close

mangrove

Ragam

Ekowisata Sebagai Pengendali Kerusakan Lingkungan

Oleh: Ir. Teuku Muhammad Zulfikar, MP
Sekretaris Umum Yayasan Beudoh Gampong/ Penasehat Khusus Gubernur Aceh Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Indonesia sebagai negara megabiodiversity nomor dua di dunia, telah dikenal memiliki kekayaan alam, flora dan fauna yang sangat tinggi. Para eksplorer dari dunia barat maupun timur jauh telah mengunjungi Indonesia pada abad ke lima belas vang lalu. Perjalanan eksplorasi yang ingin mengetahui keadaan di bagian benua lain telah dilakukan oleh Marcopollo, Washington, Wallacea, Weber, Junghuhn dan Van Steines dan masih banyak yang lain merupakan awal perjalanan antar pulau dan antar benua yang penuh dengan tantangan. Para adventnrer ini melakukan perjalanan ke alam yang merupakan awal dari perjalanan ekowisata.

Sebagian perjalanan ini tidak memberikan keuntungan konservasi daerah alami, kebudayaan asli dan atau spesies langka (Lascurain, 1993). Pada saat ini, ekowisata telah berkembang. Wisata ini tidak hanya sekedar untuk melakukan pengamatan burung, mengendarai kuda, penelusuran jejak di hutan belantara, tetapi telah terkait dengan konsep pelestarian hutan dan penduduk lokal. Ekowisata ini kemudian merupakan suatu perpaduan dari berbagai minat yang tumbuh dari keprihatinan terhadap lingkungan, ekonomi dan sosial. Ekowisata tidak dapat dipisahkan dengan konservasi.

Oleh karenanya, ekowisata disebut sebagai bentuk perjalanan wisata bertanggungjawab. Belantara tropika basah di seluruh kepulauan Indonesia merupakan suatu destinasi. Destinasi untuk wisata ekologis dapat dimungkinkan mendapatkan manfaat sebesarbesarnya aspek ekologis, sosial budaya dan ekonomi bagi masyarakat, pengelola dan pemerintah.

“Destination areas elect to become involved in tourism primarily for economic reasons: to provide employment opportunities, to increase standard of leaving and, in the case of international tourism to generate foreign exchange. Tourism is viewed as a development tool and as a means of diversifying economics” (Wall, 1995: 57).

Ekowisata sebagai Pengendali Kerusakan Lingkungan
Kegiatan pengendalian kerusakan lingkungan yang salah satunya yaitu melakukan konservasi dan perlindungan sumber daya alam, salah satunya adalah untuk mengendalikan alih fungsi lahan serta kerusakan lingkungan yang terjadi akibat pembangunan fisik perkotaan. Salah satu kegiatan inovatif yang berisi kajian serta program aksi yang ingin dikembangkan untuk mengendalikan kerusakan lingkungan di Indonesia adalah pengembangan ekowisata dan jasa lingkungan. Ekowisata merupakan bentuk pariwisata yang memanfaatkan potensi sumberdaya alam, lingkungan serta keunikan alam dan budaya yang dapat menjadi salah satu sektor unggulan daerah yang belum dikembangkan secara optimal.

Di samping itu Ekowisata adalah kegiatan wisata alam dengan memperhatikan unsur pendidikan, pemahaman dan dukungan terhadap usaha-usaha konservasi sumber daya alam, serta peningkatan pendapatan masyarakat lokal. Mengembangkan ekowisata memerlukan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian ekowisata. Pelaku ekowisata adalah pemerintah, pemerintah daerah, dunia usaha dan masyarakat. Pengembangan ekowisata mesti memperhatikan aspek –aspek konservasi, yaitu melindungi, mengawetkan dan memanfaatkan secara lestari sumberdaya alam yang digunakan untuk ekowisata. Dalam kaitan dengan aspek ekonomis ekowisata diharapkan memberikan manfaat untuk masyarakat setempat dan menjadi penggerak pembangunan ekonomi di wilayahnya serta memastikan usaha ekowisata dapat berkelanjutan.

Dalam kaitan dengan edukasi, ekowisata mengandung unsur pendidikan untuk mengubah persepsi seseorang agar memiliki kepedulian tanggungjawab dan komitmen terhadap pelestarian lingkungan dan budaya. Ekowisata diharapkan memberikan kepuasan dan pengalaman kepada pengunjung, serta mendorong partisipasi masyarakat yaitu peran serta masyarakat dalam kegiatan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian ekowisata dengan menghormati nilai-nilai sosial budaya dan keagamaan masyarakat disekitar kawasan serta sesuai dengan kearifan lokal.

Perencanaan dan pengembangan ekowisata menyangkut jenis ekowisata, data dan informasi, potensi pangsa pasar, hambatan-hambatan, lokasi, luas, batas, alokasi biaya, target waktu pelaksanaan dan desain teknisnya. Untuk data dan informasi yang dimaksud adalah daya tarik dan keunikan alam; kondisi ekologis / lingkungan, kondisi sosial, budaya dan ekonomi, peruntukan kawasan, sarana dan prasarana serta sumber pendanaan. Mengembangkan kawasan ekowisata wajib memberdayakan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat diselenggarakan melalui kegiatan peningkatan pendidikan dan ketrampilan masyarakat. Untuk partisipasi masyarakat melibatkan warga masyarakat setempat, unsur Badan Permusyawaratan Desa/Gampong, Kader PKK setempat, Tokoh Masyarakat dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Sejarah Ekowisata
Menurut informasi yang berkembang, kegiatan ekowisata yang pertama adalah kegiatan safari (berburu hewan di alam bebas) yang dilakukan oleh para petualang dan pemburu di Afrika pada awal tahun 1900. Dan pemerintahan Kenya mengambil kesempatan dan membuka peluang bisnis dari kegiatan safari padang safana dan mamalia Afrika yang liar dan eksotis. Pemerintah Kenya menjual satu ekor singa sebagai buruan seharga US$27.000 pada tahun 1970. Namun akhirnya disadari bahwa perburuan yang tidak terkendali dapat mengakibatkan kepunahan spesies flora atau fauna dan mengganggu keseimbangan ekosistem yang ada.

Belajar dari pengalaman ini, pemerintah Kenya akhirnya melakukan banyak perubahan di dalam pelaksanaan kegiatan safari dan mulai menerapkan konsep-konsep ekowisata modern di dalam industri pariwisata. Pada akhir dekade 1970 gagasan ekowisata mulai diperbincangkan dan dianggap sebagai suatu alternatif kegiatan wisata tradisional. Selama masa 1980-an beberapa badan dunia, merumuskan

“Ekowisata adalah perjalanan ketempat-tempat yang masih alami dan relatif belum terganggu atau tercemari dengan tujuan untuk mempelajari, mengagumi dan menikmati pemandangan, flora dan fauna, serta bentuk-bentuk manifestasi budaya masyarakat yang ada, baik dari masa lampau maupun masa kini”. Rumusan ini kemudian disempurnakan oleh The International Ecotourism Society (TIES) pada awal tahun 1990, sebagai berikut: “Ekowisata adalah kegiatan wisata alam yang bertanggung jawab dengan menjaga keaslian dan kelestarian lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan penduduk setempat”.

Ekowisata merupakan upaya untuk memaksimalkan dan sekaligus melestarikan potensi sumber daya alam dan budaya masyarakat setempat untuk dijadikan sebagai sumber pendapatan yang berkesinambungan. Perkembangan ekowisata di dunia secara umum terasa cukup cepat dan mendapat prioritas dan perhatian dari pemerintahan masing-masing negara yang melaksanakannya. Walaupun dimulai dari Afrika, ekowisata berkembang pesat dan berevolusi secara menakjubkan justru di Amerika Latin.

Di beberapa negara Amerika Latin (terutama yang dialiri oleh sungai Amazon), kegiatan mengunjungi objek wisata alam berkembang menjadi kegiatan penyelamatan lingkungan hidup (konserfasi). Seiring dengan berjalannya waktu, ternyata banyak peserta ekowisata yang tertarik dan ingin berkontribusi di dalam penyelamatan alam dari kerusakan yang semakin parah.

Beberapa lembaga atau organisasi yang bergerak dibidang lingkungan hidup menangkap peluang ini dan mulai mengadakan kegiatan reboisasi beserta dengan masyarakat luas termasuk peserta ekowisata, hingga kepada penggalangan dana dan penanaman pohon yang dapat diikuti melalui media internet. Belajar dari kesalahan-kesalahan terdahulu yang menyebabkan dampak rusaknya lingkungan, pemerintah Costa Rica memobilisasi masyarakatnya untuk berperan aktif dalam kegiatan ekowosata. Tidak ada hotel berbintang dan bandara international yang dibangun di dekat objek wisata alam. Yang ada adalah rumah-rumah masyarakat yang terbuka untuk ditinggali sementara oleh para wisatawan (sekarang disebut home stay atau rumah singgah). Masyarakatpun tidak menyediakan menu masakan international kepada para wisatawan, mereka menyuguhkan masakan tradisional dengan standar kebersihan yang tinggi.

Pemerintah Costarica yakin bahwa peserta ekowisata bukan hanya tertarik kepada eksotisme alam dari negaranya, tetapi juga tertarik kepada eksotisme kebudayaan dan cara hidup masyarakatnya. Di Afrika, evolusi kegiatan ekowisata menarik untuk dicermati. Kegiatan perburuan binatang (singa, kerbau, gajah, badak dan lain sebagainya) yang sebelumnya dianggap dapat mengganggu kelestarian suatu spesies ternyata kalau dilakukan secara selektif justru dapat meningkatkan populasi spesies tersebut atau spesies yang lainnya. Membunuh singa jantan yang tua ternyata membuka peluang bagi singa jantan yang muda, sehat dan produktif untuk meminpin kelompok tersebut dan kembali meneruskan garis keturunannya. Semenjak itulah kegiatan perburuan singa dan beberapa spesies lainnya mulai diadakan kembali di Kenya, tentunya dengan spesfikasi dan pengawasan yang ketat dari petugas taman nasional.

Ekowisata di Indonesia
Di Indonesia kegiatan ekowisata mulai dirasakan pada pertengahan 1980an, dimulai dan dilaksanakan oleh orang atau biro wisata asing, salah satu yang terkenal adalah Mountain Travel Sobek – sebuah biro wisata petualangan tertua dan terbesar. Beberapa objek wisata terkenal yang dijual oleh Sobek antara lain adalah pendakian gunung api aktif tertinggi di garis khatulistiwa – Gunung Kerinci (3884 m), pendakian danau vulkanik tertinggi kedua di dunia – Danau Gunung Tujuh dan kunjungan ke danau vulkanik terbesar didunia. Beberapa biro wisata lain maupun perorangan yang dijalankan oleh orang asing juga melaksanakan kegiatan kunjungan dan hidup bersama suku-suku terasing di Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi dan Papua. Salah satu dari proyek ekowisata yang terkenal yang dikelola pemerintah bersama dengan lembaga asing adalah ekowisata orang hutan di Tanjung Puting, Kalimantan. (bersambung..)

read more
Green Style

Himasep Unsyiah Tanam 1200 Bibit Mangrove

Himpunan Mahasiswa Sosial Ekonomi Pertanian (Himasep) Universitas Syiah Kuala mengadakan kegiatan Bakti Sosial Di Gampong Lamtengoh Kecamatan Peukan Bada Kabupaten Aceh Besar, 12 Mei 2015.

Adapun rangkaian dalam kegiatan Bakti Sosial ini adalah melakukan penanaman 1200 bibit pohon Mangrove kemudian dilanjutkan dengan melakukan gotong royong membersihkan jalan lintas perkampungan serta melakukan silahturahmi dan transfer wawasan serta keilmuan dengan masyarakat setempat.

Ketua Umum Himasep, Wan Mutiara Fahmi, dalam siaran persnya Selasa (12/5/2015) menjelaskan bahwa kegiatan ini bertujuan untuk menambah wawasan dan cakrawala berfikir mahasiswa dan masyarakat untuk memahami dan memaknai secara sistematis pentingnya nilai-nilai kesatuan dan persaudaraan. Hal ini untuk mewujudkan mahasiswa yang mampu melakukan perubahan serta pemantapan program pembinaan dan bimbingan bagi masyarakat sesuai dengan ilmu keprofesian yang telah kami miliki tambahnya.

Kegiatan bakti sosial ini merupakan rangkaian kegiatan AGRIBISNIS FAIR Ke-IX. Adapun kegiatan sebelumnya adalah Pelatihan Program SPSS pada tanggal 10 April 2015, Lomba Daur Ulang dan Musikalisasi Puisi pada tanggal 19 April 2015, Himasep Futsal Cup 2015 pada tanggal  09-10 Mei 2015 yang pelaksanaannya di lingkungan Fakultas Pertanian Unsyiah.

Kemudian rangkaian kegiatan ini akan ditutup pada malam puncak Agribisnis Fair Ke-IX tanggal 16 Mei 2015 di Gedung ACC Sultan II Selim Jalan STA. Mahmudsyah, Banda Aceh, ujar Rizki Alfadillah Nasution, mahasiswa semester 6 di Jurusan Agribisnis.

Himasep adalah bagian dari integrasi umat, oleh sebab itu aset umat ini harus mendapat pembinaan yang sebaik-baiknya, agar mampu berperan aktif dalam pengembangan umat, baik di lingkungan kampus maupun masyarakat, sesuai dengan Tri Dharma perguruan tinggi. Mahasiswa adalah bagian integral dari potensi masyarakat untuk mendapatkan pembinaan dan bimbingan dengan teratur dan kontinyu. Partisipasi mahasiswa dan pemuda dalam pembangunan Aceh menjadi skala perioritas terutama masyarakat pedesaan yang tergolong masih sangat tetinggal.[rel]

read more
Hutan

Turis Kepulauan Seribu Wajib Tanam Mangrove

Hamparan laut luas yang indah, pasir halus serta deburan ombak yang memecah pantai di salah satu gugusan pulau seribu memang terasa menenangkan pikiran dan membuat tubuh jadi santai. Tak bisa dimungkiri kalau kepulauan seribu memang eksotis dan indah.

Dan kini, semakin banyak orang yang mulai terpikat dengan pesonanya. Jika dikelola dengan tepat, bukan tak mungkin kalau pesona pulau seribu akan lebih banyak memikat wisatawan domestik dan internasional.

“Kepulauan Seribu itu seksi, namun sampai saat ini masalah infrastrukturnya dan fasilitasnya yang diinginkan wisatawan internasional belum semuanya bisa dipenuhi,” ungkap H. Asep Syaripudin, Bupati Kepulauan Seribu beberapa waktu lalu di Pulau Untung Jawa, Jakarta Utara.

Sejak tahun lalu Asep sudah menerapkan dua sistem wisata, yaitu wisata bahari dan wisata edukasi. Wisata edukasi ini dilakukan pada hari Senin sampai Kamis, sedangkan wisata bahari dilakukan pada hari Jumat sampai Minggu.

“Di wisata bahari, program yang dilakukan adalah mengenalkan berbagai biota laut dan keindahan laut di sini. Sedangkan untuk wisata edukasi, program wisatanya berupa ikut serta dalam program penanaman pohon atau berkunjung ke penangkaran burung di pulau Rambut,” paparnya.

Dengan adanya program ini, peningkatan wisatawan lokal dan internasional pun makin dirasakan. Selama tahun 2013, program kerja ini ditargetkan mampu menambah kunjungan sampai satu juta wisatawan. Namun tak disangka, sampai di bulan September 2013 lalu saja wisatawan yang datang sudah mencapai 1,3 juta.

Rencana tahun 2014
Di tahun 2014 ini, segudang rencana untuk meningkatkan pariwisata ke Kepulauan Seribu sudah dibuat oleh Asep. Mulai menambah berbagai fasilitas, akomodasi, serta memperindah pulau-pulau ini.

Hanya saja, ada berbagai tantangan yang dihadapi untuk mengembangkan pariwisatanya. “Sampai saat ini masalah yang cukup berat dihadapi adalah kurangnya kesadaran untuk menjaga serta kurangnya rasa memiliki terhadap pulau-pulau ini dari semua orang baik penduduk maupun pengunjung. Hal inilah yang akan dibenahi terlebih dulu,” paparnya.

Salah satu programnya yang sedianya dicanangkan untuk meningkatkan hal ini sekaligus meningkatkan promosi wisata kepulauan seribu adalah bekerja sama dengan berbagai biro perjalanan, pemilik homestay dan pemilik kapal penyebrangan untuk mewajibkan setiap wisatawan ikut menanam pohon mangrove.

“Kepastian pelaksanaannya masih akan dibicarakan lagi. Inginnya sih dengan cara menambah Rp 750 – Rp 1.000 dari harga paket perjalanan per orang. Dengan ini mereka akan mendapatkan satu bibit mangrove yang bisa mereka tanam di pulau ini. Dengan demikian mereka akan merasa memiliki pulau ini karena mereka sudah pernah menanam pohonnya di sini,” jelasnya.

Selain meningkatkan rasa saling memiliki, penanaman mangrove ini juga akan membantu menjaga kelestarian lingkungan. Seperti diketahui, penanaman mangrove juga akan membantu mencegah abrasi air laut. Sayangnya, dari 100 persen pohon mangrove yang ditanam, hanya 70 persen yang hidup sedangkan 30 persen lainnya akan mati atau hilang terbawa air laut.

Sumber: NGI/kompas.com

read more
Ragam

Cegah Abrasi, Warga Tambakrejo Tanam Mangrove

Abrasi yang terjadi di wilayah Desa Tambakrejo Kelurahan Tanjung Mas menurut Bappeda Kota Semarang, telah menggerus lahan tambak sejauh 652,7 meter. Banjir Rob yang terjadi hampir setiap hari ini merupakan hal yang biasa bagi penduduk desa tersebut. Melihat hal itu, Penghijauan kawasan pesisir menjadi salah satu alternatif pilihan untuk menanggulangi permasalahan rob dan abrasi tersebut.

Beruntung, kesadaran masyarakat nelayan terhadap pentingnya penghijauan masih tinggi. Juraimi contohnya, pria yang lahir di Tambakrejo ini merupakan salah satu penggiat penghijauan. Dia sudah melakukan penanaman mangrove di Tambakrejo sejak 2011 bersama Kelompok Cinta Lingkungan Camar.

Kelompok binaan Pertamina ini beranggotakan 11 orang nelayan tulen yang bertanggung jawab menjadikan lahan konservasi menjadi hijau seperti sedia kala. Walaupun bibit mangrove yang ditanam mempunyai peluang kecil untuk hidup karena kondisi wilayah serta terpaan gelombang besar air laut.

Namun, kepedulian penduduk Desa Tambakrejo dalam merawat dan menanam bibit mangrove yang konsisten, mencapai keberhasilan hidup bibit mangrove hingga 60 persen, dengan modal awal 2.000 bibit, hingga meningkat menjadi 81.000 bibit.

“Apa yang kami lakukan bertujuan untuk mengembalikan lingkungan Tambakrejo menjadi lebih hijau. Ini juga merupakan dukungan terhadap program “Pertamina menabung 100 Juta Pohon,” kata dia.

“Dengan adanya penanaman ini diharapkan dapat memperbaiki kualitas Wilayah Tambakrejo yang semakin terkikis abrasi,” Tutup Juraimi, dengan wajah ramah. []

Sumber: okezone.com

read more
Hutan

Mangrove Si Satpam Lingkungan

Hasil penelitian terbaru menunjukkan bahwa tanaman mangrove memberi sumbangan sangat potensial untuk mengurangi emisi karbon dibanding hutan hujan tropis. Masalahnya, mangrove terus mengalami kerusakan dengan cepat di sepanjang garis pantai, sejalan dengan persoalan emisi gas rumah kaca.

Para ahli dari Center for International Forestry Research (CIFOR) dan USDA Forest Service menekankan perlunya hutan mangrove dilindungi sebagai bagian dari upaya global dalam melawan perubahan iklim. Bagian luar atau bagian depan hutan bakau yang berhadapan dengan laut terbuka sering harus mengalami terpaan ombak yang keras dan aliran air yang kuat.

Tidak seperti bagian dalamnya yang lebih tenang. Sumberdaya pesisir dan laut memiliki potensi besar baik secara ekonomi, ekologi, maupun sosial budaya. Potensi tersebut diantaranya termasuk ekosistem khas pesisir seperti vegetasi hutan pantai, rawa, laguna, muara, terumbu karang. Ironisnya, eksploitasi menyebabkan kerusakan yang berlarut dan ini adalah sebuah tragedi lingkungan yang memalukan bila direfleksikan.

Adalah sebuah fakta yang tak terbantahkan pula, bahwa pengelolaan sumberdaya pesisir, termasuk kawasan hutan mangrove, seringkali memarjinalkan kewajiban dan hak-kelola masyarakat pesisir terhadap pengelolaan sumberdaya alam tersebut. Bahkan yang terjadi, masyarakat seringkali diperalat sehingga seringkali dikambinghitamkan atas segala kerusakan ekosistem mangrove.

Ekosistem mangrove merupakan sumber daya alam yang memberikan banyak keuntungan bagi manusia, berjasa untuk produktivitasnya yang tinggi serta kemampuannya memelihara alam. Mangrove banyak memberikan fungsi ekologis dan karena itulah mangrove menjadi salah satu produsen utama perikanan laut. Mangrove memproduksi nutrien yang dapat menyuburkan perairan laut, mangrove membantu dalam perputaran karbon, nitrogen dan sulfur, serta perairan mengrove kaya akan nutrien baik nutrien organik maupun anorganik.

Dengan rata-rata produksi primer yang tinggi, mangrove dapat menjaga keberlangsungan populasi ikan, kerang dan lainnya. Tanaman mangrove menyediakan tempat perkembangbiakan dan pembesaran bagi beberapa spesies hewan khususnya udang, sehingga biasa disebut, “tidak ada mangrove tidak ada udang” (Macnae,1968).

Mangrove membantu pengembangan dalam bidang sosial dan ekonomi masyarakat sekitar pantai dengan mensuplai benih untuk industri perikanan. Selain itu telah ditemukan bahwa tumbuhan mangrove mampu mengontrol aktivitas nyamuk, karena ekstrak yang dikeluarkan oleh tumbuhan mangrove mampu membunuh larva dari nyamuk Aedes aegypti (Thangam and Kathiresan,1989).

Itulah fungsi dari hutan mangrove yang ada di India. Fungsi-fungsi tersebut tidak jauh berbeda dengan fungsi yang ada di Indonesia baik secara fisika kimia, biologi, maupun secara ekonomis.

Secara biologi fungsi dari pada hutan mangrove antara lain sebagai daerah asuhan (nursery ground) bagi biota yang hidup pada ekosisitem mengrove, fungsi yang lain sebagai daerah mencari makan (feeding ground) karena mangrove merupakan produsen primer yang mampu menghasilkan sejumlah besar detritus dari daun dan dahan pohon mangrove dimana dari sana tersedia banyak makanan bagi biota-biota yang mencari makan pada ekosistem mangrove tersebut, dan fungsi yang ketiga adalah sebagai daerah pemijahan (spawning ground) bagi ikan-ikan tertentu agar terlindungi dari ikan predator, sekaligus mencari lingkungan yang optimal untuk memisah dan membesarkan anaknya. Selain itupun merupakan pemasok larva udang, ikan dan biota lainnya. (Claridge dan Burnett,1993).

Secara fisik mangrove berfungsi dalam peredam angin badai dan gelombang, pelindung dari abrasi, penahan lumpur, dan perangkap sedimen. Ekosistem mangrove mampu menghasilkan zat-zat nutrient (organik dan anorganik) yang mampu menyuburkan perairan laut. Selain itupun ekosistem mangrove berperan dalam siklus karbon, nitrogen dan sulfur.
Secara ekonomi mangrove mampu memberikan banyak lapangan pekerjaan bagi masyarakat, baik itu penyediaan benih bagi industri perikanan, selain itu kayu dari tumbuhan mangrove dapat dimanfaatkan untuk sebagai kayu bakar, bahan kertas, bahan konstruksi yang memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi.

Dan juga saat ini ekosistem mangrove sedang dikembangkan sebagai wahana untuk sarana rekreasi atau tempat pariwisata yang dapat meningkatkan pendapatan negara.

Ekosistem mangrove secara fisik maupun biologi berperan dalam menjaga ekosistem lain di sekitarnya, seperti padang lamun, terumbu karang, serta ekosistem pantai lainnya. Berbagai proses yang terjadi dalam ekosistem hutan mangrove saling terkait dan memberikan berbagai fungsi ekologis bagi lingkungan.

Secara garis besar fungsi hutan mangrove dapat dikelompokkan menjadi, fungsi fisik, biologi, dan ekonomi. Fungsi fisik, yaitu berupa menjaga garis pantai, mempercepat pembentukan lahan baru, sebagai pelindung terhadap gelombang dan arus, sebagai pelindung tepi sungai atau pantai, dan mendaur ulang unsur-unsur hara penting.

Sedangkan fungsi biologi berupa nursery ground, feeding ground, spawning ground, bagi berbagai spesies udang, ikan, dan lainnya. Kemudian berfungsi sebagai habitat berbagai kehidupan liar. Terakhir, fungsi ekonomi berupa akukultur, rekreasi, dan penghasil kayu.

Hutan mangrove mempunyai manfaat ganda dan merupakan mata rantai yang sangat penting dalam memelihara keseimbangan biologi di suatu perairan. Selain itu hutan mangrove merupakan suatu kawasan yang mempunyai tingkat produktivitas tinggi. Tingginya produktivitas ini karena memperoleh bantuan energi berupa zat-zat makanan yang diangkut melalui gerakan pasang surut.

Keadaan ini menjadikan hutan mangrove memegang peranan penting bagi kehidupan biota seperti ikan, udang, moluska dan lainya. Selain itu hutan mangrove juga berperan sebagai pendaur zat hara, penyedia makanan, tempat memijah, berlindung dan tempat tumbuh.

Jika hutan mangrove hilang akan terjadi abrasi pantai yang dapat mengakibatkan intrusi air laut lebih jauh ke daratan dan dapat mengakibatkan banjir, yang menyebabkan perikanan laut menurun serta sumber mata pencaharian penduduk setempat berkurang.

Ternyata tak ada ruginya menanam tanaman seperti ini. Selain sebagai penetral emisi karbon juga bisa sebagai penyeimbang ekosistem lokal. Pilih mana? Meningkatkan ekonomi dengan merusak alam, atau menjaga alam tapi bonusnya adalah peningkatan ekonomi[]

Sumber: teluk tomini

read more
Green Style

Environtreneurship, Berbisnis Sambil Selamatkan Lingkungan

Banyak cara bagi kita untuk turut serta menyelamatkan lingkungan. Mulai dari hal-hal kecil sampai hal yang besar. Masing-masing memiliki dampak yang berbeda terhadap lingkungan kita. Saat ini muncul konsep “environtreneurship”. Mungkin bagi sebagian orang merasa asing dengan istilah seperti ini, tetapi bagi sebagian lagi malah sudah akrab dengan istilah ini. “Environtreneurship” merupakan konsep gabungan antara “environment” (lingkungan) dengan “entrepreneurship” (wirausaha). Jadi “environtreneurship” merupakan suatu konsep untuk berwirausaha sekaligus menyelamatkan lingkungan atau tanpa merusak lingkungan.

Dengan menjalankan konsep “environtreneurship” maka akan menepis anggapan bahwa aspek ekonomi lebih dikedepankan dibanding aspek ekologis, begitupun sebaliknya sehingga akan merubah mindset (cara berfikir) kita bahwa untuk berwirausaha atau memproduksi sesuatu tidak harus mengorbankan lingkungan. Konsep ini dapat menyeimbangkan antara kepentingan ekonomi dan ekologi, dan bisa membuktikan kepada masyarakat bahwa kita bisa menyelamatkan lingkungan sambil berwirausaha.

Saat ini sudah banyak yang menganut konsep ini. Contohnya seperti para petani-petani mangrove yang ada di Semarang dan Rembang. Mereka mempunyai usaha membibitkan mangrove, yang kemudian bibit itu akan dijual. Bibit itu berasal dari pohon mangrove yang mereka tanam sendiri maupun yang sudah tumbuh alami di daerahnya. Biasanya petani mangrove ini mempunyai usaha yang lain, yaitu usaha tambak ikan. Di sekeliling tambaknyapun ditanami mangrove, agar tambaknya menjadi subur.

Tak hanya itu, sebuah institusi mangrove di Semarang juga sangat berhasil dalam menerapkan konsep ini sampai ke level nasional, dimana mereka berhasil mendirikan sebuah toko mangrove online untuk menjembatani konsep ekologi dan ekonomi sehingga bisa berjalan secara seimbang. Contoh lain, yaitu seperti memanfaatkan barang-barang bekas yang didaur ulang menjadi kerajinan yang indah dan masih banyak lagi usaha yang menerapkan konsep ini.

Buat Anda calon entrepreneur atau usahawan muda, bukalah usaha yang memiliki banyak manfaat, bukan hanya untuk diri sendiri namun bagi orang lain dan juga untuk lingkungan kita bersama. Semakin banyak yang memakai konsep ini maka akan semakin banyak pula lingkungan yang terselamatkan.[cahyadiadhekurniawan]

Sumber: cahyadiadhekurniawan.blogspot.com

read more