close

wwf

Pejuang Lingkungan

Cara Nicholas Saputra Melindungi Lingkungan

Jakarta – Nicholas Saputra, 35 tahun, mengawali karier di dunia film saat menjadi siswa Sekolah Menengah Atas Negeri 8, Jakarta. Ia memerankan Rangga, siswa pendiam penyuka puisi, dalam film Ada Apa dengan Cinta (2002), yang kemudian melekat dalam ingatan banyak orang.

Setelah menjalani hampir separuh usianya sebagai aktor, Nicholas Saputra beralih menjadi produser—tentu sambil tetap menjalani profesi lamanya. Ia awalnya membuat film-film pendek, semuanya dokumenter. Kini ia memproduksi film panjang yang juga dokumenter. Film itu berjudul Semes7a, menampilkan tujuh tokoh berbeda agama yang sama-sama berbuat untuk lingkungan. Film tersebut akan diputar di bioskop mulai akhir Januari 2020.

Potongan Semes7a yang telah selesai dikerjakan pada tahun lalu itu diputar di Paviliun Indonesia dalam arena Konferensi Perubahan Iklim COP25 di Madrid, Spanyol, Kamis, 11 Desember lalu. Ia berbicara tentang kekuatan penceritaan atau story-telling dalam kampanye mencegah krisis iklim.

Menurut Nico, tujuh tokoh dalam film itu dibuat terpisah-pisah dan disusun menggunakan pendekatan agama sebagai pengikatnya. “Mayoritas masyarakat Indonesia sangat religius. Saya berharap, dengan pendekatan agama, film ini bisa menggerakkan mereka untuk berbuat sesuatu bagi alam,” ujarnya.

Pemeran Soe Hok Gie dalam film Gie ini memang pencinta alam. Ia pun gemar berjalan-jalan, baik di dalam maupun luar negeri. Akun Instagram-nya dipenuhi foto perjalanannya, dari Alor Kecil di Nusa Tenggara Timur hingga Rio de Janeiro, Brasil. Memadukan kegemaran bertualang dan kepeduliannya terhadap alam, ia membangun vila di Tangkahan, Sumatera Utara. Uniknya, tak seperti selebritas lain, foto dirinya tak pernah tampil di akun yang memiliki 1,1 juta pengikut itu.

Pada suhu 3 derajat Celsius di halaman gedung Ifema, Madrid, setelah Nico berbicara di podium Paviliun Indonesia, jurnalis berbincang panjang dengannya. Ia menuturkan alasannya peduli terhadap alam dan pengalamannya membuat film Semes7a. Sebagian ceritanya off the record, terutama tentang perusahaan yang bersedia menjadi sponsor filmnya tapi ia tolak. “Mereka bisa berbuat baik di tempat lain, tapi tidak di film saya,” katanya.

Nicholas mengatakan awal ia menyukai isu lingkungan adalah saat ia setengah dipaksa untuk nonton acara flora dan fauna di TVRI (Televisi Republik Indonesia). Acara itu juga yang mendorong Nicholas untuk banyak traveling. “Saya ingin melihat aslinya bagaimana, sih, apa yang saya tonton di acara televisi itu,” katanya.

Tidak hanya itu, Nicholas Saputra pun suka sekali menonton berita. Menonton berita membuat dia tahu ada perang di beberapa tempat, ada pula berbagai tempat baru di pelosok negeri. “Saya jadi ingin melihat langsung. Di Indonesia, saya pergi ke banyak tempat. Dari dulu dan sering. Di banyak tempat, saya perginya bolak-balik,” katanya.

Setelah itu baru ia masuk dunia film, sejak SMA. Nicholas Saputra banyak jalan mulai kuliah dan setelah lulus. “Nah, di Indonesia, saya suka daerah pelosok. Di sana, saya mendapatkan privasi. Orang enggak tahu saya, belum ada media sosial, tidak ada yang minta foto. Saya menemui banyak hal yang genuine,” katanya.

Berbagai pengalamannya bepergian ke berbagai tempat Nicholas Saputra menemukan pengalaman dari tangan pertama tentang berbagai perubahan yang ada. Perubahan itu dalam hal kualitas udara, kualitas lingkungan, kebiasaan membuang sampah. “Dari situ, concern saya terhadap lingkungan muncul,” katanya.

Ia pun akhirnya mendalami isu perubahan iklim. Awalnya, Nicholas Saputra banyak membantu organisasi non-pemerintah untuk kampanye. Kepeduliannya waktu itu disalurkan melalui Fauna and Flora International, yang memperkenalkannya pada Aceh, gajah, hutan, dan lain-lain. “Saya juga pernah bantuin The Nature Conservancy, Indonesia Conservancy, buat proyek-proyek marine mereka. Di situlah saya belajar,” katanya.[]

Sumber: tempo.co

read more
Kebijakan Lingkungan

WWF Rilis Modul Rekontruksi Hijau Pasca Bencana

WWF Indonesia mensosialisasikan “Modul Rekontruksi Hijau Pasca Bencana” sebagai panduan bagaimana mengintegrasikan rekontruksi pasca bencana dengan isu lingkungan. Modul ini menjadi panduan untuk menghindari adanya eksploitasi sumber daya alam yang tidak benar untuk proses rehabilitasi dan rekontruksi pasca bencana, sehingga tidak berdampak timbulnya bencana baru karena terjadinya kerusakan lingkungan.

“Modul ini menjadi penting bagi Aceh karena Aceh berada di daerah rawan bencana karena berada di jalur ring of fire yang menyebabkan kita harus siap menghadapi bencana,” kata Pimpinan Proyek WWF Indonesia Kantor Program Aceh, Dede Suhendra.

Modul ini merupakan hasil dari kerjasama selama 5 tahun pasca bencana gempa dan tsunami antara WWF, Palang Merah Amerikan dan lembaga mitra di Indonesia, Srilanka, Thailand dan Maldives.

Dalam sosialisasi yang diikuti perwakilan Badan Penanggulangan Bencana di propinsi dan daerah, dinas terkait, akademisi, LSM, kelompok masyarakat dan media massa di Banda Aceh, Sabtu (26/10/2013), menghadirkan pemateri antara lain Tri Agung, Dede Suhendra dan Azhar diikuti dengan diskusi grup untuk membahas isi modul sesuai dengan pengalaman Aceh dalam menghadapai bencana.

WWF Indonesia menyusun modul ini bekerjasama dengan WWF Amerika selama dua tahun. Pasca bencana Gempa Bumi dan Tsunami yang melanda Provinsi Aceh, pada tahun 2004, dilaksanakan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi besar-besaran untuk memulihkan kondisi Aceh. Dunia internasional dan berbagai pihak di Indonesia termasuk WWF secara aktif  terlibat dalam kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh.

“Saat rekontruksi Aceh pasca bencana tsunami, WWF mendorong pemanfaatan kayu bersertifikasi agar tidak terjadi pengambilan kayu ilegal yang merusak hutan Aceh. Hal ini diadopsi oleh banyak NGO luar negeri yang sedang melakukan pembangunan banyak rumah bantuan bagi korban bencana,” kata Azhar.

Salah satu yang dikembangkan ketika itu adalah mengembangkan Dokumen Strategi dan Model rekontruksi hijau (Green Recontruction Guideline) atau di singkat GRG. Dokumen Strategi dan Model GRG ini kemudian dijadikan banyak pihak baik internasional dan nasional menjadi acuan dalam pelaksanaan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh.

Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Aceh juga menjadikan dokumen ini menjadisebagai acuan dalam pelaksanaan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh.

Menurut Tri Agung, ada 6 prinsip rehabilitasi dan rekontruksi hijau pasca bencana yakni tidak merusak lingkungan sehingga dapat meminimalisasi kerusakan lingkungan, adanya rasa memiliki baik pemerintah, pelaksana dan masyarakat terhadap proses rehab dan rekontruksi, keputusan yang diambil harus cepat karena menyangkut kepentingan darurat, semua pihak harus menyadari bahwa lingkungan banyak manfaatnya jadi tidak mengeksploitasinya secara berlebihan selain itu juga perlu mengedepankan kearifan lokal dalam rehab dan rekon.

Paska diimplementasikan di Aceh, ternyata dokumen strategi dan model rekonstruksi hijau ini ternyata juga mendapatkan apresiasi positif dari berbagai negara, khususnya negara yang mengalami bencana seperti Indonesia. Tercatat, Pakistan, Srilanka, dan China menjadikan dokumen ini sebagai acuan.

Demikian pula di dalam negeri, berbagai bencana yang sering terjadi di Indonesia, seperti Gempa Padang, dan Jogyakarta juga menjadikan dokumen ini menjadi acuan dalam rangka pemulihan. Substansi dari strategi dan model rekonstruksi hijau ini adalah melaksanakan kegiatan pemulihan bencana (rehabilitasi dan rekonstruksi) dengan meminimalkan munculnya dampak lingkungan yang baru atau dengan kata lain pemulihan dilakukan guna memastikan keseimbangan ekologi tetap bisa terjaga.

Bergerak dari pengalaman tersebut, WWF Indonesia dan WWF Amerikamengambil inisiatif untuk mengembangkan lebih jauh dokumen strategi dan model rekonstruksi hijau tersebut menjadi sebuah modul yang nantinya bisa digunakan atau dipraktekknya secara mudah dalam rangka melakukan pemulihan pasca bencana oleh berbagai pihak. Modul yang dikembangkan ini diharapkan bisa mempermudah kegiatan pemulihan namun disisi lain bisa memastikan keseimbangan aekologi tetap terjaga.

Dalam rangka itu, WWF-Indonesia merencanakan mensosialisasikan dokumen modul yang telah dikembangkan lebih dari tiga tahun dalam rangka penyempurnaan kepada berbagai pihak, khususnya di Provinsi Aceh. Melalui sosialisasi ini modul yang dikembangkan ini bisa dipahami, diketahui dan tentunya diharapkan nantinya bisa dijadikan acuan dalam rangka pemulihan pasca bencana. Apalagi Aceh adalah salah satu Provinsi yang rentan dalam rangka menghadapi bencana. (rel)

read more