close

pertanian

Ragam

Lenyapnya Lahan Pertanian Dunia Sudah Membahayakan

Tahun 2015 merupakan Tahun Internasional Tanah, suatu event internasional ditengah banyaknya masyarakat yang tidak memiliki lahan sendiri. Sebuah studi yang dilakukan oleh Grantham Centre for Sustainable Futures menunjukkan bahwa dalam 40 tahun terakhir, manusia telah menghancurkan 33 persen tanah lapisan atas bumi, lewat pembangunan dan praktek pertanian yang berbahaya. Fakta muram ini pertanda buruk untuk masa depan, karena kita mengandalkan tanah tidak hanya untuk mencari rezeki, tetapi juga sebagai perangkap karbon, komponen kunci dari hampir setiap ekosistem di Bumi, dan tempat berkembang biaknya organisme untuk kegiatan komersial dan manusia yang luar biasa, seperti bakteri yang berkontribusi terhadap perkembangan canggih farmasi. Sudah selayaknya kita menghargai tanah dan studi ini menunjukkan bahwa kita malah melakukan hal sebaliknya.

Pengikisan lapisan tanah sering tidak dipikirkan masyarakat karena mereka tidak erat terhubung dengan peternakan dan pengaturan lain di mana tanah memainkan peran penting. Ketika orang berpikir tentang kerusakan tanah, mereka mungkin membayangkan insiden Dust Bowl tahun 1930-an, yang disebabkan oleh praktek pertanian yang tidak berkelanjutan dan kondisi pertanian yang tak biasa. Mereka mungkin tidak menyadari luasnya penggurunan, salinasi tanah, dan masalah lainnya sehingga lahan tidak dapat digunakan. di Amerika Serikat saja, 50 are tanah pertanian digali pengembang setiap jam, dan belum lagi kerugian tanah tidak memperhitungkan kerusakan yang disebabkan oleh praktek pertanian yang buruk. 

Pengerukan besar-besaran merusak tanah, sehingga mustahil bagi mikroorganisme untuk bertahan hidup. Ketika tanah ditaburi pupuk berlebihan, fungisida, pestisida dan herbisida, hal ini malah menambah masalah. Alih guna lahan atau praktek pemanenan agresif yang menebang pohon dan semak yang biasanya menjadi menahan tanah di tempat dengan jaringan. Rusak, kering, erosi tanah tidak dapat menunjang hidup kecuali jika ditambah lebih banyak pupuk, erosi tanah disapu hujan dan banjir, terbawa ke laut dan membawa beban bahan kimia pertanian bersamanya. Seperti pupuk menyebabkan ledakan ganggang laut yang mengganggu ekosistem laut, menggambarkan efek berantai yang disebabkan oleh perusakan ekosistem tanah.[]

Sumber: enn.com

read more
Green Style

Memanfaatkan Limbah Ikan untuk Aquaponik

Kotoran ikan yang seringkali menimbulkan masalah karena bau yang tidak sedap dan membuat kolam menjadi kotor ternyata bisa memberikan manfaat. Sisa pakan yang ditebar di kolam yang tidak termakan oleh ikan dan mengendap di kolam pun bisa bermanfaat pula. Kedua limbah yang berasal dari hasil budidaya di kolam ikan tersebut dapat dimanfaatkan untuk akuaponik.

Akuaponik adalah kombinasi antara akuakultur dengan hidroponik yang menghasilkan simbiosis mutualisme atau saling menguntungkan. Akuakultur merupakan budidaya ikan, sedangkan hidroponik adalah budidaya tanaman tanpa tanah yang berarti budidaya tanaman yang memanfaatkan air dan tanpa menggunakan tanah sebagai media tanam atau soilles. Akuaponik memanfaatkan secara terus menerus air dari pemeliharaan ikan ke tanaman ke kolam ikan.

Inti dasar dari sistem teknologi ini adalah penyediaan air yang optimum untuk masing-masing komoditas dengan memanfaatkan sistem re-sirkulasi. Sistem teknologi akuaponik ini muncul sebagai jawaban atas adanya permasalahan semakin sulitnya mendapatkan sumber air yang sesuai untuk budidaya ikan, khususnya di lahan yang sempit. Akuaponik merupakan salah satu teknologi hemat lahan dan air yang dapat dikombinasikan dengan berbagai tanaman sayuran.

Kegiatan budidaya di perkotaan sangat dipengaruhi oleh ketersediaan lahan. Terbatasnya lahan produksi pangan (pertanian-perikanan) telah mendorong budidaya pertanian-perikanan dilahan sempit/wadah yang terbatas. Agar terjadi sinergitas yang saling mendukung, usaha budidaya perikanan dilahan terbatas akan lebih baik apabila digabungkan dengan pertanian, hal ini tentunya dapat meningkatkan efiesiensi pada tahap produksi sehingga bisa dikatakan budidaya low input.

Sistem akuaponik dalam prosesnya menggunakan air dari tangki atau kolam ikan, kemudian disirkulasikan kembali melalui suatu pipa yang mana tanaman akan ditumbuhkan. Jika dibiarkan di dalam tangki, air justru akan menjadi racun bagi ikan-ikan di dalamnya. Bakteri nitrifikasi merubah limbah ikan sebagai nutrien yang dapat dimanfaatkan tanaman. Kemudian tanaman ini akan berfungsi sebagai filter vegetasi, yang akan mengurai zat racun tersebut menjadi zat yang tidak berbahaya bagi ikan. Jadi, inilah siklus yang saling menguntungkan.

Secara umum, akuaponik menggunakan sistem resirkulasi. artinya memanfaatkan kembali air yang telah digunakan dalam budidaya ikan dengan filter biologi dan fisika berupa tanaman dan medianya. Resirkulasi yang digunakan berisi kompartemen pemeliharaan dan kompartemen pengolahan air.

Penggunaan bahan-bahan filter, misalnya batu zeolit, clay, kerikil, atau pasir sebagai substrat bakteri yang mampu mengatasi dan mengatur kelebihan senyawa-senyawa nitrogen berbahaya untuk ikan pada sistem akuaponik. Dengan demikian, tanaman berfungsi sebagai biofilter untuk menyerap amonia, nitrat, nitrit, dan fosfor yang berbahaya untuk ikan, jadi air yang bersih kemudian dapat dialirkan kembali ke bak ikan. Biasanya, sistem pengolahan air tersusun atas kompartemen dekantasi, kompatemen filtrasi, kompartemen oksigenasi, dan kompartemen strerilisasi.

Aplikasinya baik secara teoritis, praktis dan ekonomis tentu saja akuaponik akan sangat menguntungkan sekali karena memberikan manfaat ganda, yakni untuk tanaman dan budidaya ikan itu sendiri. Melalui akuaponik, lahan yang dipakai tidak terlalu luas. Keuntungan secara praktis sudah barang tentu kita tidak perlu mencangkul, merumput, menggemburkan dan melakukan aktivitas lainnya guna memroses media tanam yang akan digunakan.

Tanaman yang dibudidayakan tidak perlu dipupuk untuk menunjang pertumbuhan dan kesuburan, karena limbah dari kolam ikan yang berupa kotoran dan sisa pakan ikan sudah mengandung unsur makro dan mikro yang dibutuhkan tanaman. Melalui sistem akuaponik, tanaman tidak perlu disiran setiap hari secara manual, sebab air dikolam dipompa ke atas hingga mampu menyirami tanaman dan bisa ditambakan timer agar kita bisa menentukan waktu penyiraman sesuai yang diinginkan.

Kita hanya perlu memberi makan pada kolam ikan yang pada akhirnya bisa mendapat sayuran dan ikan segar Keuntungan akuaponik untuk kolam dan ikan itu sendiri adalah kebersihan air kolam tetap terjaga, air tidak mengandung zat-zat yang berbahaya bagi ikan karena sudah melalui proses filtrasi. Ketersediaan oksigen untuk ikan juga akan tetap terjaga. Melalui akuaponik tidak perlu lagi dilakukan penggantian air untuk kolam ikan, namun hanya perlu ditambahkan air ketika volume air dalam kolam sudah mulai berkurang dan perlu ditambah.

Untuk kolam lele saja yang berbau tidak sedap, kotor, dan berwarna hijau pekat yang cenderung coklat kehitaman bisa berubah menjadi tidak berbau dan berwarna hijau yang cenderung melalui sistem akuaponik yang telah dilakukan. Media tanaman yang paling efektif digunakan untuk akuaponik adalah zeolit. Zeolit berfungsi sebagai filter dan juga media tanam untuk tanaman.

Sedangkan untuk budidaya ikan yang paling bagus untuk menunjang akuaponik adalah budidaya ikan lele, sebab lele menghasilkan kotoran ikan yang lebih banyak dibandingkan jenis ikan lainnya. lele juga termasuk ikan yang konsumsi pakannya tinggi. Dengan adanya konsumsi pakan yang tinggi, otomatis akan menghasilkan kotoran yang banyak pula akibat sisa pakan yang tidak termakan. Banyaknya kotoran yang dikeluarkan oleh ikan lele dan sisa pakan yang mengendap di kolam menjadikan pertumbuhan tanaman menjadi sangat cepat. Hampir semua jenis budidaya ikan seperti lele, gurami, nila, koi, emas, bawal, mujair, udang galah dan jenis ikan lainnya dapat dimanfaatkan untuk akuaponik.

Sedangkan jenis tanaman yang biasa dibudiyakan umumnya adalah tanaman sayuran yang bisa dipanen daunnya dan memiliki nilai ekonomis seperti selada, sawi, caisim, kangkung, dan sebagainya. Bahkan tanaman seperti cabai, terong, dan, tomat juga bisa pula dibudidayakan dengan sistem akuaponik. Keuntungan untuk hasil panen dari sayuran yang dikembangkan melalui akuaponik adalah tanaman lebih hijau, segar, awet, dan tidak mudah menguning.

Selain itu, sayuran menjadi lebih sehat karena bersifat organik. Sebab, selama masa tanam sayuran tidak menggunakan pupuk kimia dan pestisida, karena hanya menggunakan limbah dari kolam sebagai pupuk alaminya. Tanaman yang bersifat organik juga akan memiliki nilai jual yang lebih tinggi di pasaran bila dikembangkan dalam skala besar, sedang bila dikonsumsi sendiri tentunya menjadi bahan makanan yang sehat.

Akuaponik bisa diterapkan dalam skala besar maupun dalam skala kecil untuk rumahan. Untuk kita yang sudah punya kolam ikan di rumah bisa dimanfaatkan untuk akuaponik, namun untuk yang tidak punya kolam bisa juga menggunakan akuarium. Selain hasil tanamannya bisa dikonsumsi, penerapan akuaponik di akuarium juga bisa menambah estetika di dalam ruangan rumah dan akan membuat rumah menjadi lebih hijau. * Penulis adalah sarjana alumni jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Diponegoro yang saat bekerja di PT Indmira di Yogyakarta.

read more
Green Style

Di Kantor pun Anda Dapat Berkebun

Sejalan dengan perkembangan urban farming atau kegiatan berkebun di perkotaan, menjadikan berkebun itu bisa dilakukan dimana saja dan oleh siapa saja. Ketersediaan lahan yang terbatas bukanlah suatu halangan untuk mematahkan keinginan seseorang yang ingin berkebun. Selama ada keinginan dan kemauan keras, dimanapun tempatnya bisa saja digunakan untuk berkebun. Ya, di kantor pun ternyata tetap bisa berkebun.

Ide berkebun di kantor ini berawal dari kekhawatiran terhadap perubahan iklim serta kondisi lingkungan yang semakin tidak sehat. Semua perusahaan bisa memberikan kontribusi kecil untuk lingkungan yang diwujudkan dengan memanfaatkan taman kantor dan sisa lahan di kantor untuk berkebun. Aksi hijau ini bisa membuat suasana kantor lebih hijau.

Perusahaan bisa menyebarkan semangat positif peduli lingkungan di perkotaan dengan program urban farming yang juga bisa diterapkan di perkantoran. Kegiatan berkebun di kantor dapat dilakukan dengan memanfaatkan sisa lahan, taman kantor, maupun dengan menggunakan pot yang bisa difungsikan sebagai penghias ruangan dengan ditanami beraneka tanaman hias.

Mengapa berkebun di kantor? Yap, kantor bagi sebagian besar orang adalah rumah kedua, karena mulai pagi hingga sore atau bahkan petang mereka menghabiskan waktunya di kantor.

Menjadi sangat penting bagi sebuah perusahaan untuk membuat kantor yang senyaman mungkin untuk pegawainya. Satu ruang hijau seperti taman di luar ataupun di dalam kantor bisa membantu untuk menjaga produktifitas kerja. Uniknya, taman yang ada di pekarangan perusahaan ini juga dimanfaatkan untuk berkebun secara organik karena tidak menggunakan bahan-bahan kimia untuk proses pemupukan maupun perawatan tanaman.

Kegunaan taman kantor  yang juga difungsikan untuk berkebun tidak hanya sebagai penghias saja, tentunya juga memiliki manfaat. Misalnya saja sebagai pilihan tempat beristirahat untuk penghilang rasa kepenatan dari menatap layar komputer selama berjam-jam pada saat pekerjaan kantor menumpuk, penyuplai udara segar nan sejuk di area kantor, serta tidak ketinggalan yakni untuk memperindah kantor menjadi lebih hijau yang membuatnya menjadi lebih asri dan nyaman.

Di taman kantor juga terdapat gazebo yang dapat digunakan oleh karyawan untuk bersantai menikmati udara segar pada saat jam istirahat.

Untuk penataan taman dan kebun di perusahaan ini, disusun apik secara berkelompok dengan mengelompokkannya berdasarkan jenis tanaman ataupun teknik berkebun yang digunakan. Penyusunan secara berkelompok dengan jenis yang sama pada masing-masing kelompok dapat menciptakan keindahan dan suasana yang nyaman. pengelompokan itu terdiri dari jenis tanaman hias, tanaman tabulampot, hidroponik, vertikultur, dan akuaponik.

Untuk sekelas berkebun di kantor dengan memanfaatkan sisa lahan dan taman kantor, kebun di perusahaan ini termasuk ke dalam kebun yang cukup produktif karena jenis tanaman yang dikembangkan cukup beraneka ragam dan terus berjalan hingga saat ini.

Mulai dari jenis tanaman buah-buahan seperti durian, rambutan, nangka, jeruk, jambu, markisa, dan belimbing, jenis sayuran seperti selada, sawi, caisim, cabe, terong, tomat, kol, dan kangkung yang dikembangkan secara hidroponik, vertikultur, dan akuaponik, jenis tanaman hias seperti beraneka jenis anthurium dan anggrek, hingga jenis tanaman perkebunan seperti lada dan vanili berhasil ditanam dan telah menghiasi taman dan kebun yang ada diperusahaan ini.

Hasil panen buah dari kegiatan berkebun di kantor tersebut bisa dinikmati oleh seluruh karyawan. Setiap kali panen, hasilnya akan dibagikan secara merata untuk seluruh karyawan untuk dimakan bersama-sama, bahkan karyawan juga bisa memetik sendiri secara langsung ketika memiliki waktu senggang.

Memakan buah dari hasil petik di kebun sendiri itu dianggap lebih menyenangkan bagi karyawan karena menimbulkan kepuasan tersendiri dibandingkan dengan membelinya di toko buah atau di supermarket.

Sedangkan untuk hasil panen sayuran, akan dijual kepada karyawan yang berminat untuk membelinya, karena hasil dari penjualan sayuran itulah yang akan digunakan untuk pembelian bibit dan untuk proses perawatan tanaman agar kegiatan berkebun di perusahaan ini bisa terus berjalan.

Kegiatan berkebun di kantor ini bisa di bawah kendali tim tertentu seperti tim research & development dengan dibantu beberapa tenaga lapangan. Beberapa karyawan di divisi lain pun – yang memiliki minat untuk berkebun – bisa turut andil dengan bersama-sama merawat dan mengembangkan kebun.

Selain itu, direktur perusahaan bisa meluangkan waktunya dengan turut serta turun ke lapangan untuk terus memantau perkembangan kebun, agar kegiatan berkebun tersebut dapat terus berjalan dengan baik.

Berkebun selain mengasyikkan juga membantu memberikan ruang terbuka hijau dan ketahanan pangan. Untuk saat ini berkebun bukan hanya sebagai pekerjaan petani yang konvensional saja, tetapi bisa menjadi suatu budaya baru bagi karyawan kantoran yang tak hanya bermanfaat secara ekologi tetapi punya nilai ekonomi dan estetika.

Akan tetapi, upaya-upaya ini masih perlu digaungkan, agar memperhatikan lingkungan alam tidak sekedar soal tren semata, melainkan kesadaran untuk mewujudnyatakan budaya baru ramah lingkungan.

* Penulis adalah alumni Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Diponegoro, Semarang. Saat ini penulis bekerja dan tinggal di Yogyakarta.

read more
Perubahan Iklim

Polusi Sektor Pertanian Diluar Dugaan Ahli

Kotoran ternak dan pupuk melepaskan amonia ke atmosfer. Di udara, amonia bercampur dengan emisi lain dan membentuk partikel berbahaya.  Dari sebuah studi yang didanai oleh NASA, polusi amonia dari sumber-sumber pertanian ternyata menghadirkan dampak kesehatan yang lebih besar dari perkiraan sebelumnya.

Menggunakan pemodelan komputer, termasuk pemodelan reaksi kimia di atmosfer milik NASA, Fabien Paulot dan Daniel Jacob, peneliti asal Harvard University, Amerika Serikat mencoba memahami bagaimana amonia berinteraksi di atmosfer dan membentuk partikel material berbahaya.

Simulasi ini membantu para ilmuwan memperkirakan biaya kesehatan akibat polusi udara terkait produksi makanan untuk ekspor, sebuah sektor pertanian yang terus tumbuh, dan merupakan sumber surplus perdagangan.

“Biaya adalah konsep eknomi untuk mengukur berapa orang bersedia untuk membayar demi menghindari risiko,” kata Paulot. “Studi ini digunakan untuk mengetahui biaya yang dibebankan pada masyarakat, tetapi juga mampu mengevaluasi manfaat pencegahan,” ucapnya.

Dari riset yang dilakukan Paulot dan Jacob, biaya kesehatan terkait emisi amonia dari ekspor pertanian mencapai 36 miliar dolar AS per tahun (sekitar Rp409 triliun). Angka ini sekitar separuh dari keuntungan yang didapat dari ekspor pertanian.

Dengan kata lain, dari studi yang dilaporkan di jurnal Environmental Science & Technology, setiap kilogram amonia yang dihasilkan, biaya kesehatan yang harus dikeluarkan mencapai 100 dolar AS (sekitar Rp1,136 juta). Sebelumnya, US Environemntal Protection Agency memperkirakan biaya kesehatan yang harus ditanggung akibat 1 kilogram amonia hanya sekitar 47 dolar AS per kilogram.

Kotoran ternak dan pupuk untuk tanaman melepaskan amonia ke atmosfer. Di udara, amonia bercampur dengan emisi lain dan membentuk partikel mikroskopik atau particulate.

Partikulat ini menghadirkan risiko kesehatan besar, apalagi mereka yang memiliki ukuran lebih kecil dari 2,5 mikrometer atau sekitar 1/30 lebar rambut manusia. Ia bisa terhirup masuk ke dalam tubuh dan tertimbun jauh di dalam paru-paru. Paparan jangka panjang terhadap particulate ini bisa memicu penyakit paru-paru, jantung, dan bahkan berujung pada kematian.

Sumber: NGI/phys.org

read more
Sains

Uniknya Pertanian Bawah Tanah London

Sekitar 33 meter di bawah jalanan London yang ramai, ada sebuah tempat perlindungan pada masa Perang Dunia II dan sudah lama terbengkalai. Richard Ballarf dan Steven Dring menyulapnya menjadi kebun sayuran, meski tanpa sinar matahari dan tanah.

Lewat proyek Zero Carbon Food, Ballarf dan Dring berusaha mewujudkan kebun bawah tanah yang ramah lingkungan. Setelah bertahun-tahun dipersiapkan, perkebunan seluas satu hektar ini akan beroperasi penuh Maret mendatang.

Sayuran yang akan ditanam pertama-tama adalah brokoli, kucai bawang putih, red vein sorrel, mustard, ketumbar, dan basil Thailand. Tanaman besar seperti jamur dan tomat akan menyusul. Direncanakan, produk pertama Zero Carbon Food akan tersedia di restoran dan pasar pada musim panas tahun ini.

“Zero Carbon Food menggunakan ruang bawah tanah tak terpakai di London untuk menghasilkan sayur-mayur, herba, dan microgreens menggunakan sinar LED dan hidroponik. Kami memproduksi bahan-bahan segar dengan jejak karbon minimal,” tulis Zero Carbon Food seperti dilansir situs Huffington Post (31/01/2014).

Alas tanam tiga lapis, sistem siklus air, serta lampu-lampu LED membantu menjaga suhu dan kelembapan lingkungan bawah tanah kondusif untuk pertumbuhan tanaman. Sistem hidroponik yang dipakai juga diklaim dapat mengirit penggunaan air hingga 70% dibanding sistem pertanian ladang terbuka konvensional.

“Hidroponik terdengar sangat teknis, padahal teknologi ini tak rumit. Meja-meja yang dipenuhi benih dibanjiri air, kemudian air tersebut surut dan kembali ke tangki. Beberapa jam kemudian, air kembali membanjiri meja. Begitu seterusnya,” ujar Dring yang mengklaim cara ini hemat energi.

Zero Carbon Food kini sedang mencari bantuan dana. Target mereka US$500.000 (Rp 6,1 miliar). Saat ini, mereka baru mengumpulkan US$64.600 (Rp 789 juta).

Perusahaan ini bekerjasama dengan Michel Roux Jr., chef restoran Le Gavroche di London yang meraih dua bintang Michelin.

“Saat pertama kali bertemu pria-pria ini, saya pikir mereka benar-benar gila. Namun ketika saya mengunjungi terowongan tersebut dan mencoba hasil panen enak yang mereka tanam di bawah sana, saya terkejut. Pasar untuk sayuran ini besar,” kata Roux Jr.

Sayuran-sayuran tersebut juga mendapat skor tinggi dari kritikus kuliner Samuel Muston. Ia mengatakan bahwa tunas polong (pea shoots), lobak mikro, dan mustard berdaun merahnya tampak gemuk dan memiliki rasa kuat.

“Sayuran yang sama di supermarket, yang bagus sekalipun, cenderung terasa seperti antara debu dan amplop cokelat. Sayuran yang ini, anehnya, terasa seperti ditanam di ladang,” kata Muston.

Sumber: detiknews

read more
Ragam

Pertanian Organik dari Sudut Magelang

Bagi tim National Geographic Indonesia dan Plant and Play libur akhir pekan di pengujung Maret menjadi istimewa. Tak sekadar menjelajah Magelang dan Yogyakarta, mereka pun semakin meresapi makna kegiatan “Plant and Play” yang telah digelar sejak awal tahun.

Di Desa Mangunsari, Kabupaten Magelang, misalnya. Tim mendapatkan pengetahuan mengenai pertanian organik yang telah dirintis oleh seorang petani di sana. Bila dihitung hingga saat ini, ia telah menjalankan pertanian yang berkelanjutan selama 17 tahun. Ketekunan itu telah menampakkan hasil positif—setidaknya bagi warga desa.

Namanya, Widagdo. Dialah yang mencetuskan kata “Tuton”‑yang digunakan untuk produk beras organik miliknya. Dia bilang, kata itu berasal dari “tutu” yang berarti proses menumbuk padi. Peralatan menumbuknya terdiri dari alu yang terbuat dari kayu yang berfungsi sebagai penumbuk dan lumpang yang terbuat dari batu yang berfungsi sebagai wadah gabah yang akan ditumbuk.

Padi organik milik Widagdo memang butuh masa panen yang lebih lama daripada padi non-organik. Selisihnya, dua puluh hari. Namun, ia tak pusing soal itu. Yang penting adalah hasil akhir: kualitas padi yang sangat baik.

Begitu panen tiba, hingga 1,5 tahun lalu, Widagdo mengaku masih menggunakan jasa mesin penggilingan padi. Dengan mesin, Widagdo biasanya akan mendapati penyusutan kuantitas dari satu kuintal menjadi sekitar 68 kilogram. Hal itu disebabkan selain karena terlepasnya sekam dari bulir padi, juga banyak bulir beras yang ikut hancur tergerus mesin.

Demi memecahkan masalah penyusutan, Widagdo berinisiatif. Kembali ke petani zaman dahulu: menumbuk padi. Cara usang ini telah dilakukan sejak tiga kali masa panen. Dan, terbukti mumpuni. Widagdo pun mendapati selisih sekitar empat kilogram lebih banyak daripada menggunakan mesin. Selain itu, ia tak perlu membayar sewa mesin penggiling seharga Rp300/kilogram gabah.

Widagdo pun memberdayakan masyarakat setempat untuk menumbuk padi. Para penumbuk biasanya diberi upah antara Rp1.500 sampai Rp2.000 per satu kilogram gabah. Tak hanya menumbuk, namun hingga pemilihan bulir-bulir padi yang baik hingga siap kemas. Teknik ini juga yang menginspirasi penamaan produk beras miliknya.

Meski awalnya gagasan beras organik tersebut bertujuan sebagai konsumsi pangan sehat mereka sendiri, namun dalam perjalanannya sering kali dimanfaatkan sebagai sumber pendapatan keluarga. Bahkan, misalnya, hasil penjualan satu kilogram beras organik digunakan untuk membeli tujuh kilogram raskin (beras bagi masyarakat berpenghasilan rendah).

Tidak ada tanda khusus yang membedakan beras organik dan non-organik, kecuali setelah dimasak kondisi nasi akan baik hingga mencapai empat hari. Karena itu, Widagdo menambahkan, bahwa modal utama pertanian organik adalah kejujuran. Sebab, apabila si petani nakal, bisa saja dalam proses bertani itu ia menambahkan urea.

Kini, selain untuk konsumsi pribadi, karena permintaan pasar yang tinggi terhadap beras organik, beras Tuton dipasarkan juga ke beberapa kota melalui Yayasan Kehati dan Lumbung Pangan Dunia (LPD). Beras organiknya dijual dengan harga mulai dari Rp15.000/kg dalam kemasan dua kilogram dan lima kilogram.

Widagdo berharap bahwa kelak akan ada pemodal untuk penggemukan sapi. Niat ini muncul ketika kebutuhan kotoran ternak sebagai elemen komposisi kompos cukup tinggi. Sedangkan untuk pangannya Widagdo akan mengandalkan penanaman rumput di pematang sawah.

Sumber: NGI

read more
Ragam

Bandung Kembangkan Pertanian Kota

Meski memiliki julukan kota kembang, dengan jumlah penduduk yang besar dan pembangunan yang pesat, Bandung tak lagi memiliki banyak lahan hijau.

Untuk itu, pemerintah setempat mengembangkan urban farming atau pertanian perkotaan mulai tahun ini, di mana para keluarga di setiap Rukun Warga atau RW wajib menanam berbagai tanaman produktif yang bernilai ekonomis bagi keluarga.

Tanaman produktif tersebut yaitu termasuk sayur-sayuran seperti tomat, cabe rawit, kangkung, bawang daun, dan caisim.

Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Bandung, Ely Wasliah mengatakan, program yang sepenuhnya diprakarsai oleh pemerintah kota Bandung tersebut akan menyasar seluruh warga. Pemerintah kota sendiri akan memberikan bantuan sarana seperti bibit, pupuk, dan pot-pot atau rak-rak tanaman, ujarnya.

“Dari urban farming ini karena nanti yang akan dikembangkan di sana itu di antaranya adalah komoditas sayuran, jadi kebutuhan pangan sayuran untuk rumah tangga tersebut dipasok dari lahan pekarangannya sendiri. Kami bantuannya nanti dalam bentuk barang, benih, pupuk, juga ada rak-rak vertikultur yang memang cocok dikembangkan di lahan pekarangan,” ujarnya.

Dalam program urban farming, masyarakat dapat bercocok tanam di pekarangan masing-masing dengan memanfaatkan lahan yang ada. Meski lahan yang dimiliki sempit, masyarakat bisa menanam tanaman dengan sistem vertical garden, atau menanam secara vertikal di dinding dengan menggunakan rak-rak tanaman yang disusun berderet.

“Kalau misalnya satu RW semuanya rumah ini mengembangkan urban farming, jadi lingkungan itu akan nyaman, asri, hijau, menambah kontribusi terhadap Ruang Terbuka Hijau, RTH dari privat. Kalau yang di jalan-jalan yang taman-taman kan fasilitasnya RTH umum, publik. Kalau kami RTH privat, RTH yang ada di masyarakat,” ujar Ely.

Jayadi, ketua RW di kawasan Margahayu Raya, Kota Bandung mengatakan, dengan program ini lingkungan warga menjadi semakin hijau dan asri. Warga pun dapat menikmati hasil cocok tanam mereka sendiri.

“Di taman, di halaman rumah masing-masing, di sekolah, dan di tempat olahraga lapangan voli. Lingkungan jadi hijau, bagus dipandang, ada hasilnya, kelihatannya juga indah,” ujarnya. Warga Kota Bandung pun menyambut baik program pertanian perkotaan ini.

“Untuk nambah-nambah oksigen lah, artinya lingkungan kan jadi tidak terlalu panas. Kalau tidak ada pohon kan kita kepanasan,” ujar seorang warga bernama Umi. Yang lain mengatakan program ini memudahkan mereka dalam memasak dan membuat lebih hemat.

“Satu hijau; kedua ada manfaatnya seperti tanaman (sayuran), setidaknya kita mengurangi beli di warung-warung,” ujar Eli.

Konsep urban farming telah ada di beberapa negara. Salah satunya di Montreal, Kanada, dengan nama Lufa Farm yaitu konsep pertanian perkotaan di atas atap atau rooftop farming.

Di Indonesia, konsep urban farming yang diwajibkan untuk seluruh warga baru ada pertama kali di Kota Bandung. Diharapkan konsep ini bisa menjadi budaya baru yang tak hanya bermanfaat secara ekologi tetapi juga memiliki nilai ekonomi dan estetika.

Sumber: NGI/VOA Indonesia

read more
Green Style

Solusi Penuhi Kebutuhan Pangan pada 2050

Kesenjangan produksi pangan dunia, yang dihitung dari jumlah kalori, diperkirakan akan terus meningkat mencapai 70% pada 2050. Dunia dituntut untuk meningkatkan produksi pangan guna memersempit kesenjangan kebutuhan kalori ini.

Solusi tersedia. Hal ini terungkap dalam laporan terbaru berjudul World Resources Report: Creating a Sustainable Food Future yang dirilis baru-baru ini.

Laporan ini disusun oleh World Resources Institute (WRI), Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP), Program Pembangunan PBB (UNDP), dan Bank Dunia.

Analisis dalam laporan ini menyebutkan, dunia memerlukan 70% kalori lebih banyak untuk bisa memenuhi kebutuhan pangan penduduk dunia yang diperkirakan akan mencapai 9,6 miliar pada 2050.

Menurut keempat lembaga, upaya untuk menutup kesenjangan ini bisa dilakukan dengan tetap menjaga produktivitas dan kelestarian lingkungan dengan memerbaiki cara masyarakat memroduksi dan mengonsumsi pangan.

Salah satu solusinya adalah potensi untuk meningkatkan produktivitas tanaman dan ternak dengan menggunakan tanah yang telah tersedia. Aksi ini penting untuk menyelamatkan hutan dan mengurangi emisi gas rumah kaca.

Dunia perlu meningkatkan produktivitas tanaman hingga 32% dalam empat puluh tahun ke depan guna menghindari pembukaan lahan.

Solusi selanjutnya adalah mengurangi limbah pangan yang jumlahnya mencapai 1,3 miliat ton per tahun, dengan kerugian ekonomi yang bernilai sekitar $1 triliun.

Sebanyak 25% kalori yang diproduksi untuk konsumsi manusia hilang atau terbuang. Dengan mengurangi limbah pangan hingga separuhnya pada 2050, dunia bisa mengurangi kesenjangan pangan sebesar 20%.

Solusi ketiga adalah peralihan pola makan. Dengan mengurangi konsumsi daging, dunia bisa mengurangi kebutuhan atas lahan pertanian dan sumber daya alam. Peningkatan kebutuhan lahan untuk penggembalaan ternak bertanggung jawab atas separuh ekspansi lahan pertanian sejak 1960-an.

Solusi dan laporan lengkap aksi peningkatan produksi pangan, bisa diunduh pada tautan berikut: Sustainable Food Production.

Sumber: Hijauku.com

read more
1 2
Page 1 of 2