close

26/10/2013

Energi

Aceh Kaya Potensi Listrik

Populasi permintaaan energi listrik di berbagai belahan bumi dunia mengalami peningkatan pesat. Hal serupa juga terjadi di negara Indonesia, pertumbuhan industri dan penduduk adalah faktor pemicu terjadinya. Kondisi  yang sama juga terjadi di Provinsi Aceh.

Untuk menutupi permintaan tersebut, PLN regional Aceh meminta bantuan pasokan daya dari provinsi seberang, yakni Sumatera Utara. Dari berbagai literatur  bacaan yang penulis dapatkan, hingga saat ini total kebutuhan daya untuk beban puncak yang diperlukan oleh PLN di Aceh sebesar 351 Mega Watt. Dari total daya yang dibutuhkan itu, Pembangkit Listrik dari Sumatera Utara menjadi pemasok daya terbesar untuk  para konsumen listrik di Provinsi Aceh. Ketergantungan pasokan daya dari seperti ini sudah terjadi sudah sekian lama.

Tentunya, hal tersenut merupakan sebuah permasalahan lama dan perlu dianggap serius, serta diharapkan untuk tidak dibiarkan secara berlarut-larut. Sebab, jika itu terjadi dikhawatirkan ke depan persoalan yang saerupa akan kembali muncul di kemudian hari.

Potensi Melimpah

Provinsi Aceh yang sudah diberikan kewenangan besar oleh pemerintah pusat melalui  disahkankan  Undang-Undang Pemerintah Aceh (UU PA) telah memberikan peluang besar untuk mengelola listrik secara otonom. Dimana, manajemen  pendistribusian dan pengadaan pembangkit energi listrik bisa dikontrol oleh pemerintah Aceh. Apalagi, provinsi kita dikaruniakan Allah akan berbagai potensi listrik yang melimpah dari berbagai sumber.

Berdasarkan data Dari Dinas Pertambangan dan Energi Aceh  menyebutkan, pada alam Aceh terdapat banyak potensi listrik yang seperti, hydro power (tenaga air) yang terletak di Potensi daya yang tersedia di Jambu Air sebesar 37,2 Mega Watt, Krueng  Jambuaye sebesar 181,8 Mega Watt, Krueng sebesar 171,6 Mega Watt, Jambuaye/Bidin sebesar 246 Mega Watt, Krueng Peureulak sebesar 34.8 Mega Watt, W. Tampur sebesar 428 Mega Watt, Krueng Peusangan 90  Mega Watt, Krueng  Jambo Papeun 95,2 Mega Watt, Krueng  Kluet sebesar 141 Mega Watt, Krueng  Sibubung 121,1 Mega Watt, Krueng Teripa Tiga 172,6 Mega Watt, Krueng Teripa 306,4 Mega Watt, Krueng  Meulaboh sebesar 82,1 Mega Watt, Krueng Pameu sebesar 160,6 Mega Watt, Krueng Woyla sebesar 274 Mega Watt, Krueng Dolok 32,2 Mega Watt, Krueng Teunom 288,2 Mega Watt.

Lalu, potensi listrik dari geothermal (panas bumi), total kapasitas potensi daya yang tersedia di Provinsi Aceh sebesar 1.115 MWe. Energi itu terletak di Sabang dengan potensi sebesar 125 MWe, Aceh Besar sebesar 228 MWe, Pidie sebesar 150 MWe, Bener Meriah sebesar 200 MWe, Aceh Tengah sebesar 220 MWe, Aceh Timur sebesar 25 MWe, Aceh Tamiang sebesar 25 MWe, dan Kabupaten Gayo Lues sebesar 142 MWe.  Kemudian potensi energi listrik lain juga terdapat pada angin, tata surya (matahari) dan batu bara, yang daya dihasilkan belum diproyeksikan.

Namun demikian, jika diakumulasikan potensi energi listrik dari terbarukan jenis air saja, maka daya yang akan dihasilkan adalah  2862.8 Mega Watt.  Daya yang mampu dibangkitkan itu sudah melebihi beban puncak saat ini.  Belum lagi dengan potensi energi-energi listrik yang diciptakan Allah melalui biogas (tumbuhan, hewan dan manusia). Tentunya, jika ini mampu diwujudkan, Provinsi Aceh akan menjadi daerah “Swasembada Energi”.

Lalu pertanyaan, kenapa potensi yang telah diciptakan Allah ini tidak dimanfaatkan dengan baik?

Aneh dan lucu. Itulah mungkin kata yang akan keluar dari semua kita. Sebab, sebagai negeri yang diberikan kekayaan  akan  potensi listrik, namun kita tidak pernah menggarapnya  dengan serius melainkan berharap sedekah dari provinsi tetangga.

Solusi

Hendaknya dengan ada potensi-potensi listrik yang diberikan Allah seperti ini, tentunya keseriusan pemerintah daerah sangat diharapkan.  Selama ini, Pemerintah Aceh  berkesan seperti menunggu boh ara anyot, artinya pemerintah kurang bekerja keras dalam melobi para pihak untuk  berinvestasi di Aceh  pada bidang kelistrikan.

Jika saja, setengah dari potensi yang tersedia itu  digarap saja, maka tentunya Aceh mampu menyuplai energi untuk beberapa wilayah di provinsi lain dan memutus mata rantai pemasok energi dari luar. Namun demikian, untuk mewujudkan hal tersebut, maka pemerintah Aceh perlu melakukan beberapa hal.

Pertama adalah adanya keseriusan dari pemerintah Aceh dalam dalam menggarap potensi yang telah ada. Keseriusan itu harus dibuktikan dengan adanya upaya yang kuat untuk menyakinkan para investor baik dalam negeri maupun dari  luar negeri untuk membangun pembangkit energi listrik.  Kedua adalah, adanya jaminan keamanan dan kenyamanan.  Keamanan tersebut  tidak hanya pada sisi keamaan semata,  tetapi juga berhubungan dengan birokrasi. Artinya, Pemerintah Aceh harus mempermudah para investor dalam berbagai aspek birokrasi, seperti;  adanya kemudahan dalam pengurusan izin, pemetaan lahan yang berpotensi energi secara jelas, serta mempublikasi data-data penting yang berhubungan dengan energi  melalui website-website resmi secara jelas dan detil. Disamping itu, pemerintah Aceh juga harus membuat pola kerangka kerja yang jelas bagi para investor yang ingin menanamkan saham di bidang kelistrikan dengan tidak mengabaikan kepentingan-kepentingan masyarakat.

Insya Allah, jika  hal ini dilakukan,  ke depan Aceh negeri yang kaya akan potensi energi ini tidak lagi mengharap sedekah listrik dari provinsi lain. Dan, tentunya dengan semakin banyak pembangkit yang dibangun, Aceh tidak lagi bergantung listrik pada daerah lain, dan bahkan pengangguran di Aceh akan semakin berkurang. Waallahu a’alam bishawab.

 

read more
Kebijakan Lingkungan

WWF Rilis Modul Rekontruksi Hijau Pasca Bencana

WWF Indonesia mensosialisasikan “Modul Rekontruksi Hijau Pasca Bencana” sebagai panduan bagaimana mengintegrasikan rekontruksi pasca bencana dengan isu lingkungan. Modul ini menjadi panduan untuk menghindari adanya eksploitasi sumber daya alam yang tidak benar untuk proses rehabilitasi dan rekontruksi pasca bencana, sehingga tidak berdampak timbulnya bencana baru karena terjadinya kerusakan lingkungan.

“Modul ini menjadi penting bagi Aceh karena Aceh berada di daerah rawan bencana karena berada di jalur ring of fire yang menyebabkan kita harus siap menghadapi bencana,” kata Pimpinan Proyek WWF Indonesia Kantor Program Aceh, Dede Suhendra.

Modul ini merupakan hasil dari kerjasama selama 5 tahun pasca bencana gempa dan tsunami antara WWF, Palang Merah Amerikan dan lembaga mitra di Indonesia, Srilanka, Thailand dan Maldives.

Dalam sosialisasi yang diikuti perwakilan Badan Penanggulangan Bencana di propinsi dan daerah, dinas terkait, akademisi, LSM, kelompok masyarakat dan media massa di Banda Aceh, Sabtu (26/10/2013), menghadirkan pemateri antara lain Tri Agung, Dede Suhendra dan Azhar diikuti dengan diskusi grup untuk membahas isi modul sesuai dengan pengalaman Aceh dalam menghadapai bencana.

WWF Indonesia menyusun modul ini bekerjasama dengan WWF Amerika selama dua tahun. Pasca bencana Gempa Bumi dan Tsunami yang melanda Provinsi Aceh, pada tahun 2004, dilaksanakan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi besar-besaran untuk memulihkan kondisi Aceh. Dunia internasional dan berbagai pihak di Indonesia termasuk WWF secara aktif  terlibat dalam kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh.

“Saat rekontruksi Aceh pasca bencana tsunami, WWF mendorong pemanfaatan kayu bersertifikasi agar tidak terjadi pengambilan kayu ilegal yang merusak hutan Aceh. Hal ini diadopsi oleh banyak NGO luar negeri yang sedang melakukan pembangunan banyak rumah bantuan bagi korban bencana,” kata Azhar.

Salah satu yang dikembangkan ketika itu adalah mengembangkan Dokumen Strategi dan Model rekontruksi hijau (Green Recontruction Guideline) atau di singkat GRG. Dokumen Strategi dan Model GRG ini kemudian dijadikan banyak pihak baik internasional dan nasional menjadi acuan dalam pelaksanaan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh.

Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Aceh juga menjadikan dokumen ini menjadisebagai acuan dalam pelaksanaan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh.

Menurut Tri Agung, ada 6 prinsip rehabilitasi dan rekontruksi hijau pasca bencana yakni tidak merusak lingkungan sehingga dapat meminimalisasi kerusakan lingkungan, adanya rasa memiliki baik pemerintah, pelaksana dan masyarakat terhadap proses rehab dan rekontruksi, keputusan yang diambil harus cepat karena menyangkut kepentingan darurat, semua pihak harus menyadari bahwa lingkungan banyak manfaatnya jadi tidak mengeksploitasinya secara berlebihan selain itu juga perlu mengedepankan kearifan lokal dalam rehab dan rekon.

Paska diimplementasikan di Aceh, ternyata dokumen strategi dan model rekonstruksi hijau ini ternyata juga mendapatkan apresiasi positif dari berbagai negara, khususnya negara yang mengalami bencana seperti Indonesia. Tercatat, Pakistan, Srilanka, dan China menjadikan dokumen ini sebagai acuan.

Demikian pula di dalam negeri, berbagai bencana yang sering terjadi di Indonesia, seperti Gempa Padang, dan Jogyakarta juga menjadikan dokumen ini menjadi acuan dalam rangka pemulihan. Substansi dari strategi dan model rekonstruksi hijau ini adalah melaksanakan kegiatan pemulihan bencana (rehabilitasi dan rekonstruksi) dengan meminimalkan munculnya dampak lingkungan yang baru atau dengan kata lain pemulihan dilakukan guna memastikan keseimbangan ekologi tetap bisa terjaga.

Bergerak dari pengalaman tersebut, WWF Indonesia dan WWF Amerikamengambil inisiatif untuk mengembangkan lebih jauh dokumen strategi dan model rekonstruksi hijau tersebut menjadi sebuah modul yang nantinya bisa digunakan atau dipraktekknya secara mudah dalam rangka melakukan pemulihan pasca bencana oleh berbagai pihak. Modul yang dikembangkan ini diharapkan bisa mempermudah kegiatan pemulihan namun disisi lain bisa memastikan keseimbangan aekologi tetap terjaga.

Dalam rangka itu, WWF-Indonesia merencanakan mensosialisasikan dokumen modul yang telah dikembangkan lebih dari tiga tahun dalam rangka penyempurnaan kepada berbagai pihak, khususnya di Provinsi Aceh. Melalui sosialisasi ini modul yang dikembangkan ini bisa dipahami, diketahui dan tentunya diharapkan nantinya bisa dijadikan acuan dalam rangka pemulihan pasca bencana. Apalagi Aceh adalah salah satu Provinsi yang rentan dalam rangka menghadapi bencana. (rel)

read more
Ragam

Jepang Diguncang Gempa Bumi Berkekuatan 7,6 SR

Informasi gempa seperti dikutip dari Reuters, dirilis Survei Geologi Amerika Serikat menyatakan telah terjadi gempa bumi berkekuatan 7,6 skala Richter di 231 mil timur Pulau Honshu, Jepang, Sabtu (26/10/2013) dini hari.. Meski berkekuatan cukup besar, pusat peringatan tsunami pasifik Amerika Serikat mengatakan, tidak ada potensi tsunami dari gempa ini.

Jepang adalah negara kepulauan yang sepanjang sejarahnya penuh dengan catatan gempa, dari skala kecil sampai sangat besar. Gempa terbesar terakhir terjadi pada Maret 2011, berkekuatan 9 skala Richter.

Akibat gempa pada 2011 itu, reaktor pada PLTN Fukushima mengalami kebocoran. Hingga saat ini, persoalan di PLTN Fukushima belum juga tuntas diatasi, terutama terkait kebocoran pada pendingin inti reaktor.

Tak Ada Kerusakan Baru di PLTN Fukushima
Operator Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima mengatakan, tidak ada kerusakan atau peningkatan radiasi di PLTN, segera setelah gempa besar di pantai timur Jepang yang menimbulkan tsunami kecil.

Gempa juga tidak menimbulkan kerusakan di darat. Televisi Jepang mengatakan bahwa tsunami setinggi 30 sentimeter (1 kaki) telah terjadi di pantai timur Jepang. Juru Bicara Tokyo Electric Power Co (TEPCO), operator dari PLTN Fukushima, mengatakan bahwa para pekerja telah diminta untuk mengevakuasi diri ke daratan yang lebih tinggi setelah gempa. Namun, tidak ada kerusakan atau perubahan peringatan di pos-pos pemantauan radiasi di sekitar pabrik.

Kapal-kapal terlihat meninggalkan pelabuhan di selatan PLTN Daiichi, Fukushima, di mana ada tiga reaktor mengalami kebocoran akibat gempa bumi dan tsunami pada 2011. Bangunan mengalami guncangan, 230 kilometer dari Tokyo, tepatnya sebelah selatan dari lokasi PLTN.

Badan Meteorologi Jepang mengeluarkan peringatan “kuning” alias peringatan dini tsunami kecil. Peringatan “kuning” akan dikeluarkan ketika tsunami diprediksi tidak akan melebihi ketinggian 1 meter.

Sumber: kompas.com

read more
Ragam

Aceh Adventure Kunjungi Pulau Bunta, Humas : Jangan Tinggalkan Sampah

Banda Aceh – Komunitas Aceh Adventure pada hari ini, Sabtu (26/10/2013) kembali menyelenggarakan even menjelajah Pulau Bunta. Setelah sebelumnya sukses mengekplorasi pantai Lange, kini kesuksesan itu ingin kembali diulangi di Pulau Bunta yang terletak di Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar.

Perjalanan ke Pulau Bunta melalui Gampong Teungoh, Ulee Lheue Banda Aceh harus menempuh perjalanan via laut selama 30 menit. Akan tetapi pengunjung harus menggunakan perahu nelayan.

Humas Aceh Adventure, Fahri menyebutkan, ekplorasi kali ini juga ikut dihadiri oleh sejumlah photografer senior di Aceh. Diantaranya, Abu Khaidir photografer AFP dan Muhammad Anshar phografer Harian Serambi Indonesia.

“Nanti dalam even ini hadir beberapa orang photografer senior, selain itu ada beberapa mahasiswa ikut meramaikan even tersebut,” tukas Humas Aceh Adventure, Fahri, Sabtu (26/10/2013) di Banda Aceh.

Dijelaskannya, direncanakan peserta even akan berada di Pulau Bunta sejak Sabtu sore sampai dengan Minggu (27/10/2013). Nantinya, sebut Fahri, di Pulau Bunta ada banyak objek yang bisa dinikmati.

“Dari terumbu karang, alam dan pantai yang indah dan anda juga bisa memancing,” tukas Fahri.

Kendati demikian, Fahri mengingatkan kepada siapapun yang datang agar tidak merusak dan mengambil kekayaan alam yang ada di Pulau Bunta. Demikian juga sampah yang dibawa juga tidak dibenarkan tersisa di lokasi.

“Sampah harus dibawa pulang kembali, tidak boleh meninggalkan jejak apapun, kecuali jejak telapak kaki,” tukasnya.

Lanjutnya, dalam even ini, ada 17 orang peserta yang akan meramaikan mengunjungi Pulau Bunta yang memiliki pemandangan yang indah.

read more
Perubahan Iklim

Usaha Setengah Hati Hadapi Perubahan Iklim

Dunia tengah menghadapi ironi. Di tengah upaya global memangkas emisi dan menekan kenaikan suhu bumi, nilai total investasi untuk mencegah krisis perubahan iklim kalah jauh dibanding nilai subsidi untuk produksi dan konsumsi bahan bakar fosil, yang merupakan salah satu faktor penyebab pemanasan global dan perubahan iklim.

Insentif yang diberikan pemerintah untuk memroduksi dan mengonsumsi bahan bakar fosil mencapai $523 miliar per tahun di negara-negara anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) saja. Sementara investasi perubahan iklim dunia semakin turun dari $364 miliar pada 2011 menjadi $359 miliar pada tahun 2012. Hal ini terungkap dari laporan Climate Policy Initiative (CPI) berjudul “The Global Landscape of Climate Finance 2013” yang dirilis Selasa (22/10).

Laporan ini juga menyatakan, kesenjangan antara kebutuhan dan investasi perubahan iklim semakin lebar dari tahun ke tahun. Kondisi yang sangat disayangkan. Berdasarkan perkiraan International Energy Agency (IEA), dunia memerlukan investasi sebesar $714 miliar per tahun ($5 triliun hingga 2020) guna mendukung peralihan ke energi bersih sehingga mampu mencegah kenaikan suhu bumi hingga 2 derajat Celsius.

Peran pemerintah untuk meningkatkan investasi perubahan iklim sangat penting. Pemerintah tahun lalu menyediakan pendanaan sebesar $135 miliar, atau 38% dari total pendanaan perubahan iklim. Dana ini menjadi dana bergulir yang dimanfaatkan oleh sektor swasta untuk turut mendanai aksi perubahan iklim.

Hasilnya adalah investasi swasta bernilai $224 miliar atau 62% dari total investasi perubahan iklim. Dana ini berasal dari pengembang proyek ($102 miliar); manufaktur dan korporasi ($66 miliar); serta rumah tangga ($33 miliar). Semuanya memanfaatkan insentif, dana murah, mekanisme pertanggungan risiko, investasi proyek langsung dan dukungan teknis dari pemerintah untuk turut menggulirkan ekonomi sekaligus mengatasi perubahan iklim.

“Investasi untuk memerangi dan beradaptasi dengan perubahan iklim terjadi di seluruh dunia. Namun jumlah investasi perubahan iklim masih sangat kurang dari dana yang diperlukan,” ujar Direktur Eksekutif Climate Policy Initiative, Thomas C. Heller, saat memresentasikan laporan ini di Global Green Growth Forum. Untuk itu, Heller meminta pemerintah untuk tidak pilih kasih, dengan tidak mengutamakan subsidi untuk industri bahan bakar fosil.

Cerminan inilah yang saat ini terjadi di Tanah Air. Menurut Maritje Hutapea, Direktur Konservasi Energi di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pemerintah masih terus mensubsidi bahan bakar minyak dan listrik dengan nilai mencapai Rp312 triliun pada 2012. “Namun 77 persen dari subsidi ini tidak tepat sasaran,” tutur Maritje.

Tahun ini, minyak masih tetap menyumbang porsi terbesar dalam bauran energi nasional yaitu sebesar 49,7 persen. Sehingga secara otomatis subsidi untuk bahan bakar minyak (BBM) juga tetap yang tertinggi (Rp194 triliun dengan volume mencapai 50,5 juta liter). Pemanfaatan EBT (Energi Baru dan Terbarukan) baru sekitar 6 persen (5,7 persen). Dalam rancangan Kebijakan Energi Nasional (KEN), bauran EBT baru akan ditargetkan mencapai 25,9% pada 2025.

Menilik data di atas, sebanyak 94 persen pasokan energi Indonesia berasal dari energi berbahan bakar fosil, baik minyak, gas maupun batu bara. Dari data Kementerian ESDM, pasokan listrik yang sudah dinikmati rakyat Indonesia baru mencapai 48.000 Megawatt (MW) pada 2012 dan mayoritas dipasok oleh energi berbahan bakar fosil. Padahal, sektor energi baru terbarukan di Indonesia, seperti energi panas bumi, menawarkan potensi energi bersih hingga 30.000 MW. Hal ini masih ditambah potensi energi air yang mencapai 75.000 MW serta energi matahari dan biomassa sekitar 35.000 MW.

Mengalihkan subsidi produksi dan konsumsi bahan bakar fosil untuk pengembangan energi bersih akan turut membantu Indonesia mencapai target pengurangan emisi dan investasi perubahan iklim. Karena berdasarkan perhitungan Departemen Keuangan, pemerintah – dengan dana yang dialokasikan saat ini – hanya akan mampu memangkas emisi sebesar 15 persen dari target awal sebesar 26% pada 2020.

Sumber: hijauku.com

read more
Energi

Rusia Siap Bangun Pembangkit Listrik Nuklir Portabel

Perusahaan-perusahaan pemasok asal Amerika Serikat di awal tahun 1970-an, frustasi dengan maraknya kekhawatiran publik terkait tenaga nuklir sehingga sulit bagi mereka menemukan lokasi untuk pembangkit baru. Akhirnya, mereka menemukan ide liar. Membuat instalasi nuklir pada kapal tongkang dan menempatkannya di lepas pantai, tempat yang bukan menjadi pekarangan rumah milik siapapun, kecuali ikan.

Menurut Thomas Wellnock, sejarawan dari US Nuclear Regulatory Comission, skema ini tidak pernah ditindaklanjuti. Masalah pendanaan terkait pembuatan instalasi nuklir di laut terbukti sama rumitnya seperti di darat. Komunitas pesisir pantai juga sama menentangnya dengan mereka yang menjadi tetangga instalasi nuklir di daratan.

Sebuah laporan yang dipublikasikan oleh US Government Accountability Office (GAO), yang saat itu dikenal dengan General Accounting Office juga telah meningkatkan kekhawatiran tentang apa yang akan terjadi pada ekosistem kelautan jika ada terjadi gangguan.

Namun kini, di belahan dunia lain, ide untuk membangun instalasi nuklir terapung kembali digulirkan.

Rosatom, perusahaan energi milik pemerintah Rusia mulai menjalankan rencana untuk membangun Akademik Lomonosov, sebuah kapal yang akan membawa sepasang reaktor nuklir kecil yang mampu menghasilkan listrik sebesar 70 megawatt (MW). Energi ini cukup untuk menyediakan listrik bagi kota dengan 200 ribu penduduk, menyediakan energi untuk pemanas suhu, serta penyulingan air untuk minum.

Rt.com, sebuah situs berita berbahasa Rusia melaporkan, Rosatom memproyeksikan instalasi yang sedang dibuat dan diperkirakan akan selesai produksi pada akhir 2016 itu sebagai contoh dari pembangkit listrik kecil, portabel, dan berbasis kapal, yang mungkin bisa diproduksi dan diekspor ke negara lain.

Di sini terlihat jelas bahwa pemicu di balik upaya untuk mengembangkan instalasi nuklir modular dan portabel di laut adalah upaya Rusia sendiri untuk melakukan eksplorasi minyak dan gas di kawasan terpencil di kutub Utara.

Sebagai informasi, lapisan es yang mencair telah membuka peluang akses yang lebih besar pada kekayaan alam Arktika, termasuk gas alam. Menurut estimasi US Geological Survey, Arktika memiliki 30 persen dari seluruh cadangan gas alam dunia yang belum dieksplorasi. Enam puluh persen bahan bakar tersebut berada di kutub utara yang menjadi bagian dari Rusia, yang saat ini sendiri sudah menguasai empat dari sepuluh situs gas alam terbesar di dunia.

Ironisnya, yang juga merupakan salah sati ironi terbesar di industri adalah, kita membutuhkan energi untuk mengekstrak energi yang diinginkan.

Tantangan untuk memperkuat infrastruktur pertambangan energi di kawasan timur Rusia cukup besar sehingga mementum tersebut berlanjut dan memicu digelarnya kembali upaya pembuatan instalasi nuklir terapung, meski dibebani oleh masalah pembiayaan dan penundaan-penundaan.

Sumber: NatGeo Indonesia

read more