close

singkil

Sains

Tanaman “Kayu Bajakah” Ditemukan di Hutan Rawa Singkil

Singkil – Kayu bajakah kini sedang viral. Berkat penelitian dua siswi asal Palangkaraya, Kalimantan Tengah (Kalteng), Anggina Rafitri dan Aysa Aurealya, kayu yang tumbuh di hutan Kalimantan itu diklaim berkhasiat mengobati penyakit ganas, termasuk menyembuhkan kanker. Penelitian kedua mahasiswi itu bahkan menjadi pemenang dalam perlombaan karya ilmiah di World Invention Creativity Olympic (WICO) di Seoul, Korea Selatan.

Tapi ternyata kayu bajalah bukan hanya ada di Kalimantan, namun juga diklaim banyak ditemukan di hutan rawa Singkil. Hanya saja, untuk membuktikan klaim ini, perlu ada penelitan dari ahli terkait lantaran ciri dan bentuknya nyaris mirip dengan kayu lain. Apalagi di hutan rawa Singkil, banyak kayu yang bentuknya mirip bajakah

Klaim penemuan kayu bajakah itu mencuat ketika wartawan ikut melakukan petualangan ke Rawa Singkil dengan Kepala Tim Patroli Bagian Kesatuan Pengelolaan Hutan (BKPH) Singkil Wilayah Kuala Baru, Admi, Selasa (20/8/2019).

Awalnya, wartawan tidak mengira jika kayu mirip akar lurus ke atas kira-kira sebesar pergelangan tangan itu merupakan kayu bajalah yang sedang viral itu.

Namun setelah ditunjukkan lelaki 47 tahun itu, barulah sadar bahwa kayu yang bisa dijadikan obat penyembuh kanker tersebut juga ada di Singkil.

Mendapat pemberitahuan dari Admi, Kepala Bappeda Aceh Singkil, Ahmad Rivai dan Kepala Pelaksana (Kalak) BPBD, Mohd Ichsan, serta anggota rombongan lainnya seperti Si Win, Nazar, Sukardi, hingga Ma Uyung, langsung mengerubuti kayu bajakah.

Admi menjelaskan, dalam bahasa lokal Singkil, kayu bajakah itu disebut kayu aka. Ia mengungkapkan, kayu bajakah itu terdiri dari beberapa jenis.

Ketika ditanya apakah kayu bajakah di hutan Rawa Singkil itu sama dengan kayu bajakah di Kalimantan yang disebut-sebut dapat mengobatan penyakit ganas seperti kanker serta tumor, Admi belum bisa memastikannya.

“Saya tidak bisa memastikan, sebab belum ada penelitian terhadap kandungan air yang menetes dari kayu bajakah di hutan Rawa Singkil,” ucap Admi yang juga merupakan seorang herbalis ini.
Berpetualang ke hutan rawa Singkil bersama Admi memang cukup menambah pengetahuan tentang flora dan fauna. Sebab, ia sangat tahu detail nama-nama setiap tumbuhan dan hewan yang ada di hutan rawa Singkil, baik itu nama lokal, nama dalam bahasa Indonesia, hingga nama ilmiahnya.

Untuk menuju lokasi hutan rawa Singkil, wisatawan yang bergerak dari Kota Singkil bisa menempuhnya dengan naik perahu di Dermaga Kilangan dan cukup hanya membayar Rp 10 ribu per orang.

Sampai di Kuala Baru, hutan rawa itu bisa dijangkau dengan berjalan kaki dari pinggir Jalan Buluseuma, Aceh Selatan-Kuala Baru, Aceh Singkil.

Pastikan mengajak pemandu seperti Admi jika masuk ke hutan rawa Singkil agar bisa masuk dan ke luar hutan tanpa tersesat.

Sumber: serambinews.com

read more
Kebijakan Lingkungan

Masyarakat Minta Pemulihan Lahan untuk Antisipasi Bencana Banjir Singkil

Banda Aceh – Bencana banjir rutin terjadi setiap tahun di sejumlah daerah di Provinsi Aceh, tak terkecuali Kabupaten Aceh Singkil yang berdampak terhadap perekonomian warga sekitar Singkil disaat musim hujan.

“ Sejauh ini, pemerintah belum melakukan upaya konkrit dalam menyelesaikan masalah banjir yang menjadi momok di Singkil. Hampir disetiap penghujung tahun, banjir terjadi di tempat kami,” kata Yusril, seorang warga Aceh Singkil kepada Greenjournalist melalui sambungan telepon di Banda Aceh, Rabu (2/3/2019).

Dari tahun ke tahun, Aceh Singkil merupakan daerah langganan banjir yang sejauh ini belum dapat diatasi, ini menjadi tantangan pemerintah dalam menyelesaikan bencana banjir.

Lebih lanjut, menurut Yusril pemerintah harus siap dalam menanggapi persoalan bencana banjir. “Kita minta pemerintah Aceh Singkil dapat mengantisipasi bencana banjir agar tidak terjadi kembali disaat akhir tahun nanti”.

Persoalan ini tentu menjadi isu hangat setiap tahun bila tidak diambil langkah strategis mengingat kawasan Aceh Singkil merupakan dataran rendah, sehingga memudahkan air masuk kepemukiman warga.

Antisipasi yang terpenting adalah menjaga tutupan hutan dan bentang alam. Hutan berfungsi sebagai penyerap air pada saat hujan dan mengalir dengan perlahan-lahan ke anak-anak sungai. Ia juga bertindak sebagai filter dalam menentukan kebersihan dan kejernihan air. Hutan mampu menyerap air hujan Kemudian air hujan ini dibebaskan kembali ke atmosfir.

Reboisasi hutan sangat dibutuhkan untuk menanggulangi banjir secara terus menerus. Melalui penanaman pohon sangat dibutuhkan di bagian pinggir sungai, mengingat kawasan Aceh Singkil cakupan hutan semakin berkurang akibat pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit.

Pemerintah juga perlu membuka lahan-lahan hijau, terutama di kawasan permukiman dan perkotaan. Selain untuk meningkatkan kualitas atmosfer, hal ini juga menunjang kelestarian air tanah. Dibutuhkan kemauan politik, lewat program pemerintah dan pengawasan di dewan, serta kemauan bersama dari berbagai pihak di Aceh Singkil untuk mengatasi banjir. (M)

read more
Kebijakan Lingkungan

Subulussalam, Mantan Kota Kayu Kini Merajut Mimpi

Lebih delapan tahun kota Subulussalam menyandang status sebagai daerah kota di wilayah pantai selatan provinsi Aceh. Tepatnya tanggal 2 Januari 2007, melalui UU Nomor 8 Tahun 2007, kota kecil yang sebelumnya berinduk ke kabupaten Aceh Singkil ini, resmi menjadi sebuah daerah kota. Dengan status tersebut, sejuta harapan untuk menjadi kota yang maju pun, terbentang dalam benak masyarakat Subulussalam. Harapan masyarakat tidak hanya menjadi beban moral bagi pemegang kebijakan di kota ini, tetapi juga menjadi tantangan bagi pemerintah Aceh secara umum, untuk memajukan kota Subulussalam. Majunya kota ini, menjadi cerminan Aceh diperbatasan.

Karena, dengan majunya Subulussalam, akan menepis anggapan bahwa Aceh daerah terbelakang.
Betapa tidak, letak Subulussalam yang berada di pintu gerbang Aceh, menjadi sorotan bagi masyarakat luar provinsi ini, terhadap berbagai kondisi yang terjadi di Subulussalam, tak terkecuali kondisi kesejahteraan. Karena harus diakui, sebelum berdiri sebagai sebuah daerah kota, kondisi ekonomi masyarakat Subulussalam cukup menusuk hati. Masa-masa sulit, terasa dilalui setelah habis masa jayanya pabrik-pabrik kayu di daerah ini. Hingga akhirnya, mimpi untuk kesejahteraan ketika itu, terkelupas seiring terkikisnya hutan Subulussalam.

Kesejahteraan memang menjadi impian setiap orang. Kesejahteraan juga tidak terlepas dari kondisi ekonomi masyarakat. Memberdayakan  ekonomi masyarakat, harus didorong pemegang kebijakan. Tidak akan terwujud mimpi menjadi daerah maju dan sejahtera, kalau tidak ada partisipasi masyarakatnya. Bila masyarakat tidak diberdayakan, maka mimpi hanya tinggal mimpi. Meskipun esok hari terbangun dan mata terbelalak melihat mentari pagi, namun hati terasa gelap, karena masih dibayangi malam.

Ketika masa jayanya ekspor kayu dari Subulussalam era tahun 1970 an, masyarakat berlomba-lomba untuk bekerja di pabrik-pabrik kayu milik para tengkulak-tengkulak yang hanya mengambil keuntungan sendiri. Tidak hanya penduduk Subulussalam yang berhasil “terhipnotis” oleh berbagai perusahaan kayu itu, tetapi masyarakat dari sejumlah wailayah di Aceh pun, ikut bekerja dan dibayang-bayangi materi yang menjanjikan.

Saat bisnis kayu runtuh, maka imbas terhadap ekonomi masyarakat yang “termanjakan” pun mulai terasa. Namun, kemana hendak mengadu, karena langkah belum tertuju. Ingin berlari mengerjar mimpi, tapi khawatir tersandung batu. Pada akhirnya, upaya untuk memetakan harapan dan meraih mimpi sejahtera dari kesulitan ekonomi itu, perlahan mulai terbuka. Lalu, pada tahun 1990 an, masyarakat baru beralih pada bisnis perkebunan, termasuk kelapa sawit yang dianggap potensial. Walaupun pada tahun 1998, terpaan krisis moneter melanda negeri ini, namun semangat usaha perkebunan masyarakat Subulussalam yang tidak pupus, menjadi batu loncatan ekonomi baru bagi masyarakat.

Perbedaan Perhatian
Seperti telur bebek yang dierami ayam, tanpa mengetahui bagaiman perhatian induk bebek terhadap anaknya. Padahal Aceh memiliki keistimewaan dan kekayaan alam yang melimpah, tapi sayang ketika itu, perhatian belum berpihak ke Subulussalam dan sejumlah daerah lainnya. Hidup di dalam air, tapi susah mencari ikan. Terbang bersama angin, tapi sulit melihat awan. Akhirnya, hidup ditengah hutan sendiri, hanya melihat kayu-kayu yang menjadi penyangga kehidupan, dibabat para pebisnis kayu. Karena Induk yang diharapkan, hanya melihat wilayah timur Aceh. Begitu keberadaan kota Subulussalam dalam teropong sejarah, ketika itu.

Bukan Subulussalam yang tak punya potensi ekonomi. Bukan pula Subulussalam yang tak punya Sumber Daya Manusia dan Sumber Daya Alam. Tapi, perhatian pemerintah provinsi Aceh ketika itu, membuat kota Subulussalam bersama daerah lainnya di wilayah barat selatan, seolah termarginalkan dari daerah pesisir timur Aceh.

Tunjukkan Jati Diri
Meskipun suram dalam sejarah, tapi namanya zaman terus berputar. Setelah dimekarkan dari kabupaten Aceh Singkil, dan diberikan tanggung jawab untuk megurus rumah tangganya sendiri, kota Subulussalam juga telah menunjukkan jati dirinya. Tercatat, pertumbuhan ekonomi Subulussalam setelah dimekarkan, mulai membaik. Jangka waktu 5 tahun setelah pemekaran, pertumbuhan ekonomi Subulussalam cukup baik, meskipun berfluktuasi pada awal pemekaran. Tercatat, tahun 2007 pertumbuhan ekonomi kota Subulussalam hanya -1,65 persen. Lalu tahun 2008 meningat menjadi 2,22 persen, tahun 2009 turun menjadi 1,89 persen. Kemudian, tahun 2010 naik mencapai 2,87 persen dan tahun 2011 meningkat menjadi 3,54 persen. (BPS Kota Subulussalam, 2012)

Demikian juga jumlah penduduk miskin, mengalami penurunan setelah 5 tahun dimekarkan dari kabupaten Aceh Singkil. Tahun 2008, jumlah penduduk miskin mencapai 17.700 jiwa dari jumlah penduduk 64.372 jiwa.  Tahun 2009 sebanyak 16.800 jiwa penduduk miskin dari jumlah penduduk 65.908 jiwa dan tahun 2010 sebanyak 16.452 jiwa dari jumlah penduduk 67.446 jiwa. Lalu, tahun 2011, penduduk miskin menjadi 16.500 jiwa dari jumlah penduduk 68.990 jiwa, dan pada tahun 2012 jumlah penduduk miskin turun menjadi 16.067, dari jumlah penduduk 70.520 jiwa.

Dari angka-angka tersebut, menunjukkan, jumlah penduduk miskin menurun secara perlahan. Hal ini menggambarkan, pemekaran menjadi daerah kota telah meningkatkan taraf kehidupan masyarakat. Setidaknya, dengan potensi ekonomi yang dimiliki, menjadi harapan besar untuk menggapai mimpi kesejahteraan. Berbagai potensi yang dimiliki, seperti perkebunan, pertanian, perdagangan, dan industri, dapat saja digerakkan melalui kebijakan pro rakyat. Apalagi, secara geografis letaknya yang berada pada jalur lintasan antara provinsi Sumatera Utara dengan wilayah barat selatan provinsi Aceh, sehingga memiliki potensi besar menggerakkan ekonomi di bidang perdagangan.

Semoga potensi ini dapat digerakkan pemerintah, agar masyarakat tidak lagi menjadi sasaran pekerja toke-toke kayu seperti tempo dulu, tetapi bisa merajut mimpi kesejahteraan bersama di pintu gerbang Aceh.[]

Penulis adalah wartawan Harian Analisa, berdomisili di Banda Aceh dan tulisan ini memenangkan lomba penulisan artikel dalam rangka HUT Kota Subulussalam tahun 2015.

read more