close

perikanan

Kebijakan Lingkungan

Menanti Kebijakan Pengelolaan Wilayah Pesisir Aceh

Polemik yang mengemuka selama ini masih mengenai kepemilikan Pulau Savelak oleh Menteri Kelautan & Perikanan, Susi Pujiastuti dan RPP Pertanahan serta RPP Kewenangan yang sedang dibahas oleh Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat. Bagaimana pengelolaan wilayah pesisir, perairan, laut dan pulau-pulau kecil di Aceh perlu adanya kebijakan dari Pemerintah Aceh untuk menata kembali wilayah tersebut. Hal ini diungkapkan oleh Marzuki, Sekjen Jaringan KuALA, di Kota Banda Aceh.

Berdasarkan laporan dari anggota Jaringan KuALA di 18 Kab/Kota di pesisir Aceh, banyak kasus-kasus yang belum terungkap,  tentang kepemilikan pulau-pulau di Aceh terutama di sekitar kepulauan terluar di Pulau Simeulue dan Kepulauan Banyak. Jadi bukan hanya kasus Pulau Savelak saja yang perlu diusut, tetapi keseluruhan pulau-pulau di Aceh baik kecil atau besar harus di cros check kembali keberadaannya. Pemerintah Aceh harus segera menurunkan Tim untuk menginventarisasi pulau-pulau yang ada di Aceh, baik kecil atau besar.

Pemerintah Aceh jangan hanya menprioritaskan tentang pengelolaan migas di wilayah kewenangan 12 mil sampai ke 200 mil laut Aceh dengan pembagian hasil 70 : 30. Seharusnya Pemerintah Aceh harus menomorsatukan Program perikanan di wilayah kewenangan laut tersebut. Marzuki menambahkan, bahwa di wilayah kewenangan laut tersebut merupakan  fishing ground nelayan Aceh, khususnya di sekitar wilayah Limbo atau gugusan karang melati. Sekarang hampir dua per tiga jumlah nelayan Aceh mencari rezeki di sana dengan berbagai armada tangkap dari ukuran 5GT sampai ke 40 GT.

Perikanan Aceh sekarang sangat semraut, pencurian ikan sangat merajalela di sekitar fishing ground tersebut, terutama pencurian ikan oleh nelayan Thailand dengan berkedok sebagai nelayan Indonesia yang menggantikan bendera mereka dengan bendera Indonesia, bahkan nama kapal diubah dengan nama kapal Indonesia.

Selain itu, Marzuki menambahkan penangkapan ikan dengan cara yang tidak ramah lingkungan dengan menggunakan pukat trawl juga dilakukan oleh nelayan Sibolga, bahkan yang sangat parah praktek tersebut dibackingi oleh orang Aceh sendiri, yang rela harta kekayaan lautnya di ambil oleh orang lain dengan cara yang tidak ramah lingkungan. Akhirnya nelayan Aceh tidak memperoleh apa-apa dari lautnya sendiri.

Pemerintah Aceh seharusnya harus bisa mengkaji tentang pengelolaan laut Aceh. Menurut Marzuki, di Aceh sekarang sudah sangat kurang orang cerdik pandai, yang banyak adalah orang pandai. Kalau kita melihat ke belakang, endatu-endatu kita di Aceh sangat-sangat cerdik dan pandai, bahkan mereka tidak mengeyam pendidikan seperti kita sekarang. Indikator itu bisa kita lihat dari Hukum Adat Laut yang ada di Kelembagaan Panglima Laut Aceh yang terus dijaga secara turun temurun oleh seluruh Panglima Laot Lhok di Propinsi Aceh.

Contoh nyata bisa kita lihat dari Hari Pantang Melaut yang disusun dan dijadikan aturan adat oleh endatu kita dulu di Kelembagaan Adat Panglima Laot Aceh. Ada 6 (enam) hari Pantang Melaut di Propinsi Aceh, antara lain (1) Hari Jum’at, (2) Hari Raya Idul Fitri, (3) Hari Raya Idul Adha, (4) Hari  Kenduri Laut, (5) Hari Kemerdekaan RI (6) Hari peringatan tsunami Aceh.

Apabila dikaji lebih mendalam, nelayan Aceh dengan aturan adat dan kondisi wilayah perairannya, nelayan Aceh sudah dari tempo dulu menganut nilai-nilai konservasi dalam pengelolaan wilayah lautnya, nelayan Aceh lebih kurang selama 6 bulan tidak melaut dan membiarkan ikan beranak pinak untuk memijah, sehingga stok ikan di Aceh terus ada.

Dilihat dari aturan adatnya,  (1) Hari Jum’at bila di akumulasi dalam 1 tahun adalah berjumlah sebanyak 52 hari (2) Hari Raya Idul Fitri sebanyak 3 hari (3) Hari Raya Idul Adha sebanyak 3 hari, (4) Hari  Kenduri Laut sebanyak 3 hari (5) Hari Kemerdekaan RI sebanyak 1 hari, dan (6) Hari peringatan tsunami Aceh sebanyak 1 hari. Jadi total akumulasi aturan adat tersebut adalah sebanyak 63 hari. Maka dari aturan adat, nelayan Aceh sudah 2 bulan tidak melaut dan membiarkan ikan beranak pinak. Dikaji dari sisi wiayahnya, Aceh didera oleh 2 musim, yaitu musim barat dan musim timur.

Rata-rata musim barat dan musim timur di Aceh adalah sekitar 4 sampai 6 bulan, dan bahkan di zaman perubahan iklim ini, pergantian musim tidak bisa ditebak lagi. Di saat musim barat, nelayan Aceh mencari ikan di sekitar perairan utara dan timur Aceh (Selat Benggala sampai ke Selat Malaka), dan di saat musim timur, nelayan Aceh mencari ikan di perairan barat selatan Aceh (Selat Benggala sampai ke Samudera Hindia). Jadi bila diakumulasi dari segi aturan adat dan geografis wilayahnya, nelayan Aceh hampir 6 bulan tidak melaut, dan disaat itulah ikan bisa beranak pinak, dan stok ikan di Aceh terus ada.

Dilihat dari semua persoalan tersebut, seharusnya dewan-dewan terhormat yang sekarang duduk di DPR Aceh, harus ada inisiasi untuk menggodok Qanun Pengelolaan Wilayah Pesisir, Perairan, Laut dan Pulau-Pulau Kecil di Aceh, memang sebelumnya sudah ditetapkan Qanun No. 7 Tahun 2010 tentang perikanan, tapi Qanun tersebut belum cukup untuk menjawab persoalan pengelolaan Wilayah Pesisir, Perairan, Laut dan Pulau-Pulau Kecil di Aceh, maka dalam waktu dekat DPR Aceh sudah harus menggodok Qanun tersebut, bukan hal-hal yang tidak prioritas lain di programkan.[]

read more
Kebijakan Lingkungan

Indonesia, Timor-Leste dan Australia Teken Perjanjian Kelautan

Sebuah kawasan tropis penting yang memainkan peran utama dalam sirkulasi laut dunia akan mendapatkan manfaat Deklarasi Kementerian yang ditandatangani hari ini. Para menteri dari Timor – Leste, Indonesia dan Duta Besar Australia untuk Indonesia mengesahkan Program Aksi Strategis regional yang akan mempromosikan pemulihan, konservasi dan pengelolaan ekosistem laut dan pesisir untuk lautArafura dan Timor – yang dikenal sebagai kawasan ATS .

Kawasan signifikan ini, yang menghubungkan Samudra Hindia dan Pasifik, memberikan mata pencaharian bagi jutaan orang dan memberikan kontribusi besar terhadap pangan domestik dan ekspor. Kawasan laut ini mempunyai ekosistem pesisir dan laut yang paling murni dan sangat terancam punah di dunia, menekankan kebutuhan mendesak untuk pengelolaan lintas batas.

Kedua laut juga memainkan peranan ekonomi dan ekologis penting di tiga negara yang berbatasan dengan mereka yaitu: Indonesia , Timor – Leste dan Australia . Kawasan ini sangat kaya akan sumber daya kelautan serta cadangan minyak dan gas.

“Kerjasama dan kolaborasi regional semacam ini sangat penting untuk melindungi dan mengelola sumber daya global yang berharga ini, ” kata Country Director United Nations Development Programme (UNDP), Beate Trankmann.

Deklarasi ini mendukung hal-hal utama yang berkaitan dengan lingkungan dalam Program Aksi Strategis regional tersebut, termasuk memulihkan dan mempertahankan perikanan; memulihkan habitat yang rusak; mengurangi polusi berbasis lahan dan sumber polusi laut ; melindungi spesies laut dan mendukung adaptasi terhadap dampak perubahan iklim di sektor terkait.

UNDP bekerja sama dengan kementerian terkait menyediakan keahlian teknis untuk membantu membentuk Program Aksi Strategis regional tersebut, mengumpulkan dana yang diperlukan untuk pelaksanaannya, dan akan mendukung pelatihan, kebijakan, tata kelola dan proyek berbasis masyarakat untuk melaksanakan program tersebut.

Deklarasi yang mendukung Program Aksi Strategis tersebut ditandatangani oleh Menteri  Kelautan dan Perikanan RI, Sharif Cicip Sutardjo; Menteri Pertanian dan Perikanan Timor -Leste, Dr. Mariano Assanami Sabino; dan Duta Besar Australia untuk Indonesia, Greg Moriarty.

Deklarasi ini juga menyetujui pembentukan sebuah mekanisme regional antara Pemerintah Indonesia, Republik Demokratik Timor Leste dan Pemerintah Australia untuk memastikan koordinasi dan kapasitas yang memadaiuntuk pengelolaan yang berkelanjutan dan terpadu di kawasantersebut. Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk menyediakan Sekretariat Regional untuk mekanisme koordinasi ini di Bali.[]

read more