan lahan tersebut dalam waktu singkat. Kendati demikian, Jokowi tetap berupaya memenuhi target itu. Namun, dia tidak mau menargetkan waktu pencapaian target RTH tersebut.

“Saya memang harus bilang apa adanya, nyatanya memang kayak gitu kok,” kata Jokowi.

Untuk saat ini, Jokowi memilih mengerjakan proyek-proyek penghijauan besar, seperti penghijauan Waduk Pluit, Waduk Ria Rio, dan 9 waduk baru yang akan dibangun di Jakarta Timur, Jakarta Utara, dan Jakarta Barat. Jokowi mengklaim telah mengadakan 9,8 persen ruang terbuka hijau di Jakarta pada tahun lalu. Namun, jumlah itu tidak termasuk penataan Waduk Pluit, Waduk Ria Rio, dan 9 waduk yang baru. “Tenang aja, kita masih ada proyek yang gede-gede,” kata Jokowi.

Sumber: kompas.com

read more
Ragam

Mengapa Hujan Tetap Turun Meski Cuaca Dimodifikasi?

Sejak Selasa (14/1/2014), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah memulai langkah teknologi modifikasi cuaca untuk mengurangi curah hujan dan mencegah banjir di Jakarta.

Hingga Jumat (17/1/2014), sudah empat hari sejak upaya modifikasi cuaca itu mulai dilakukan. Namun, hujan rupanya tetap turun. Bukan hanya sekadar turun, melainkan juga deras, dan dampak banjir tetap tak terelakkan.

Warga Jakarta lalu bertanya-tanya, dan tecermin di media sosial seperti Twitter. “Katanya modifikasi cuaca tapi kok tetap hujan :P,” begitu kicauan Maharani, salah satu pengguna Twitter. Nah, mengapa? Ada dua kemungkinan, belum optimal atau memang kurang efektif.

Belum optimal
F Heru Widodo, Kepala Unit Pelayanan Teknis Hujan Buatan BPPT, mengatakan, ada dua penjelasan terkait pertanyaan tersebut. Menurut Heru, saat ini memang sedang musim hujan sehingga mau tak mau, hujan memang turun di Jakarta.

Kedua, terkait konsep modifikasi cuaca, Heru mengatakan bahwa prinsip “menghalau hujan” bukanlah menghilangkan hujan sama sekali. “Jakarta tetap akan hujan, tetapi intensitas dan durasinya berkurang. Kalau tidak hujan, nanti kemarau, Jakarta bisa kekeringan,” katanya.

Dengan dua teknologi, yaitu teknologi powder yang dilakukan dengan menebar garam serta teknologi flare atau ground based generator (GBG), teknik modifikasi cuaca diperkirakan bisa mengurangi hujan hingga 35 persen.

Ketiga, terkait dengan keterbatasan. Salah satu kendala yang dialami tim modifikasi cuaca saat ini adalah minimnya jumlah pesawat untuk operasional. “Saat ini kita cuma punya satu pesawat,” kata Heru.

Dengan hanya satu pesawat, frekuensi penebaran awan masih terbatas. Padahal, saat ini wilayah Indonesia diliputi oleh massa uap air yang banyak serta terus bergerak dari wilayah barat menuju Jakarta.

“Dengan tiga pesawat kita bisa terbang lima sampai enam kali sehari ke berbagai lokasi. Bahkan, jika diperlukan, kita bisa gunakan dua pesawat sekaligus di satu lokasi,” ungkap Heru saat dihubungi, hari ini.

Memang kurang efektif
Zadrach, pakar meteorologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), punya pendapat berbeda tentang hujan yang masih turun di Jakarta setelah modifikasi cuaca. Menurutnya, keberhasilan dari teknik modifikasi cuaca memang sulit dipastikan.

“Modifikasi itu kan intinya mencegah awan jatuh ke tempat kita. Kita tebar garam agar awan cepat jadi hujan. Tapi kenyataannya kita tidak bisa mengontrol pergerakan awan,” terangnya.

Zadrach menambahkan, penebaran garam memang mempercepat awan menjadi hujan, tetapi di sisi lain juga memperlama durasi hujan.

“Jadi misalnya, yang harusnya hujan satu jam, karena kita cloud seeding, jadi satu setengah jam. Akhirnya ketika sampai Jakarta masih hujan,” urai Zadrach.

Zadrach sendiri menilai bahwa, selain mahal, efektivitas upaya modifikasi cuaca juga sulit diukur. Di sisi lain, saat ini juga tidak pernah ada studi serius yang benar-benar mengukur efektivitas modifikasi cuaca.

Menurut Zadrach, satu-satunya solusi penanganan banjir adalah mengukur jumlah air yang jatuh ke permukaan dan berupaya mengaturnya. Modifikasi cuaca bukan solusi.

Zadrach juga mengkritik upaya modifikasi cuaca. “Tujuannya apa? Apakah hanya sekadar agar hujan tidak di Jakarta? Bagaimana kalau hujan memang tidak turun di Jakarta, tetapi turun di tempat lain dan mengakibatkan banjir di sana?” tanyanya.

Sumber: NGI/Kompas.com

read more
Ragam

Jakarta Banjir, 92 Persen Wilayahnya “Hutan Beton”

Banjir kali ini memaksa kita untuk mengevaluasi kembali kondisi struktural terkini bahwa ternyata 92 persen wilayah DKI Jakarta sudah dikonversi menjadi “hutan beton”. Dengan kata lain, ruang terbuka hijau (RTH) sebagai ruang resapan hanya tersisa 8 persen.

Demikian data yang diungkapkan pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, sebagaimana dilansir Kompas.com, Senin (13/1/2014).

Menurut Yayat, kondisi wilayah yang terbangun seluas 92 persen dari total luas wilayah DKI Jakarta 661,52 kilometer persegi patut diwaspadai. Ini artinya, Jakarta memiliki masalah serius mengenai tata ruang. Lahan terbuka terus tergerus dan kian menyusut akibat masifnya pembangunan fisik, terutama sektor properti. Akibatnya, Jakarta tidak mampu menampung air hujan dan luapan air sungai.

“Publik sejatinya sudah mengetahui bahwa masalah utama banjir di Jakarta hanya dua, yakni buruknya kondisi struktural, yakni tata ruang; dan kondisi non-struktural, yakni budaya dan perilaku masyarakat yang tidak kunjung berubah dalam membuang sampah dan kotoran lainnya,” jelas Yayat.

Jakarta, lanjut Yayat, sudah tidak sanggup lagi menampung ledakan penduduk. Tak mengherankan jika daya dukung lingkungan kian hari terus merosot. Pembangunan properti, terutama hunian jangkung (apartemen) dan klaster-klaster tertentu yang dilakukan secara sporadis, telah menggerus ruang terbuka Jakarta guna mengakomodasi permintaan.

Yayat pesimistis, meskipun Jakarta berencana menambah ruang terbuka hijau (RTH) 6 persen hingga 2030, rencana itu tak akan terwujud jika pengendalian tata ruang tidak diimplementasikan dengan baik disertai penegakan aturannya.

Menurut Asisten Sekda Bidang Pembangunan DKI Jakarta Wiriyatmoko, Jakarta harus mengejar target RTH menjadi 30 persen dari luas total wilayah.

“Sekarang baru mencapai hampir 10 persen,” kata Wiriyatmoko, Rabu (11/12/2013), seusai Rapat Paripurna pengesahan Peraturan Daerah (Perda) Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) DKI Jakarta di Gedung DPRD DKI Jakarta.

RTH seluas 30 persen, lanjut Wiriyatmoko, adalah kewajiban Pemprov DKI dan pihak swasta dengan pembagian secara proporsional. Pembagian RTH tersebut yaitu 16 persen di lahan milik pemerintah dan 14 persen di lahan privat. Saat ini RTH Jakarta mendekati 10 persen sehingga harus ditambah lagi sebesar 6 persen.

“Ke depannya, gedung-gedung tinggi hanya diperbolehkan membangun 40 persen lahan yang dimilikinya. Sementara 60 persen sisa lahan diwajibkan untuk RTH,” tandasnya.
Sumber: kompas.com

read more
Ragam

Penggusuran Villa Puncak Positif Cegah Banjir

Pemerintah provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta berupaya mencegah banjir dengan mengupayakan beberapa langkah, diantaranya bekerja sama dengan pemerintah provinsi Jawa Barat, khususnya kabupaten Bogor untuk menggusur vila-vila ilegal di wilayah Puncak.

Dalam sepekan terakhir, Satuan Polisi Pamong Praja membongkar 41 vila di kawasan Puncak, karena tidak memiliki izin dan menyalahi aturan karena dibangun di daerah resapan air dan di hutan lindung.

Pakar lingkungan dari Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda Sobirin menjelaskan, ada tiga penyebab utama banjir di Jakarta yang butuh penanganan cepat, tidak hanya oleh Pemerintah Jakarta, tetapi juga Jawa Barat, Banten dan pemerintah pusat.

“Penyebab banjir yaitu satu, banjir kiriman dari hulu yaitu di Cilegung sebelah hulu, sebelah selatan Bogor, dan juga dari sungai Cisadane hulu. Kemudian yang kedua adalah drainase (saluran air) di kota Jakarta sendiri,” ujarnya.

“Drainase kota Jakarta itu sampai sekarang belum sempurna benar. Yang ketiga adalah, apabila musim bulan purnama dan bulan gelap itu air laut naik pasang dan kemudian airnya balik kembali menutup sungai.”

Sobirin menyambut baik kerja sama antar pemerintah daerah dalam melakukan penggusuran vila-vila yang dibangun diatas daerah resapan air.

“Penggusuran vila-vila itu cukup bagus sebagai pelajaran atas penyelewengan tata ruang yang selama ini dilakukan. Yaitu daerah itu adalah kawasan lindung yang berdasarkan kemiringan lereng curah hujan dan jenis tanah, daerah tersebut sebetulnya tidak boleh dibangun. Jadi dalam hal ini penegakan hukum penataan ruang itu harus ada,” ujarnya.

Meski demikian tambah Sobirin, jika daerah hulu Ciliwung sudah bebas dari vila-vila, itu baru sepertiga penyelesaian banjir Jakarta. Karena menurutnya duapertiga dari masalah banjir Jakarta ada di ibukota sendiri, yaitu masalah drainase dan pengamanan dari air pasang laut utara Jakarta.

Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki T Purnama sebelumnya menjelaskan, Pemprov DKI Jakarta membantu Rp 2,1 milyar untuk membongkar vila liar itu.

Selain itu, Pemkab Bogor juga akan mendapatkan bantuan untuk perbaikan daerah aliran sungai (DAS) dan pembinaan masyarakat bantaran kali serta normalisasi waduk, seperti Sungai Ciliwung bagian hulu dan Situ Cikaret. Kedua area itu merupakan kawasan penampung dan distribusi air saat musim hujan.

Pengerukan
Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo yang akrab disapa Jokowi di Jakarta Sabtu (30/11/2013) menjelaskan, pemerintahannya hingga kini terus melakukan pengerukan 13 sungai besar dan 884 sungai kecil yang melintasi Jakarta.

“Sepanjang tahun ini sudah kita lakukan pengerukan dan melebarkan 13 sungai besar. Kita mulai di  empat sungai yaitu Angke, Ciliwung, Sunter dan  Pesanggrahan, dan sungai-sungai kecil,” ujarnya.

“Di Jakarta ini ada 884 sungai kecil, 160-an sungai sudah dikeruk. Ternyata sudah 30 tahun sungai-sungai itu tidak pernah dikeruk sama sekali. Kedalaman yang seharusnya 2 meter tinggal 10 sentimeter. Kedalaman 3 meter tinggal setengah meter. Ini ada di semua tempat. Karena apa? Karena kanan kirinya sudah dihuni oleh penduduk.

Pemerintah Jakarta, tambah Jokowi, selama setahun ini terus membangun sumur resapan dalam.

“Kita juga telah membangun sumur resapan dalam. Ada 1.958 sumur resapan sedalam 60 sampai 200 meter,” ujarnya.

Pemprov DKI, lanjut Jokowi, juga mempercepat pembangunan Waduk Pluit dan Waduk Ria Rio Pulo Gadung, termasuk menata hunian yang ada di sekitarnya. Di Jakarta ini menurut Jokowi, banyak problem non-teknis yang menjadi kendala dalam mengatasi banjir di Jakarta. Hal Ini menurutnya, terus berlarut karena kewibawaan pemerintah selama puluhan tahun tidak pernah dijaga.

Sumber: NatGeo Indonesia/voaindonesia.com

read more