close

kutub

Perubahan Iklim

Limbah Stasiun Penelitian Antartika Meracuni Lingkungan

Antartika adalah salah satu lingkungan yang paling murni di Bumi, tetapi kini bergulat dengan pencemaran. Ironisnya, orang-orang yang bekerja paling keras untuk melindungi benua itulah yang bertanggung jawab atas pencemaran tersebut.

Di Antartika, air limbah berasal dari puluhan stasiun penelitian. Stasiun tersebut merupakan perumahan yang dihuni 5.000 orang pada satu waktu. Sebagian besar dari mereka adalah ilmuwan. Stasiun penelitian itu melepaskan zat kimia jahat ke lingkungan. Zat tersebut mencemari penguin dan hewan liar lainnya.

Yang terbaru adalah zat yang memperlambat kobaran api (flame retardant) yang disebut Hexabromocyclododecane atau HBCD. Zat beracun itu biasanya digunakan dalam isolasi, bahan bangunan, termoplastik, dan peralatan penelitian, termasuk komputer.

Da Chen, seorang ahli pencemaran lingkungan dari Southern Illinois University, dan beberapa rekan ilmuwan kelautan, baru-baru ini menguji tentang HBCD di stasiun penelitian AS, McMurdo, di ujung selatan Ross Island, dan di sebuah pangkalan Selandia Baru terdekat. Penelitian menggunakan sampel dari debu dan lumpur limbah.

Para ilmuwan juga menguji jaringan satwa liar serta endapan dari daerah air limbah dari dua stasiun, yakni air yang mengandung limbah, bahan organik dan anorganik, racun, lumpur, patogen, obat-obatan yang tumpah ke McMurdo Sound.

HBCD didapati di tiap tempat yang dapat dilihat para ilmuwan. Mereka ada dalam debu dari stasiun, endapan, dan dalam jaringan hewan, antara lain penguin Adelie, ikan, sampai ke spons dan cacing laut.

Oleh karena itu, tidak mengherankan bila sedimen yang terdekat dengan sumber air limbah memiliki cemaran HBCD tertinggi. Namun, apa yang tak terduga adalah tingginya tingkat pencemaran tersebut menyaingi level yang biasanya bisa didapati di beberapa sungai yang berada di sekitar daerah paling padat penduduk di AS dan Eropa.

Para ilmuwan melaporkan temuan mereka di pertemuan the Society of Environmental Toxicology and Chemistry pada akhir 2013. Namun, mereka sebenarnya sudah mendapat liputan kecil terkait hal ini di media.

Meskipun banyak yang yakin bahwa sejumlah penguin dan hewan Antartika lainnya dapat menahan paparan HBCD, paparan kimia pada hewan pengerat dan ikan telah terbukti mengganggu hormon tiroid makhluk-makhluk tersebut. Hal itu memengaruhi pencernaan dan perkembangan otak.

Tingkat pencemaran yang ditemukan pada hewan, dalam studi baru-baru ini, tampaknya tidak menyebabkan masalah. Meski demikian, beberapa ilmuwan tetap prihatin.

“Kami menduga kondisi iklim yang dingin dapat mencegah tingkat pencemaran HBCD menurun,” kata Chen. Dengan demikian, bahan kimia dapat berlama-lama menghadirkan ancaman lingkungan yang berkelanjutan.

Andrea Kavanagh, yang memimpin program Pew Charitable Trust-Konservasi Penguin Global, mengatakan, mungkin terlalu dini untuk menilai jumlah korban bahan kimia ini pada satwa liar karena tubuh punya cara bertindak.

“Isolator api khususnya disimpan dalam jaringan lemak, dan terjadi bioakumulasi,” katanya. “Ini berarti bahwa bahan kimia terus ada dan terus membangun di dalam tubuh, lebih cepat dari usaha untuk menghilangkannya atau ketika rusak.”

Kavanagh mengatakan, penelitian sebelumnya telah menemukan zat yang memperlambat kobaran api lainnya. Zat yang kini sudah dilarang itu berupa senyawa bromin, yang digunakan dalam pelapis elektronik dan furnitur. Zat tersebut ditemukan pada satwa liar yang tinggal di dekat aliran air limbah Stasiun McMurdo.

“Belum ada aturan baku untuk mencegah agar hal itu tidak terjadi lagi,” katanya.

Ilmuwan dan wisatawan
Lebih dari 30 negara mempertahankan sekitar 70 stasiun penelitian di Antartika. Stasiun itu merupakan perumahan yang dihuni 1.000 sampai 5.000 penduduk. Selain itu, wisatawan juga mengunjungi stasiun penelitian.

Tiap-tiap stasiun menggunakan metode yang bervariasi dalam pengolahan air limbah. Namun, ada beberapa stasiun yang tidak melakukan pengolahan sama sekali. Banyak yang menggunakan proses dasar yang dikenal sebagai maceration. Salah satunya untuk memecah endapan besar (seperti kotoran manusia) supaya menjadi potongan-potongan kecil yang dapat dipompa keluar. Namun, mereka tidak melakukan apa pun untuk menghilangkan bahan kimianya.

Beberapa stasiun telah menerapkan sistem yang lebih baik dalam satu dekade terakhir. Walau demikian, upaya mereka lebih terfokus pada membunuh mikroorganisme daripada membersihkan bahan kimia. Sementara itu, masih sedikit yang diketahui tentang berapa lama hal-hal seperti obat-obatan dan produk perawatan pribadi menetap atau bagaimana mereka mempengaruhi satwa liar.

“Kebanyakan orang, termasuk sejumlah ilmuwan, percaya bahwa pencemar dari belahan Bumi selatan adalah sumber pencemaran utama untuk Antartika,” kata Chen. “Pencemaran dari sumber lokal sangat diabaikan.” []

Sumber: kompas/National Geographic Indonesia

read more
Perubahan Iklim

Gunung Es Antartika Terus Mencair

Sebuah gunung es raksasa runtuh tahun lalu di kawasan gletser Pulau Pine di Antartika. Menurut sebuah penelitian, mencairnya gunung es raksasa tak terelakkan hingga ahir hayatnya dan akan berdampak lebih luas.

Selama 15 tahun, para ilmuwan telah mengamati bahwa gletser di Antartika kehilangan keseimbangannya: Lapisan es dan tepian gletser – terus luruh. Gletser menyusut dan menghanyutkan lebih banyak es ke lautan sekitar.

Salah satunya terjadi di gletser Pulau Pine, yang memiliki salah satu gunung es terbesar. Dampaknya sangat terasa pada hilangnya es di Antartika.

Para ilmuwan yang dipimpin oleh Gael Durand dari Universitas Grenoble di Perancis telah membuat perkiraan masa depan gletser dengan menggunakan tiga model yang berbeda. Ada kecenderungan yang sama dari model-model tersebut. “Bahkan tanpa lebih dipengaruhi oleh suhu laut atau udara, tetap akan terjadi pencairan. Ini adalah dinamika internal. Pertama, gunung es retak atau meleleh. Lalu akan memberi pengaruh terhadap kenaikan permukaan laut,”ujar Gael.

Dampaknya terhadap laut
Durand memperkirakan akan terjadi peningkatan permukaan air laut lebih lanjut hingga satu sentimeter dalam 20 tahun ke depan. “Untuk gletser ini saja, akibatnya akan benar-benar besar,” kata Durand.

Sebagai perbandingan pada tahun 2010, permukaan air laut global naik sebesar 3,2 milimeter – hampir dua kali lipat dari kurun waktu 20 tahun sebelumnya.

Hasil kajian yang ditunjukkan Angelika Humbert dari Alfred Wegener Institute (AWI) di Bremerhaven juga memperlihatkan hal serupa. Pakar geologi yang meneliti geltser Pulau Pine mencatat tingkat abstraksi gunung es itu. Dampaknya di masa depan tentu akan terasa pada kenaikan permukaan laut.

Tidak kembali
Studi terbaru tentang gletser ini disebut Humbert sebagai “kemajuan signifikan atas penelitian sebelumnya”. Dengan rekan-rekannya di AWI dan Universitas Kaiserslautern, mereka telah mengamati retaknya gletser di ujung Pine.

Ketika terjadi keruntuhan, banyak massa es yang mengambang. Tim peneliti mempelajari proses yang menyebabkan keruntuhan di ujung geltser ini dan dinamika gletsernya.

Studi baru menunjukkan bahwa dengan kecepatan luruh ini, gletser sekarang mencair pada tingkatan yang tak akan kembali lagi, kata Gael Durand. Es menghilang kuat karena massa mengambang dipengaruhi oleh arus laut hangat dari bawah. Oleh karena itu, terjadi percepatan melelehnya es dan hanyutnya lebih banyak es ke laut.

Bahkan jika suhu udara dan laut akan mendinginkan kembali ke 100 tahun yang lalu, gletser tidak akan pulih. Dan trennya tak akan mengarah ke situ lagi, kata Durand.

Pakar geltser Jerman, Angelika Humbert mengatakan, perlu waktu lima sampai sepuluh tahun untuk mengembangkan model guna membuat perkiraan yang sangat handal tentang pencairan es. Untuk mendapatkan data dasar bagi model tersebut, juga merupakan tantangan besar bagi ilmu pengetahuan. Pengukuran di bagian bawah gletser adalah contoh yang sangat kompleks, kata Humbert.

Titik kritis terlampaui
Gael Durand melihat hasil terbaru dari kajian geltser, sangat penting untuk penelitian iklim global: “Gletser ini telah sampai pada titik di mana tidak ada jalan untuk kembali normal lagi. Perilaku kita kita mengubah iklim. Ini akan terus berubah. Menurut pendapat saya ini adalah salah satu contoh pertama di mana kita telah melewati titik kritis.”

Durand membandingkan situasi dengan pengendara sepeda di puncak bukit, terdorong ke bawah secara kuat dan tidak lagi dapat lagi mengerem.

“Kita punya alasan untuk takut, bahwa penurunan keadaan akan terjadi terus-menerus, bahwa gletser lain di kawasan lain berperilaku sama dan bahwa bagian dari gunung es ini runtuh.“ Mungkin hal ini kan terjadi pada berabad-abad waktu nanti, tetapi dalam waktu dekat kenaikan permukaan laut akan terus terjadi.

Laporan terbaru dari IPCC memperingatkan, bahkan sebelum dampak destabilisasi yang terjadi di gletser, di Antartika barat. “Fakta bahwa ini telah terjadi di gletser Pulau Pine, dan ini ternyata sudah terbukti, ” kata Durand.
Sumber: dw.de

read more