close

27/11/2013

Kebijakan Lingkungan

JPU Minta Agar Sidang Pidana Rawa Tripa Dilanjutkan

Sidang pidana kasus Rawa Tripa dengan terdakwa SR dan KY kembali berlangsung di PN Meulaboh dengan agenda pembacaan tanggapan Jaksa Penuntut Umum (JPU) atas eksepsi pengacara. JPU menolak semua eksepsi pengacara dan minta agar sidang pidana tetap dilanjutkan. Sedangkan pengacara meminta penangguhan terdakwa dan hakim mengabulkannya.

Sidang yang berlangsung, Selasa (26/11/2013) dipimpin oleh ketua Majelis Hakim Arman Surya Putra SH, JPU Rahmat Nurhidayat SH dari Kejari Nagan Raya dan Tim Kuasa Hukum dari kantor pengacara Luhut B Pangaribuan. Hakim Arman Surya Putra sendiri telah mendapat sertifikasi hakim lingkungan dari Mahkamah Agung tahap pertama tahun 2013.

JPU Rahmat Nurhidayat, SH dalam pembacaan tanggapannya meminta hakim tetap meneruskan persidangan dan menolak eksepsi. Beberapa tanggapan yang disampaikan JPU antara lain menolak anggapan terjadi double jeopardy (orang yang sama disidang dua kali untuk kasus yang sama) dan locu (tempat kejadian), pemisahan berkas kedua terdakwa yang dituduhkan melanggar asas praduga dan dakwaan tidak cermat. JPU juga membantah bahwa kasus pidana ini merupakan desakan dari UKP4 di Jakarta.

Rahmat Nurhidayat mengatakan istilah Double Jeopardy tidak dikenal dalam hukum Indonesia. Kasus perdata PT Kallista Alam yang sedang berjalan juga berbeda dengan kasus pidana ini. “Perdata membuktikan kebenaran formil saja, sementara pidana merupakan kebenaran sejati,” katanya. Sifat putusan kedua kasus ini juga berbeda, tambahnya.
Mengenai berkas yang dipisah atau tidak, menurut JPU itu merupakan kewenangan JPU. “Ini tidak ada hubungannya dengan pelanggaran asas praduga tidak bersalah,” katanya.

JPU mengatakan telah membuat dakwaan yang cermat dan teliti, memuat unsur ketentuan pidana sebagaimana yang dimaksud dalam UU No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, telah memasukan keterangan ahli agar fakta kasus bisa menjadi lebih terang, sudah menyebut lokasi secara detail, termasuk nama blok dan hari terjadi tindak pidana.  Lokasi-lokasi yang disebutkan juga berbeda, begitu juga luas lahan disebutkan berbeda dan rinci, serta penyebutan teknik pembukaan lahan yang dilakukan.

“ Saat terjadi kebakaran lahan, tidak ada upaya pemadaman yang dilakukan, tidak ada sistem penanganan kebakaran, peralatan pemadam kebakaran, akses mobil pemadam, petugas pemadam terlatih, dan program pengendalian kebakaran,” jelas JPU tentang rincian dakwaan.

Kedua terdakwa diduga telah melakukan perbuatan melawan hukum/pidana dengan membuka lahan tanpa izin dan melakukan pembakaran yang merusak lingkungan di kawasan Suak Bakong kecamatan Darul Makmur kabupaten Nagan Raya, Aceh tahun 2012 lalu.

Penangguhan Penahanan
Usai pembacaan tanggapan dari JPU, tim kuasa hukum mengajukan surat penangguhan penahanan atas terdakwa SR yang merupakan Dirut PT Kallista Alam dan KY, manajer perkebunan. Mereka menyerahkan surat jaminan dari keluarga para tersangka, istri dan anaknya.  KY sendiri memiliki keluarga yang berdomisili di Riau.

Hakim Arman Surya Putra meminta agar para tersangka setelah mendapat jaminan tidak melarikan diri, menghilangkan barang bukti, mempersulit pemeriksaan dan tetap kooperatif.

Sidang pidana akan dilanjutkan pada Selasa (10/12/2013) di tempat yang sama. Kasus pidana atas dugaan perusakan lingkungan hidup oleh PT. Kalista Alam atas nama badan perseroan yang diwakili oleh Direkturnya berinisial SR bernomor 131/Pid.B/2013/PN-MBO dan tindak pidana kasus yang sama juga ditujukan kepada Manager Perkebunannya berinisial KY bernomor 33/Pid.B/ 2013/PN-MBO.

Perkara dimulai atas penyelidikan PPNS Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) yang diteruskan kepada Jaksa Peneliti di Kejaksaan Agung di Jakarta.

Kemudian satu perkara pidana lagi terkait perizinan dengan terdakwa berinisial SR bernomor 132/Pid.B/2013/PN-MBO. Perkara pidana terkait perizinan ini berawal dari Surat Pemberitahuan Polda Aceh pada 22 Juni 2012 yang diteruskan kepada Jaksa Peneliti Kejaksaan Tinggi di Aceh.[]

read more
Flora Fauna

Pemkab Aceh Barat Kembangkan Tanaman Kehati untuk RTH

Pemerintah Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh, mengembangkan 2,5 hektar taman keanekaragaman hayati (Kehati) untuk memenuhi kuota ruang terbuka hijau (RTH). Kepala Badan Lingkungan Hidup dan Kebersihan (BLHK) Aceh Barat Mulyadi saat dihubungi di Meulaboh  mengatakan dalam lokasi taman tersebut ditanami berbagai aneka tanaman pribumi yang akan dilestarikan.

“Selain memenuhi RTH Aceh Barat yang belum sampai pada target 30 persen yang dikelola oleh pemda, program ini juga langkah pemerintah untuk menjaga tanaman lokal yang sudah langka,” katanya, hari ini.

Ia menjelaskan, taman kehati tersebut berfungsi sebagai sarana pendidikan anak sekolah, lokasi penelitian, ekowisata/rekreasi dan pembibitan tanaman (nursery) serta pelestarian tanaman.

Mulyadi menjelaskan secara Undang-Undang Nomor 26/2007 tentang Tata Ruang diharapkan untuk suatu kawasan kota harus memiliki 30 persen dari luas kawasan, sementara Aceh Barat baru memiliki sekitar 10 persen.

Selain Aceh Barat, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Aceh mengerakkan program pembangunan taman kehati kepada kabupaten lain yakni Kabupaten Aceh Singkil, Aceh Utara dan Pidie. Tiga kabupaten ini mendapat lima hektar.

“Karena luas kehati kita baru 2,5 hektare saya telah meminta pengajuan perluasan minimal 2,5 hektare lagi dan hal ini sedang menanti persetujuan Bupati Alaidinsyah,” imbuhnya.

Lebih lanjut dikatakan, apabila ditotal secara keseluruhan Aceh Barat sudah memiliki lebih 30 persen RTH, akan tetapi tidak semua dikelola oleh pemerintah daerah karena wilayah itu memiliki tanah kosong yang tumbuh berbagai jenis pohon dan tanaman milik masyarakat.

Pada lokasi taman Kehati ini kata Mulyadi, dilengkapi dengan berbagai fasilitas seperti Balee Peuniyoh (tempat istirahat), MCK dan sekelilingnya di pagari dengan tanaman hijau.

Dalam tahap penyelesaian proyek sejak tahun 2013 itu, saat ini sudah disemai berbagai aneka pohon seperti Trem besi, sentang, Meranti, kayu kapur, gaharu, mahoni, kumbang, manee, pulai, Jati, Ketapang, Seumantok, matoa (tanaman papua) dan buah buahan.

“Untuk pemeliharaan berkelanjutan serta penyulaman didanai oleh Bapedal Aceh, nanti setelah diselesaikan baru taman ini diserahkan kepada Pemkab Aceh Barat,” katanya.

Sumber: waspada.co.id

read more
Hutan

Mendefinisikan Hutan Demi Meningkatkan Pemantauan REDD

Jika para pembuat kebijakan gagal mempertimbangkan secara hati-hati bagaimana mereka mendefinisikan hutan, mereka mengambil risiko mengorbankan potensi keberhasilan program REDD+ yang didukung PBB, yang bertujuan untuk menurunkan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, kata para ilmuwan.

Suatu studi kasus baru-baru ini di Indonesia menemukan bahwa  tantangan seperti menentukan perkebunan eukaliptus dan jati sebagai “hutan” dapat memiliki dampak signifikan terhadap bagaimana emisi karbon dari deforestasi dan degradasi diukur dan dilaporkan, dan bagaimana penyebab deforestasi dikaji, demikian menurut sebuah kajian.

“Definisi  menetapkan parameter yang dengan itu Anda menghimpun informasi mengenai hutan Anda di masa lalu, sekarang, dan masa datang, yang memungkinkan Anda mendesain skema REDD+ yang lebih efektif,” kata Louis Verchot, Direktur Penelitian Hutan dan Lingkungan pada Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR), yang juga ilmuwan sekaligus penulis pembantu laporan baru.

“Jika definisi ini tidak jelas dan konsisten maka Anda akan mendasarkan penilaian keberhasilan Anda pada data yang tidak akurat. Anda mungkin berpikir mengalami dampak yang lebih besar dari yang sebenarnya.”

Penelitian tersebut, meninjau data sejarah deforestasi di seluruh kepulauan Indonesia dari 2000 sampai dengan 2009, menemukan bahwa tingkat deforestasi 28 persen lebih tinggi – 1,35 juta hektare lebih – bila menggunakan definisi nasional dibandingkan dengan definisi internasional, atau menggunakan definisi yang hanya mengakui hutan non-perkebunan.

Indonesia adalah salah satu penghasil emisi gas rumah kaca terkemuka dunia — 85 persen di antaranya berasal dari konversi dan deforestasi lahan. Memilih definisi hutan yang tidak sesuai  dengan kondisi nasional dapat menyebabkan meluasnya area deforestasi yang dikecualikan oleh skema REDD+ dan tambahan 200 juta ton karbon yang dipompa ke atmosfer, ungkap laporan tersebut. Emisi ini harus diperhitungkan jika Indonesia ingin memenuhi janjinya untuk mengurangi gas rumah kaca secara keseluruhan sebesar 26 persen pada 2020 dan untuk keberhasilan 44 proyek REDD+ yang saat ini sedang berjalan.

Studi kasus di Indonesia memberikan pelajaran penting bagi negara-negara lain yang berpartisipasi dalam program REDD+, khususnya kebutuhan untuk secara akurat memonitor dan melaporkan emisi karbon dan tingkat deforestasi mereka.

Data yang dikumpulkan menggunakan citra satelit dan daftar persediaan karbon dipakai untuk menentukan referensi emisi pada tingkat nasional (REL) — patokan untuk mengukur keberhasilan tindakan REDD+ dan dasar untuk menghitung pembayaran kompensasi.

Dengan demikian, kegagalan dalam mengupas semua sumber utama deforestasi secara komprehensf karena kesulitan mendefinisikan hutan dapat mempengaruhi legitimasi skema, kata Verchot, dan itulah sebabnya mengapa pemerintah harus memilih dengan bijak.

“REDD+ memiliki insentif keuangan, sehingga pembuat kebijakan harus sadar ketika mengirimkan definisi kepada Konvensi Kerangka Kerja tentang Perubahan Iklim [UNFCCC] PBB bahwa mereka akurat dan menjaga cermat,” katanya menambahkan.

Perbedaan dalam Mendefinisikan Hutan 
Meskipun Panel Internasional tentang Perubahan Iklim (IPCC) merekomendasikan agar negara-negara melaporkan hilangnya tutupan hutan dan emisi gas rumah kaca menggunakan definisi yang diakui secara internasional, seperti definisi Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), tidak ada kesepakatan global mengenai definisi “deforestasi” dan “degradasi” dalam UNFCCC sendiri. Definisi tersebut berbeda-beda di setiap negara, bahkan di tingkat provinsi dan daerah dalam suatu negara.

Di Indonesia, sebagian besar definisi ditentukan oleh Kementerian Kehutanan (MOF) dan perkebunan (hutan tanaman tunggal, seringnya spesies non-pribumi) dianggap sebagai bagian dari domain hutan nasional.

Ini berarti bahwa di bawah Kementerian Kehutanan saat ini, perkebunan jati dan eukaliptus diklasifikasikan sebagai “hutan”, yang bisa memiliki implikasi emisi yang besar, kata Verchot.

Meskipun hutan tanaman memang menyimpan karbon, mereka berkontribusi terhadap pengurangan emisi bila ditanam di lahan kritis dengan kepadatan karbon yang rendah pada awalnya, kata dia menambahkan, sehingga sejarah tanah yang akan ditanami harus dipertimbangkan.

“Beberapa yang tidak masuk ke dalam definisi terbaru adalah hutan tanaman yang menggantikan hutan alam, seperti rawa gambut, yang melepaskan sejumlah besar emisi ke atmosfer,” katanya. “UNFCCC sangat spesifik bahwa emisi dari konversi hutan alam menjadi hutan tanaman harus dipertimbangkan dalam skema REDD+ nasional.”

Dengan pemikiran ini, ilmuwan CIFOR memutuskan untuk kembali memeriksa data sejarah deforestasi di seluruh kepulauan Indonesia untuk mengungkap sejauh mana definisi FAO, definisi “hutan alam” yang mengecualikan hutan tanaman, dan Departemen Kehutanan akan berdampak pada penilaian laju deforestasi dan penyebab deforestasi.

Studi ini menemukan bahwa antara 2000 dan 2009, laju deforestasi seluas 4,9 juta hektare terjadi saat menggunakan definisi FAO, 5,8 juta hektare saat menggunakan definisi “hutan alam” (18 persen lebih tinggi), dan 6,8 juta hektare saat menggunakan definisi MOF (28 persen lebih tinggi).

Pemilihan definisi menyebabkan hasil yang sangat berbeda
Sebagai contoh, di bawah definisi internasional FAO, semak  belukar dianggap hutan sekunder, berdasarkan tutupan dan tinggi kanopi. Ini berarti bahwa di Kalimantan dan Sulawesi, antara 2003 dan 2006, sebagian besar kawasan hutan sekunder yang dikonversi ke semak belukar tidak dihitung sebagai “deforestasi” berdasarkan definisi FAO.

Oleh karena itu, laju deforestasi dua kali lebih tinggi untuk definisi hutan alam Kementerian Kehutanan daripada definisi hutan alam FAO di daerah-daerah ini.

Bahkan, lebih dari setengah total luas area yang terdeforestasi di Indonesia pada 2000-2009 disebabkan oleh konversi hutan sekunder ke semak belukar berdasarkan definisi hutan nasional dan hutan alam, yang tidak diakui oleh definisi FAO.

Baik definisi menurut FAO maupun Kementerian Kehutanan tidak membeda-bedakan perkebunan dan hutan alam. Ini berarti bahwa ketika lebih dari 130.000 hektare lahan gambut, hutan bakau, dan hutan dataran tinggi dikonversi menjadi hutan tanaman di Sumatera pada 2006-2009, mereka diakui sebagai digunduli hanya dengan definisi hutan “alam”.

Tanpa membedakan antara hutan alam dan hutan tanaman, data sering bisa menyesatkan, kata Verchot. Dia menunjuk ke lonjakan dalam laju “deforestasi” di Jawa antara 2003 dan 2006 di mana kedua definisi Kementerian Kehutanan dan FAO mengakui konversi 650.000 hektare perkebunan hutan menjadi lahan pertanian sebagai “deforestasi”, sedangkan definisi alami tidak.

Sementara pentingnya definisi hutan alam semakin diakui oleh LSM, organisasi penelitian, dan dalam perundingan-perundingan REDD+ UNFCCC, Verchot dengan cepat menyebutkan bahwa pilihan definisi terletak di tangan para pembuat kebijakan di Indonesia.

Namun, ada beberapa pelajaran yang bisa diambil.

Pertama, Verchot mengatakan, definisi internasional yang tidak sesuai dengan keadaan nasional dapat menyebabkan deforestasi yang signifikan.

Kedua, kata dia, “Bagaimana Anda mendefinisikan hutan sangat mempengaruhi apa yang Anda nilai sebagai penyebab deforestasi dan apa yang Anda lakukan mengenai hal itu. Jika definisi Anda tidak mengurangi porsi deforestasi secara signifikan, kebijakan untuk mengurangi deforestasi mungkin melewatkan bagian besar dari masalah dan tidak efektif.”

Sumber: cifor

read more
Hutan

Mangrove Si Satpam Lingkungan

Hasil penelitian terbaru menunjukkan bahwa tanaman mangrove memberi sumbangan sangat potensial untuk mengurangi emisi karbon dibanding hutan hujan tropis. Masalahnya, mangrove terus mengalami kerusakan dengan cepat di sepanjang garis pantai, sejalan dengan persoalan emisi gas rumah kaca.

Para ahli dari Center for International Forestry Research (CIFOR) dan USDA Forest Service menekankan perlunya hutan mangrove dilindungi sebagai bagian dari upaya global dalam melawan perubahan iklim. Bagian luar atau bagian depan hutan bakau yang berhadapan dengan laut terbuka sering harus mengalami terpaan ombak yang keras dan aliran air yang kuat.

Tidak seperti bagian dalamnya yang lebih tenang. Sumberdaya pesisir dan laut memiliki potensi besar baik secara ekonomi, ekologi, maupun sosial budaya. Potensi tersebut diantaranya termasuk ekosistem khas pesisir seperti vegetasi hutan pantai, rawa, laguna, muara, terumbu karang. Ironisnya, eksploitasi menyebabkan kerusakan yang berlarut dan ini adalah sebuah tragedi lingkungan yang memalukan bila direfleksikan.

Adalah sebuah fakta yang tak terbantahkan pula, bahwa pengelolaan sumberdaya pesisir, termasuk kawasan hutan mangrove, seringkali memarjinalkan kewajiban dan hak-kelola masyarakat pesisir terhadap pengelolaan sumberdaya alam tersebut. Bahkan yang terjadi, masyarakat seringkali diperalat sehingga seringkali dikambinghitamkan atas segala kerusakan ekosistem mangrove.

Ekosistem mangrove merupakan sumber daya alam yang memberikan banyak keuntungan bagi manusia, berjasa untuk produktivitasnya yang tinggi serta kemampuannya memelihara alam. Mangrove banyak memberikan fungsi ekologis dan karena itulah mangrove menjadi salah satu produsen utama perikanan laut. Mangrove memproduksi nutrien yang dapat menyuburkan perairan laut, mangrove membantu dalam perputaran karbon, nitrogen dan sulfur, serta perairan mengrove kaya akan nutrien baik nutrien organik maupun anorganik.

Dengan rata-rata produksi primer yang tinggi, mangrove dapat menjaga keberlangsungan populasi ikan, kerang dan lainnya. Tanaman mangrove menyediakan tempat perkembangbiakan dan pembesaran bagi beberapa spesies hewan khususnya udang, sehingga biasa disebut, “tidak ada mangrove tidak ada udang” (Macnae,1968).

Mangrove membantu pengembangan dalam bidang sosial dan ekonomi masyarakat sekitar pantai dengan mensuplai benih untuk industri perikanan. Selain itu telah ditemukan bahwa tumbuhan mangrove mampu mengontrol aktivitas nyamuk, karena ekstrak yang dikeluarkan oleh tumbuhan mangrove mampu membunuh larva dari nyamuk Aedes aegypti (Thangam and Kathiresan,1989).

Itulah fungsi dari hutan mangrove yang ada di India. Fungsi-fungsi tersebut tidak jauh berbeda dengan fungsi yang ada di Indonesia baik secara fisika kimia, biologi, maupun secara ekonomis.

Secara biologi fungsi dari pada hutan mangrove antara lain sebagai daerah asuhan (nursery ground) bagi biota yang hidup pada ekosisitem mengrove, fungsi yang lain sebagai daerah mencari makan (feeding ground) karena mangrove merupakan produsen primer yang mampu menghasilkan sejumlah besar detritus dari daun dan dahan pohon mangrove dimana dari sana tersedia banyak makanan bagi biota-biota yang mencari makan pada ekosistem mangrove tersebut, dan fungsi yang ketiga adalah sebagai daerah pemijahan (spawning ground) bagi ikan-ikan tertentu agar terlindungi dari ikan predator, sekaligus mencari lingkungan yang optimal untuk memisah dan membesarkan anaknya. Selain itupun merupakan pemasok larva udang, ikan dan biota lainnya. (Claridge dan Burnett,1993).

Secara fisik mangrove berfungsi dalam peredam angin badai dan gelombang, pelindung dari abrasi, penahan lumpur, dan perangkap sedimen. Ekosistem mangrove mampu menghasilkan zat-zat nutrient (organik dan anorganik) yang mampu menyuburkan perairan laut. Selain itupun ekosistem mangrove berperan dalam siklus karbon, nitrogen dan sulfur.
Secara ekonomi mangrove mampu memberikan banyak lapangan pekerjaan bagi masyarakat, baik itu penyediaan benih bagi industri perikanan, selain itu kayu dari tumbuhan mangrove dapat dimanfaatkan untuk sebagai kayu bakar, bahan kertas, bahan konstruksi yang memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi.

Dan juga saat ini ekosistem mangrove sedang dikembangkan sebagai wahana untuk sarana rekreasi atau tempat pariwisata yang dapat meningkatkan pendapatan negara.

Ekosistem mangrove secara fisik maupun biologi berperan dalam menjaga ekosistem lain di sekitarnya, seperti padang lamun, terumbu karang, serta ekosistem pantai lainnya. Berbagai proses yang terjadi dalam ekosistem hutan mangrove saling terkait dan memberikan berbagai fungsi ekologis bagi lingkungan.

Secara garis besar fungsi hutan mangrove dapat dikelompokkan menjadi, fungsi fisik, biologi, dan ekonomi. Fungsi fisik, yaitu berupa menjaga garis pantai, mempercepat pembentukan lahan baru, sebagai pelindung terhadap gelombang dan arus, sebagai pelindung tepi sungai atau pantai, dan mendaur ulang unsur-unsur hara penting.

Sedangkan fungsi biologi berupa nursery ground, feeding ground, spawning ground, bagi berbagai spesies udang, ikan, dan lainnya. Kemudian berfungsi sebagai habitat berbagai kehidupan liar. Terakhir, fungsi ekonomi berupa akukultur, rekreasi, dan penghasil kayu.

Hutan mangrove mempunyai manfaat ganda dan merupakan mata rantai yang sangat penting dalam memelihara keseimbangan biologi di suatu perairan. Selain itu hutan mangrove merupakan suatu kawasan yang mempunyai tingkat produktivitas tinggi. Tingginya produktivitas ini karena memperoleh bantuan energi berupa zat-zat makanan yang diangkut melalui gerakan pasang surut.

Keadaan ini menjadikan hutan mangrove memegang peranan penting bagi kehidupan biota seperti ikan, udang, moluska dan lainya. Selain itu hutan mangrove juga berperan sebagai pendaur zat hara, penyedia makanan, tempat memijah, berlindung dan tempat tumbuh.

Jika hutan mangrove hilang akan terjadi abrasi pantai yang dapat mengakibatkan intrusi air laut lebih jauh ke daratan dan dapat mengakibatkan banjir, yang menyebabkan perikanan laut menurun serta sumber mata pencaharian penduduk setempat berkurang.

Ternyata tak ada ruginya menanam tanaman seperti ini. Selain sebagai penetral emisi karbon juga bisa sebagai penyeimbang ekosistem lokal. Pilih mana? Meningkatkan ekonomi dengan merusak alam, atau menjaga alam tapi bonusnya adalah peningkatan ekonomi[]

Sumber: teluk tomini

read more
Perubahan Iklim

COP-19 Warsawa Hasilkan Keputusan Implementasi REDD

Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim ke-19 (COP19 UNFCCC) di Warsawa, Polandia berakhir pada Sabtu (23/11/2013) sekitar pukul 23.00 malam atau lebih lambat 29 jam dari jadwal penutupan. Hal ini disebabkan sulitnya mendapatkan kesepakatan akan keputusan tentang arsitektur kerangka kerja global untuk perubahan iklim pasca 2020 yang seharusnya disepakati eleman-elemen pentingnya pada pertemuan di Warsawa.

Beberapa keputusan penting yang berhasil disepakati, antara lain mengenai penajaman rencana kerja menuju kesepakatan 2015, the Warsaw Framework for REDD+, the Warsaw International Mechanism for Loss and Damage, dan yang terkait dengan peningkatan dan penyaluran pendanaan perubahan iklim.

Negara-negara UNFCCC menyepakati bahwa pada COP21, akhir tahun 2015 di Paris, Perancis, akan diadopsi suatu protokol, instrumen legal atau keputusan yang memiliki kekuatan hukum sebagai basis kerangka kerja global baru untuk penanganan masalah perubahan iklim pasca 2020. Keputusan di Warsawa menegaskan perlunya tahap-tahap persiapan menjelang COP21, antara lain upaya setiap negara di dalam negeri masing-masing untuk menyiapkan kontribusi mereka yang akan menjadi bagian dari komitmen global pasca 2020, yang ditetapkan sendiri (nationally determined contribution) dan tanpa pretensi atas sifat hukum dari kontribusi tersebut (without prejudging the legal nature of the contributions).

The Warsaw Framework for REDD+ merupakan paket dari tujuh keputusan terkait implementasi lebih lanjut skema “reducing emission from deforestation and forest degradation (REDD) plus”, termasuk di dalamnya metodologi, koordinasi dan kelembagaan, safeguards, penyebab deforestasi dan pendanaan.

The Warsaw Framework for REDD+ diperkuat dengan komitmen penyediaan dana dari Amerika Serikat, Norwegia dan Inggris sebesar USD280 juta. Keputusan COP19 tersebut memberikan panduan perlindungan lingkungan dan membuka jalan untuk pelaksanaan penuh skema REDD+ di lapangan yang transparan dan terjamin pendanaannya.
Selain itu, telah disepakati operasionalisasi sistem MRV (measurement, reporting and verification) untuk aksi mitigasi perubahan iklim, termasuk untuk REDD+.

Sedangkan keputusan the Warsaw International Mechanism for Loss and Damage merupakan hasil kompromi perundingan antara negara berkembang –khususnya least developed countries (LDCs) dan aliansi negara kepulauan kecil (AOSIS) yang menginginkan mekanisme penggantian tersendiri atas kehilangan dan kerusakan (loss and damage) dari dampak perubahan iklim yang bukan bagian dari adaptasi–dan kelompok negara maju seperti Australia, Jepang, Uni Eropa, Norwegia dan Amerika Serikat yang menginginkan mekanisme penggantian tersebut masuk dalam konteks adaptasi. Mekanisme tersebut bersifat interim dan akan ditinjau kembali tiga tahun mendatang (2016).

Delegasi Indonesia melihat kompromi tersebut merupakan kemajuan perundingan walaupun komitmen negara maju dalam hal pendanaan, teknologi dan penguatan kapasitas masih dinilai kurang kuat dalam upaya menekan loss and damage sebagai dampak perubahan iklim.

Dari hasil perundingan pendanaan, COP19 memutuskan bahwa akan dilaksanakan high level ministerial dialogue on climate finance setiap dua tahun sekali mulai 2014 hingga 2020 untuk memastikan dilaksanakannya komitmen pendanaan sebesar USD100 milyar hingga 2020. Untuk mendukung pelaksanaan dialog tersebut, negara-negara maju diminta untuk menyampaikan informasi—setiap dua tahun sekali—mengenai strategi dan pendekatannya untuk memobilisasi pendanaan, dan Sekretariat UNFCCC diminta untuk melaksanakan beberapa lokakarya terkait peningkatan aliran pendanaan dari sumber publik, swasta dan alternatif.

Sementara itu, beberapa negara maju memberikan pledge kontribusi pendanaan kepada Adaptation Fund yang tengah mengalami krisis keuangan sehingga tidak mampu mendanai proyek yang telah disetujuinya. Total komitmen pendanaan dari negara maju yang dibuat di Warsawa mencapai lebih dari USD100 juta.

Menuju kesepakatan 2015
Menanggapi keseluruhan keputusan konferensi, Presiden COP19 yang juga Menteri Lingkungan Hidup Polandia, Marcin Korolec dalam siaran pers resmi COP19 mengatakan hasil konferensi Warsawa menjadi pintu pembuka menuju kesepakatan iklim yang universal pada tahun 2015, dengan meletakkan rancangan teks negosiasi perjanjian iklim baru yang universal untuk dibahas pada COP20 di Lima, Peru dan bakal diadopsi pada COP21 di Paris, Perancis pada tahun 2015.

Ketua Delegasi RI, Rachmat Witoelar yang juga Utusan Khusus Presiden untuk Pengendalian Perubahan Iklim melihat adanya berbagai keputusan COP19 menjadi pijakan negosiasi selanjutnya untuk pencapaian keputusan yang mengikat pada 2015.

“Berbagai keputusan COP19 memberikan dasar yang kuat untuk pembahasan yang lebih mendalam di tahun mendatang dalam rangka merumuskan elemen-elemen kesepakatan 2015 yang mengikat (legally binding) dan melibatkan semua negara Pihak (applicable to all Parties),” kata Rachmat Witoelar .

Indonesia mengharapkan semua keputusan COP19 tersebut akan ditindaklanjuti dengan peningkatan komitmen negara – negara dalam upaya pengendalian perubahan iklim, khususnya komitmen penurunan emisi pra-2020 oleh negara-negara maju.

Melemahnya komitmen beberapa negara seperti Jepang dan Australia memberikan sinyal negatif atas kepastian pelaksanaan komitmen-komitmen yang dibuat di Warsawa.

Seperti diketahui, Jepang telah mengumumkan penurunan yang sangat drastis dari komitmen penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) dari 25 persen pada level emisi tahun 1990, menjadi 3,8 persen dari emisi tahun 2005 atau setara 3,1 persen dari level emisi tahun 1990.

Sedangkan Australia membuat kebijakan baru terkait perubahan iklim yaitu membubarkan Climate Change Authority dan Clean Energy Finance Company, serta membatalkan skema pasar karbon domestik.

Sekjen PBB Ban Ki-Moon sendiri akan menggelar UN Climate Summit yang dilaksanakan sehari sebelum Sidang Umum PBB pada 23 September 2013 yang bertujuan untuk mendorong seluruh kepala negara dan kepala pemerintah memberikan dan bahkan meningkatkan komitmen untuk penanganan perubahan iklim, mengingat urgensi akibat buruk dari berbagai dampak perubahan iklim.[rel]

read more