close

padi

Green Style

Mari Selamatkan Keanekaragaman Pangan Lokal

Selama ini kita lebih mengenal beras sebagai bahan pangan pokok kita. Akibatnya, negara kita menjadi salah satu negara dengan konsumen beras terbesar di dunia. Padahal sejak dahulu kita mengenal keberagaman sumber pangan lokal.

“Dahulu kita mengenal beragam sumber karbohidrat, seperti : sagu,talas dan ubi (Papua dan Maluku), umbi-umbian (Papua dan Jawa), gebang, sorghum/cantel (NTT), sukun dan lainnya. Demikian juga sumber kacang-kacangan, buah dan sayuran local,” papar MS. Sembiring, Direktur Eksekutif Yayasan KEHATI.

Data SEAMEO BIOTROP di tahun 2009 memaparkan bahwa lebih dari 800 spesies tumbuhan tumbuh di Indonesia, dengan  77 jenis karbohidrat, 75 jenis lemak/minyak, 26 kacang-kacangan, 389 buah banyak ditemukan di Indonesia.

“Jumlah ini akan berkurang jika kita tidak memiliki kepedulian untuk melestarikan keanekaragaman hayati kita. Ini yang melandasi Yayasan Keanekaragaman Hayati (KEHATI) terus berupaya melestarikannya dengan memberikan apresiasi kepada masyarakat yang berupaya melestarikan dan memanfaatkan keanekaragaman hayati, termasuk pangan lokal,” sambung Sembiring.

Maria Loretta, seorang petani dari Way Otan Farm, Adonara Barat, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur telah melestarikan tanaman pangan lokal seperti sorgum, jelai, beras hitam, jewawut dan bahan pangan lain yang sudah mulai susah ditemui di kampungnya. Padahal, bahan makanan tersebutlah yang dikenalkan dari kecil oleh orang tua mereka. Bahan pangan tersebut juga tahan terhadap perubahan cuaca di wilayah Nusa Tenggara Timur yang merupakan gugusan pulau-pulau kecil. Atas upaya kerja keras Maria Loretta, Yayasan KEHATI menganugerahinya dengan Prakarsa Lestari KEHATI di tahun 2012.

Mbah Suko, petani dari Dusun Kenteng, Desa Mangunsari, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah juga mendapat penghargaan Prakarsa Lestari KEHATI di tahun 2001. Yayasan KEHATI sangat menghargai upaya-upaya almarhum Mbak Suko dalam melestarikan bibit padi lokal yang sudah jarang ditemui. Tak kurang dari 35 jenis bibit padi lokal telah dikembangbiakkan, seperti rojo lele, ketan kuthuk, kenongo, rening, menthik wangi, menthik susu, gethok, leri, papah aren, berlian, tri pandung sari, dan si buyung.

Sementara itu, di tahun 2002 Yayasan KEHATI memberikan penghargaan kepada Nicholas Maniagasi, Ketua Yayasan Sagu Suaka Alam, Yapen Waropen, Papua yang telah melakukan upaya pengembangan pengolahan sagu di kampung-kampung di Papua.

“Banyak sekali upaya-upaya dari masyarakat untuk terus melestarikan keanekaragaman hayati terutama pangan lokal. Mereka adalah salah satu dari banyak masyarakat yang telah kami temukan. Masih banyak sekali pahlawan-pahlawan di kampung yang telah berupaya melestarikan pangan yang mungkin belum  kami temukan. Kami hanya ingin berbagi, agar upaya mereka dapat terus menjadi inspirasi dalam melestarikan dan memanfaatkan keanekaragaman hayati kita, terutama pangan lokal,” tutup Sembiring.

Yayasan KEHATI akan kembali memberikan penghargaan terhadap usaha-usaha pelestarian ataupun pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan yang dilakukan oleh masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, pemerintah, seniman, generasi muda, hingga perusahaan di seluruh Indonesia. Penghargaan KEHATI Award VIII akan dilaksanakan pada 28 Januari 2015 di Gedung Usmar Ismail, Jakarta. [rel ]

read more
Sains

Uniknya Pertanian Bawah Tanah London

Sekitar 33 meter di bawah jalanan London yang ramai, ada sebuah tempat perlindungan pada masa Perang Dunia II dan sudah lama terbengkalai. Richard Ballarf dan Steven Dring menyulapnya menjadi kebun sayuran, meski tanpa sinar matahari dan tanah.

Lewat proyek Zero Carbon Food, Ballarf dan Dring berusaha mewujudkan kebun bawah tanah yang ramah lingkungan. Setelah bertahun-tahun dipersiapkan, perkebunan seluas satu hektar ini akan beroperasi penuh Maret mendatang.

Sayuran yang akan ditanam pertama-tama adalah brokoli, kucai bawang putih, red vein sorrel, mustard, ketumbar, dan basil Thailand. Tanaman besar seperti jamur dan tomat akan menyusul. Direncanakan, produk pertama Zero Carbon Food akan tersedia di restoran dan pasar pada musim panas tahun ini.

“Zero Carbon Food menggunakan ruang bawah tanah tak terpakai di London untuk menghasilkan sayur-mayur, herba, dan microgreens menggunakan sinar LED dan hidroponik. Kami memproduksi bahan-bahan segar dengan jejak karbon minimal,” tulis Zero Carbon Food seperti dilansir situs Huffington Post (31/01/2014).

Alas tanam tiga lapis, sistem siklus air, serta lampu-lampu LED membantu menjaga suhu dan kelembapan lingkungan bawah tanah kondusif untuk pertumbuhan tanaman. Sistem hidroponik yang dipakai juga diklaim dapat mengirit penggunaan air hingga 70% dibanding sistem pertanian ladang terbuka konvensional.

“Hidroponik terdengar sangat teknis, padahal teknologi ini tak rumit. Meja-meja yang dipenuhi benih dibanjiri air, kemudian air tersebut surut dan kembali ke tangki. Beberapa jam kemudian, air kembali membanjiri meja. Begitu seterusnya,” ujar Dring yang mengklaim cara ini hemat energi.

Zero Carbon Food kini sedang mencari bantuan dana. Target mereka US$500.000 (Rp 6,1 miliar). Saat ini, mereka baru mengumpulkan US$64.600 (Rp 789 juta).

Perusahaan ini bekerjasama dengan Michel Roux Jr., chef restoran Le Gavroche di London yang meraih dua bintang Michelin.

“Saat pertama kali bertemu pria-pria ini, saya pikir mereka benar-benar gila. Namun ketika saya mengunjungi terowongan tersebut dan mencoba hasil panen enak yang mereka tanam di bawah sana, saya terkejut. Pasar untuk sayuran ini besar,” kata Roux Jr.

Sayuran-sayuran tersebut juga mendapat skor tinggi dari kritikus kuliner Samuel Muston. Ia mengatakan bahwa tunas polong (pea shoots), lobak mikro, dan mustard berdaun merahnya tampak gemuk dan memiliki rasa kuat.

“Sayuran yang sama di supermarket, yang bagus sekalipun, cenderung terasa seperti antara debu dan amplop cokelat. Sayuran yang ini, anehnya, terasa seperti ditanam di ladang,” kata Muston.

Sumber: detiknews

read more
Perubahan Iklim

Riset Mutan Padi untuk Antisipasi Dampak Iklim

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia diketahui sedang mengembangkan riset untuk menghasilkan sekitar 5.000 mutan padi. Riset tanaman pangan pokok padi itu dimaksudkan untuk mengantisipasi dampak ketidakpastian iklim yang dapat berdampak langsung pada ketahanan pangan.

Riset tanaman padi tersebut menggunakan dua pendekatan, yaitu transformasi gen dan marka molekuler.

“Ini ada kaitannya dengan dampak perubahan iklim, seperti lahan kekeringan atau terkena dampak banjir dan ledakan hama seperti hama penggerek batang,” kata Amy Estiaty, peneliti Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, di Cibinong Science Center, Jawa Barat, bulan Desember 2013 lalu.

Pengembangan varietas padi tertentu yang disesuaikan kebutuhan sangat memungkinkan dari sebanyak 5.000 benih mutan padi hasil rekayasa genetika tersebut. Menurut Amy, hasil riset padi yang intensif ditempuh sekarang ini untuk menghasilkan padi tahan hama penggerek batang.

“Sampai sekarang belum ada jenis padi yang tahan hama penggerek batang,” katanya. Di sejumlah daerah, hama penggerek batang masih menjadi momok petani.

Tahan kekeringan
Salah satu jenis padi yang dihasilkan LIPI adalah yang tahan cengkeraman kekeringan. Untuk padi jenis itu, menurut Amy, LIPI melalui surat keputusan Menteri Pertanian sudah merilis jenis Lipigo 1 dan Lipigo 2 pada April 2012.

Dari hasil uji lapangan di 20 lokasi, rata-rata jenis padi gogo tersebut mampu menghasilkan 4,45 ton per hektar gabah kering giling. Potensi hasil tertinggi dicapai 8,18 ton per hektar gabah kering giling.

Lipigo 2 memiliki rata-rata hasil produksi 5,17 ton per hektar dengan potensi tertinggi mencapai 8,15 ton per hektar gabah kering giling. Padi jenis Lipigo 1 dan Lipigo 2 ini menggunakan pendekatan marka molekuler, melalui penyilangan jenis padi gogo vandana yang tahan kekeringan dengan jenis padi gogo way rarem yang memiliki daya hasil tinggi.

Sementara itu, riset padi tahan hama penggerek batang menggunakan pendekatan transformasi genetika berupa gen cry dari bakteri tanah (Bachillus thuringiensis). Riset padi dengan transformasi gen cry tersebut sedang diuji coba keamanannya bagi kelangsungan keanekaragaman hayati lainnya.

Di luar riset yang dilakukan LIPI, sejumlah petani mencoba memuliakan benih padi varietas lokal dengan produktivitas tinggi. Salah satu semangatnya, mandiri dari ketergantungan benih, pupuk, dan pestisida perusahaan yang memotong penghasilan petani.

Pangan alternatif
Deputi Kepala LIPI Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati Siti Nuramaliati Prijono mengatakan, di wilayah Asia, padi merupakan bahan pangan pokok. Sehingga riset ini pun dinantikan untuk menghasilkan jenis-jenis padi yang tahan terhadap dampak perubahan iklim. Akan tetapi, dibutuhkan pula kegiatan riset terhadap bahan pangan yang selama ini belum lazim dimanfaatkan.

“Berbagai bahan yang mengandung karbohidrat masih banyak yang tidak populer untuk dikonsumsi. Ini membutuhkan riset untuk menjadikannya sebagai bahan pangan alternatif,” kata Siti.

Sumber: NGI/wartakota.tribunnews.com

read more