close

sawit

Hutan

Melihat Komitmen Konservasi Hutan APP

Setahun lalu, Asia Pulp & Paper mengeluarkan komitmen untuk mengakhiri perannya dalam pengrusakan hutan. Kebijakan ini termasuk untuk segera menghentikan semua aktifitas penebangan hutan dan mengawali perjalanan menuju reformasi, dibawah pengawasan Greenpeace dan NGO lokal serta internasional.

Setelah satu tahun, meski di tengah banyak tantangan, kami cukup puas moratorium penebangan masih berlanjut dalam konsesi APP dan APP tetap serius pada komitmennya. Semua ini tak mungkin terjadi tanpa dukungan Anda.

Kampanye untuk reformasi sektor kehutanan Indonesia dan perusahaan-perusahaan seperti APP telah dimulai sejak satu dekade lalu. Melibatkan pergerakan banyak orang yang mendukung perlindungan hutan di seluruh Indonesia dan di seluruh dunia.

Dengan bantuan Anda, Greenpeace mendesak beberapa merek internasional untuk menangguhkan kontrak dengan APP, meningkatkan tekanan pada perusahaan ini untuk melakukan reforamasi. Anda bersama lebih dari setengah juta orang lainnya bergabung dengan kampanye tahun 2011, mendesak Mattel dan perusahaan mainan lainnya untuk berhenti mendukung deforestasi dan bergabung dengan kampanye istimewa Chainsaw Barbies.

Ini hanyalah satu dari sekian banyak langkah Anda bersama kami untuk menjaga komitmen APP melindungi hutan. Dan kita berhasil. Perjalanan masih panjang dan beberapa masalah penting masih harus dicarikan jalan keluarnya, tapi hari ini, APP berada di posisi yang sangat kontras dengan pesaing utamanya di sektor industri pulp Indonesia. APRIL/RGE Group adalah APP yang baru – pengusung standard pengrusakan hutan di Indonesia.

APRIL masih terus mencoba membersihkan citra sebagai perusak hutan. Minggu lalu, mereka mengumumkan ‘Sustainable Forest Management Policy’ sebuah kebijakan perlindungan hutan setelah mendapat teguran dan terancam dikeluarkan dari World Business Council for Sustainable Development.

Bagi kami, itu seperti tindakan putus asa untuk untuk menutupi pengrusakan yang mereka lakukan. Sementara kami masih terus mengawasi kemajuan APP, komitmen mereka membantu meningkatkan tekanan bagi pengrusak hutan seperti kelompok APRIL/RGE.

Sumber: greenpeace.or.id

read more
Energi

Tarik Ulur Bensin-bio Dan Minyak Sawit

Parlemen Eropa akan tetapkan persentase bahan bakar tanaman dalam bensin. Dukungan bagi pengurangan persentase itu menguat. Tapi cukupkah?

Penanganan iklim global ditandai berbagai upaya menghasilkan energi yang ramah lingkungan. Semisal bensin-bio, bahan bakar campuran minyak bumi dengan minyak dari tanaman.

Namun penggunaan bensin-bio tak lantas berarti perubahan iklim global berhenti, apalagi bila untuk itu hutan digunduli. Begitu pandangan Komisi Lingkungan Hidup parlemen di Strassburg Juli lalu, yang menilai dampak nyata terhadap perubahan iklim dan kenaikan harga pangan di seluruh dunia.

Rabu (11/09/2013) parlemen Eropa akan menetapkan prosentase bahan bakar tanaman dalam bensin-bio. Komisi Uni Eropa ingin menurunkan persentase itu dari 5,5% menjadi 5%.

Hemat pajak dan menahan harga pangan

„Target itu terancam gagal“, ungkap anggota parlemen Eropa, Jo Leinen (SPD). Dukungan untuk menurunkan prosentase datang dari berbagai kelompok masyarakat sipil dunia. Sejumlah organisasi lingkungan dan bantuan, seperti „Brot für die Welt“, „Misereor“ dan „Watch Indonesia“ juga menyurati wakil Jerman di parlemen Eropa dengan imbauan agar campuran itu betul-betul hanya sebatas 5 persen.

Dengan begitu, menurutnya, ada penghematan dana pajak karena subsidi untuk bensin-bio aan berkurang. Juga, kenaikan harga bahan pangan bisa dihambat. Belakangan, penggunaan tumbuhan pangan untuk bensin telah mendorong tinggi harga pangan.

Bondan Andriyanu dari Sawit Watch, berharap Uni Eropa menetapkan kuota campuran dibawah 5 persen. Sawit Watch kerap melihat petani-petani yang digusur oleh pengusaha sawit. Saat ini sudah 12,2 juta hektar yang digunakan untuk itu dan setiap menit sekitar 13 lapangan sepakbola kawasan hutan ditebang untuk perkebunan sawit.

Ditegaskan, kenaikan persentase minyak dari tumbuhan akan mengisyaratkan permintaan yang meninggi. Dan itu akan memicu investasi yang lebih besar untuk membuka lahan perkebunan sawit. Hal yang kemudian akan menambah rawan kondisi lingkungan dinegara-negara pengekspor bahan dasarnya. Indonesia dan Malaysia merupakan produsen minyak sawit terbesar dunia.

Forum Industri Dukung Minyak Ramah Lingkungan

Namun baik komisi energi parlemen Eropa, maupun sebagian negara Uni Eropa menentang pembatasan ini. Komisi energi EU justru ingin menaikkan batasan maksimal pada 6,5 persen dan banyak negara mendorong batasan menjadi 7 persen.

Produsen bahan bakar bio berargumentasi bahwa Uni Eropa sudah bertahun-tahun mendorong peningkatan produksinya, dan bakal merugi setelah berinvestasi miliaran Euro. Selain itu, sudah berupaya memenuhi aturan-aturan ramah lingkungan.

Salah satunya dengan pembentukan Forum RSPO (Roundtable on Sustainable Palmoil), yang diluncurkan di Berlin awal September ini. “Forum ini ingin mendukung perusahaan agar hanya menggunakan minyak sawit yang melalui sertifikasi terjamin 100% ramah lingkungan”. Begitu ungkap Sekjen Forum, Daniel May.

Seputar peluncuran forum pengusaha sawit itu, puluhan aktivis Jerman dan Indonesia berunjuk rasa di depan markas Komunitas Kerjasama Internasional Jerman, GIZ di Berlin. Kritiknya, pebisnis sawit tidak bisa diharapkan melindungi lingkungan maupun menjaga keberlanjutan. “Sertifikat tidak ada artinya di negara yang hutan-hutannya musnah, tukas Hedwig Zobel dari NGO, Rettet den Regenwald (Selamatkan Hutan Tropis)

Menurut Clemens Neumann, staf kementrian ekonomi Jerman, “Kritik NGO ini beralasan, namun sangat sulit untuk hanya memfokus masalah lingkungan saat menghadapi pertumbuhan penduduk.” Minyak sawit digunakan dalam hampir semua produk. Tahun 2012, permintaan minyak sawit menjadi 50 juta ton, lebih tinggi dari kacang soya atau raps. Jerman mengimpor 1,2 juta ton minyak sawit tahun lalu.
Sumber: dw.de

read more
Kebijakan Lingkungan

Uni Eropa Terapkan Kriteria Biomassa Berkelanjutan

Industri semakin banyak menggunakan tumbuhan sebagai bahan baku. Tapi pengembangannya bisa merugikan alam dan manusia. Kini komunitas industri, lingkungan dan pembangunan menetapkan kriteria bagi penanaman berkelangsungan.

Perusahaan kimia Jerman setiap tahunnya menggunakan sekitar tiga juta ton bahan baku dari tumbuhan: minyak, selulosa, kanji, gula, karet alami dan banyak lagi. Dari zat kimia alamiah dibuat misalnya, perekat, sabun cuci atau plastik organik. Kebutuhan akan bahan mentah ini semakin meningkat, kata Jörg Rothermel, anggota ikatan industri kimia VCI, yang mengurus masalah energi, perlindungan iklim dan politik bahan mentah.

Meningkatnya permintaan ada dampaknya. Untuk mendapat bahan baku yang diinginkan, banyak perusahaan menebang pohon di hutan tropis, atau merampas tanah warga beserta sumber hidup mereka. Praktik ini sering didukung atau diterima pemerintah. Salah satu contohnya minyak sawit, yang jadi produk dasar minyak untuk makanan, bahan bakar, pelumas dan kosmetik. Untuk penanaman bahan baku ini, dituntut adanya kriteria ekologis dan sosial.

Bukti Kualitas bagi Biomassa Berkelanjutan
Akhir 2013 pakar dari industri kimia, organisasi bantuan Deutsche Welthungerhilfe dan ikatan perlindungan alam mengambil tindakan. Bersama agen untuk bahan baku berkelanjutan, FNR yang disokong pemerintah Jerman menerbitkan kriteria, yang memperketat pengembangbiakan, penggunaan tanah dan produksi bahan baku organik.

Kesepakatan berorientasi pada katalog kriteria Uni Eropa, bagi penggunaan biomassa dari tahun 2009. Lebih jauh lagi, disepakati 25 “kriteria ekologis”. Sehingga hutan tropis tidak boleh ditebang, rawa tidak boleh dikeringkan dan sabana yang kaya keanekaragaman satwa dan tumbuhan tidak boleh dijadikan lahan pertanian. Selain itu, kualitas tanah harus dijaga dan kadar nitrat tidak boleh berkurang.

Termasuk dalam 19 “kriteria sosial” antara lain: hak penduduk dan pekerja untuk mendapat air minum, tempat tinggal tetap serta bayaran sepadan. Mempekerjakan anak dilarang. Rafael Schneider dari organisasi bantuan Jerman Deutsche Welthungerhilfe sambut baik hal ini, karena dalam kriteria Uni Eropa tentang penggunaan biomassa dimensi ini tidak ada. Selain itu, pemerintah dan produsen bahan baku organik harus memberi bukti tidak terima suap, dan mendokumentasi cara mereka mengunakan lahan.

Dari Kertas Jadi Kenyataan
Kini harus dibuktikan, apakah kriteria itu bisa dipraktekkan. Kepala FNR, Andreas Schütte menjelaskan bagaimana pelaksanaannya. Mulai 2014 bahan baku organik, yang digunakan untuk membuat pelumas dan bahan sintetik harus diuji dan diberi sertifikat sesuai kriteria. Dengan demikian, semakin banyak perusahaan kimia memperhatikan produksi berkelanjutan ketika membeli biomassa dan juga menuntut itu dari pemasoknya. Demikian harapan Schütte.

“Tapi pada akhirnya, setiap perusahaan haru memutuskan itu sendiri,” kata Rothermel dari ikatan industri kimia VCI. Ia tidak mendukung, jika kriteria-kriteria itu ditetapkan secara hukum. Menurutnya, itu bisa mengurangi keinginan perusahaan untuk menggunakan biomassa. Rothermel berargumentasi, biomassa yang diproduksi secara berkelangsungan harganya mahal, karena pekerja harus digaji lebih baik dan perusahaan-perusahaan harus punya tempat penyimpanan pestisida yang lebih baik.

Ancaman Merugi
Norbert Schmitz, pemimpin perusahaan International Sustainability & Carbon Certification (ISCC) yang bergerak di bidang pemberian sertifikat untuk biomassa dan bioenergi di seluruh dunia memberikan contohnya. “Satu ton minyak sawit yang bersertifikat harganya sekitar 40 sampai 50 Dolar lebih mahal daripada minyak sawit tanpa sertifikat.” Dibanding dengan saingan yang tidak memakai minyak sawit bersertifikat, ini bisa berarti kerugian besar.

Perusahaan kimia yang mengalami tekanan finansial pasti tetap menggunakan bahan mentah dengan dasar minyak bumi. Di Jerman, produk kimia yang menggunakan biomassa hanya sekitar 13 persen. Rothermel dari VCI yakin, perubahan hanya akan terjadi secara perlahan. Lagi pula, biomassa tidak mungkin menggantikan sebagian besar kebutuhan akan bahan dasar. Karena itu berarti terhentinya produksi bahan pangan bagi manusia.

Sumber: dw.de

read more
Ragam

Seberapa Bersih Minyak Sawit Anda?

Pagi hari ketika Anda mandi atau sarapan, berhentilah sejenak dan perhatikan apa yang Anda pegang. Sabun yang Anda gunakan atau margarin yang Anda oleskan di roti, atau minyak yang anda gunakan untuk membuat nasi goreng mengandung sebuah bahan baku penting yaitu minyak sawit.

Bila hari-hari ini Anda sering mendengar minyak sawit atau minyak nabati menjadi topik pembicaraan, itu tak lain karena perannya yang semakin penting dalam kehidupan kita sehari-hari, dan karena itu menjadi sangat krusial untuk memastikannya ia dihasilkan dengan cara-cara yang lebih bertanggung-jawab.

Minyak sawit adalah minyak nabati yang berasal dari sejenis pohon kelapa (palem) yang asalnya berasal dari Afrika Barat. Minyak sawit digunakan sebagai bahan baku hampir seluruh produk yang kita gunakan setiap hari, ia ada di hampir setiap sudut rumah kita. Minyak ini memiliki keunggulan sifat yang tahan oksidasi, dan dengan tekanan tinggi mampu melarutkan bahan kimia yang tidak larut oleh bahan pelarut lainnya, juga mempunyai daya melapis yang tinggi dan tidak menimbulkan iritasi pada tubuh dalam bidang kosmetik.

Sayangnya, seringkali sistem pengolahan bertanggung-jawab terlewatkan dalam proses pengolahan minyak sawit. Akhirnya kita mengenal istilah minyak sawit kotor dan minyak sawit bersih. Minyak sawit bersih adalah minyak sawit yang diolah dengan prinsip bertanggung-jawab atau berkelanjutan  dengan tidak merusak hutan dan lahan gambut yang memiliki kandungan karbon tinggi, menghormati hak-hak masyarakat lokal dan buruh serta dihasilkan dari sumber-sumber legal yang terlacak dan tidak terhubung dengan hal-hal diatas.

Mari lihat lagi produk-produk yang kita pakai setiap hari, karena besar kemungkinan kita pun tanpa sadar terkait dengan pengrusakan hutan ketika menggunakan produk dengan kandungan minyak sawit kotor tersebut. Tapi selalu ada pilihan untuk melakukan sesuatu. Kita bisa mendesak produsen untuk segera mulai memakai minyak sawit bersih dalam rantai produksi mereka, dan dengan demikian kita telah ikut menjaga hutan dan tidak terkait dengan penggunaan minyak dari proses yang bersifat merusak.[]

Sumber: greenpeace.co.id

read more
Sains

Matematika Hijau Pohon Berkah

Saya pernah menulis tentang ‘Mencari Berkah Yang Hilang’, yang antara lain menjelaskan berkah sebagai sesuatu yang mengandung kebaikan yang amat sangat banyak. Malam yang berkah nilainya sekitar 29,500 kali dari malam yang lain, shalat di Masjidil Haram di kota Mekah yang diberkahi – nilainya bahkan 100,000 kali dari sholat di tempat yang lain. Bayangkan bila kita bisa menghadirkan keberkahan itu ke sekitar kita, antara lain melalui pohon yang diberkahi.

Zaitun usia sekitar 1 tahun | Foto: geraidinar.com

Menggunakan analogi nilai malam Lailatul Qadar dan kota Mekah yang diberkahi tersebut, insyaAllah akan memudahkan kita untuk bisa memahami bagaimana pohon yang diberkahi – yaitu zaitun – itu bisa menjadi berkah yang amat sangat banyak, yang nilainya puluhan ribu sampai seratus ribu kali pohon yang lain.

Untuk bisa berbagi memahami bagaimana keberkahan pohon zaitun itu dapat kami jelaskan dengan apa yang terjadi di laboratorium pembenihan zaitun kami. Pohon zaitun yang berumur 1 tahun seperti pada gambar disamping, Alhamdulillah bisa dengan relative mudah menghasilkan 3 pohon zaitun baru dengan teknologi micro-cutting di salah satu cabang atau rantingnya. Teknik ini hanya memerlukan 4 sampai 6 ruas daun (sekitar 10 cm) cabang atau ranting untuk bisa menjadi bakal pohon baru.

Setelah tahun ini (pohon usia 1 tahun)  menghasilkan 3 pohon baru, tahun depan insyaAllah akan ada minimal 3 cabang yang bisa dipotong lagi masing-masing menjadi 3 bibit baru. Artinya pohon yang setahun sekarang, ketika usianya dua tahun dia bisa menghasilkan 9 pohon baru plus 3 dari tahun sebelumnya, begitu seterusnya.

Bibit Zaitun hasil Micro-Cutting | Foto: geraidinar.com

Dalam tujuh tahun sampai tahun 2020, satu pohon zaitun yang sekarang berumur satu tahun setelah beranak-pinak, insya Allah bisa menghasilkan sekitar 7 juta pohon. Ini dimungkinkan dengan teknik micro-cutting – yang hanya membutuhkan cabang/ranting kecil sepanjang sekitar 10 cm yang terdiri dari 4-6 ruas daun tersebut di atas.

Padahal sekarang di seluruh lab kami (3 lokasi) ada sekitar 1,000 pohon zaitun. Artinya dengan matematika yang saya tunjukkan di gambar di bawah, teoritis kita bisa menghasilkan 7 milyar pohon zaitun sampai tahun 2020.

Pekerjaan yang sangat besar dan berat yang tentu saja tidak akan kami lakukan sendiri. InsyaAllah pekerjaan besar tersebut akan kami share ilmunya dan bibitnya sehingga bisa dilakukan rame-rame oleh masyarakat luas.

Pekerjaan besar lainnya adalah menemukan lahan di mana menanam 7 milyar pohon tersebut nantinya. Diperlukan luasan lahan sekitar 43 juta hektar untuk menanam pohon sejumlah ini atau sekitar 5 kali luasan tanaman kelapa sawit yang ada di Indonesia saat ini.

Matematika Micro Cutting Zaitun
Tidak mungkinkah memperoleh luasan ini ? mungkin sih mungkin tetapi tentu tidak akan mudah karena 43 juta hektar lahan adalah setara kurang lebih 22 % dari luasan Indonesia. Bukan berarti kita akan menanami 22 % lahan Indonesia dengan zaitun, tetapi matematika ini untuk menunjukkan bahwa bahkan kalau kita mau memenuhi Indonesia dengan pohon zaitun-pun; benih yang sekarang ada sangat cukup untuk melakukannya.

Belanda hanya perlu membawa empat benih sawit untuk kemudian Indonesia menjad produsen sawit terbesar di dunia dalam beberapa ratus tahun kemudian. Yang kita miliki kini bukan hanya empat benih, tetapi seribu benih – yang penggandaannya dengan micro-cutting bisa jauh lebih cepat ketimbang penggandaan sawit.

Artinya secara matematis-pun menjadi sangat mungkin untuk menanam zaitun dengan cara yang se masif penanaman sawit. Lebih dari itu zaitun adalah pohon yang diberkahi yang kabarnya langsung datang dari Yang Maha Tahu.

“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat (nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS 24:35)

Maka bila diperlukan ratusan tahun untuk menjadikan Indonesia produsen sawit terbesar di dunia, hanya perlu waktu sekitar 10 tahun bagi Indonesia untuk menyamai produksi minyak zaitunnya sama besar dengan produksi minyak sawit sekarang. Data produksi minyak tersebut di atas hanya sampai tahun 2020 ketika mayoritas pohon belum berbuah, semua  pohon insyaAllah akan berbuah dalam empat tahun kemudian atau tahun 2023 – yaitu saat zaitun bisa menggantikan sawit kita sekarang.  Inilah barangkali bentuk keberkahan yang seharusnya bisa kita raih itu.

Zaitun  tidak memerlukan pabrik untuk membuat minyaknya, artinya masyarakat bisa lebih mudah di-encourage untuk menanamnya dan mengolahnya sendiri. Jadi keberkahan itu bener-bener menjadi hak semua orang.

Bahwa zaitun adalah pohon yang banyak berkahnya – itu sudah pasti benarnya karena Allah sendiri yang mengabarkannya, matematika di atas hanya alat bantu kita untuk memahami bagaimana keberkahan yang sangat banyak itu bisa kita hadirkan di sekitar kita.

Sumber: geraidinar.com

read more
Kebijakan Lingkungan

Pemerintah Bantu Perusahaan Serobot Lahan Rakyat (1)

Seorang peneliti dari Thailand, Ruayrin Pedsalabkaew, mempublikasikan hasil risetnya tentang penyerobotan lahan oleh perkebunan kelapa sawit di Aceh, dampaknya terhadap ekosistem dan hak masyarakat setempat. Penelitian telah dilaksanakan selama setahun di Aceh, terutama di kawasan Rawa Tripa, Nagan Raya. Pembukaan kebun sawit oleh investor asing telah menyebabkan rakyat kehilangan mata pencarian dan kerusakan ekosistem, demikian kesimpulan penelitiannya.

Ruayrin Pedsalabkaew, yang merupakan fellow pada Asian Public Intellectual (API), mengatakan penelitian bertujuan untuk mengetahui dampak bisnis kelapa sawit di Aceh terhadap masyarakat dan pemanfaatan sumber daya alam disekitarnya. Penelitian dilakukan antara lain mengumpulkan data, observasi lapangan, wawancara tokoh kunci. Hasil penelitian berbentuk artikel dipublikasikan di website.

Temuan utama penelitian menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah Indonesia merupakan faktor kunci luasnya penyebaran pembukaan perkebunan kelapa sawit. Pemerintah Indonesia mempunyai target menjadi produsen minyak kelapa sawit terbesar, ini terlihat dalam rencana strategis pengelolaan hutan nasional yang terbuka bagi investor lokal maupun internasional.

Seiring meningkatnya konsumsi minyak sawit dan industri minyak mentah mengakibatkan lingkungan dan ekologi setempat rusak secara dramatis, hutan yang subur hancur. Terjadi perampasan terhadap hak milik dan struktur ekonomi masyarakat setempat.

Masyarakat setempat bergerak memperjuangkan haknya melalui kampanye, protes, termasuk melalui proses peradilan. Sayangnya, hak-hak warga Negara tidak terlindungi akibat dari lemahnya aturan hukum. Gerakan masyarakat ini didukung oleh lembaga swadaya masyarakat.

Propinsi Aceh kaya akan sumber daya alam hutan dan tanah yang sering memicu lahirnya konflik dan kekerasan untuk perebutan penguasaannya. Pemerintah setempat mempunyai kewenangan untuk mengelola sumber daya alam. Kondisi ini mendorong investasi besar baik investor lokal maupun internasional di sektor perkebunan di Aceh.

Ketika perusahaan besar berinvestasi dan mengelola lahan-lahan tersebut, masyarakat setempat mengalami berbagai kesulitan untuk mengakses lahan milik mereka. Bahkan ada masyarakat yang dipaksa pindah dari tanah mereka. Dulunya, masyarakat memiliki akses untuk mengelola tanah mereka sendiri melalui mekanisme yang diatur dalam hukum adat.

Berdasarkan hukum adat, hak milik tanah diwariskan secara turun temurun. Sepuluh tahun kemudian, perubahan demi perubahan yang berbenturan dengan hukum adat terjadi dan menimbulkan dampak hampir di segala lapisan masyarakat Aceh. Tanah telah diserobot sehingga menyebabkan sumber mata pencaharian hilang dan budaya berubah. Disisi lain, pemerintah telah mengabaikan hak-hak, keamanan dan kesejahteraan masyarakat, dan mengakibatkan gerakan perlawanan dari masyarakat. Hasilnya, kekerasan dan kerusakan terjadi selama masa sengketa lahan tersebut.

Perubahan yang terjadi di Aceh sama dengan perubahan yang terjadi di belahan dunia yang lain sebagai akibat dari invasi kapitalisme yang difasilitasi oleh pemerintah. Secara teori, pondasi inti ideologi kapitalisme adalah pertumbuhan statistik ekonomi. Investor menggalang kerjasama yang berkelanjutan dengan pemerintah, menggunakan kekuasaan struktural dalam rangka mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari sumber daya alam. Kekuasaan dan wewenang pemerintah inilah yang digunakan untuk melanggar hak-hak dasar masyarakat setempat.

Penelitian ini memiliki tiga tujuan yang signifikan. Pertama, melakukan investigasi terhadap dampak penggunaan tanah masyarakat. Kedua, mempelajari dampak rencana strategis pemerintah Aceh. Ketiga, mendistribusikan pembelajaran dan informasi kepada sesama peserta Asian Public Intelectual. Hasil akhirnya diharapkan dapat memberikan pembelajaran dan menjadi awal kerjasama jejaring masyarakat lokal yang terkena dampak penyerobotan lahan di Propinsi Selatan Thailand dan Propinsi Aceh, Indonesia.

Penelitian ini menggunakan metodologi studi lapangan ke daerah penelitian selama dua bulan pertama, di Propinsi Aceh. Hal ini bertujuan untuk mengetahui dan mempelajari tentang tradisi dan cara hidup masyarakat setempat, sehingga pengumpulan data dan wawancara yang akan dilakukan akan lebih mudah.

Pengumpulan data dilakukan melalui proses dokumentasi, wawancara dengan lembaga terkait dan masyarakat yang terkena dampak dari konflik dengan perkebunan. Kemudian, langkah kedua adalah mengumpulkan data dan informasi dari media cetak dan elektronik. Kemudian, semua data tersebut dianalisis, sintesis dan dituliskan dalam bentuk artikel berita.

Langkah terakhir adalah mempublikasikannya di website www.prachatai.com, sepuluh artikel akan dipublikasikan dalam dua bahasa (Bahasa Thailand dan Bahasa Inggris). Kemudian, artikel tersebut akan dipublikasi dalam versi bahasa Indonesia di website http://theglobejournal.com dan greenjournalist.net serta versi bahasa Aceh dipublikasikan di
http://acehclimatechange.org.

Kemudian, setelah semua artikel dipublikasikan maka akan didokumentasikan dalam bentuk buku saku yang akan didistribusikan sebagai media berbagi pengetahuan dan pembelajaran. Seluruh proses akan dilakukan selama dua belas bulan.

Sekarang penggunaan minyak kelapa sawit telah menjadi sumber bahan makanan dan juga menjadi sumber energi terbarukan. Misalnya penggunaan kelapa sawit di Thailand mencapai 42 persen untuk minyak, industri makanan 17 persen, biodiesel 28 persen, industri sabun7 persen dan lain-lain 6 persen.

Perkebunan kelapa sawit di Asia Tenggara merupakan yang terbesar di dunia. Area terbesar terletak di Indonesia dengan produksi 51,7 persen pada tahun 2012, Malaysia 35,4persen, Thailand memiliki lahan terluas ketiga sebanyak 3,3 persen, Kolumbia 1,7 persen, Nigeria 1,6 persen, dan Negara lainnya 6,4 persen. Indonesia bersama Malaysia memiliki keuntungan tersendiri karena memiliki sumber lahan yang luas membuat investor membuka perkebunan yang luas di kawasan dua Negara tersebut, sedangkan di Thailand hanya perkebunan berskala kecil.

Saat ini, ada tujuh kelompok investor besar asing yang membuka perkebunan sawit di Indonesia:
1. Investor Malaysia. Perusahaan bernama Gutrhrie Berhad. Perkebunannya di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan juga Aceh. Luasnya 220,204 hektar. Perusahaan Kulim Berhad, mengelola perkebunan di Sumatera dan Kalimantan dengan luas perkebunan 92,263 hektar. Perusahaan Golden Hope Berhad, luas perkebunannya 96.000 hektar. Perusahaan Kuala Lampur Kepong Berhad di Riau dan Kalimantan seluas 91,170 hektar.
2. Investor Singapura, perusahaan Wimar Holding yang mengelola 198.282 hektar di Sumatera dan Kalimantan.
3. Investor Inggris, perusahaannya bernama Rea Holding. Perkebunannya ada di Kalimantan dengan luas 66.136 hektar. Ada juga perusahaan MP Evans Group, lokasi perkebunannya di Propinsi Sumatera Utara dan Aceh dengan luas 47.290 hektare. Terakhir adalah perusahaan Anglo Easter yang mengelola lahan seluas 37.502 hektar di Sumatera.
4. Investor Belgia, perusahaannya bernama SA Slpef NV yang mengelola lahan seluas 65.993 hektar di Propinsi Aceh dan daerah Sumatera lainnya.
5. Luxembourg, perusahaan Socfianisa Luxemburg SA mengelola lahan seluas 44.992 hektar di Sumatera Utara.
6. Perusahaan Srilanka, Carson Cumberbatch & Co.Ltd mengelola lahan seluas 27.500 hektar di Kalimantan.
Di propinsi Aceh sendiri ada 51 perusahaan yang mengelola perkebunan kelapa sawit, lokal maupun multinasional.

Khusus di Kabupaten Aceh Singkil, ada tujuh perkebunan kelapa sawit sebagai berikut; pertama, Perusahaan Socfindo yang mempunyai izin konsesi lahan di Kecamatan Gunung Meriah hingga 4.414,18 hektar, yang telah ditanami kelapa sawit sejumlah 4.210 hektar. Kedua, Perusahaan Lemban Bakit juga mempunyai izin konsesi lahan di Kecamatan Singkil Utara hingga 6.570 hektar. Total area yang telah ditanami kelapa sawit sejumlah 5.923 hektar. Ketiga, Perusahaan Delima Makmur memiliki izin konsesi lahan di Kecamatan Danau Paris hingga 12.173,47 hektar dan yang telah ditanami kelapa sawit sejumlah 8.969 hektar.

Ke empat, Perusahaan Ubertraco mempunyai izin konsesi lahan di Kecamatan Kota Baharu hingga 13.924,68 hektar, dan yang telah ditanami kelapa sawit sejumlah 5.869 hektar. Kelima, Perusahaan Lestari Tunggal Pratama mempunyai izin membuka lahan perkebunan di Kecamatan Danau Paris hingga 1.861 hektar, dan telah ditanami kelapa sawit sejumlah 1.200 hektar. Ke enam, Perusahaan Telaga Zam-zam memiliki izin konsesi lahan di Kecamatan Gunung Meriah hingga 100,05 hektar dan seluruhnya telah ditanami kelapa sawit. Ketujuh, Perusahaan Jaya Bahni Utama memiliki izin konsesi lahan di Kecamatan Danau Paris hingga 1.800 hektar dan seluruhnya telah ditanami kelapa sawit.

Rekomendasi utama hasil penelitian adalah advokasi untuk perubahan, mendorong lahirnya kesejahteraan masyarakat, adanya keseimbangan kebijakan publik sebagai bagian dari perlindungan terhadap lingkungan dan pertumbuhan ekonomi. (bersambung)

 

Penulis, Ruayrin Pedsalabkaew, fellow pada Asian Public Intellectual (API), Reporter Deep South Watch yang telah melakukan penelitian tentang isu-isu perampasan lahan oleh perusahaan multinasional di Aceh: Dampaknya terhadap Hak Asasi Manusia dan Kearifan Lokal. Pendapat penulis tidak menggambarkan pandangan API Fellowships Program, The Nippon Foundation, the Coordinating Institution, dan/atau lembaga partner.

 

read more
Hutan

Kisah Nafasindo ‘Rampas’ Lahan Masyarakat

Pembukaan lahan oleh perusahaan multinasional yang didukung pemerintah di hutan Aceh menjadi perkebunan telah mengakibatkan masyarakat setempat tidak bisa lagi mengelola lahan sendiri. Bahkan ada yang terpaksa harus meninggalkan lahan yang sedang mereka garap. Kondisi ini sangat berbeda dengan masa lalu, dimana masyarakat setempat bisa mengelola lahan secara turun temurun dengan mekanisme yang diatur dalam hukum adat.

Ada begitu banyak kasus sengketa lahan yang diselesaikan melalui jalur hukum. Sebagian diantaranya diwarnai dengan kekerasan dan konfrontasi seperti demonstrasi yang memicu perusakan asset perusahaan. Reaksi ini disebabkan kebijakan yang tidak memihak masyarakat, tidak adil secara ekonomi dan sosial.

Ada 51 perusahaan perkebunan kelapa sawit yang mempunyai izin di Aceh. Sebagian besar perusahaan memiliki izin operasi lebih dari satu tempat, misalnya PT Perkebunan Nusantara I yang mengelola 13 petak tanah (http://2012.acehinvestment.com/perusahaan-PMDN.html).

Cerita berikut ini menjadi ilustrasi contoh sengketa yang terjadi diAceh. Kasus ini merupakan kasus sengketa lahan antara masyarakat setempat dengan perusahaan yang mendapatkan izin mengelola budidaya kelapa sawit di Kabupaten Aceh Singkil (sebelah utara berbatasan dengan Kota Subulussalam, sebelah selatan dengan samudra Pasifik, sebelah barat berbatasan dengan Sumatera Utara dan Kecamatan Trumon di Kabupaten Aceh Selatan).

Sebelumnya Kabupaten Aceh Singkil merupakan bagian dari Kabupaten Aceh Selatan. Kemudian dimekarkan menjadi kabupaten dengan peraturan Undang-undang No 14 tahun 1999. Sebagian Aceh Singkil terletak dikawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Kawasan ini terdiri dari gugusan pulau-pulau, terbagi menjadi 11 kecamatan dan 120 desa.

Lahan yang ada di Kabupaten Aceh Singkil telah dikontrak oleh perusahaan multinasional asal Malaysia. Hutan belantara dan rawa degradasi dan deforestasi.

Sementara itu, pengembangan export hasil perkebunan sedang dilakukan secara besar-besaran, seperti coklat, kelapa sawit, kayu bahan pembuat kertas, dan tanaman lainnya seperti kelapa, sirih, jahe, teh hitam, kapas, tebu, rempah-rempah dan lain-lain. Diantara semua tanaman budidaya yang tumbuh subur di Kabupaten Aceh Singkil, kelapa sawit merupakan tanaman yang bernilai jual tinggi.

Aceh Singkil masih memiliki banyak lahan yang belum digarap. Sebagian besar perusahaan yang beroperasi disana mengelola perkebunan kelapa sawit dan juga membangun pabrik pengolahan minyak kelapa sawit.

Rusliadi, aktivis lingkungan yang bekerja di Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) Aceh menyebutkan ada 7 perusahaan yang mengelola perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Aceh Singkil yaitu sebagai berikut:
1.    Socfindo yang mengelola perkebunan di Kecamatan Gunung Mariah seluas 4.414 hektar dan yang ditanami kelapa sawit seluas 4.210 hektar.
2.    Perusahaan Lembon Bakit yang mengelola perkebunan seluas 6.570 hektar di Kecamatan Singkil Utara dan 5923 hektar yang telah ditanami kelapa sawit.
3.    Perusahaan Delima Makmur yang mengelola lahan seluas 12.173.47 hektar di Kecamatan Danau Paris dan 8.969 hektar yang telah ditanami kelapa sawit.
4.    Perusahaan Ubertraco mengelola 13.924.68 hektar dan 5.896 hektar yang telah ditanami.
5.    Perusahaan Lestari Tunggal Pratama mengelola lahan seluas 1.861 hektar dan 1.200 hektar yang telah ditanami kelapa sawit.
6.    Perusahaan Telaga Zamzam mengelola lahan seluas 100.05 hektar di kecamatan Gunung Mariah dan seluruh lahan telah ditanami kelapa sawit.
7.    Perusahaan Jaya Bahni Utama mengelola lahan seluas 1.800 hektar di Kecamatan Danau Paris dan seluruh lahan telah ditanami kelapa sawit.

Pada tahun 1986, perusahaan Ubertraco yang dimiliki oleh Teungku Muslim, warga Kecamatan Trumon, Kabupaten Aceh Selatan telah menanam kelapa sawit di Kecamatan Simpang Kiri. Namun ada hal-hal yang aneh dalam proses pengelolaan usahanya.

Tahun 1988 perusahaan Ubertraco menerima izin usaha dengan nomor No.1/1988 dengan luas lahan 10.917 hektar di Kota Baharu, Gunung Meriah, Singkil Utara di Kabupaten Aceh Singkil. Enam tahun kemudian, pada akhir tahun 1944, Ubertraco menerima kontrak kedua  dengan No.2/1994 dengan luas 3.000 hektar. Jarak kawasan tersebut dari Kecamatan Kota Baharu dan Singkohor Aceh Singkil sekitar 10 km.

Pada tanggal 10 November 1998, Ubertraco mengalihkan bisnisnya kepada pengusaha dari Malaysia, Haji Muhammad Sobri. Upaya ini sangat beralasan karena lahan tersebut terlantar selama bertahun-tahun walaupun telah mengantongi izin pengelolaan perkebunan kelapa sawit.

Pada tahun 1998 terjadi sengketa lahan dengan masyarakat setempat terkait kepemilikan lahan. Tidak ada tapal batas yang jelas antara lahan yang diberikan izin kepada perusahaan dan lahan tidur yang dimiliki masyarakat setempat. Izin konsesi yang tertera dikontrak juga mencakup lahan yang diatasnya telah didirikan bangunan gedung pemerintah, markas TNI, area reservasi, dan jalan penghubung pemukiman penduduk.

Pada tahun 2006 protes warga pecah di depan kantor Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Aceh Singkil, Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Aceh Singkil dan Kantor Bupati Aceh Singkil terkait sengketa lahan tersebut. Masyarakat setempat menuntut PT Ubertraco terkait perampasan lahan. Masyarakat menuntut agar PT Ubertraco dapat menunjukkan batasan lahan konsesi yang dimiliki perusahaan.

Pada tahun 2007 DPRA mengundang perwakilan masyarakat dan perusahaan untuk berdialog menyelesaikan persoalan tersebut. Dalam pertemuan tersebut Kepala Badan Pertanahan Aceh juga di undang. Perwakilan masyarakat, Safar Siregar menanyakan tentang surat kontrak yang dimiliki oleh perusahaan Ubertraco.

Lebih lanjut Yusriadi menyatakan bahwa Badan Pertanahan Aceh seharusnya meninjau ulang kontrak tersebut. Seharusnya Badan Pertanahan Kabupaten hanya bisa memberikan izin untuk lahan seluas 100 hektar dan badan Pertanahan Propinsi maksimal 200 hektar. Anehnya pemerintah telah mengeluarkan izin untuk lahan seluas 1.000 hektar seperti yang tertera dalam kontrak.

Pada tahun 2008, PT Ubertraco mengganti nama perusahaan menjadi Perusahaan Nafasindo sebagai upaya keluar dari permasalahan.

Berbagai pertemuan telah dilaksanakan antara perwakilan masyarakat dengan perusahaan Nafasindo untuk mencari jalan keluar dari persoalan sengketa lahan.

Pada pertemuan tanggal 17 November 2009 disepakati akan diadakan kembali pengukuran batas lahan. Jika hasilnya lahan tersebut adalah milik perusahaan maka masyarakat setempat harus pindah. Jika terbukti sebaliknya, tanah tersebut merupakan milik masyarakat maka perusahaan harus mengembalikannya.

Sejak tanggal 12 Juni-26 Oktober 2010, Badan pertanahan Propinsi Aceh melakukan survey ke lahan di Kecamatan Kota Baharu, Gunung Meriah, Singkil Utara dan Singkil. Hasil survey tersebut menunjukkan bahwa 1.997,5 hektar lahan masyarakat telah digarap oleh perusahaan Nafasindo dan 1.158,24 hektar lainnya digarap secara illegal oleh beberapa perusahaan lain.

Pada tanggal 28 Februari 2011, Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf mengirimkan surat kepada Bupati Aceh Singkil dengan Nomor 590/4877 tentang keputusan sengketa lahan antara PT Nafasindo dan masyarakat setempat. Dalam surat tersebut, Gubernur Aceh memerintahkan Bupati Aceh Singkil mengembalikan lahan masyarakat setempat yang telah dirampas oleh perusahaan dan tapal batas tanah yang selama ini hanya dari kayu harus diganti dengan batas permanen. Dan perusahaan harus mengganti rugi lahan kecuali lahan yang ada izinnya.

Proses pengembalian tanah masyarakat setempat tidak berjalan sebgaimana diharapkan karena perusahaanNafasindo membawa kasus ini ke Pengadilan Tata Usaha Negara di Medan pada tanggal 24 Agustus 2001. Kasus tersebut sampai saat ini masih ditangani oleh Pengadilan Tata Usaha Negara di Medan.

Persoalan tidak hanya sampai di situ, kemudian perwakilan mahasiswa dan masyarakat setempat berunjuk rasa di depan Kantor Badan Pertanahan Nasional Aceh. Mereka menuntut dijalankannya keputusan yang telah disepakati sebelumnya.

Karena tidak mendapatkan tanggapan maka kemudian terjadi kericuhan di Kantor Bupati Aceh Singkil. Pada tanggal 30 Mei 2011, dialog dengan Bupati Aceh Singkil gagal dilakukan karena bupati menolak bertemu dengan alasan yang tidak jelas.

Karena kondisi ricuh maka polisi menahan 3 orang tokoh masyarakat yang bernama Haji Sairun, Jaminuddin dan Rusli Jabat dengan tuntutan melakukan tindak pidana mengacu  pasal 160 dan 170. Kemudian pengadilan memutuskan 7 bulan hukuman untuk Haji Sairun, enam bulan untuk Rusli Jabat dan Jaminuddin dibebaskan karena tidak cukup bukti. Kasus tersebut sekarang masih dalam proses banding di pengadilan tinggi.

Dalam aksi yang sama sekitar 15 warga ditangkap. Pengadilan Kabupaten Singkil mendakwa 10 orang demonstran membakar dan melakukan perusakan dan diganjar dengan hukuman percobaan mengacu ke pasal tindak pidana Nomor 170 paragraf 55, sedangkan 5 orang warga lainnya dibebaskan.

Kemudian pada tanggal 22 Mei 2012 petugas Kantor Badan Pertanahan nasional Aceh membuat tanda batas permanen ditapal batas lahan sengketa. Kesepakatan tersebut telah disetujui dengan nomor surat 455/18.11.600/IV/2012.

Pada tanggal yang sama pukul 11.30 pagi, sekitar 100 orang petani yang terlibat dalam survey dan pemasangan tapal batas dengan petugas Badan Pertanahan Aceh ditahan oleh polisi dan kemudian kasusnya dibawa ke pengadilan serta masyarakat setempat direlokasi.

Sahyani, salah seorang warga desa yang menjadi korban mengatakan bahwa dirinya hanya melihat saja proses pemasangan tiang tapal batas yang dilakukan bersama-sama dengan petugas Badan Pertanahan Nasional Aceh namun dia mendapatkan hukuman 8 bulan penjara sesuai dengan keputusan pengadilan terkait tindak pidana pasal 160.

“Setelah dibebaskan dari menjalani delapan bulan kurungan, saya dan seorang teman datang ke kantor LBH Banda Aceh dan meminta bantuan hukum. Meskipun dengan kondisi ketakutan dan keterbatasan ekonomi, masyarakat berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan kembali hak kami. Hubungan masyarakat dan perusahaan seperti kucing dan tikus. Kami, masyarakat setempat ditahan dan dimasukkan kedalam penjara disaat perusahaan terus saja memproduksi minyak kelapa sawit. “.

Jamaluddin mendapatkan hukuman yang sama seperti Sahyani, enam bulan kurungan. Dia hanya bersedia diwawancara melalui saluran telepon karena kondisi keamanannya juga persoalan ekonomi. Meskipun begitu dia tetap bersikukuh untuk berjuang sampai persoalan selesai dan masyarakat mendapatkan kembali hak mereka.

“ Perjuangan masyarakat telah dimulai sejak tahun 2006, kami berharap perusahaan angkat kaki dan mengembalikan hak masyarakat sebagai pemilik yang sah. kami tidak menginginkan kekerasan namun hanya mempertahankan hak kami”.

Perusahaan menggunakan institusi Negara untuk menjaga kepentingan mereka dan masyarakat yang menjadi korban dan akan sangat dirugikan. Hanya ada beberapa kasus dimana masyarakat bisa mengorganisir diri mereka sendiri dan membentuk jaringan keluar melakukan kampanye untuk mendapatkan keadilan. Bantuan hukum untuk mendapatkan hak mereka kembali bukanlah hal yang mudah.

Bisnis kelapa sawit perusahaan besar multinasional memperkaya dirinya sendiri dengan merampas hak masyarakat dan merusak ekologi global. Pertumbuhan bisnis dibarengi dengan terjadinya kekerasan dan perampasan hak masyarakat setempat. []

Penulis, Ruayrin Pedsalabkaew, fellow pada Asian Public Intellectual (API), Reporter Deep South Watch yang telah melakukan penelitian tentang isu-isu perampasan lahan oleh perusahaan multinasional di Aceh: Dampaknya terhadap Hak Asasi Manusia dan Kearifan Lokal. Pendapat penulis tidak menggambarkan pandangan API Fellowships Program, The Nippon Foundation, the Coordinating Institution, dan/atau lembaga partner.

read more
1 2 3
Page 3 of 3