close
Penebang liar mengambil kayu dari Suaka Margasatwa Singkil lewat jalan ilegal yang dibangun dengan anggaran pemerintah | Foto: Paul Hilton

Lebih delapan tahun kota Subulussalam menyandang status sebagai daerah kota di wilayah pantai selatan provinsi Aceh. Tepatnya tanggal 2 Januari 2007, melalui UU Nomor 8 Tahun 2007, kota kecil yang sebelumnya berinduk ke kabupaten Aceh Singkil ini, resmi menjadi sebuah daerah kota. Dengan status tersebut, sejuta harapan untuk menjadi kota yang maju pun, terbentang dalam benak masyarakat Subulussalam. Harapan masyarakat tidak hanya menjadi beban moral bagi pemegang kebijakan di kota ini, tetapi juga menjadi tantangan bagi pemerintah Aceh secara umum, untuk memajukan kota Subulussalam. Majunya kota ini, menjadi cerminan Aceh diperbatasan.

Karena, dengan majunya Subulussalam, akan menepis anggapan bahwa Aceh daerah terbelakang.
Betapa tidak, letak Subulussalam yang berada di pintu gerbang Aceh, menjadi sorotan bagi masyarakat luar provinsi ini, terhadap berbagai kondisi yang terjadi di Subulussalam, tak terkecuali kondisi kesejahteraan. Karena harus diakui, sebelum berdiri sebagai sebuah daerah kota, kondisi ekonomi masyarakat Subulussalam cukup menusuk hati. Masa-masa sulit, terasa dilalui setelah habis masa jayanya pabrik-pabrik kayu di daerah ini. Hingga akhirnya, mimpi untuk kesejahteraan ketika itu, terkelupas seiring terkikisnya hutan Subulussalam.

Kesejahteraan memang menjadi impian setiap orang. Kesejahteraan juga tidak terlepas dari kondisi ekonomi masyarakat. Memberdayakan  ekonomi masyarakat, harus didorong pemegang kebijakan. Tidak akan terwujud mimpi menjadi daerah maju dan sejahtera, kalau tidak ada partisipasi masyarakatnya. Bila masyarakat tidak diberdayakan, maka mimpi hanya tinggal mimpi. Meskipun esok hari terbangun dan mata terbelalak melihat mentari pagi, namun hati terasa gelap, karena masih dibayangi malam.

Ketika masa jayanya ekspor kayu dari Subulussalam era tahun 1970 an, masyarakat berlomba-lomba untuk bekerja di pabrik-pabrik kayu milik para tengkulak-tengkulak yang hanya mengambil keuntungan sendiri. Tidak hanya penduduk Subulussalam yang berhasil “terhipnotis” oleh berbagai perusahaan kayu itu, tetapi masyarakat dari sejumlah wailayah di Aceh pun, ikut bekerja dan dibayang-bayangi materi yang menjanjikan.

Saat bisnis kayu runtuh, maka imbas terhadap ekonomi masyarakat yang “termanjakan” pun mulai terasa. Namun, kemana hendak mengadu, karena langkah belum tertuju. Ingin berlari mengerjar mimpi, tapi khawatir tersandung batu. Pada akhirnya, upaya untuk memetakan harapan dan meraih mimpi sejahtera dari kesulitan ekonomi itu, perlahan mulai terbuka. Lalu, pada tahun 1990 an, masyarakat baru beralih pada bisnis perkebunan, termasuk kelapa sawit yang dianggap potensial. Walaupun pada tahun 1998, terpaan krisis moneter melanda negeri ini, namun semangat usaha perkebunan masyarakat Subulussalam yang tidak pupus, menjadi batu loncatan ekonomi baru bagi masyarakat.

Perbedaan Perhatian
Seperti telur bebek yang dierami ayam, tanpa mengetahui bagaiman perhatian induk bebek terhadap anaknya. Padahal Aceh memiliki keistimewaan dan kekayaan alam yang melimpah, tapi sayang ketika itu, perhatian belum berpihak ke Subulussalam dan sejumlah daerah lainnya. Hidup di dalam air, tapi susah mencari ikan. Terbang bersama angin, tapi sulit melihat awan. Akhirnya, hidup ditengah hutan sendiri, hanya melihat kayu-kayu yang menjadi penyangga kehidupan, dibabat para pebisnis kayu. Karena Induk yang diharapkan, hanya melihat wilayah timur Aceh. Begitu keberadaan kota Subulussalam dalam teropong sejarah, ketika itu.

Bukan Subulussalam yang tak punya potensi ekonomi. Bukan pula Subulussalam yang tak punya Sumber Daya Manusia dan Sumber Daya Alam. Tapi, perhatian pemerintah provinsi Aceh ketika itu, membuat kota Subulussalam bersama daerah lainnya di wilayah barat selatan, seolah termarginalkan dari daerah pesisir timur Aceh.

Tunjukkan Jati Diri
Meskipun suram dalam sejarah, tapi namanya zaman terus berputar. Setelah dimekarkan dari kabupaten Aceh Singkil, dan diberikan tanggung jawab untuk megurus rumah tangganya sendiri, kota Subulussalam juga telah menunjukkan jati dirinya. Tercatat, pertumbuhan ekonomi Subulussalam setelah dimekarkan, mulai membaik. Jangka waktu 5 tahun setelah pemekaran, pertumbuhan ekonomi Subulussalam cukup baik, meskipun berfluktuasi pada awal pemekaran. Tercatat, tahun 2007 pertumbuhan ekonomi kota Subulussalam hanya -1,65 persen. Lalu tahun 2008 meningat menjadi 2,22 persen, tahun 2009 turun menjadi 1,89 persen. Kemudian, tahun 2010 naik mencapai 2,87 persen dan tahun 2011 meningkat menjadi 3,54 persen. (BPS Kota Subulussalam, 2012)

Demikian juga jumlah penduduk miskin, mengalami penurunan setelah 5 tahun dimekarkan dari kabupaten Aceh Singkil. Tahun 2008, jumlah penduduk miskin mencapai 17.700 jiwa dari jumlah penduduk 64.372 jiwa.  Tahun 2009 sebanyak 16.800 jiwa penduduk miskin dari jumlah penduduk 65.908 jiwa dan tahun 2010 sebanyak 16.452 jiwa dari jumlah penduduk 67.446 jiwa. Lalu, tahun 2011, penduduk miskin menjadi 16.500 jiwa dari jumlah penduduk 68.990 jiwa, dan pada tahun 2012 jumlah penduduk miskin turun menjadi 16.067, dari jumlah penduduk 70.520 jiwa.

Dari angka-angka tersebut, menunjukkan, jumlah penduduk miskin menurun secara perlahan. Hal ini menggambarkan, pemekaran menjadi daerah kota telah meningkatkan taraf kehidupan masyarakat. Setidaknya, dengan potensi ekonomi yang dimiliki, menjadi harapan besar untuk menggapai mimpi kesejahteraan. Berbagai potensi yang dimiliki, seperti perkebunan, pertanian, perdagangan, dan industri, dapat saja digerakkan melalui kebijakan pro rakyat. Apalagi, secara geografis letaknya yang berada pada jalur lintasan antara provinsi Sumatera Utara dengan wilayah barat selatan provinsi Aceh, sehingga memiliki potensi besar menggerakkan ekonomi di bidang perdagangan.

Semoga potensi ini dapat digerakkan pemerintah, agar masyarakat tidak lagi menjadi sasaran pekerja toke-toke kayu seperti tempo dulu, tetapi bisa merajut mimpi kesejahteraan bersama di pintu gerbang Aceh.[]

Penulis adalah wartawan Harian Analisa, berdomisili di Banda Aceh dan tulisan ini memenangkan lomba penulisan artikel dalam rangka HUT Kota Subulussalam tahun 2015.

Tags : kayusingkilsubulussalam

Leave a Response