close

29/11/2013

Hutan

Manfaatkan Hutan Aceh Sebesar-besarnya untuk Masyarakat

Hutan merupakan karunia Allah SWT kepada umat manusia untuk dikelola demi kesejahteraan mereka dan anak cucunya. Sudah sepantasnya pemerintah dan rakyat Aceh memiliki kepentingan untuk melindungi hutan sebagai infrastruktur ekologi, yang menyediakan jasa lingkungan bagi masyarakat berupa air untuk kebutuhan domestik dan pertanian, pencegahan bencana, perlindungan keaneka ragaman hayati dan potensi energi yang luar biasa, disamping fungsi hutan produksi sebagai penghasil kayu.

Untuk melaksanakan hal tersebut, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf pada tanggal  6 Juni 2007 yang lalu menyatakan pemberlakuan “Moratorium Logging” atau penghentian sementara penebangan hutan dalam wilayah Provinsi Aceh. Moratorium Logging terdiri dari tiga tahap (1) Evaluasi Peruntukan Lahan Perizinan (Redesign), (2) meningkatkan upaya rehabilitaasi hutan dan lahan (Reforestasi), (3) pencegahan laju kerusakan hutan (Reduksi laju deforestasi) untuk mewujudkan “Hutan Lestari” rakyat Aceh sejahtera. Ini harus dilakukan mengingat musibah bencana alam, banjir, tanah longsor dan konflik satwa terindikasi akibat eksploitasi hutan yang tidak terkendali. Sekalipun demikian dalam menetapkan suatu kebijakan harus dikaji nilai positif dan negatif yang akan dituai dari kebijakan tersebut. Satu sisi tak bisa dipungkiri bahwa kerusakan ekologi terjadi karena rusaknya hutan. Sisi lain Moratorium Logging tidak hanya mengharamkan illegal logging, tetapi juga aktifitas logging.

Sejauh ini kebijakan tersebut masih berlaku dan kita berharap agar Pemerintah Aceh saat ini tetap mempertahankannya dan segera mengimplementasikannya secara benar di lapangan. Pengelolaan hutan dan sumberdaya alam di Indonesia termasuk Aceh saat ini merupakan sebuah cerita yang beragam. Di sepanjang jutaan hektar, masyarakat setempat menanami hutan dengan berbagai jenis buah-buahan, kopi dan coklat (kakao) dan sering ditanam bersama dengan pohon kayu-kayuan yang membentuk wilayah yang disebut wanatani (agroforest). Wilayah wanatani ini menyediakan jasa lingkungan yang sama seperti hutan alam, dengan pengecualian pada perbedaan keanekaragaman hayati yang lebih rendah. Banyak masyarakat setempat yang melindungi hutan alam, dan kadang bekerjasama dengan petugas Dinas Kehutanan setempat.

Namun, secara keseluruhan keadaan hutan alam dapat dikategorikan sebagai salah satu krisis yang dihadapi bangsa ini. Laju deforestasi per tahun yang mencapai satu juta hektar tetap bertahan sepanjang sepuluh tahun terakhir serta kemampuan terpasang industri pengolahan kayu terus berkembang melampaui tingkat pemanfaatan lestari per-tahun (Badan Planologi Kehutanan RI)).  Pada akhir dasawarsa ini dan Kawasan Hutan konservasi akan mengalami kerusakan serius atau bahkan lenyap sama sekali.

Ketiadaan transparansi dalam pengambilan keputusan memfasilitasi meluasnya kegiatan-kegiatan ilegal dan korupsi di sektor kehutanan. Para pemegang konsesi yang memiliki kedekatan dengan kekuasaan secara teratur terus melanggar ketentuan-ketentuan konsesi tanpa pernah dituntut secara hukum. Hukum dan peraturan diabaikan tanpa khawatir menghadapi sanksi hukum oleh pemerintah.

Deforestasi dalam skala besar menyebabkan penyusutan keanekaragaman hayati dan di banyak tempat menyebabkan erosi tanah, sedimentasi dan penghancuran fungsi hidrologis hutan, sehingga memperburuk keamanan pangan dan mengancam potensi manfaat ekonomi dan lingkungan dari hutan untuk masa depan.

Berbagai aksi perambahan dan perusakan hutan dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang terjadi di Provinsi Aceh maupun Provinsi Sumatera Utara semakin keprihatinan dan kekhawatiran banuak pihak, baik lokal, nasional maupun internasional. Ancaman deforestasi KEL sepanjang tahun semakin meningkat.

Catatan terakhir yang kita peroleh dari Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser (BPKEL) beberapa waktu lalu sebelum lembaga ini dibubarkan. Kerusakan hutan di Kawasan Ekosistem Leuser dalam lima tahun sebelumnya (2005-2009) mencapai 36.000 hektar. Data yang diambil melalui metode penginderaan jarak jauh, yaitu interpretasi citra satelit, yakni LANDSAT (USGS/NASA) tersebut menunjukkan pada awal tahun 2005 luas tutupan hutan di KEL sebesar 1.982.000 hektar, dan akhir tahun 2009 mengalami deforestasi sehingga luasnya berkurang menjadi 1.946.000 hektar. Proses deforestasi ini diyakini akan terus terjadi hingga saat ini, apalagi jika tidak ada penanganan yang serius oleh institusi terkait terutama yang bertanggungjawab atas perlindungan dan pengelolaan hutan di Aceh termasuk KEL.

“Leuser telah ditetapkan sebagai ‘paru-paru’ dunia, oleh karenanya upaya penyelamatan Kawasan Ekosistem Leuser sebagai paru-paru dunia seharusnya tidak hanya menjadi tanggungjawab rakyat Aceh, tapi juga menjadi masyarakat internasional memiliki tanggungjawab yang sama dalam melestarikan kawasan tersebut”.

Jika kita tinjau kembali berbagai kebijakan pengelolaan hutan dan lingkungan telah diintegrasikan ke dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dijabarkan dalam berbagai kebjakan perencanaan pembangunan. Masing-masing peraturan perundangan ini memiliki bagian khusus yang berbicara tentang lingkungan hidup, termasuk di dalamnya kebijakan tentang konservasi lingkungan. Namun dalam pelaksanaannya berbagai kebijakan tersebut meletakkan pertumbuhan ekonomi diatas segala-galanya.

Sektor-sektor lain seperti keamanan, sosial, teknologi, pemdidikan, budaya dan lingkungan hidup diarahkan dan harus mendukung pertumbuhan ekonomi tersebut.  Pengembangan ekonomi selama ini dilakukan dengan pendekatan modal besar, terpusat pada beberapa konglomerat dan hasil-hasilnya lebih banyak mengalir ke pusat kekuasaan. Sementara ekonomi masyarakat yang berada di wilayah-wilayah yang kaya dengan sumber daya alam justru merana. Di sisi lain kondisi lingkungan hidup dan sumber daya alam semakin mengkhawatirkan.

Proses moratorium hutan harus berbasiskan hasil capaian, transparansi dalam proses dan pelibatan publik secara lebih luas dan efektif menjadi satu keharusan, sehingga pencapaian komitmen dan penurunan emisi gas rumah kaca dan penyelamatan hutan alam secara umum di Indonesia dan khususnya di Aceh dapat dilaksanakan dengan baik.

Disamping itu juga seluruh kegiatan pengelolaan hutan di Aceh, seharusnya mampu meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat Aceh. Untuk itu mari kita berikan waktu kepada hutan kita untuk bisa bernafas lebih lama dari tekanan dan jangkauan tangan-tangan jahil perusak hutan, serta berikan kesempatan kepada generasi yang akan datang untuk juga dapat ikutserta menikmatinya.[]

* Penulis adalah Staf Pengajar Konservasi Lingkungan, Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Universitas Serambi Mekkah, Banda Aceh, Aceh Communications Officer Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), Banda Aceh dan mantan Direktur Eksekutif WALHI Aceh, Periode 2010-2013.

read more
Flora Fauna

14 Kanguru Mati, Hashim Mau Jadikan Ragunan Bonbin Kelas Dunia?

Sebanyak 14 Kanguru ditemukan tewas di Taman Margasatwa Ragunan (TMR), Jakarta Selatan pada hari Rabu (27/11) kemarin. Kanguru berjenis Wallaby abu-abu dari Papua tersebut mati mengenaskan karena digigit oleh anjing liar yang berhasil menyelinap masuk ke kandang mereka.

Diketahui hanya empat ekor kanguru saja yang berhasil selamat dari serangan anjing liar tersebut. Empat ekor itu terdiri dari satu betina dan tiga jantan dalam kondisi mengenaskan, tubuh binatang Australia tersebut sudah terlihat sangat ringkih. Alhasil, hanya 4 kanguru saja yang selamat dari total 18 koleksi yang dimiliki oleh Ragunan.

“Hasil pemeriksaan post mortem para dokter hewan di sini (Taman Margasatwa Ragunan) kematian kanguru disebabkan adanya sejumlah luka gigitan di sekitar leher, kaki dan perut sehingga terjadi pendarahan serius hingga kematian,” kata Kepala Badan Layanan Umum Daerah Taman Margasatwa Ragunan, Bambang Triyono, Kamis (28/11).

Bambang menjelaskan, para anjing pembunuh tersebut diduga milik warga sekitar. “Diduga anjing itu lepas dan menerobos masuk ke kawasan TMR,” ujarnya.

Mendapati belasan kanguru tersebut mati, tambah Bambang, petugas langsung menyisir ke seluruh kawasan dan berhasil menangkap 3 ekor anjing. “Ketiga anjing itu sekarang berada di Balai Kesehatan Hewan dan Ikan (BKHI) untuk dilakukan observasi selama 14 hari,” paparnya.

Mencermati kasus tersebut, apa bisa jika Ragunan dijadikan kebun binatang yang berkualitas? Sebab, belum lama ini Ketua Dewan Pengawas Taman Margasatwa Ragunan, Hashim Djojohadikusumo berangan-angan tinggi ingin merombak Ragunan menjadi bonbin yang bertaraf dunia. Dia pun berjanji akan membenahi Ragunan hingga lebih baik dari kebun binatang di luar negeri, bahkan mengalahkan kebun binatang Singapura.

Hashim diketahui juga telah melakukan pertemuan dengan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo beberapa waktu yang lalu. Dalam pertemuan tersebut, keduanya membahas nasib Ragunan ke depannya. Hashim dan Jokowi pun akhirnya sepakat memiliki mimpi menjadikan Ragunan sebagai kebun binatang bertaraf internasional. Jokowi berjanji akan menindaklanjuti permintaan Hashim untuk memperbarui Ragunan, sebab dia juga mengakui karena Ragunan masih banyak kekurangan.

“Kita mau adakan temu publik, dengan masyarakat, LSM, kita diskusi. Masyarakat DKI ini maunya apa dengan Ragunan? Kita mau bikin yang berkelas Internasional seperti di Singapura, San Diego, atau seperti di Washington? Terus kita akan buka masukan dari masyarakat,” kata Hashim di Balai Kota, Jakarta Pusat, Kamis (22/8).

Menanggapi hal itu, Jokowi berjanji akan memperhatikan seluruh hewan yang ada di dalam Ragunan. Menurutnya, seluruh hewan tersebut harus sejahtera dan gemuk. “Itu yang akan kita perbaiki semuanya harus gemuk-gemuk. Jangan sampai kayak gubernurnya,” kata Jokowi.

Tak hanya berjanji untuk membuat hewan-hewannya menjadi gemuk, Hashim juga berjanji akan menaikkan tarif tiket masuk guna meningkatkan fasilitas Ragunan. Selain itu pihak manajemen bonbin juga akan meningkatkan kesejahteraan karyawan yang selama ini dirasa masih kurang.

“Lalu fasilitas-fasilitas kesejahteraan pegawai juga harus ditingkatkan. Harga tiket 4 ribu sejak 2003, sudah hampir 10 tahun. Kita sudah tahu kenaikan inflasi berapa, kenaikan BBM sudah berapa kali, tapi harga tiket tetap sama,” ujarnya lagi.

Kini dengan adanya kejadian belasan kanguru yang mati tersebut, bisakah Hashim tetap mewujudkan impiannya menjadikan Ragunan menjadi bonbin bertaraf dunia?

sumber : merdeka.com

read more
Flora Fauna

Memasak Orangutan karena Ketidaktahuan

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Barat menyayangkan atas penangkapan dan penahanan Hanapi dan Ignasius Mandur. Kedua orang ini ditangkap karena membunuh dan mengkonsumsi orangutan (Pongo Pygmaeus). Meskipun, keduanya tidak mengaku tak sengaja membunuh oranguta di Bukit Rel, Jalan Panca Bhakti, Kelurahan Batulayang, Potianak Utara.

Kepala Biro Organisasi, Kaderisasi dan Keanggotaan (OKK) AMAN, Glorio Sanen menilai, seharusnya penyelesaiaan sengketa litigasi merupakan sarana akhir (ultimum remidium). Karena alternatif penyelesaiaan sengketa lain tidak membuahkan hasil.

Kasus ini harus dijadikan terobosan oleh Badan Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalbar. Keputusan hakim sebelumnya harusnya bisa dipergunakan sebagai bahan pertimbangan oleh hakim berikutnya dalam mengambil keputusan.

“Jangankan masyarakat desa, orang kota pun masih banyak yang belum mengetahui tumbuhan dan hewan yang dilindungi,” kata Glorio.

Untuk itu, Glorio mendesak agar BKSDA dan kepolisiaan tidak menempuh jalur hukum pidana. Hal itu karena sangat tidak adil dan akan berdampak sistemik dalam proses penegakan hukum di Kalimantan Barat.

“Upaya hukum yang dilakukan BKSDA saat ini bisa kita umpamakan, kita ingin membunuh serangga yang ada di pohon mangga dengan cara menebang pohonnya. Ini jelas solusi yang tepat dalam menyelesaikan kasus ini,” lanjut Glorio dalam rilis yang diterima Sayangi.com, Jumat (29/11).

Karenanya, Glorio menyarankan agar Hanapi dan Ignasius Mandur diberikan peringatan untuk tidak mengulang tindakan ini dan jika diulangi lagi baru diberi sanksi hukum pidana.

“Karena Hanapi dan Ignasius Mandur tidak melakukan perbuatan itu dengan senagaja,” tegasnya.

Gloria beranggapan, kasus ini seharusnya harus menjadi kajian multi pihak terutama pemerintah yang memiliki kewenangan dalam membuat aturan dan mengambil kebijakan. Pemerintah harusnya lebih konsern terhadap izin-izin penggunaan lahan, baik sawit, hutan tanaman industri, maupun tambang yang jelas-jelas merusak habitat orangutan.

“Secara logika saja, Bagaimana orangutan bisa dilindungi jika rumahnya tidak dilindungi,” pungkas Glorio.

Sebelumnya diberitakan seekor orangutan menjadi korban salah tembak pada Minggu (3/11). Peristiwa salah tembak terjadi tak jauh dari Jalan Panca Bhakti, Pontianak Utara.

Ignasius Mandor dan Hanafi, warga Jalan Panca Bhakti, mengungkapkan bahwa setelah tertembak, orangutan itu justru dimakan.

Sumber : sayangi.com

read more
Kebijakan Lingkungan

Korupsi dan Perang: Sumber Kejahatan Lingkungan

Faktor korupsi dan konflik bersenjata adalah dua penyebab utama diantara berbagai sumber penyebab kerusakan lingkungan hidup di Indonesia dan Aceh khususnya. Dua faktor ini berperan signifikan dalam proses penghancuran struktur lingkungan. Dampak buruk yang ditimbulkan pun mengancam langsung hajat kehidupan rakyat bawah di pedesaan.

Korupsi adalah suatu tindakan penyalahgunaan jabatan publik, atau sumber daya negara untuk tujuan keuntungan pribadi (Gray dan Kaufman, 1992). Dari definisi tersebut sudah menggambarkan betapa bahayanya tindakan korupsi terhadap masyarakat luas. Alasan ini pula yang menempatkan korupsi identik dengan kejahatan kemanusiaan (human crime). Di Indonesia dan khususnya Aceh perilaku korupsi bagaikan virus yang mematikan, penyebarannya sangat cepat dan merambah semua lapisan birokrasi pemerintah maupun sektor swasta.

Tidak mengherankan jika corruption perception index (CPI), Indonesia selalu bertahan di posisi 10 besar negara-negara terkorup di dunia dan Aceh pun pernah masuk provinsi terkorup. Suatu prestasi yang sangat tidak membanggakan bagi bangsa yang telah merdeka lebih setengah abad. Namun sekarang rakyatnya justru dijajah oleh penguasa sebangsa dalam berbagai pola tindak korupsi.

Salah satu bentuk korupsi yang paling berbahaya tapi selama ini minim sorotan publik adalah korupsi lingkungan atau kejahatan lingkungan (environmental crime). Karena berdampak langsung pada proses memiskinkan rakyat banyak, akibat hilangnnya akses rakyat atas sumber-sumber kehidupan pokok. Terutama hilangnnya jaminan hak-hak dasar hidup rakyat di pedesaan, akibat perusakan dan penghancuran lingkungan hidup yang sistematis dan disengaja. Hasil akhir berujung pada munculnya bencana ekologis termasuk kolapsnya pranata (sosial dan lingkungan) kehidupan masyarakat desa.

Praktek korupsi lingkungan telah menimbulkan pengurusan sumberdaya alam menjadi tidak terkendali, sangat eksploitatif tanpa memperhitungkan daya dukung lingkungan, menyebabkan merosotnya kondisi lingkungan hidup yang cukup parah bahkan di beberapa tempat sudah melebihi ambang batas yang menyebabkan terjadinya multi bencana ekologis.

Pemberantasan korupsi memang tidak mudah, dibutuhkan suatu komitmen politik penguasa dalam bentuk kebijakan hukum yang kuat dan tidak diskriminatif. Faktor kesadaran warga masyarakat, khususnya kekuatan sipil pro lingkungan. Dalam hal ini, intervensi pada level kelembagaan sangat penting.

Aktor-aktor utama pelaku korupsi lingkungan melibatkan para kepala daerah (gubernur/bupati/walikota), dalam wujud KKN dengan pengusaha HPH dan pertambangan. Modus KKN yang paling sering adalah penerbitan SK izin usaha di kawasan hutan lindung. Misalnya, izin usaha perkebunan, HPH dan pertambangan. Menurut Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Kementerian Kehutanan, Darori, saat ini sebanyak 14 bupati/walikota diduga melakukan korupsi lingkungan (Kompas,17 November 2012).

Di Aceh pun setali tiga uang, arus investasi tambang di Aceh meningkat pesat. Pada tahun 2002 hanya terdapat satu perusahaan tambang, tapi di tahun 2011 meningkat drastis menjadi 120 perusahaan.

Praktek korupsi telah memuluskan berbagai undang-undang dan kebijakan yang tidak berpihak kepada kepentingan keselamatan hidup warga dan lingkungan hidup. Korupsi kebijakan, dimana berbagai undang-undang dan kebijakan yang ada dibuat semata-mata untuk kepentingan sekelompok orang yaitu para elit kekuasaan dan pemilik modal. Padahal hakekat suatu undang-undang dibuat adalah untuk kepentingan seluruh rakyat.

Sebagai contoh, lahirnya berbagai undang-undang sektoral yang berhubungan dengan pengurusan alam seperti : 1) UU No. 22 tahun 2001 tentang Migas; 2) UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air; 3) UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan; 4) UU No. 19 tahun 2004 tentang Kehutanan; 5) UU No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan; 6) UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal; 7) UU No. 26 tahun 2007 tentang Tata Ruang; 8) UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; dan 9) UU No. 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara.

Semua undang-undang tersebut mendorong pemerintah melakukan privatisasi dan liberalisasi. Sumber-sumber kehidupan dan ekonomi rakyat diserahkan kepada korporasi dan mekanisme pasar. Hal ini sesungguhnya telah melanggar amanah UUD 1945 pasal 33 ayat 2: “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.” Dan ayat 3: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Perang Perusak Lingkungan
“Warfare is inherently destructive of sustainable development. States shall therefore respect international law providing protection for the environment in times of armed conflict and cooperate in its further development, as necessary.” – 1992 Rio Declaration

(Perang pada hakekatnya penghancuran atas pembangunan berkelanjutan. Karenanya dalam masa perang negara-negara harus menghormati undang-undang internasional tentang perlindungan lingkungan dan perlu bekerjasama dalam membangun lingkungan hidup -Deklarasi Rio, 1992)

Deklarasi tersebut sangat jelas merupakan manifestasi kekuatiran kolektif universal atas dampak buruk yang diakibatkan oleh perang terhadap lingkungan. Kehancuran lingkungan hidup yang ditimbulkan perang berskala masif dan merusak struktur ekosistem hutan maupun laut.

Sebagai contoh, Perang Teluk 1990-1991. Dalam upaya menghambat invasi laut pasukan multinasional pimpinan AS, tentara Irak melakukan strategi bumi hangus dengan meledakkan ratusan ladang minyak di lepas pantai. Akibatnya, laut dan pantai Teluk Persia dan Laut Arab mengalami polusi hebat (hyper pollution), dibanjiri 6-8 juta barrel tumpahan minyak mentah. Sebanyak 15.000-30.000 biota laut rusak, seperti mangrove dan terumbu karang (UNEP, 2002).

Hal yang sama terjadi ketika konflik Kosovo tahun 1999, militer Serbia secara sistematis menghancurkan jaringan penampungan air bersih di kota-kota dan desa Kosovo. Malapetaka lingkungan terbesar dalam sejarah akibat konflik yakni saat Perang Vietnam tahun 1960-an, tentara Amerika dalam usaha menghancurkan kantong-kantong pejuang komunis Vietcong di hutan belantara. Amerika menjatuhkan ratusan ton bom kimia, populer dengan nama agent orange yang membumihanguskan 325.000 hektar hutan Vietnam (McNeely, 2000). Dampak kerusakan ekologis tersebut hingga kini kondisinya masih belum bisa dikonservasi seperti sediakala.

Dampak buruk lainnya yang ditimbulkan perang terhadap lingkungan, adalah  mempersempit ruang gerak operasional petugas penjaga hutan dan aktivis advokasi konsevasi lingkungan yang bekerja di wilayah pertempuran. Seperti yang terjadi dalam perang di Sierra Leon di Afika pada tahun 1990. Banyak polisi hutan yang bekerja di menjaga kawasan hutan lindung, selain berbulan-bulan tidak mendapat gaji, juga tidak  dapat berbuat banyak atas tindakan korupsi lingkungan.

Pemodal kapitalis berkolaborasi dengan tentara pemerintah dan gerombolan gerilyawan, dalam kegiatan illegal logging dan pertambangan liar (Squire 2001). Baik pemerintah dan gerilyawan pemberontak melakukan korupsi lingkungan ini dimotivasi kebutuhan dana untuk membiayai perang khususnya untuk pembelian senjata.

Program-program pembangunan lingkungan hidup pemerintah pun terhenti. Ini akibat dana-dana pemerintah dialihkan untuk pembiayaan perang. Sebagian penduduk menjadi pengungsi dengan kondisi sandang pangan, kesehatan, dan perumahan rakyat yang buruk. Bahkan setelah perang usai program lingkungan masih terabaikan, karena semua program pemerintah difokuskan pada pembangunan infrastruktur fisik yang hancur akibat perang.

Dari bentangan peristiwa empiris di atas, memperlihatkan betapa korupsi lingkungan dan konflik bersenjata sangat membahayakan keselamatan lingkungan dan kelangsungan hidup manusia. Karenanya memerangi korupsi dan mencegah konflik bersenjata adalah misi kemanusiaan universal demi keselamatan anak cucu generasi pewaris bumi ini dimasa depan.[sahari gani]

read more
Ragam

Politisasi Isu Lingkungan Hidup Jelang Pemilu

Pemilu 2014 semakin dekat, namun hingga saat ini belum ada partai politik yang memiliki visi untuk mengatasi ancaman akibat perubahan iklim. Sebagai negara berkembang, pemerintah Indonesia masih disibukkan dengan agenda meningkatkan kesejahteraan rakyat, memberantas kemiskinan, meningkatkan mutu pendidikan, pemberantasan korupsi dan agenda lainnya terkait pembangunan.

Maka ketika agenda-agenda tersebut belum dijalankan dengan maksimal, isu perubahan iklim hanya menjadi isu saja dalam perhelatan internasional. Isu perubahan iklim tidak terlepas dari isu lingkungan hidup. Isu lingkungan hidup berbicara keamanan manusia. Keamanan menyentuh nasib sekelompok manusia dan menyentuh keamanan personal menyangkut kehidupan manusia secara individual.

Keamanan sekelompok manusia tergantung lima faktor yaitu: (1) keamanan militer, (2) keamanan politik, (3) keamanan ekonomi, (4) Kemanan masyarakat, dan terakhir (5) keamanan lingkungan hidup (Buzan, 1991).

Maka sudah selayaknya isu lingkungan hidup menjadi perhatian utama dalam proses kebijakan menyangkut kepentingan masyarakat. Namun, isu lingkungan hidup sepi dari hiruk pikuk politik. Isu lingkungan hidup belum menjadi bagian dari visi misi partai politik.

Politisasi Lingkungan Hidup
Berbagai ancaman keamanan lingkungan hidup diantaranya ancaman lingkungan hidup yang tidak disebabkan oleh aktivitas manusia. Contohnya gempa bumi, tsunami, dan letusan gunung berapi. Ancaman lingkungan hidup akibat aktivitas manusia. Salah satu contohnya adalah pembalakan liar, pembakaran hutan sebagai tindakan pembukaan lahan dengan cara membakar hutan.

Saya mencoba mengangkat contoh kasus terjadinya kabut asap yang tengah terjadi di Riau yang kemudian menyebar ke Malaysia maupun Singapura pun luput dari hiruk pikuk politik.

Di tengah hirup pikuk partai politik yang berupaya menyelamatkan citra dan mengamankan kekuasaan, elit politik maupun partai politik tidak melakukan upaya nyata untuk melakukan politisasi terkait kabut asap.

Kabut asap yang hampir menjadi fenomena tahunan sejak tahun 1997, berimplikasi negatif terhadap kesehatan bagi manusia yang terkena serangan kabut asap. Pemerintah, elit politik maupun partai politik abai untuk memperjuangkan hak masyarakat untuk menghirup udara sehat dan menikmati sinar matahari bebas dari kabut asap.

Partai politik saat ini tidak memiliki terobosan dalam mengatasi permasalahan lingkungan hidup. Partai politik pun tidak kritis dalam menanggapi permasalahan terkait lingkungan hidup yang berdampak buruk bagi masyarakat terutama masyarakat miskin. Apabila isu lingkungan hidup mendapatkan politisasi maka akan berpengaruh luas terhadap kebijakan umum, legislasi hingga penegakan hukum.

Isu lingkungan hidup tidak terlepas dari upaya penegakan hukum. Hingga saat ini, pelaku perusakan hutan belum mendapatkan hukuman yang berat. Pelaku perusakan lingkungan hidup perlu mendapat cap ‘penjahat lingkungan’ setaraf dengan koruptor. Karena daya rusak penjahat lingkungan akan berdampak dalam jangka waktu yang lama dan mengancam korban jiwa dalam jumlah besar.

Isu lingkungan hidup hanya berupa slogan seperti “gerakan menanam seribu pohon”, “jagalah lingkungan hidup” dan lainnya. Karena slogan tersebut belum dapat menggerakkan segenap pemerintah, elit politik hingga masyarakat untuk secara bersama-sama melakukan tindakan nyata menjaga lingkungan hidup. Gerakan yang bersifat seremonial tidak dapat membangun kesadaran bersama. Membangun kesadaran bersama memerlukan waktu yang lama dengan gerakan dan politisasi isu lingkungan hidup.

Ancaman Perubahan Iklim
Dalam isu perubahan iklim, terkait hak-hak warga negara untuk mendapatkan perlindungan dari negara. Perubahan iklim berdampak terhadap kehidupan manusia : (1) keamanan pangan, (2) Peningkatan suhu udara, (3) Peningkatan ketinggian air laut (4) Kesulitan penyediaan air, (5) Perubahan cuaca ekstrim, (6) pengaruh terhadap kesehatan manusia (Harper, 2004). Dampak perubahan iklim perlu mendapat perhatian serius. Apabila dicermati, korban akibat dampak perubahan iklim adalah masyarakat miskin dan berpendidikan rendah. Ancaman perubahan iklim pun berimplikasi dengan kesejahteraan masyarakat.

Beberapa golongan masyarakat yang rentan terhadap ancaman perubahan iklim, diantaranya petani yang mengalami kesulitan bercocok tanam akibat cuaca ekstrim; masyarakat yang tinggal di pesisir pantai dan berprofesi nelayan sangat rentan akibat ancaman peningkatan ketinggian air laut; masyarakat yang tinggal di kawasan berbukit sangat rentan dengan ancaman longsor. Isu perubahan iklim pun berbicara mengenai pelindungan dan kesejahteraan masyarakat karena ancaman tersebut akan berimplikasi terhadap korban jiwa dan kemiskinan absolut.

Ancaman perubahan iklim pun berpotensi menimbulkan konflik. Contohnya apabila terkait air bersih. Apabila persediaan air bersih tidak diantisipasi, maka masyarakat miskin harus membeli air dengan harga mahal. Dalam jangka panjang berpotensi menimbulkan konflik akibat perebutan sumber air.

Sayangnya, isu perubahan iklim hanya nyaring di perhelatan internasional dan menjadi kajian bagi akademisi, namun minim upaya nyata untuk menyelamatkan masyarakat yang menjadi korban awal dari perubahan iklim.

Pertanyaan terbesar apakah ancaman perubahan iklim sudah dipahami bagi masyarakat yang tinggal di kawasan yang rentan akan bencana. Istilah mitigasi maupun adaptasi tentu sulit dipahami bagi masyarakat yang rentan terhadap dampak perubahan iklim.

Maka politisasi isu lingkungan hidup maupun ancaman perubahan iklim menjadi penting untuk menyelamatkan kehidupan masyarakat luas daripada sekedar politisasi mempertahankan kekuasaan untuk segelintir kepentingan saja.

* Penulis adalah staf pengajar di Universitas Budi Luhur

Sumber: hijauku.com

read more
Tajuk Lingkungan

Asa Dari Pemimpin Lingkungan

Aceh sebentar lagi akan mendapat pemimpin baru yang dilahirkan dari pesta demokratis lima tahunan. Pemimpin baru yang bakal menduduki kursi legislatif alias dewan perwakilan rakyat menjadi tumpuan masyarakat untuk merubah nasib. Nasib yang lebih baik dari yang sekarang ataupun jika sekarang sudah baik, tetap bisa dipertahankan malah kalau bisa meningkat. Begitu juga aktivis lingkungan dalam merespon anggota legislatif baru yang berasal dari berbagai parpol dan partai politik lokal.

Walau beberapa pegiat lingkungan merasa skeptis dengan Pemilu ini, namun asa atau harapan tetap ditujukan kepada pemerintahan yang terpilih nanti. Pihak skeptis merasa bahwa mereka akan mengulang kembali tabiat lama pemerintahan, obral izin pengerukan sumber daya alam. Karena memang sudah sistemnya yang bobrok, sebaik apapun mereka tetap saja tak mampu membendung permintaan eksploitasi lahan. Apalagi jika permintaan datang dari sejawat lama yang telah sama-sama keluar masuk hutan.

Pihak yang merasa optimis beranggapan siapapun pemimpin baru tentu saja membawa harapan baru. Apalagi sekarang zaman keterbukaan dimana setiap orang bisa mengawasi anggota legislatif dan bisa memberi masukan terhadap pengelolaan lingkungan Aceh. Dalam kampanye juga, beberapa calon legislatif sudah mulai mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang terkait lingkungan.

Pernyataan-pernyataan tersebut patut kita kawal dan didorong agar terealisasi sepenuhnya. Anggota dewan adalah pimpinan yang wajib mengurus berbagai hal kehidupan masyarakatnya. Banyak urusan yang mesti ditanganinya sehingga cenderung sebuah isu kalau tidak dikawal bisa terlupakan. Fungsi kontrol terus dilaksanakan oleh pegiat lingkungan. Apakah itu melalui seruan, diskusi, audiensi, pernyataan sikap atau demonstrasi sekalipun.

Berbagai persoalan lingkungan yang tak timbul tenggelam di Aceh. Misalnya saja kasus kebocoran gas amoniak di PT PIM yang tak kunjung beres penanganannya. Atau pengeboman yang dilakukan Zaratex untuk mencari minyak di Sawang Aceh Utara telah merusak rumah warga. Bukannya memberi ganti rugi yang pantas, perusahaan kapitalis ini malah dengan seenaknya saja menginjak hak-hak masyarakat adat.  Karenanya, marilah memilih pemimpim yang cinta lingkungan.[]

read more