close

kayu

Hutan

Aksi Penebangan Liar Marak Lagi di Kawasan Makam Cut Meutia

Lhoksukon – Penebangan pohon secara ilegal kembali marak terjadi di kawasan Makam Pahlawan Nasional Cut Meutia yang berada di kawasan Alue Karieng Kecamatan Matangkuli Aceh Utara dalam sebulan terakhir ini.

Bahkan, mereka menggunakan traktor roda empat dan mobil hardtop untuk menarik kayu hasil illegal logging sehingga jalan ke makam tersebut rusak parah.

“Sekitar 15 hari yang lalu saya langsung mendatangi beberapa warga yang sedang menebang pohon seperti Kruing dan Meranti dengan menggunakan chainsaw (gergaji mesin) untuk mengingatkan mereka,” kata penjaga Makam Cut Meutia Mudawali yang juga Panglima Sagoe Cut Meutia kepada sebagaimana dilansir Serambinews.com Senin (23/7/2019).

Mudawali mengingatkan mereka, supaya tidak menebang pohon di lingkungan makam dan tidak mengangkut kayu melalui jalan ke makam dengan menggunakan traktor roda empat.

Traktor roda empat menyebabkan jalan ke makam tersebut rusak. Sementara jalan ke makam selama ini dibangun dengan sumbangan pribadi masyarakat dan pejabat.

“Tapi mereka tidak menggubrisnya. Malahan sebelumnya mereka menggunakan dua Chainsaw, tapi setelah diingatkan, menambahnya jadi tiga chainsaw, sehingga tak bisa ditolerir lagi,” katanya.

Kayu tersebut diangkut dari lokasi tersebut ke Lubuk Tilam Kecamatan Cot Girek dengan menggunakan traktor dan hardtop.

Disebutkan, penebangan yang dilakukan mereka bukan hanya melanggar aturan, tapi mengganggu warga lain, karena jalan yang selama ini digunakan warga yang ingin ke lokasi makam sudah rusak parah.

“Mereka memiliki tauke yang mendanai aktivitas penebangan tersebut, sehingga mereka memiliki alat transportasi angkut,” katanya.

Sumber: aceh.tribunnews.com

read more
Kebijakan Lingkungan

Subulussalam, Mantan Kota Kayu Kini Merajut Mimpi

Lebih delapan tahun kota Subulussalam menyandang status sebagai daerah kota di wilayah pantai selatan provinsi Aceh. Tepatnya tanggal 2 Januari 2007, melalui UU Nomor 8 Tahun 2007, kota kecil yang sebelumnya berinduk ke kabupaten Aceh Singkil ini, resmi menjadi sebuah daerah kota. Dengan status tersebut, sejuta harapan untuk menjadi kota yang maju pun, terbentang dalam benak masyarakat Subulussalam. Harapan masyarakat tidak hanya menjadi beban moral bagi pemegang kebijakan di kota ini, tetapi juga menjadi tantangan bagi pemerintah Aceh secara umum, untuk memajukan kota Subulussalam. Majunya kota ini, menjadi cerminan Aceh diperbatasan.

Karena, dengan majunya Subulussalam, akan menepis anggapan bahwa Aceh daerah terbelakang.
Betapa tidak, letak Subulussalam yang berada di pintu gerbang Aceh, menjadi sorotan bagi masyarakat luar provinsi ini, terhadap berbagai kondisi yang terjadi di Subulussalam, tak terkecuali kondisi kesejahteraan. Karena harus diakui, sebelum berdiri sebagai sebuah daerah kota, kondisi ekonomi masyarakat Subulussalam cukup menusuk hati. Masa-masa sulit, terasa dilalui setelah habis masa jayanya pabrik-pabrik kayu di daerah ini. Hingga akhirnya, mimpi untuk kesejahteraan ketika itu, terkelupas seiring terkikisnya hutan Subulussalam.

Kesejahteraan memang menjadi impian setiap orang. Kesejahteraan juga tidak terlepas dari kondisi ekonomi masyarakat. Memberdayakan  ekonomi masyarakat, harus didorong pemegang kebijakan. Tidak akan terwujud mimpi menjadi daerah maju dan sejahtera, kalau tidak ada partisipasi masyarakatnya. Bila masyarakat tidak diberdayakan, maka mimpi hanya tinggal mimpi. Meskipun esok hari terbangun dan mata terbelalak melihat mentari pagi, namun hati terasa gelap, karena masih dibayangi malam.

Ketika masa jayanya ekspor kayu dari Subulussalam era tahun 1970 an, masyarakat berlomba-lomba untuk bekerja di pabrik-pabrik kayu milik para tengkulak-tengkulak yang hanya mengambil keuntungan sendiri. Tidak hanya penduduk Subulussalam yang berhasil “terhipnotis” oleh berbagai perusahaan kayu itu, tetapi masyarakat dari sejumlah wailayah di Aceh pun, ikut bekerja dan dibayang-bayangi materi yang menjanjikan.

Saat bisnis kayu runtuh, maka imbas terhadap ekonomi masyarakat yang “termanjakan” pun mulai terasa. Namun, kemana hendak mengadu, karena langkah belum tertuju. Ingin berlari mengerjar mimpi, tapi khawatir tersandung batu. Pada akhirnya, upaya untuk memetakan harapan dan meraih mimpi sejahtera dari kesulitan ekonomi itu, perlahan mulai terbuka. Lalu, pada tahun 1990 an, masyarakat baru beralih pada bisnis perkebunan, termasuk kelapa sawit yang dianggap potensial. Walaupun pada tahun 1998, terpaan krisis moneter melanda negeri ini, namun semangat usaha perkebunan masyarakat Subulussalam yang tidak pupus, menjadi batu loncatan ekonomi baru bagi masyarakat.

Perbedaan Perhatian
Seperti telur bebek yang dierami ayam, tanpa mengetahui bagaiman perhatian induk bebek terhadap anaknya. Padahal Aceh memiliki keistimewaan dan kekayaan alam yang melimpah, tapi sayang ketika itu, perhatian belum berpihak ke Subulussalam dan sejumlah daerah lainnya. Hidup di dalam air, tapi susah mencari ikan. Terbang bersama angin, tapi sulit melihat awan. Akhirnya, hidup ditengah hutan sendiri, hanya melihat kayu-kayu yang menjadi penyangga kehidupan, dibabat para pebisnis kayu. Karena Induk yang diharapkan, hanya melihat wilayah timur Aceh. Begitu keberadaan kota Subulussalam dalam teropong sejarah, ketika itu.

Bukan Subulussalam yang tak punya potensi ekonomi. Bukan pula Subulussalam yang tak punya Sumber Daya Manusia dan Sumber Daya Alam. Tapi, perhatian pemerintah provinsi Aceh ketika itu, membuat kota Subulussalam bersama daerah lainnya di wilayah barat selatan, seolah termarginalkan dari daerah pesisir timur Aceh.

Tunjukkan Jati Diri
Meskipun suram dalam sejarah, tapi namanya zaman terus berputar. Setelah dimekarkan dari kabupaten Aceh Singkil, dan diberikan tanggung jawab untuk megurus rumah tangganya sendiri, kota Subulussalam juga telah menunjukkan jati dirinya. Tercatat, pertumbuhan ekonomi Subulussalam setelah dimekarkan, mulai membaik. Jangka waktu 5 tahun setelah pemekaran, pertumbuhan ekonomi Subulussalam cukup baik, meskipun berfluktuasi pada awal pemekaran. Tercatat, tahun 2007 pertumbuhan ekonomi kota Subulussalam hanya -1,65 persen. Lalu tahun 2008 meningat menjadi 2,22 persen, tahun 2009 turun menjadi 1,89 persen. Kemudian, tahun 2010 naik mencapai 2,87 persen dan tahun 2011 meningkat menjadi 3,54 persen. (BPS Kota Subulussalam, 2012)

Demikian juga jumlah penduduk miskin, mengalami penurunan setelah 5 tahun dimekarkan dari kabupaten Aceh Singkil. Tahun 2008, jumlah penduduk miskin mencapai 17.700 jiwa dari jumlah penduduk 64.372 jiwa.  Tahun 2009 sebanyak 16.800 jiwa penduduk miskin dari jumlah penduduk 65.908 jiwa dan tahun 2010 sebanyak 16.452 jiwa dari jumlah penduduk 67.446 jiwa. Lalu, tahun 2011, penduduk miskin menjadi 16.500 jiwa dari jumlah penduduk 68.990 jiwa, dan pada tahun 2012 jumlah penduduk miskin turun menjadi 16.067, dari jumlah penduduk 70.520 jiwa.

Dari angka-angka tersebut, menunjukkan, jumlah penduduk miskin menurun secara perlahan. Hal ini menggambarkan, pemekaran menjadi daerah kota telah meningkatkan taraf kehidupan masyarakat. Setidaknya, dengan potensi ekonomi yang dimiliki, menjadi harapan besar untuk menggapai mimpi kesejahteraan. Berbagai potensi yang dimiliki, seperti perkebunan, pertanian, perdagangan, dan industri, dapat saja digerakkan melalui kebijakan pro rakyat. Apalagi, secara geografis letaknya yang berada pada jalur lintasan antara provinsi Sumatera Utara dengan wilayah barat selatan provinsi Aceh, sehingga memiliki potensi besar menggerakkan ekonomi di bidang perdagangan.

Semoga potensi ini dapat digerakkan pemerintah, agar masyarakat tidak lagi menjadi sasaran pekerja toke-toke kayu seperti tempo dulu, tetapi bisa merajut mimpi kesejahteraan bersama di pintu gerbang Aceh.[]

Penulis adalah wartawan Harian Analisa, berdomisili di Banda Aceh dan tulisan ini memenangkan lomba penulisan artikel dalam rangka HUT Kota Subulussalam tahun 2015.

read more
Hutan

Menyelamatkan Hutan Dimulai dari Rumah

Saya ini wong ndeso, menikmati masa kanak-kanak yang menyenangkan di tepian hutan kecil tak begitu jauh dari Taman Nasional Baluran, Situbondo-Jawa Timur. Hanya sebentar saja sempat numpang hidup di kota terbesar kedua Indonesia di Surabaya, untuk kuliah. Kini saya juga hidup tak begitu jauh dari hutan, hanya sekitar 60 kilometer dari Kawasan Kawah Ijen (Bondowoso-Jawa Timur).

Saya seorang PNS dan ibu dua anak yang sedang bergairahnya melihat dunia. Mereka sungguh berjiwa petualang. Mbolang, begitu kami sering menamakan aktifitas berpetualang kami. Hutan kota, hutan Perhutani, sawah, dan alam bebas adalah destinasi yang sungguh membuat kami bersemangat. Suatu saat kami bercita-cita, harus dapat berpetualang ke “hutan betulan”. Kelak jika keduanya sudah cukup usia.

Sebagai seorang ibu, mengikuti perkembangan berita terkait hutan tropis kita, bukan hal yang melegakan. Kita menghancurkan hutan kita sendiri, dan kerusakan hutan menyumbang 20% dari emisi GRK setiap tahun. Kita membutuhkan hutan dengan luasan besar untuk ‘meredam’ dan melawan perubahan iklim dan menjaga bumi. Tetapi yang terjadi kita melakukan sebaliknya. Bagaimana nantinya nasib kedua Bolang saya?

Soal manfaat hutan, tak perlu kita bahas, semua pasti sepakat. Hutan adalah paru-paru dunia penghasil oksigen dan pengatur siklus hidrologi yang juga menyimpan begitu banyak kehidupan dan kekayaan keaneka-ragaman hayati. Hutan juga merupakan rumah bagi jutaan orang asli yang untuk bertahan hidup bergantung dari hutan –baik secara fisik maupun spiritual. Ya, hutan tak ubahnya gambaran surga yang diturunkan Tuhan di dunia. Surga milik warga dunia. Milik kita. Jadi…. Protect Paradise!

Saya tak bisa bicara hal yang ndakik-ndakik tentang bagaimana kita menyelamatkan hutan. Saya hanya akan ngobrol hal-hal yang sederhana yang sudah kami lakukan. Semua dari ranah domestik, sesuai dengan tugas saya sebagai istri, sebagai ibu dari dua bolang.

Menyelamatkan Hutan dari Perut
Kami ini orang desa. Hidup sederhana, begitu juga dengan makan. Kami tak biasa makan fast-food. Ayam goreng berlumuran tepung itu, tak terlalu menarik bagi kami. Apalagi konon makanan tersebut selain kurang baik buat kesehatan, juga ternyata tak ramah bagi hutan.

Cemilan bagi kami juga sederhana saja. Yang penting sedap dan nyaman di perut. Buah-buahan dan sayuran itu camilan utama kami. Juga aneka makanan kukus dan rebus. Jagung rebus, singkong kukus, kacang rebus, ahh…semua menggugah selera. Sesekali pingin meniru gaya orang kota, snacking kata mereka, contohnya makan coklat. Waduh, ternyata harus pilih-pilih ya. Jangan-jangan malah nanti kami sekeluarga ikut jadi penyebab rusaknya hutan.

Less Tissue, Kembali Ke Serbet dan Saputangan
Kalau yang di atas itu sih, bahasanya orang kota. Bagi kami sudah biasa. Kebiasaan menenteng saputangan kemana-mana diwariskan turun temurun. Mulai dari embah putri juga ibu mempunyai kebiasaan selalu membawa sapu tangan. Bedanya, kalau embah biasanya menyelipkan di antara bebatan stagennya. Ibu biasa menaruh saputangan di tasnya.

Tadinya saya kira, bahan pembuat tisu itu khusus kayu dari pohon yang dibudidayakan. Eh, ternyata pakai kayu dari hutan tropis juga. Aduh, makin bersalah saja kalau pas terpaksa sesekali pakai tisu. Padahal bisa dibayangkan berapa kebutuhan tisu dalam setahun? Lha wong, warung kopi pinggir jalan saja, sekarang pada menyediakan tisu. Kena minyak gorengan dikit, langsung lap dengan tisu. Padahal embah putri dan ibu selalu mengajarkan saya menyediakan wijikan lengkap dengan serbet kecil, saat menghidangkan kudapan. Hemat, dan menurut saya malahan terkesan lebih mriyayeni. Elegan, gitu lo!

Sekarang Jamannya E-book
Meski terlahir sebagai wong ndeso, kami dibesarkan dalam atmosfer membaca yang cukup kental. Bapak seorang PPL kutu buku. Yang dibawa ke rumah selain Trubus, Sinar Tani, dan aneka modul pelatihannya, juga kerap Intisari dan sejumlah buku pengetahuan (meski intisarinya lebih sering bekas).

Budaya membaca terbawa hingga saat ini. Membaca, sambil membaui aroma kertas memang sungguh nikmat. Namun kami putuskan untuk memprioritaskan e-book. Bentuk buku yang satu ini kami anggap lebih ramah untuk hutan.

Meski Ndeso Saya Seorang Blogger Meski ndeso, saya punya sedikit kemampuan nge-blog. Ini sebenarnya hobi saja.Di sela-sela rutinitas yang kadang menjemukan, blogging menjadi semacam “me time” (haisshh…ini sih minjem istilah orang kota lagi) yang ampuh untuk mengusir penat saya. Pun, aktifitas ini menjadi semacam cara untuk “meneriakkan” apa yang ada dalam kepala dan hati saya. Seperti apa yang ingin saya sampaikan sekarang, lewat tulisan ini, Protect Paradise!

copyright by http://wyuliandari.wordpress.com
Sumber: greenpeace.or.id
* Tulisan adalah Pemenang Pertama Lomba Blog Hutan Greenpeace.

read more
Hutan

Negara Rugi Rp1,17 Triliun Akibat Penjarahan Hutan

Kemenhut mengakui, izin-izin tak prosedural di sektor kehutanan, sebenarnya banyak, tetapi masih diakomodir dalam kebijakan pemerintah lewat PP ‘keterlanjuran.”

Tahun ini, kejahatan kehutanan dari pembalakan liar dan perambahan hutan yang sedang ditangani baik di daerah maupun pusat, diperkirakan menyebabkan kerugian negara sekitar Rp1,17 triliun. Angka ini di luar kehilangan sumber daya hayati akibat perusakan hutan itu. Kasus-kasus ini,  sebagian sudah siap sidang, maupun proses penyidikan dan penyelidikan.

Sonny Partono, Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Kementerian Kehutanan (Kemenhut), mengatakan, kerugian paling besar dari perambahan hutan di Kolaka, Sulawesi Tengara (Sultra), oleh perusahaan tambang PT Waja Inti Lestari (PT WIL).  “Sudah jarah kayu, hutan rusak, ini sudah hilang. Ditambah kerusakan lingkungan. Belum lagi kerugian dari produk nikel sendiri,” katanya dalam jumpa pers, di Jakarta, Senin (23/12/2013).

Untuk kasus ini, tiga orang sudah menjadi tersangka, SB, ZYY dan FW dan masih dalam tahanan Bareskrim sejak 23 November 2013. SB, direktur utara PT WIL; ZYY, warga negara China, direktur perusahaan yang bekerja sama dengan PT WIL dan FW, direktur PT NP.

Perusahaan ini, katanya, melanggar karena menambang di hutan produksi konversi (HPK) yang masuk kategori moratorium.  Bukan itu saja, izin menambang mereka di Pantai Timur, tetapi beroperasi di Pantai Barat. Saat ini, mereka baru dikenai UU Kehutanan, dengan ancaman 10 tahun penjara dan denda Rp5 miliar.

Namun, Kemenhut sudah membawa kasus ini dalam pertemuan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4). Kemungkinan besar, tiga tersangka ini akan ditingkatkan dengan penegakan hukum banyak pintu. “Dari ketiga ini,  bisa saja ga aja kena tindak pindana kehutanan juga pencucian uang, dan korupsi. Kita sudah koordinasi dengan Bareskrim.”

Kasus lain, perambahan kawasan hutan lindung Lokpaikat, di Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan (Kalsel), tersangka Dar. “Ini hanya dikenai pidana kehutanan karena aksi perorangan yang menanam sawit,” ucap Sonny. Saat ini, berkas perkara dalam penelitian di Kejaksaan Agung dan Dar dalam tahanan Mabes Polri.

Perambahan hutan untuk kebun sawit seluas 4.280 hektar juga terjadi di hutan produksi tanpa izin Kemenhut di Kabupaten Kota Waringin Timur. “Satu tersangka Yoh, ditahan selama 120 hari. Masa tahanan sudah habis, tapi penyidikan terus berlanjut.”

Kasus lain, yang menyebabkan kerugian negara, yakni perambahan hutan lindung di Gunung Bawang, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat (Kalbar) untuk penambangan PT PHJ. Tersangka, Kur, sudah divonis di PT Bengkayang. Ada juga kasus perambahan kawasan Taman Nasional Tesso Nillo, tersangka tiga orang. “Saat ini sudah proses penyidikan.” Lalu, perambahan di Taman Nasional Gunung Lauser dengan empat tersangka dan beberapa kasus lain.

Kerugian negara juga datang dari perdagangan tumbuhan dan satwa ilegal (TSL). Tahun 2013, dari kasus-kasus yang ditangani potensi kerugian negara Rp16 miliar.

Menurut Sonny, pada semester I 2013, Kemenhut menggagalkan perdagangan dan peredaran TSL ilegal lima kasus. Lalu, mendekati akhir tahun, berhasil digagalkan perdagangan ilegal 238 kukang di Cilegon, Banteng oleh BBKSDA Jawa Barat. “Kukang-kukang ini akan dilepasliar 24 Desember 2013 di hutan lindung di Lampung.” Kasus lain, penggagalan penyelundupan 325 paruh rangkong di Kalbar.

‘Diselamatkan” PP Keterlanjuran
Sonny mengakui, kasus kejahatan kehutanan begitu banyak. Tak hanya yang kini sudah ditangani. Namun, dengan keluar PP 60 dan 61 tahun 2012, izin-izin yang keluar non prosedural itu bisa diakomodir. Dia mencontohkan, di Kalimantan Tengah (Kalteng), masalah tata ruang yang dikeluarkan pemerintah daerah dan tata guna hutan kesepakatan (TGHK) hingga izin keluar di kawasan hutan.

“Jadi penyelesaian lewat PP 61 untuk tambang, PP 60 untuk kebun. Data kita non prosedural. Ini sedang diselesaikan. Karena kalo sudah buat surat (permohonan ke Kemenhut), penengakan hukum holded dulu.”

Nanti, kata Sonny, jika usulan pelepasan kawasan hutan lewat PP 60 dan 61 itu ditolak, baru penegakan hukum dijalankan. “Hampir di semua provinsi ada.”

Sumber: mongabay.co.id

read more
Ragam

Oknum Perwira Polisi Ditangkap Bawa Kayu Ilegal

Koramil Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar menangkap seorang oknum perwira polisi yang bertugas di Polda Aceh berinisial AKP. AW  karena membawa kayu ilegal. Namun, oknum perwira itu melarikan diri saat hendak diproses.

Penangkapan oknum perwira itu berlangsung pada Kamis, (19/12/2013) sekira pukul 22.30 WIB oleh anggota Koramil Lhoknga.

Menurut informasi yang diperoleh greenjournalist.net, kayu ilegal itu sebanyak 16 kubik dibawa dengan truk merupakan milik AKP AW. Truk itu berangkat dari Lhoknga, Aceh Besar hendak dibawa ke salah satu panglong kayu yang ada di Banda Aceh.

Oknum perwira itu melarikan diri saat dibawa anggota Koramil bersama barang bukti ke Kodim 0101/BS Banda Aceh. Saat itulah AKP AW berhasil melarikan. Sedangkan truk pengangkut kayu dan supir truk tiba di Kodim sekitar pukul 23.00 WIB tadi malam.

Menurut penjelasan Pasi Intel Kodim 0101/BS, Kapten Sumastono, AKP AW saat itu sedang mengawal truk kayu miliknya dengan mengenderai mobil pribadi. Kayu tersebut, katanya, hendak dibawa ke salah satu panglung kayu yang ada di Banda Aceh.

“Benar, kayu itu milik seorang oknum perwira yang bertugas di Polda Aceh,” kata Sumastono, saat dihubungi wartawan, Jumat (20/12/2013) sore.

Truk yang bermuatan 16 kubik kayu ilegal berserta sopir saat ini sudah ditahan di Polres Aceh Besar untuk penyidikan selanjutnya. “Tadi jam 10.00 WIB telah dibawa ke Polres Aceh Besar, karena ditangkap di wilayah hukum Polres Aceh Besar,” tutupnya.[]

read more
Flora Fauna

Ditemukan Fosil Pohon Letusan Sinabung 800 Tahun Lalu

Para penambang pasir di kawasan hutan kaki Gunungapi Sinabung, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, menemukan ratusan batang pohon tertimbun tanah dengan kedalaman 20 meter dari permukaan bumi.  Pohon-pohon ini ini berdiri kokoh dan diperkirakan telah berusia 800 tahun.

Ratusan bahan pohon ini, tampak berwarna hitam bekas terbakar. Para ahli Vulkanologi menduga, bekas bakaran kayu itu, akibat letusan Gunung Sinabung ratusan tahun lalu. Lokasi temuan ini berada di  salah satu lembah, di sebelah anak sungai yang mengalirkan air dari Danau Lau Kawar, menuju bagian sebelah utara kaki Gunung Sinabung. Aliran sungai itu bernama Sungai Lau Borus.

Para penambang pasir, awalnya tidak mengetahui kalau kayu-kayu itu, sisa peninggalan sejarah masa lalu meskipun mereka sudah menambang di sana turun temurun. Anwar Sitepu, penambang pasir, Sabtu (23/11/2013), mengatakan, pasir terus digali dan ditemukan kayu-kayu ukuran besar berdiri kokoh tertimbun pasir.

Dulu, katanya, bangunan rumah dan gedung-gedung, dibuat menggunakan kayu. Lama-lama kayu di hutan menipis, membangun rumah menggunakan semen, batu, dan pasir. “Di sinilah ditemukan kayu-kayu itu. Tertimbun pasir cukup dalam, tapi tak tumbang meski kedalaman berkurang dan saat ini sudah 20 meter, ” katanya.

Ucapan ini dibenarkan Sabar Sembiring, ketua adat di Desa Beras Sitepu. Kala usia muda, dia pernah menambang pasir aliran sungai Danau Lau Kawar. Meskipun menemukan sekitar 100-an pohon batu itu, para penambang tidak merusak atau menghancurkan. Mereka membiarkan kayu-kayu itu.

Hingga kini, kayu-kayu peninggalan sejarah dan cerita ketika Gunung Sinabung meletus di masa silam ini, masih berdiri kokoh. Walau beberapa, tampak tumbang dan terjatuh ke aliran sungai, serta melintang di tengah aliran sungai.

Sembiring menambahkan,  para penambang pasir kebanyakan warga Desa Berastepu, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo. Jumlah mereka antara 30-40 orang berusia di atas 20 tahun. Mereka mengeruk pasir, batu, dan kerikil, yang diduga sisa letusan Sinabung. Truk-truk besar mengangkuti meterial-material ini. Sementara Agus Budianto, Kepala Sub Bidang Evaluasi Bencana Gunung Sinabung, membenarkan kalau kayu-kayu sisa terbakar dan tertimbun dalam pasir itu, berusia ratusan tahun. Menurut dia, peneliti dari Badan Geologi Nasional, sudah melakukan analisis dan pengambilan sampel kayu, tahun 2010.

Dari uji sampel, diketahui, kayu yang diperiksa, berusia sekitar 800 tahun. Hasil uji ditemukan dugaan kuat, kayu-kayu itu tertimbun akibat longsor material vulkanik dari letusan Gunung Sinabung. ”Hasil penelitian diketahui usia kayu-kayu itu berusia 800 tahun, tertimbun pasir, dan material vulkanik, ” katanya.

Dia berharap, para penambang pasir tetap menjaga dan tidak menebang atau merusak kayu masa lalu itu. “Itu akan menjadi sejarah nanti. Mudah-mudahan yang ditebang atau dirusak, supaya ada penelitian lebih lanjut soal itu.”

Desa Berastepu, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo, tempat ditemukan kayu-kayu fosil berusia ratusan tahun itu, berada di radius 4,5 kilo meter dari pusat semburan kawah Sinabung. Letak desa ini persis berada di parit yang mengalirkan lava pijar maupun lahar dingin dari puncak gunungapi.

Saat ini, sebagian besar warga desa ini dievakuasi ke pengungsian, karena aktivitas gunung terus meningkat, erupsi terus terjadi, hingga pengungsi bertambah 12.300 jiwa ditampung di 28 lokasi. Meski begitu, puluhan penambang pasir tetap beraktivitas, walau sudah ada larangan. Guna mengantisipasi korban jiwa, TNI-Polri dan tim SAR hingga Sabtu sore terus menyisir lokasi, yang berjarak antara dua sampai 4,5 km dari kaki gunungapi.

Data dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), sejak September 2013, sedikitnya terjadi 75 kali erupsi. Potensi erupsi masih tinggi ditandai lava pijar, awan panas, dan erupsi freatik-eksplosif. PVMBG melaporkan, deformasi badan gunung mengembang sekitar dua mili meter per hari, hingga masih banyak energi tersimpan di tubuh gunung menjelang erupsi. Seismisitas gunung masih sangat tinggi, statuspun kini Awas IV.

Sumber: NatGeo Indonesia/mongabay.co.id

read more