close

serangga

Sains

Semakin Banyak Spesies di Hutan Meningkatkan Keanekaragaman Serangga

Semakin banyak spesies tanaman hidup di padang rumput dan hutan, semakin banyak spesies serangga menemukan habitatnya. Namun, kehadiran lebih banyak spesies tanaman tidak hanya meningkatkan jumlah spesies serangga, tetapi juga jumlah individu serangga. Secara bersamaan, keanekaragaman hewan tidak hanya ditentukan oleh keanekaragaman tanaman, tetapi juga oleh struktur fisik komunitas tumbuhan.

Ini adalah hasil kolaborasi internasional yang dipimpin oleh Pusat Penelitian Keanekaragaman Hayati Jerman (iDiv), yang diterbitkan dalam jurnal Nature Communications. Hasil ini memiliki konsekuensi untuk pengelolaan yang ramah serangga di padang rumput dan hutan.

“Hasil kami memperjelas bahwa perkembangan seperti penurunan serangga yang diamati saat ini dapat dikaitkan dengan cara di mana kita manusia mengelola ekosistem yang kita gunakan,” kata penulis utama Prof Andreas Schuldt dari University of Göttingen, sebelumnya dengan Pusat Jerman untuk Penelitian Keanekaragaman Hayati Integratif (iDiv).

Bersama dengan rekan penulisnya, Schuldt mengevaluasi data ekstensif tentang keanekaragaman tanaman dan serangga dari dua eksperimen keanekaragaman hayati terbesar di dunia: Eksperimen Jena dan BEF-Cina. Dalam percobaan pertama, jumlah spesies tanaman di padang rumput diubah dan yang kedua, jumlah spesies pohon di hutan. Kedua percobaan dirancang untuk menyelidiki efek keanekaragaman tanaman pada organisme lain dan fungsi ekosistem masing-masing.[]

Sumber: enn.com

read more
Sains

Pestisida Rusak Ekosistem Alami

Penggunaan pestisida terbukti secara sistemis meracuni ekosistem, menghancurkan keanekaragaman hayati. Hal ini terungkap dari hasil penelitian selama empat tahun yang dilakukan oleh komunitas ilmiah, Task Force On Systemic Pesticides.

Penggunaan pestisida sistemis berjenis neonicotinoids dan fipronil (neonics) menyebabkan kerusakan yang parah pada spesies invertebrata yang bermanfaat bagi lingkungan dan menjadi penyebab utama menurunnya populasi lebah di alam.

Perhatian terhadap pemakaian pestisida sistemis ini sudah berlangsung selama 20 tahun terakhir namun belum ada kesimpulan ilmiah tentang bahaya pestisida ini hingga hasil penelitian ini diterbitkan.

Tim peneliti yang melakukan analisis penuh terhadap 800 penelitian dari seluruh dunia telah menemukan bukti nyata dari bahaya pemakaian pestisida ini dan menyeru diciptakannya aksi dan kebijakan untuk mencegah pemakaiannya.

Hasil kajian yang dikenal dengan nama Worldwide Integrated Assessment (WIA) ini akan diterbitkan dalam Journal Environment Science and Pollution Research. Tim peneliti menyimpulkan, pestisida berjenis neonics membawa ancaman kerusakan serius terhadap populasi lebah madu dan serangga penyerbuk lainnya seperti kupu-kupu, spesies invertebrata seperti cacing tanah dan berbagai spesies invertebrata yaitu berbagai jenis burung.

Pestisida jenis neonics adalah racun syaraf yang mematikan baik secara langsung maupun tidak langsung. Paparan jangka panjang pestisida jenis ini – walau dalam takaran yang tidak mematikan – akan merusak sensor serangga dan hewan lainnya, termasuk indra penciuman, memori yang akan mengganggu kemampuan mereka bereproduksi, mencari dan mengolah makanan.

Pada lebah, racun ini akan mengganggu kemampuan mereka melakukan penyerbukan. Pada cacing tanah, racun ini akan merusak kemampuan mereka membuat lubang. Pada burung dan serangga pestisida ini meracuni makanan mereka, mengganggu sistem sensor dan kemampuan terbang sehingga mereka semakin rentan terhadap predator dan penyakit.

Dr Jean-Marc Bonmatin dari National Centre for Scientific Research di Perancis yang merupakan salah satu penyusun laporan ini menyatakan, “Bukti-bukti yang ada sudah sangat jelas. Kami menemukan ancaman yang nyata (dari penggunaan pestisida sistemis ini) pada lingkungan, baik yang alami maupun lingkungan hasil olahan manusia.”

Penggunaan pestisida ini menurut Jean-Marc tidak melindungi produksi pangan, tapi malah sebaliknya, merusak infrastruktur penting dalam sistem produksi pangan. “Pestisida ini juga merusak sistem penyerbukan alami, habitat mereka, termasuk sistem pengontrol hama alami yang menjadi ciri sebuah ekosistem yang sehat,” tuturnya.[]

Sumber: hijauku.com

read more
Green Style

Serangga Bisa Jadi Pangan Ramah Lingkungan

Konferensi ‘Serangga sebagai Pangan Dunia’ telah digelar 14-17 Mei lalu. Lebih dari 450 peneliti dan delegasi dari lembaga internasional mengikuti acara yang digelar di Ede, Belanda, ini.

Menurut Arnold van Huis, profesor di Wageningen University, Belanda, ada 2.000 jenis serangga yang bisa dikonsumsi. “Serangga adalah peluang dan pasar besar,” ujarnya, seperti ditulis AFP (14/05/2014).

Mei tahun lalu, Badan Pangan dan Pertanian (FAO) PBB mengatakan bahwa serangga bukan hanya penting sebagai sumber vitamin dan asam amino, tapi juga berdampak baik bagi lingkungan.

Belalang, semut, cacing, ulat, dan jenis serangga lain bisa jadi langkah yang aman dan murah untuk memberi makan jutaan orang di dunia di tengah kerusakan lingkungan dan meledaknya populasi.

FAO memperkirakan, dunia perlu meningkatkan produksi pangan hingga 70% pada 2050 untuk memenuhi kebutuhan populasi global sebanyak 9 miliar jiwa.

Produksi pakan hewan kini bersaing dengan makanan manusia dan produksi bahan bakar dalam memperebutkan sumber daya alam seperti lahan dan air. Namun, 70% lahan agrikultur di dunia sudah diperuntukkan secara langsung maupun tak langsung untuk produksi daging.

Serangga sudah mulai digunakan sebagai pakan ternak. Satu ton tepung lalat black soldier hanya menghabiskan biaya $1.000 (Rp 11,5 juta) dibanding pakan ikan seharga $13.000 (Rp 149,5 juta). Di beberapa restoran, seranggapun mulai dijadikan konsumsi manusia.

Namun, kata van Huis, ini baru permulaan. Ketertarikan masyarakat kini berkembang sangat cepat. “Bicara soal pakan ternak, serangga akan segera menjadi populer. Namun untuk konsumsi manusia, butuh 5-10 tahun,” ujarnya.

Paul Vantomme yang menangani program konsumsi serangga di FAO menilai perlunya diversifikasi pangan. Pasalnya, 90% produksi kedelai bergantung pada Argentina, Brazil, dan Amerika Serikat. Sementara itu, setiap tahun 12 juta ton ikan dikeruk dari lautan sebelum diolah menjadi pakan ternak. Langkah ini tentu tak berkelanjutan bagi lingkungan.

Di lain pihak, serangga hanya menyumbang jejak yang sangat sedikit dalam emisi karbon dan penggunaan air jika dibandingkan sumber makanan konvensional. Risiko serangga menularkan penyakit ke manusia juga lebih rendah dibanding beberapa jenis hewan ternak.

Serangga memiliki efisiensi konversi pangan yang tinggi karena berdarah dingin. “Rata-rata serangga bisa mengonversi dua kg pakan menjadi satu kg massa serangga, sedangkan hewan ternak memerlukan delapan kg pakan untuk menghasilkan satu kg pertambahan berat badan hewan,” jelas FAO.[]

Sumber: detik.com

read more
Sains

Ilmuwan Unsyiah Ciptakan Pestisida Alami Ekstrak Bawang Putih

Peneliti dan dosen pada Program Studi Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Syiah Kuala (FMIPA Unsyiah), Dr Khairan Yusuf MSc, menemukan suatu formula yang efektif sebagai pestisida alami untuk membasmi cacing Aphelenchoides sacchari dan Aphelenchoides grayi pada tanaman jamur.

Formula itu berupa ekstrak bawang putih. Di samping itu, ekstrak metanol bawang putih juga efektif membunuh cacing pada tanaman wortel, membunuh cacing C elegens maupun cacing root knot dalam waktu 40 menit.

Sementara itu, minyak bawang putih (garlic oil) dilaporkan efektif membunuh cacing pada tanaman kentang dan pada usus kambing Haemonchus concortus. Ekstrak bawang putih juga efektif digunakan sebagai repellent untuk mengusir hama ular dan kalajengking, karena aroma yang dikeluarkannya sangat menyengat.

Hasil riset Dr Khairan itu disampaikan Ketua Tim Focal Research Area (FRA) FMIPA Unsyiah, Dr Zulkarnain Jalil MSi kepada media di Banda Aceh, Senin (10/3/2014) sore setelah lebih dulu dipaparkan Dr rer nat Khairan Yusuf MSc untuk kalangan internal pada Forum SDM Focal Research Area FMIPA Unsyiah di balai senat fakultas itu, Jumat (7/3/2014).

Peneliti merekomendasikan bahwa bawang putih yang sebagian besar merupakan produk impor, dapat dikembangkan secara luas di Aceh untuk aplikasi sebagai pestisida alami.

Sebagaimana diketahui, bawang putih dan bawang merah telah lama digunakan sebagai obat rakyat karena bersifat antimikrobial, antijamur, dan sebagai desinfektan. Uji laboratorium menunjukkan bahwa tanaman ini kaya akan kandungan senyawa sulfur seperti Alliin, Allicin, dan beberapa senyawa polisulfan lainnya. “Senyawaan ini telah diketahui menunjukkan reaktivitas yang tinggi terhadap berbagai jenis penyakit seperti kanker dan kecenderungannya sebagai fitoprotektan dan pestisida alami,” kata Zulkarnain mengutip sang peneliti.

Sang peneliti yang jebolan Universitas Saarbruecken, Jerman itu  menyebutkan bahwa tujuan utama dari penelitian ekstrak bawang putih itu adalah untuk melihat aktivitas senyawa organo-sulfur dari bawang putih dan senyawa analog untuk aplikasi pada bidang pertanian sebagai green pesticides (pestisida alami).

Penelitian itu berlangsung hampir tiga tahun, bekerja sama dengan dua universitas terkemuka di Jerman, yakni Saarbruecken University dan Kaiserlautern University. Hasilnya menunjukkan, Allicin adalah senyawa utama yang terdapat di dalam bawang putih. Khairan lalu melakukan uji aktivitas terhadap cacing Steinernema feltiae (SF) untuk melihat aktivitas dan toksisitasnya terhadap cacing dimaksud.

Oleh peneliti, cacing SF hanya digunakan sebagai model mikroorganisme uji prescreening. Alasan pemilihan cacing ini adalah harganya murah dan mudah didapat. Cacing ini pertama kali diisolasi oleh Felipjev, peneliti berkebangsaan Rusia pada tahun 1934.

Cacing SF adalah cacing mikro yang di Eropa umumnya digunakan sebagai pupuk alami atau predator alami untuk hama penggerek batang, daun, dan akar dan insektisida lainnya.

Alhasil, Khairan menemukan bahwa Allicin memiliki aktivitas yang sangat baik terhadap cacing SF dan diallyldisulfid  (produk utama hasil dekomposisi dari Allicin) juga menunjukkan toksisitas yang sangat tinggi terhadap aktivitas cacing SF.

Pestisida Ramah Lingkungan
Menurut Dr Khairan Yusuf, hasil riset yang dia lakukan selama tiga tahun itu dapat diaplikasikan untuk produksi pestisida alami (green pesticides) jenis baru yang ramah lingkungan. Bahkan nantinya bisa dikembangkan menjadi suatu produk komersial dalam bidang agroindustri.

Ia berharap Pemerintah Aceh berkerja sama dengan perguruan tinggi dan instansi terkait mengembangkan suatu lembaga penelitian seperti Pusat Antarstudi (PAU) yang berbasis sumber daya alam. Termasuk memanfaatkan sumber daya alam Aceh yang berlimpah untuk dikembangkan sebagai jenis obat baru yang sangat diperlukan dalam bidang kesehatan dan pertanian.  []

Sumber: serambinews.com

read more
Ragam

Ecofruit: Pertanian Buah-buahan Maksimal dengan Pestisida Minimal

Dalam sebuah studi tahun 2005 yang dilakukan oleh Program Data Pestisida (di bawah Departemen Pertanian AS), dari 774 apel yang dianalisis di Amerika Serikat, 727 sampel terdeteksi residu pestisida – itu mencapai 98 % ! Selain itu, apel menempati peringkat 1 dalam daftar ” Dirty Dozen ” yang dikeluarkan oleh Environmental Working Group , dianta buah-buahan dan sayuran dalam tingkat pemakaian pestisida.

Mengapa buah-buahan berwarna-warni dicampur dengan begitu banyak pestisida ? Agar petani untuk memiliki musim tanam yang sukses , mereka sering menggunakan pestisida dan insektisida, yang memiliki efek positif bagi hasil panen, tetapi juga memiliki dampak negatif yang berbahaya terhadap lingkungan dan bagi konsumen.

Masalah mereka ada dua hal, petani apel ingin menggunakan teknik terbaik untuk menanam tanaman dan ilmuwan pertanian ingin mengurangi penggunaan pestisida .

Dalam upaya untuk mengatasi masalah ini untuk menghasilkan apel di Wisconsin, sebuah kolaborasi bersama antara University of Wisconsin – Madison Pusat Sistem Pertanian Terpadu ( CIAS ) dan beberapa petani apel telah mendirikan Program Ecofruit.

Fokus utama The Ecofruit adalah mengurangi ketergantungan pestisida yang berbahaya bagi petani, konsumen dan lingkungan, sementara juga mendukung petani dalam menemukan praktek pertanian terbaik.

” Sepuluh tahun yang lalu kami benar-benar bergantung pada fenologi pohon dan kalender, tapi sekarang kita
mengandalkan data, ” kata Tom Ferguson , pemilik kebun Wisconsin . Dia mencatat bahwa teknik menanam apel dan berry telah berubah secara dramatis dalam dekade terakhir.

Kemitraan dengan Program Ecofruit telah meningkatkan penggunaan peralatan pertanian dan kesempatan untuk belajar tentang cara-cara terbaru dan paling efektif untuk mengurangi serangan hama pada tanaman. Teknik-teknik baru dikenal sebagai ” pengelolaan hama terpadu (PHT)”.

PHT termasuk menggunakan data cuaca untuk memprediksi di mana penyakit dapat muncul dan mengantisipasi kondisi di mana serangga mungkin mulai merongrong tanaman. Petani juga menganalisis data dari perangkap serangga untuk memutuskan kapan mengelola hama. Strategi manajemen hama menggunakan PHT bervariasi dari mengganggu kawin serangga, penanaman pohon tahan penyakit , atau mengelola komunitas serangga untuk mendorong spesies-spesies yang secara alami memakan hama.

Menurut statistik terbaru, Proyek Ecofruit telah berhasil dalam mengurangi resiko pestisida terhadap kesehatan manusia
dan dampak lingkungan sebesar 46 persen sementara juga meningkatkan strategi pengelolaan hama terpadu sebesar 54 persen. Sejak program ini dipelopori pada tahun 2000, telah melayani hampir 100 petani apel dan berry lebih dari 20 negara.

Sumber: enn.com

read more