close

kota

Green Style

Ayo Bikin Rumahmu Ramah Lingkungan

Merencanakan pembangunan hunian saat ini haruslah berwawasan lingkungan hidup, artinya sebuah hunian tersebut haruslah memerhatikan keamanan lingkungan hidup juga ramah terhadap lingkungan dan hemat terhadappenggunaan energi. Hal ini pun kini sudah banyak diterapkan dihunian-hunian modern, selain ramah terhadap lingkungan, hunian dengan konsep ini pun didesain khusus agar bisa berhemat energy dengan nyaman. Hal ini pun kini menjadi isu penting dalam merencanakan pembangunan sebuah hunian.

Ubah kebiasaan
Hal terpenting yang bisa dilakukan untuk menghemat energi adalah mengubah kebiasaan tertentu. Matikan keran air saat menggosok gigi dan perbaiki semua keran air yang bocor atau tetap menetes saat sudah dimatikan. Kebiasaan ini mampu menghemat ribuan galon air per tahunnya. Jangan lupa juga untuk mematikan alat-alat elektronik yang tidak dibutuhkan, seperti televisi, radio, atau komputer. Selalu cabut kabel charger saat tidak digunakan juga salah satu cara menghemat listrik.

Gunakan lampu hemat energi
Ganti lampu di rumah dengan lampu neon hemat energi, yang hanya menggunakan 35% dari energi lampu pijar biasa. Saat siang hari, buka tirai rumah Anda untuk menggunakan sinar matahari sebagai penerangan alami dan matikan lampu saat meninggalkan ruangan. Nyalakan AC di waktu-waktu yang Anda rasa paling penting, entah itu siang atau malam hari. Selain itu, hindari memilih suhu terendah yang juga boros energi. Secara rutin lakukan pemeriksaan untuk mengetahui apakah ada kebocoran atau kerusakan, untuk menghindari pemborosan akibat AC rusak.

Buat Jadwal penggunaan Listrik
Buat sistem pencahayaan yang baik sehingga tidak perlu menghidupkan lampu di siang hari. Buat jadwal mencuci dalam satu minggu, dan gunakan mesin cuci sesuai kapasitas, jangan terlalu banyak atau terlalu sedikit. gunakan pengering bila hanya benar-benar perlu. Buat jadwal menyetrika seminggu sekali, karena proses pemanasan setrikaan memerlukan daya listrik yang cukup besar. Bersihkan kulkas secara rutin agar kinerja kulkas tetap optimal. Perhatikan meteran listrik dan segera evaluasi jika terjadi lonjakan penggunaan.

Desain Hunian
Ventilasi yang cukup dan dengan posisi tepat akan memperlancar sirkulasi udara dalam ruang agar tidak pengap dan lembab. Gunakanlah ventilasi silang, yaitu membuat ventilasi di sisi ruang yang berseberangan agar udara mudah mengalir. Hal selanjutnya yang bisa dilakukan adalah merancang peletakan lampu dengan pertimbangan optimalisasi. Misalnya, usahakan menaruh satu lampu di tengah ruangan agar cahayanya bisa menerangi seluas-luasnya ruang dan tidak perlu memasang banyak lampu sekaligus.[]

Sumber: neraca.co.id

read more
Ragam

Jakarta Jadi Kota Percontohan Berbasis Lingkungan

Kepala Badan Pengelola Lingkungan Hidup (BPLHD) DKI Jakarta Muhammad Tauhid mengatakan DKI akan menjadi kota percontohan yang berbasiskan lingkungan.

“Tidak hanya menyediakan jalur sepeda, Pemprov DKI Jakarta juga melebarkan pedestrian untuk membuat masyarakat menjadi nyaman,” ujar Tauhid dalam acara peluncuran Majalah GreenLife Inspiration di Jakarta, Ahad (2/3/2014).

Sistem angkutan umum juga ditata dengan lebih baik, sehingga semakin banyak masyarakat yang senang menggunakan transportasi umum. “Melalui kegiatan ‘car free day’, masyarakat juga didorong untuk hidup yang lebih ramah lingkungan,” tambah dia.

Kemacetan dan polusi di Ibu Kota masih menjadi persoalan serius. Di sejumlah kota besar di Indonesia, Bandung, Surabaya, Makassar, Medan dan lainnya, isu transportasi juga menjadi permasalahan.

“Di sinilah pentingnya kehadiran sebuah konsep transportasi yang bisa mengurangi kemacetan dan menghapus polusi. Program Eco Transport City merupakan tawaran alternatif bagi Ibu Kota dan kota-kota lainnya untuk mengatasi persoalan kemacetan dan polusi,” kata Direktur Green Education Pertamina Foundation Ahmad Rizali.

Gaya hidup tidak ramah lingkungan menyebabkan berbagai persoalan di Ibu Kota. Salah satunya gaya hidup membuang sampah sembarangan dan pemakaian produk hutan tanpa memikirkan kondisi hutan sebagai konservasi dan perlindungan. Hilangnya kawasan hutan adalah salah satunya. Penebangan liar telah menciptakan hutan terkikis dan hilang.

“Edisi perdana majalah GreenLife Inspiration bercerita tentang potret hutan di Indonesia dan bagaimana seharusnya gaya hidup kita untuk bisa menolong hutan kita dan kebangkitan Indonesia dari hutan,” kata Pemimpin Redaksi Majalah GreenLife Inspiration Heru B. Arifin.

Majalah GreenLife Inspiration hadir untuk mendorong hadirnya gaya hidup yang lebih ramah lingkungan, mendorong semua orang untuk lebih peduli dan ramah terhadap lingkungan. Menjaga hutan, menjaga sungai, dan masih banyak lagi.

“Kita memiliki hutan terbesar di dunia selain Brazil. Seharusnya kita bisa berjaya dari hasil hutan tanpa merusak hutan lindung,” ujar Heru.

Heru menjelaskan majalah ini akan menjadi gaya hidup ramah lingkungan yang diharapkan mampu mengemban misi menginspirasi, memberikan solusi, dan menggerakkan aksi lebih ramah dan peduli lingkungan.

Sejumlah pihak turut berkontribusi atas lahirnya majalah ini. Diharapkan semua institusi dan pegiat lingkungan bisa berperan mengisi dan menjadi mitra majalah ini.

Sumber: republika.co.id

read more
Sains

Daya Dukung Lingkungan Bali Semakin Merosot

Ratusan pesawat berbadan lebar mendarat di Bandara Ngurah Rai, Bali setiap harinya membawa puluhan ribu penumpang untuk berliburan di daerah tujuan wisata Pulau Dewata.

Kondisi itu jelas membawa dampak positif terhadap pembangunan dan ekonomi Bali, sekaligus mengangkat taraf hidup masyarakat setempat, namun pada sisi lain menimbulkan beban lingkungan semakin berat di Bali, akibat tidak terkendalinya pembangunan sarana dan akomodasi wisata.

Hal itu sebagai dampak dari makin pesatnya perkembangan pariwisata di Pulau Dewata tutur Direktur Program Doktor Ilmu Agama Pascasarjana Institut Hindu Dharma Indonesia Neger (IHDN) Denpasar Dr I Ketut Sumadi.

Bali yang menarik perhatian wisatawan menyebabkan padatnya pendatang seiring dengan berbagai ajang pertemuan tingkat nasional dan internasional yang digelar di Pulau Dewata itu.

Masalahnya sekarang, bagaimana dan siapa yang paling berkontribusi meneruskan cita-cita dan spirit perilaku bersahabat dengan alam seperti yang diwariskan para leluhur orang Bali.

Dulu, perilaku leluhur orang Bali dalam konteks kearifan lokal tanpa kehilangan jati diri selalu mempertimbangkan dan aturan yang bersifat religius dalam tindak-tanduknya sehari-hari, baik terhadap lingkungan alam, sesama, maupun sikap mereka meyakini adanya kekuatan Tuhan.

Bali mengembangkan pariwisata budaya melalui Peraturan Daerah Nomor 3 tahun 1991 tentang Pariwisata Budaya dan Undang-Undang Nomor 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan.

Dalam peraturan dan Undang-Undang tersebut dengan jelas mengisyaratkan bahwa pariwisata budaya adalah jenis kepariwisataan yang dalam perkembangan dan pengembangannya memanfaatkan kebudayaan daerah sebagai bagian dari kebudayaan nasional.

Potensi dasar yang dominan itu di dalamnya tersirat suatu cita-cita akan adanya hubungan timbal balik antara pariwisata dan kebudayaan sehingga keduanya meningkat secara serasi, selaras, dan seimbang.

Demikian juga Guru Besar Universitas Udayana Prof Dr I Wayan Windia menyoroti kehancuran organisasi pengairan tradisional bidang pertanian (subak) di Bali akan berpengaruh terhadap seluruh aspek kehidupan masyarakat Pulau Dewata.

Kehancuran subak akibat alih fungsi lahan maupun tersumbatnya air irigasi untuk kepentingan di luar sektor pertanian sejak lama telah menjadi wacana, namun tidak pernah mendapat penanganan secara tuntas.

Jika subak hancur, maka kebudayaan yang diwarisi masyarakat Bali secara turun temurun yang kini menjadi salah satu daya tarik wisata juga akan ikut hancur, sekaligus semua sektor ekonomi akan hancur karena satu sama lain saling terkait.

Semua sektor ekonomi dilandasi oleh kebudayaan setempat, khususnya sektor pariwisata, namun kenyataannya justru sektor pariwisatalah yang menghancurkan sawah, pertanian dan subak.

Sektor pariwisata telah menjadi kanibalis bagi sektor pertanian, sebagai akibat sektor pariwisata dikembangkan di luar batas-batas kemampuan Pulau Bali untuk menampungnya.

Lebihi batas ideal
Windia mengingatkan pejabat yang mengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan hal itu, karena pada tahun 1985 telah disepakti, berdasarkan penelitian Sceto bahwa Bali hanya siap menampung 24.000 kamar hotel bertaraf internasional.

Namun kenyataannya sekarang, jumlah kamar hotel internasional di Bali telah mencapai 80.000 kamar, tiga kali lipat dari ketentuan batas ideal.

Kenapa pemerintah belum juga melakukan moratorium pembangunan hotel. Tentu saja karena alasan ekonomi, pajak asli daerah (PAD), dan besaran APBD.

Kedua komponen itu sangat sering menjadi kebanggaan para pejabat, namun tidak dirasakan yang akhirnya menyebabkan runtuhnya kebudayaan Bali, padahal Kebudayaan Bali itu justru merupakan landasan bagi semua sektor kehidupan.

Deputi Direktur Perwakilan Bank Indonesia Wilayah III, Suarpika Bimantoro dalam laporan kajian ekonomi regional Bali menjelaskan, penerimaan visa kunjungan (Visa on Arrival/VoA) dari wisatawan mancanegara yang ke Bali selama 2013 hingga September mencapai 36,6 juta dolar AS atau rata-rata 4,1 juta dolar per bulan.

Penerimaan sektor pariwisata itu selama triwulan III-2013 menghasilkan yang tertinggi yakni 18,7 juta dolar AS. Penghasilan yang dipungut dari turis asing yang baru menginjakkan kakinya di pintu masuk Bali itu naik 15,14 persen dari periode sama sebelumnya hanya 14,97 juta dolar.

Penerimaan visa kunjungan dari orang asing yang berpelesiran ke Pulau Dewata itu cukup bagus jika dibandingkan kondisi ekonomi internasional yang ada.

Penerimaan dari sektor pariwisata sebanyak 18,7 juta dolar itu pada periode triwulan III-2013 dibayarkan oleh sekitar dua juta orang yang wajib membayar VoA saat menginjakkan kakinya di Bali, sebab tidak semua wisatawan mancanegara yang datang ke daerah ini membayar VOA.

Sedangkan pada triwulan II-2013 penerimaan hanya 14,97 juta dolar yang diterima dari 720.114 orang, ini artinya penerimaan VOA maupun jumlah pelancong yang datang ke Bali bertambah banyak, sejalan dengan pertumbuhan pariwisata dunia.

Besarnya penerimaan dari turis asing yang melakukan perjalanan wisata ke Bali, tentu mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat yang selama ini masih mengandalkan dari sektor pariwisata, industri kecil dan pertanian.

Netralisir pencemaran
Dr Ketut Sumadi menjelaskan umat Hindu dalam menetralisir pencemaran (keletehan) dari ratusan pesawat udara yang melintasi Bali setiap harinya secara rutin menggelar ritual “bhuta yadnya” (caru).

Pesawat terbang yang melintas di udara Pulau Dewata melewati pura dan tempat-tempat suci lainnya dalam keyakinan orang Bali dirasakan menimbulkan keletehan (pencemaran) terhadap tempat suci.

Untuk menetralisir dampak pencemaran itulah, orang Bali rutin menggelar ritual “bhuta yadnya” sebagai tahap awal dalam setiap prosesi ritual piodalan (perayaan hari suci keagamaan) di lingkungan rumah tangga, pura (tempat suci) setiap enam bulan sekali dan di tempat-tempat tertentu secara berkala.

Menurut Sumadi semua ritual itu memerlukan biaya yang besar dan sekarang menjadi beban berat hidup orang Bali di tengah berkembangnya pariwisata dan meningkatnya volume lalu-lintas penerbangan di atas Pulau Bali.

Pemerintah, khususnya pengelola Bandara Ngurah Rai semestinya tidak ragu-ragu meningkatkan kontribusinya kepada penduduk lokal Bali yang untuk melaksanakan aktivitas religius demi menjaga keamanan dan kenyamanan semua orang yang tinggal di Pulau Dewata.

Pendapatan dari bandara itu hendaknya sebagian bisa disisihkan yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan menjaga kearifan lokal Bali, termasuk mendukung kegiatan-kegiatan ritual.

Meskipun hingga kini tidak ada kontribusi dari Bandara Ngurah Rai maupun pihak hotel dan pengelola fasilitas pariwisata lainnya kepada penduduk lokal Bali, berkat berkembangnya pariwisata, aktivitas religius di Bali tampak semakin meriah.

Warga desa adat semakin sadar dan bergairah mengikuti setiap prosesi ritual, meski untuk itu banyak diantara mereka yang rela menjual tanah warisan leluhurnya.

Sikap kebersamaan dan penuh kegembiraan itulah merupakan sikap dewasa kaum beragama dalam iman dan amalnya, yang akhirnya berkembang menjadi masyarakat religius.

Kemeriahan dan kegairahan tersebut memang bukan merupakan hal yang bersifat hura-hura, namun sebagai wujud rasa bhakti (sujud dengan hati suci) krama desa kepada Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa.

Masyarakat setempat mempunyai keyakinan bahwa jika bhakti melaksanakan yadnya, maka Tuhan berkenan melimpahkan keselamatan dan kesejahteraan kepada masyarakat melalui industri pariwisata.

Dari persepsi “bhakti dan sweca” itulah tumbuh kesadaran krama desa adat dan pelaku industri pariwisata, khususnya di Kuta, untuk terus menjaga hubungan harmonis antara kegiatan religius dengan aktivitas kerja sehari-hari yang secara langsung atau tidak langsung saling memberi kontribusi.

Sikap religius itu juga terlihat dari perlakuan krama desa adat di Bali yang sangat menyayangi para wisatawan, terutama wisatawan asing yang sedang berwisata di Pulau Dewata.

Wisatawan diberi kebebasan untuk berinteraksi dan menyaksikan praktik-praktik kearifan lokal yang dilaksanakan oleh Desa Adat di Bali, tutur Ketut Sumadi.

Sumber: antaranews.com

read more
Green Style

Pelajaran dari kota hijau Vaexjoe di Swedia

Pohon-pohon cemara, lumut dan makanan busuk menjadi bahan bakar Vaexjoe, Swedia, untuk menjadi kota berkelanjutan namun keterikatan orang pada mobil bisa menjadi rem bagi ambisi karbon-netral mereka.

Bersarang di antara danau-danau kemilau dan hutan pinus tebal di bagian selatan Swedia, Vaexjoe telah berjalan lebih jauh dalam penggunaan energi terbarukan, transportasi bersih dan konservasi energi serta memromosikan diri sebagai “Kota Eropa Terhijau.”

“Kami mulai sangat dini,” kata Henrik Johansson, anggota dewan lokal, kepada kantor berita AFP.

“Politisi kami menyadari pada 1960-an bahwa jika kota ingin berkembang, danau-danau harus dibersihkan–danau-danau ini tercemar akibat limbah industri kain pada abad ke-18 dan perluasan kota,” jelasnya.

Ia menambahkan, pemulihan perairan paling tercemar, Danau Trummen — yang terkenal dengan baunya yang berbahaya sejak abad ke-18– menjadi katalis bagi proyek-proyek lingkungan yang lebih ambisius.

“Ketika saya kecil, kau tidak akan bermimpi berenang di danau itu, tapi sekarang kau bisa melakukannya,” kata pejabat lingkungan berusia 39 tahun itu.

“Perubahan yang sangat jelas itu tinggal dalam pikiran orang-orang– itu menunjukkan bahwa jika kau benar-benar ingin melakukan sesuatu dan menetapkan hati untuk itu, kau akan berhasil,” tutur dia.

Dalam tahun 1990an, sebelum pemanasan global menjadi berita utama, kota itu mengumumkan rencana untuk meninggalkan bahan bakar fosil pada 2030 dan mengurangi separuh emisi karbon dalam waktu kurang dari dua dekade.

Kedua rencana itu termasuk di antara “tujuan hijau” utama yang juga mendorong para petani lokal bergerak ke sistem organik dan semua orang mengurangi konsumsi kertas serta menggunakan sepeda atau transportasi publik.

Hari ini emisi karbon dioksida Vaexjoe sudah hampir separuh dari tingkat emisi karbon mereka pada 1993 — salah satu tingkat terendah di Eropa dengan 2,7 ton per orang — dan hampir setengah dari rata-rata emisi karbon yang sudah rendah di Swedia.

Tahun 1970an Vaexjoe membangun pemanas distrik dan sistem pembangkit–memompa panas dan air panas dari satu ketel pusat ke seluruh kota.

Perusahaan energi milik pemerintah kota ini juga menjadi perintis peralihan penggunaan bahan bakar minyak ke biomassa — yang dihasilkan dengan membakar limbah dari industri kehutanan.

Dalam pembangkit yang berada di luar kota, direktur perusahaan energi pemerintah kota Bjoern Wolgast, mengambil segenggam penuh ranting kusut, lumut, dan kulit pohon dan menghirup aroma tajam pinus saat ekskavator membawa tumbuhan material berdebu ke dekat sabuk ban berjalan.

“Ini benar-benar energi terbarukan — hutan-hutan Swedia masih memroduksi lebih banyak dari yang kami ambil,” katanya. “Dan kami kirim lagi abunya untuk menyuburkan hutan,” tambah dia.

Sekarang hampir 90 persen dari sekitar 60.000 penduduk kota itu mendapatkan pemanas dan air hangat dari pembangkit yang juga memasok sekitar 40 persen dari kebutuhan listrik itu. Berkat serangkaian penyaring, emisi karbon dari pembangkit itu hampir bisa diabaikan — hanya seperduapuluh dari batas nasional.

Namun apakah Vaexjoe benar-benar “Kota Terhijau Eropa” masih jadi perdebatan dan slogan itu juga mengganggu sebagian penduduk lokal, termasuk pemilik restoran ekologis Goeran Lindblad.

“Mengapa kita masih bertahun-tahun di belakang kota lain di negeri ini dalam mendaur ulang sisa makanan?” tanya Lindblad, satu di antara yang pertama memulai daur ulang makanan dua tahun lalu.

Namun ketika dewan lokal mulai mengumpulkan limbah organik, upaya itu berlangsung sangat cepat.

Dua per tiga rumah tangga mendaftar secara sukarela — dengan imbalan biaya lebih rendah — dan sekarang armada bus biogas kota beroperasi di hampir sepenuhnya dengan gas produksi lokal dari makanan busuk dan limbah.

“Sulit membandingkan kota-kota dengan ukuran berbeda tapi menurut saya ini termasuk salah satu yang paling hijau di Eropa — mereka maju dan ambisius,” kata Cristina Garzillo, ahli pembangunan berkelanjutan pada jaringan pemerintah lokal ICLEI di Freiburg, Jerman.

Ryan Provencher, insinyur berusia 39 tahun, pindah dari Texas ke Swedia lebih dari satu dekade lalu dan menggambarkan apa yang terjadi di kota itu sebagai perubahan sesungguhnya ke revolusi hijau.

“Kami mendaurulang hampir semuanya. Saya hanya menggunakan mobil dua kali sepekan dan lebih suka lari atau bersepeda untuk kerja,” katanya.

Provencher tinggal bersama istri dan tiga anaknya di rumah paling ramah lingkungan Vaexjoe yang disebut positive house (rumah positif), yang mengirimkan lebih banyak energi kembali ke jaringan dari yang digunakan karena seluruh atapnya tertutup panel surya dan dilengkapi dengan perangkat penghemat energi.

Ia menyebut perbandingan kehidupannya di Vaexjoe dengan kehidupan di Waco, tempat orangtuanya tinggal, seperti “malam dan siang.”

“Bahan bakar sangat murah di sana sehingga tidak ada orang yang berpikir dua kali untuk mengendarai mobil,” katanya.

Namun seperti penduduk Waco, warga Vaexjoe juga sangat suka mobil dan sekitar 60 persen di antaranya menggunakan mobil, kondisi yang membuat upaya mencapai tujuan kota untuk meninggalkan bahan bakar fosil sulit dicapai.

“Kami tergantung pada perubahan nasional dan tentang mobil dan perusahaan bahan bakar membuat alternatif bahan bakat tersedia. Kami tidak bisa memaksa orang menyingkirkan mobil mereka,” kata Johansson. []

Sumber: antaranews.com

read more
Kebijakan Lingkungan

Hamburg Hilangkan Ketergantungan terhadap Mobil

Kota terbesar kedua di Jerman, Hamburg, secara perlahan akan menghilangkan segala ketergantungan sekitar 8 juta penduduknya terhadap mobil pada 2034. Hal itu dilakukan sebagai bagian dari usaha merenovasi tata kota dalam program “Green Network Plan”. Nantinya infrastruktur kota dibuat lebih mengutamakan pejalan kaki, pesepeda, dan transportasi publik.

Pencanangan rencana ini seperti berbanding terbalik dengan sejarah Jerman sebagai negara otomotif, sekaligus rumah buat pabrikan BMW, Mercedes-Benz,dan Audi. Hingga kini, ketiganya bahkan terus berlomba menjadi produsen premium #1 di dunia, salah satu target meningkatkan penjualan di kampung halaman.

Dijelaskan, hampir 40 persen wilayah Hamburg nantinya diubah menjadi area hijau dan taman yang sudah terintegrasi dengan jalur sepeda dan pejalan kaki. Harapannya masyarakat bisa keliling kota tanpa menggunakan mobil pribadi.

Perwakilan dari Hamburg, Angelika Fritsch menjelaskan, “Kota lain, termasuk London, punya jalur hijau, tapi jaringan di Hamburg lebih unik, mencakup area pesisir hingga pusat kota. Dalam 15-20 tahun, kita semua bisa mengeksplorasi kota menggunakan sepeda atau berjalan kaki,” jelasnya seperti dilansir Autocar, Kamis (16/1/2014).

Dijelaskan juga, zona bebas mobil dan banyaknya ruang hijau bisa membantu mengurangi kadar CO2, menjaga kestabilan iklim kota, serta mencegah banjir yang selalu menjadi ancaman.
Sumber: kompas.com

read more
Green Style

Di Asia, Singapura Terdepan dalam Green Building

Dari luar, jalan 313 @ somerset tampak seperti mal berkilauan lainnya di pusat kota Singapura. Tetapi jika melihat lebih dekat ke dalam gedung delapan lantai yang memiliki skylight, panel surya, lift hemat energi dan eskalator, unit AC yang sangat efisien dan perangkat lunak yang memantau emisi karbon dioksida.

Di bagian lain kota, sebuah hotel baru, Parkroyal on Pickering menampilkan kredensial hijau dalam bentuk façade berseni berjenjang dihiasi dengan pakis tropis dan tanaman merambat. Seiring dengan sistem pendinginan yang efisien, pemandangan hijau meliputi pemanenan air hujan, sensor lampu dan jendela kaca berkinerja tinggi dan pompa air panas. Memasuki lobi berdinding kayu, yang dilapisi lumut tropis, pengunjung diingatkan hutan hujan – tidak terasa bahwa bangunan terletak di jantung ibukota perbankan di Asia Tenggara.

Bangunan-bangunan ini menunjukkan komitmen Singapura untuk menghijaukan lingkungannya melalui skema insentif murah peralatan dan material bangunan – yang mendorong perbaikan peralatan eksterior seperti alat kelengkapan hemat air , komputer pemodelan aliran energi dan emisi karbon dan pendingin udara yang sangat efisien dan sistem ventilasi.

Sejak penilaian diluncurkan pada tahun 2005 oleh Singapura Building and Construction Authority ( BCA ), sebanyak 1.534 bangunan baru dan 215 bangunan lama telah bersertifikat. Ini lebih dari seperlima dari luas lantai di pulau negara kota yang memiliki populasi lima juta dan kira-kira setengah ukuran New York City.

” Ketika kita menjadi lebih dan lebih urban, kami ingin memastikan lingkungan kita dibangun berkelanjutan, ” kata John Keung, kepala eksekutif BCA .

Ada kesepakatan kuat di antara spesialis pembangunan yang mempromosikan green building di Asia, yang memiliki potensi untuk menghasilkan penghematan energi yang besar dan membuat kota tercemar lebih layak huni dan mengurangi sebagian dampak dari pemanasan global. PBB melaporkan bahwa 40 persen dari orang-orang di kawasan Asia – Pasifik tinggal di kota dan pada tahun 2050 angka itu bisa mencapai dua pertiga.

Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPPC) memperkirakan bahwa dalam beberapa dekade mendatang negara-negara Asia akan memimpin kenaikan di seluruh dunia berkembang – dari sektor dari penggunaan energi pada bangunan.

Di China sendiri, menurut perusahaan konsultan global McKinsey & Company, penduduk perkotaan dapat berkembang dari 572 juta di 2005-926 juta pada tahun 2025 , membutuhkan pembangunan empat sampai lima juta bangunan baru .

Dengan latar belakang ini, Singapura telah muncul sebagai model green building untuk perencana dan pengembang di sebagian besar wilayah Asia – Pasifik , di mana pemerintahnya miskin desain dan pengembang secara historis melihat sedikit insentif untuk berinvestasi keberlanjutan.  BCA Singapura kini memasarkan alat rating, Green Mark, sebagai merek di Asia Tenggara, Cina dan sebagian Afrika tropis – bahkan di negara-negara seperti negara tetangga Malaysia, di mana alat peringkat lokal menawarkan sistem sertifikasi bersaing.

“Pada akhirnya tujuan dalam alat ini adalah untuk mengurangi ( lingkungan ) jejak , ” kata Deo Prasad , seorang profesor arsitektur di University of New South Wales di Australia yang telah mempelajari kebijakan pembangunan berkelanjutan di kawasan Asia – Pasifik.

Singapura, yang memperoleh kemerdekaan dari Malaysia pada tahun 1965, telah lama gaya dirinya sebagai ” kota taman. ” Negara kota itu dibangun di atas rawa yang memiliki sedikit sumber daya energi dan perdana menteri pertama, Lee Kuan Yew memprioritaskan pelestarian lingkungan.

BCA mengatakan pihaknya berencana untuk mensertifikasi 80 persen bangunan di kota ini pada tahun 2030 , dan beberapa konsultan mengatakan ini realistis. Namun, BCA telah berjuang untuk mendorong upgrade efisiensi dalam bangunan yang ada dan kesuksesan Green Mark mungkin lambat ketika skema insentif yang lima tahun untuk bangunan tersebut berakhir tahun depan.

BCA melaporkan bahwa beberapa bangunan tua di kota – negara memiliki umur hanya 10 sampai 15 tahun – sebuah fakta yang selanjutnya dapat menghalangi investasi jangka panjang dalam keberlanjutan.

Green Mark adalah sistem yang dirancang khusus untuk sebuah perkotaan makmur dan mungkin tidak secara langsung berlaku di negara-negara dengan sistem yang berbeda politik, kondisi lingkungan , dan standar kata para  green building.

” Jadi jika Anda memiliki sebuah rumah yang terbuat dari bambu, mungkin rumah ramah lingkungan yang pernah , tetapi menggunakan bahwa alat penilaian tertentu, Anda tidak bisa mendapatkan sertifikasi, ” jelas Adre Ar Sarly Sarkum, wakil presiden Konfederasi Green Building Malaysia . Dengan pemikiran ini , alat penilaian beberapa telah muncul dalam beberapa tahun terakhir bahwa upaya untuk menangkap nuansa negara tertentu.

Sumber: 360.yale.edu

read more
Tajuk Lingkungan

Kejamnya Masyarakat Kota

Dewasa ini, pembangunan di kota-kota yang ada di Indonesia sudah semakin maju seiring tuntutan modernisasi. Gedung-gedung pencakar langit, perumahan mewah, dan perkantoran elit serta sekolah-sekolah megah ada di setiap sudut kota. Semua pembangunan yang dilakukan di Kota menimbulkan efek yang besar bagi lingkungan di sekitarnya. Tidak hanya itu, masyarakat yang tinggal di perkotaan sering tidak pernah berpikir bahwa akibat bangunan yang mereka tempati telah merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat yang tinggal di desa-desa yang dekat dengan sungai, hutan, dan pegunungan.

Bagi kita yang berdomisili di Kota Banda Aceh misalnya, mudah kita melihat sendiri secara langsung hasil pembangunan yang telah dilakukan selama proses rehabilitasi dan rekonstruksi kembali Aceh pasca bencana gempa dan tsunami yang terjadi pada bulan Desember 2004 yang lalu.

Jika kita bicara pembangunan di sebuah kota, maka kita akan bicara tentang perencanaan pembangunan yang dilakukan disana oleh Bupati/Walikota. Biasanya, berbagai konsep pembangunan kota lahir dari para pengambil kebijakan tanpa memandang akibat yang akan ditimbulkan ketika pembanungan mulai dilakukan hingga selesai dilaksanakan. Strategi pembangunan yang demikian tentu saja membuat lingkungan hidup rusak. Masyarakat pedesaan menanggung akibat yang begitu besar dari pembangunan yang terus terjadi di kota.

Secara sosial, kota seharusnya menjembatani berbagai kehidupan masyarakat yang menyentuh pemenuhan ekonomi, budaya, politik, dan hal-hal lainnya yang berkaitan juga untuk kesejahteraan penduduk yang tinggal di pedesaan. Karena semua bahan baku bangunan di kota berasal dari desa sudah seharusnya pemerintah kota dan masyarakatnya memiliki perilaku yang ramah lingkungan. Jangan hanya memaksakan kehendak demi kemajuan kota yang ditinggali tanpa memikirkan efek besar bagi masyarakat yang bermukim di desa-desa.

Pembangunan di kota membutuhkan kayu, pasir, tanah, semen, dan batu. Semua bahan-bahan bangunan tersebut diambil dari hutan, gunung, perbukitan, dan sungai yang ada sumbernya dekat dengan tempat tinggal penduduk desa. Batu bata yang menjadi bahan baku utama sebuah bangunan memang berasal dari desa hasil karya masyarakat disana. Akan tetapi, tuntutan kebutuhan untuk pembangunan di kota membuat masyarakat mencari sumber tanah yang berasal dari perbukitan yang dekat dengan tempat tinggal mereka. Hal ini, berdampak buruk ketika curah hujan tinggi yang membuat longsor area tempat tinggal mereka. Juga, semen yang paling dibutuhkan didirikan pabriknya oleh pengusaha dengan izin dari pemerintah telah menimbulkan efek yang begitu besar bagi kelangsungan hidup masyarakat di desa sekitar pabrik tersebut.

Bencana banjir bandang akibat penebangan hutan yang sembarangan sering memakan korban banyak dari penduduk desa yang tinggal di dekat sungai. Kayu-kayu hasil tebangan tersebut digunakan untuk kepentingan pembangunan di kota. Aturan yang sudah dibuat oleh pemerintah seharusnya menjadi payung hukum bagi masyarakat desa menuntut masyarakat kota dan pemerintah berwenang atas tindakan mereka menebang hutan sehingga merusak ekosistem di sekitar tempat masyarakat desa tinggal.

Bahan bangunan berupa pasir dan bebatuan juga berasal dari sungai-sungai dan pegunungan yang dekat dengan tempat tinggal masyarakat desa. Izin Galian C terhadap para pengusaha diberikan begitu mudah oleh pejabat di perkotaan. Tanpa ada proses uji kelayakan sama sekali akan dampak yang ditimbulkan setelah galian dilakukan. Hal ini, sering sekali menghadirkan petaka besar bagi masyarakat desa di pinggiran sungai. Sudah terlalu banyak bencana yang telah terjadi akibat proses Galian C yang dilakukan oleh pengusaha nakal tersebut. Hal ini harus menjadi perhatian besar pemerintah kita. Selain kerusakan alam di sekitar area pengerukan pasir, aktivitas galian C juga telah mematikan  sumber mata air di lereng pegunungan. Air yang begitu penting bagi kehidupan masyarakat di desa pun telah berkurang.

Aktivitas penambangan yang dilakukan pengusaha Galian C telah membuat mata air di lereng pegunungan dan di bawah mengering. Sejauh apapun tanah yang digali tetap akan sulit mendapatkan air jika aktivitas itu terus dilakukan. Akibatnya, ketika hujan deras turun selama 2 (dua) hari saja maka longsoran tanah akan terjadi. Belum lagi rusaknya jalan, jembatan, dan debu berterbangan yang dirasakan langsung oleh masyarakat kota. Akibat negatif dari proses penambangan galian C di Aceh telah banyak dibicarakan media cetak baik lokal maupun nasional. Sungguh telah mencapai titik nadir akibat kerusakan alam yang ditimbulkannya.

Tak salah, apabila penulis mengatakan bahwa penduduk yang tinggal di kota atau masyarakat yang ada di perkotaaan termasuk di Aceh memang kejam. Secara tidak langsung, mereka telah berpartisipasi terhadap timbulnya bencana alam yang diderita sepihak oleh saudara-sauadara mereka yang bertempat tinggal di desa-desa yang dekat dengan hutan, sungai, dan pegunungan yang ada di wilayah Aceh.

Dampak negatif dari pembangunan kota terhadap kualitas kehidupan sosial masyarakat desa sangat besar. Kehadiran bangunan-bangunan baru di kota untuk menjadikan kota tempat kita tinggal sebagai kota impian ternyata berdampak besar bagi kelangsungan ekosistem di pedesaan.

Sekali lagi, Pemerintah Aceh yang sekarang harus lebih komit terhadap isu kerusakan lingkungan akibat dari sebuah proses permbangunan. Hal ini mejadi begitu penting mengingat masa depan generasi muda Aceh dipertaruhkan kelangsungan hidupnya dari baik buruknya sebuah kebijaksanaan di bidang lingkungan hidup. Apalagi, hutan, pegunungan, sungai, dan lautan adalah sumber kehidupan yang besar apabila dipelihara dengan baik dan diikat dengan peraturan yang bijaksana tata pengelolaannya.

Masyarakat yang tinggal di kota harus bersikap lebih adil terhadap saudaranya yang ada di desa-desa. Jangan jadikan alasan kemajuan di kota untuk menyerobot lahan masyarakat desa seenak udelnya saja. Tindakan pengusaha kota yang yang merusak hutan, menggali sungai, dan mencari bahan tambang penting lainnya tak bisa termaafkan bila memakan korban jiwa dari bencana yang ditimbulkan. Sikap kejam  masyarakat kota sudah selayaknya diubah bila ingin melihat Aceh damai dan sejahtera selamanya.[]

read more
Kebijakan Lingkungan

Tahun 2029 Banda Aceh akan Hijau

Pemerintah Kota (Pemko) Banda Aceh merencanakan pada tahun 2029 nantinya sudah menjadi kota hijau, dimana akan ada Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebesar 30 persen sesuai dengan amanah Undang-undang yang ada.

Dijelaskan oleh wakil wali kota Banda Aceh, Illiza Sya’aduddin Djamal, ini semua butuh peran serta yang positif dari masyarakat untuk mewujudkan kota hijau di Banda Aceh.

“Butuh peran  sama-sama menjaga bumi ini agar tetap hijau, selain karena kesehatan bumi ini, juga akan diwariskan kepada anak cucu generasi penerus,” kata Illiza usai membuka acara Festival Kota Hijau di Banda Aceh, Sabtu (9/11/2013).

Dijelaskannya, Pemko Banda Aceh telah memprogramkan ketersediaan RTH di Banda Aceh sejak 2009 lalu. Hingga saat ini  program tersebut telah rampung sekitar 70%.

“Untuk merampungkan 100 persen yaitu 30 persen RTH di dalam kota membutuhkan anggaran yang besar,” jelasnya.

Hal yang menjadi kendala saat ini adalah persoalan pembebasan lahan. Pasalnya, kata Illiza, banyak masyarakat tidak memberikan lahannya untuk RTH. Kalau pun diberikan, harga jual yang ditawarkan diluar kemampuan anggaran yang tersedia.

“Harga lahan mahal menjadi kendala besar,” sebutnya.

Kendatipun demikian, Pemko akan terus berupaya untuk menyediakan anggaran setiap tahunnya untuk keperluan RTH. “Kita targetkan tahun 2029 Banda Aceh sudah hijau,” imbuhnya.

Disisi lain, Illiza juga meminta komitmen seluruh kepala SKPD di jajaran Pemko Banda Aceh agar menerapkan pola hidup sehat dan hijau yang dimulai dari menanam satu pohon saja di masing-masing halaman rumah.

“Saya intruksikan agar setiap kepala SKPD menanam satu pohon saja di halaman rumah dan nanti kita akan programkan untuk melakukan sidak ke tiap rumah kepala SKPD,” pintanya.

Sementara kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kota Banda Aceh, Ir. Gusmeri MM mengatakan Festival Kota Hijau diselenggarakan bertepatan dengan peringatan hari tata ruang nasioal yang diperingati 10 November 2013 di Jakarta.

Katanya lagi Kota Banda Aceh patut berbangga dan bersyukur atas predikat kota hijau yang telah disandang bersama dengan 112 Kab/kota lainnya mengingat delapan tahun lalu Banda Aceh adalah kota yang sangat gersang setelah diterjang musibah gempa dan tsunami.

Gusmeri juga menjelaskan, saat ini Pemerintah Pusat juga telah membantu Pemko Banda Aceh sebesar 5 miliar untuk pengembangan RTH. Anggaran tersebut telah masauk dalam Anggaran Pendapatan Belanja Nasional (APBN) tahun 2014 mendatang.

“Pusat hanya bantu dana, sedangkan lahan kita yang sediakan, kalau lahan sudah ada dana itu akan segera cair,” ungkap Gusmeri.

Untuk menjawab persoalan itu, Dinas PU Banda Aceh telah menyurati Pemerintah Aceh agar bisa membantu penyediaan lahan untuk dibangun RTH.  Kata, direncanakan ada lahan di Lamjame sebesar 3 hektar untuk dibangun RTH.

“Di RTH itu juga kita akan buat sarana olah raga, seperti Jogging Track, lapangan bola dan sejumlah fasilitas olah raga lainnya,” sebut Gusmeri.[Afifuddin Acal]

read more