close

pembangunan hijau

Hutan

Apa Arti “Hijau” dalam Istilah Ekonomi Hijau?

Konferensi Tingkat Tinggi Perserikatan Bangsa Bangsa dan Pawai Iklim Masyarakat di New York adalah pendahuluan UNFCCC COP di Lima (2014_ dan Paris (2015) – salah satu dari banyak acara yang menyoroti pembatasan perubahan iklim dan pencapaian pembangunan berkelanjutan. Walaupun semua ini bukan tantangan baru, tekanan untuk mengatasinya menjadi penting menghadapi pemanasan global dan krisis ekonomi. Dalam konteks ini, gagasan ekonomi hijau, dengan janji mendorong pertumbuhan ekonomi tanpa mengganggu integritas ekologi Bumi, sangat menggoda. Tetapi dapatkan ekonomi hijau memenuhi janjinya? Sebuan kajian ringkas hubungan ekonomi-lingkungan sebelumnya telah terangkai sebelum ilmuwan dan masyarakat dapat menilai pertanyaan tersebut.

Apakah model ‘ekonomi hijau’ dan ‘pertumbuhan hijau’ berbeda dari model pembangunan sebelumnya?

Masalah ekonomi dan lingkungan terkait pertama kali dengan agenda pembangunan internasional pada Konferensi Lingkungan Hidup Manusia PBB di Stockholm 1972. Kaitan awal ini terfokus pada “isu abu-abu,” seperti limbah industri, polusi udara dan air, serta dampak ekologis pertumbuhan ekonomi. Perhatian mengenai kelangkaan sumber daya dan dampaknya pada pertumbuhan ekonomi masa datang juga mulai muncul saat itu. Dalam dunia yang membangun serta tropis, kaitan antara aktivitas ekonomi dan lingkungan tampak pada kekhawatiran terhadap deforestasi dan degradasi lahan.

Bagaimanapun, pada akhir 1980, ilmuwan dan pembuat kebijakan mulai berbicara ekonomi dan masalah lingkungan sebagai dua sisi mata uang. Salah satu formulasi terkenal kaitan ini tampil pada laporan 1987, Masa Depan Bersama. Dipublikasikan Komisi Lingkungan dan Pembangunan Dunia (WCED) di bawah kepemimpinan direktur Gro Harlem Brundtland (kemudian menjadi Perdana Meneri Norwegia), laporan WCED ini mengadvokasi perlunya “pembangunan berkelanjutan,” yang didefinisikan sebagai:

. . . pembangunan yang memenuhi kebutuhan hari ini tanpa menggangu kemampuan generasi masa depan untuk memenuhi kebutuhannya. Hal ini mencakup dua konsep kunci: konsep ‘kebutuhan’, khususnya kebutuhan mendasar dunia miskin, di mana prioritas utama seharusnya diberikan; dan ide keterbatasan dalam tekanan teknologi dan organisasi sosial terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan masa kini dan masa depan.

Konferensi PBB 1992 mengenai Lingkungan dan Pembangunan di Rio de Janeiro, yang dikenal sebagai KTT Bumi, mengkonsolidasikan kaitan ini dan memaparkan rencana aksi abad 21 (Agenda 21). Komisi Pembangunan Berkelanjutan didirikan di Rio dan ditugasi menindaklanjuti Agenda 21 dan beragam kesepakatan yang ditandatangi pada KTT Bumi. Dua puluh tahun kemudian, seruan pembangunan berkelanjutan dan penghapusan kemiskinan diperbarui pada Konferensi Pembangunan Berkelanjutan PBB 2012. Ide ekonomi hijau muncul sebagai rintisan Konferensi 2012 dan didefinisikan sebagai

. . . sesuatu yang menghasilkan peningkatan kualitas kehidupan manusia dan kesetaraan sosial, seraya secara signifikan mengurangi risikio lingkungan dan kelangkaan ekologis. Dalam ungkapan paling sederhana, ekonomi hijau dapat dipandang sebagai rendah karbon, efisiensi sumber daya dan inklusivitas sosial.

Hal ini jelas menjejakkan warisan pada definisi pembangunan berkelanjutan WCED.

Tetapi apakah model “ekonomi hijau” dan “pertumbuhan hijau benar-benar berbeda dari model pembangunan sebelumnya, yaitu yang dalam tingkat makro bertanggungjawab terhadap kebuntuan saat ini? Apakah ekonomi hijau – yang seolah-olah tidak bisa mengkompromikan ekologi atau ekonomi – juga kondusif bagi pembangunan berkeadilan dan damai? Para pendukungnya menyuarakan jawaban ya; para kritikus menjawab dengan  sebuah kategorisasi tidak .

Menghadapi seriusnya perubahan iklim, ilmuwan (dan masyarakat) harus terlihat menjawab keduanya secara analitis dan kritis untuk menilai. Hal ini membutuhkan kesabaran dan kepenasaran intelektual untuk memahami sejarah pembangunan internasional, dan hubungannya dengan ilmu pengetahuan (bagi yang berminat, tulisan Maggie Black berjudul “Panduan Bukan Omong Kosong mengenai Pembangunan Internasional” adalah titik berangkat yang sangat bagus). Menjauhkan upaya tersebut dengan respon menerapkan kemanfaatan kebijakan pragmatis sama saja dengan menjauhkan masa depan kita.

Sumber: cifor.org

read more
Green Style

Pemko Kendari Wujudkan “Green City”

Pemerintah Kota Kendari, Sulawesi Tenggara, terus menerapkan konsep pembangunan “green building” atau bangunan hijau sebagai salah satu upaya mewujudkan Kendari Green City.

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kendari, Askar mengatakan, dalam konsep green building atau bangunan hijau diperlukan suatu acuan yang pengembangannya menuju konsep bangunan yang hijau terukur dan kondusif.

“Bangunan hijau mengarah pada struktur dan pemakaian proses yang bertanggungjawab terhadap lingkungan dan hemat sumber daya sepanjang siklus hidup bangunan tersebut. Mulai dari pemilihan tempat, desain, konstruksi, operasi, perawatan renovasi dan peruntuhan,” katanya di Kendari, Rabu (22/10/2014).

Tujuan utama dari konsep itu, katanya, bangunan hijau dirancang untuk mengurangi dampak lingkungan, terhadap kesehatan manusia dan lingkungan alami dengan menggunakan energi, air, dan sumber daya lain secara efisien.

“Kemudian melindungi kesehatan penghuni dan mengurangi limbah, polusi dan degradasi lingkungan,” katanya.

Pemerintah Kendari, kata Askar, merangsang para pengembang yang ikut mendukung program atau konsep bangunan hijau tersebut dengan cara memberikan insentif bagi pengembang yang menerapkan konsep green building.

“Aksi yang dilakukan pemerintah terkait konsep itu adalah mewujudkan kota hijau, sekolah hijau, bangunan hemat energi, penataan dan pengembangan rumah susun sewa sederhana,” katanya.

Aksi lain, kata dia, berupa penataan dan pengembangan pasar dan PKL, revitalisasi pemukiman pemulung menjadi kampung mandiri energi serta bedah rumah kumuh.

Sumber: beritasatu/Antara

read more
Kebijakan Lingkungan

LECB Bangun Kapasitas Pembangunan Berbasis Ekonomi Hijau

Low Emission Capacity Buidling (LECB) program Indonesia hari Senin dan Selasa, (9-10 Desember 2013), menyelenggarakan pelatihan perancangan model perencanaan ekonomi hijau dalam pembangunan nasional kepada para staf Pemda Kalimantan Tengah dan anggota kelompok masyarakat lainnya. Acara ini dihadiri oleh Assisten II Gubernur Kalteng, Ir. H. Syahrin Daulay, M.Eng.Sc., beserta perwakilan BAPPENAS, SKPD terkait, organisasi masyarakat sipil, dan akademisi.

Pelatihan di Palangkaraya yang diselenggarakan atas kerjasama dengan Setda Pemprov Kalimantan Tengah, UNDP LECB Program dan UNORCID disampaikan oleh ahli perancang model System Dynamics Dr Andrea Bassi dan merupakan salah satu dari rangkaian kegiatan kuliah umum dan pelatihan peningkatan kapasitas dalam LECB program. Sebelumnya di Jakarta telah dilaksanakan pelatihan serupa untuk tingkat nasional bersama perwakilan dari Bappenas, Kementerian terkait, Pemerintah Daerah dan akademisi pada tanggal 4 Desember 2013.(3)

“Tiga pilar utama dari ekonomi hijau adalah penurunan emisi, efisiensi sumber daya dan preservasi modal alam,” kata Pakar Perencana Pembangunan berbasis Ekonomi Hijau, Dr Bassi dalam pengantarnya. “Merancang model dengan system dynamics adalah cara satu untuk memastikan konsistensi antar sektor sehingga strategi pada satu sektor tidak memberikan dampak buruk bagi sektor lainnya.”

Ekonomi hijau adalah strategi logis untuk menyelaraskan target pemerintah Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26% pada tahun 2020 dengan upaya sendiri, dan sampai 41% dengan bantuan internasional, pada tahun 2020 relatif atas skenario business as usual, dengan tetap mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 7%.

Dengan mengadopsi jalur pembangunan hijau dengan melibatkan masyarakat untuk mengembangkan sumber-sumber penghidupan yang serasi dengan alam, Indonesia memiliki kesempatan besar untuk menggunakan jasa lingkungan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Sebuah sesi pemaparan mengenai perspektif praktis tentang proses transisi Indonesia menuju Ekonomi Hijau telah dibawakan oleh Pavan Sukhdev, seorang pakar dunia Ekonomi Hijau di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pada 2 Desember 2013.

Indonesia, bersama 25 negara lain di dunia berkolaborasi dalam program LECB yang diluncurkan secara global pada bulan Januari 2011 sebagai bagian dari kolaborasi antara Uni Eropa dan UNDP. LECB Indonesia digerakkan oleh BAPPENAS dan UKP4 (Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan).[rel]

read more