close

15/12/2013

Sains

Teknologi Sensor Kurangi Emisi & Hemat Energi

Gedung-gedung baik perumahan maupun perkantoran adalah salah satu sumber emisi gas rumah kaca terbesar penyebab perubahan iklim dan pemanasan global.

Gedung mengonsumsi energi untuk penerangan, alat-alat elektronik dan sistem pendingin di wilayah tropis atau pemanas ruangan di wilayah yang memiliki empat musim.

Bruce Nordman, peneliti dari  dan tim berhasil menemukan teknologi sederhana yang bisa mengurangi konsumsi (sekaligus biaya) energi dan emisi gas rumah kaca.

Teknologi ini adalah teknologi berbasis sensor, yang mampu mendeteksi keberadaan manusia di dalamnya. Caranya mudah. Alih-alih memasang sensor di semua ruangan, mereka memantau jaringan dan pemakaian data dari dan ke dalam ponsel pintar, komputer, laptop dan segala jenis peralatan yang dipakai oleh karyawan. Dengan begitu mereka bisa mendeteksi keberadaan penggunanya.

Dengan mendeteksi lokasi-lokasi pengguna tersebut, mereka bisa memonitor penggunaan ruangan, menaikkan atau mengurangi suhu dalam ruang untuk menghemat energi sekaligus mengurangi biaya dan emisi gas rumah kaca. Ruangan yang tidak atau jarang terpakai bisa disesuaikan suhu ruangannya agar tidak memboroskan energi, setidaknya sampai ruangan itu dipergunakan kembali.

Tim peneliti menyatakan, keutamaan dari pendekatan ini adalah: Pertama, mereka tidak memerlukan peralatan baru, sehingga tidak memerlukan biaya instalasi dan perawatan. Kedua mereka bisa menggunakan fasilitas sensor jaringan yang telah tersedia untuk mendeteksi semua peralatan karyawan yang terhubung dalam jaringan Internet. Yang terakhir dengan bantuan sensor jaringan mereka bisa mendeteksi secara detil jumlah penghuni, aktivitas dan identitas mereka.

Dengan masuk ke jaringan, mereka tidak perlu memasang sensor di setiap ruangan sehingga lebih praktis dan hemat biaya. Informasi hasil deteksi jaringan ini bisa diserahkan ke pengelola gedung agar menyesuaikan suhu ruangan sesuai dengan tingkat penggunaannya.

Sumber: Hijauku.com

read more
Kebijakan Lingkungan

Berharap Pemimpin Baru Konsisten Atas Perubahan Iklim

Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) telah berusia lima tahun, berdiri 2008. Tahun depan, era terakhir kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono, alias, bakal ada Presiden baru. DNPI berharap, Presiden terpilih peka terhadap perubahan iklim hingga bisa memperkuat kehadiran lembaga ini.

“Penting dan wajib keberlanjutan tata kelola perubahan iklim nasional, DNPI itu penting. Ini untuk hadapi kelembagaan perubahan iklim di tingkat global,” kata Rachmat Witoelar, Ketua DNPI di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Pergantian kepempimpinan pemerintahan pada 2014, menimbulkan kekhawatiran perubahan komitmen tentang iklim. “Gimana kalo calon tidak tune in, malah tak mau ada DNPI.” “Kalau sampai calon-calon tak concern (pada perubahan iklim) itu merugikan.”

Dia berkaca, pada pengalaman negara lain, setelah ada pergantian pemerintahan, keberadaan lembaga perubahan iklim menjadi tak jelas. Australia, misal, malah menghapus kebijakan perubahan iklim mereka setelah pemerintahan baru, seperti climate change authtority, clean energy finance company, dan domestic carbon pricing scheme.

“Policy berubah drastis. Saya harap Indonesia tak demikian. Jika lembaga tak berlanjut,  maka akan akan kembali ke nol lagi. Dana-dana yang ada 2014, mau diberikan ke mana?”

Perubahan komitmen penurunan emisi karbon juga terjadi di Jepang. Pemerintah negeri sakura ini dalam COP19 di Warsawa, Polandia, resmi mengumumkan perubahan komitmen penurunan emisi karbon dari 25 persen emisi tahun 1990 menjadi 3,8 persen dari emisi 2005. “Jepang shock dengan (tragedi pembangkit nuklir) di Fukushima, lalu pake power plant lagi.”

Untuk urusan perubahan iklim, sebenarnya, ideal ada sistem peraturan UU komprehensif, yang mempunyai kekuatan hukum tertinggi.  Terlebih, jika ingin legal secara global, tentu diawali di level nasional terlebih dahulu. “Yang ada di Indonesia, sekarang parsial. Itu harus diusahakan. Kini, diproses antara kementerian agar ada pegangan institusional,” ucap Rachmat.

Apakah sudah melakukan pendekatan-pendekatan ke calon-calon Presiden 2014? Menurut dia,  pendekatan-pendekatan informal sudah dilakukan ke para kandidat. Namun, lebih intens akan dilakukan setelah April 2014. Dia juga sudah berbicara dengan berbagai pihak dan mentitipkan agar Indonesia  tetap memegang komitmen tentang iklim. Kepada masyarakat, Rachmat berpesan, pada pemilu nanti agar memilih figur-figur peduli lingkungan, baik DPR maupun Presiden.

Kepedulian negara-negara dalam meningkatkan komitmen penurunan emisi karbon sangat penting. Mengingat tanpa kepedulian dari semua negara, dampak buruk perubahan iklim bakal menimpa bumi dan penduduknya.

Ban Ki Moon, Sekjen PBB,  mendorong seluruh kepala negara dan kepala pemerintahan memberikan dan meningkatkan komitmen penanganan perubahan iklim. Bahkan, pada 23 September 2014, akan digelar UN Climate Summit, sehari sebelum sidang umum PBB. “RI tetap mempertahankan komitmen pengurangan emisi karbon sebesar 26 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen dengan bantuan internasional sampai 2020,” ucap Rachmat.

Hasil COP19
Dalam konferensi Perubahan Iklim ke 19 (COP19) pada Sabtu (23/11/13) ini, Indonesia lewat Kementerian Perhubungan, mendapatkan bantuan pendanaan internasional untuk sistem transportasi massal ramah lingkungan.

Proposal Kemenhut sebagai bentuk penurunan emisi gas rumah kaca Indonesia (sustainable urban transport initiative-nationally approriate migitigation action/SUTRI NAMA), mendapat pendanaan lewat NAMA’s facility dari Pemerintah Inggris dan Jerman.

Total dana proyek ini sekitar 70 juta Euro, dan Indonesia bersama Kolumbia, mendapatkan pendanaan sektor transportasi. Kuki Soejachmoen, Sekretaris Pokja Nagoisasi Internasional DNPI, mengatakan, proyek ini untuk pengembangan moda transportasi ‘hijau’ kota-kota sedang.

“Kemenhub sudah cukup lama studi dan perencanaan pengembangan sistem transportasi kota bersahabat ini. Sudah ada rencana di beberapa kota didukung technical assistant,” ucap Kuki.

Sedang, hasil penting lain dalam konferensi itu, antara lain penajaman rencana kerja menuju kesepakatan 2015, the Warsaw Framework for REDD+. Lalu, the Warsaw International Mechanism for Loss and Damage, mekanisme pendanaan di bawah United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Ada juga hasil kesepakatan tentang arsitektur kerangka kerja global perubahan iklim pasca 2020.

Sumber: mongabay.co.id

read more
Ragam

Eko Wisnu Abdi Penjaga Mata Air Belantara Jantho

Azan subuh lamat-lamat terdengar dari kejauhan. Eko segera bangkit dari tempat tidur menuju sumur untuk mengambil wudhu dan menunaikan shalat. Udara dingin pegunungan Seulawah menjalari tubuh tegap  Eko yang cokelat terbakar matahari.

Eko Wisnu Abdi nama lengkapnya, putra Cot Girek, Aceh Utara, yang telah bermukim di Jantho-Aceh Besar semenjak pasca tsunami. Ia menikahi seorang gadis setempat dan kini bertugas menjaga kelestarian Cagar Alam Jantho seluas 16.464 hektar.

Inilah rutinitas yang dijalani Eko sehari-hari sebagai field officer (staf lapangan) yang bekerja pada lembaga lingkungan internasional, FFI. Usai shalat subuh ia pun segera melaksanakan kegiatan rutinnya. Sejak tahun 2008, Eko mulai berkenalan dengan aktivitas lingkungan.

Pria yang lahir tahun 1974 merasa prihatin dengan kerusakan hutan di Jantho pasca tsunami. Saat itu kebutuhan kayu untuk rekonstruksi pasca tsunami sangat membludak. Hal ini mengakibatkan hutan-hutan di Aceh, tak ketinggalan hutan Janto menjadi korban.

Sumber air terancam. Tak bisa terbayangkan jika suatu saat sumber air mengalami kerusakan akibat tiada adanya tumbuhan penyimpan air.

Bukan hanya warga Jantho yang kesulitan mendapatkan air. Tapi bisa dipastikan warga kota Banda Aceh, tempat hilir sungai-sungai di Jantho akan pontang panting mencari air.

Eko memandang jauh hutan-hutan lebat di depannya. Membentang berkelok-kelok sungai Krueng Kalok yang jernih bening.

“Air sungai ini pernah diperiksa oleh ahli, ternyata bebas dari bakteri e-coli. Jadi bisa diminum langsung, ga usah takut sakit perut,” kata Eko.

Tapi sayangnya keberadaan sungai ini semakin terancam. Penebangan liar semakin mendekati sumber airnya. Warga empat desa yaitu Desa Bueng, Desa Awek, Desa Datacut dan Desa Jalin,  di sekitar sungai menjadi resah. Eko pun bahu membahu bersama masyarakat menjaga sumber kehidupan ini.

Ia bersama warga sepakat untuk membentuk Forum Perlindungan Kawasan Sumber air yang diberi nama FORSAKA di tahun 2007.

Sebuah NGO asing yang saat itu banyak hadir di Aceh ikut memberikan dukungan. Environmental Service Provider (ESP), sebuah proyek yang didanai oleh USAID Amerika Serikat memberikan pendampingan.

Eko sedikit merasa lega, tapi itu belum apa-apa. Perjalanan menjaga sumber mata air masih panjang dan terjal. Beberapa kali ia bersama FORSAKA terpaksa ‘mengusir’ orang yang merambah Cagar Alam Jantho.

Kali pertama ia ‘mengusir’ pengungsi korban tsunami yang direlokasi di hutan lindung, tahun 2008. Kali kedua lawannya lebih berat, seorang oknum polisi Polsek membekingi kegiatan perambahan liar, tahun 2009.

Keduanya bisa ‘diusir’ dengan melakukan pendekatan kekeluargaan tanpa harus melakukan kekerasan.

Hari-hari Eko dilalui dengan pengabdian demi lestarinya hutan Jantho. Ia sering terlibat diskusi dengan masyarakat, mencari jalan keluar jika ada masalah, bertanya kepada tokoh desa. Semua ini dilakukan agar Cagar Alam Jantho tetap lestari. Sayangnya belakangan ini dirinya semakin galau. Kabar dari ibukota Aceh menyesakan dadanya.

Terbetik berita bahwa para petinggi akan merubah kawasan Cagar Alam menjadi kawasan wisata alam. Jalan-jalan akan dibangun, tentu saja nantinya akan diikuti berdirinya rumah-rumah. Belantara lebat akan dipenuhi dengan deru kendaraan bermotor lalu lalang menerbitkan jelaga.

Hewan-hewan tak lagi betah tinggal di hutan yang mulai menjadi pasar. Mereka akan berimigrasi jika beruntung tidak mati dibunuh buat dijual jadi koleksi.

Eko tak bisa membayangkan jika anak cucunya nanti tidak bisa melihat berbagai tumbuhan langka, berbagai spesis endemik berwarna warni berterbangan di Hutan Jantho.

Anak-anak tak bisa lagi meminum langsung air sungai Krueng Kalok dari ‘wadahnya’ karena sungai bisa tercemar e-coli buangan dari pemukim.

Perubahan status ini sangat ia sayangkan.

Alasan ekonomi menjadi pemicu pembangunan dalam hutan, katanya. Tapi Eko sendiri tak yakin. Ia melihat fakta, empat desa yang menjadi anggota FORSAKA jaraknya hanya sepelemparan batu dengan kota Jantho, ibu kota kabupaten Aceh Besar.

Tapi warga desa miskinnya tak terperikan alias masih memprihatinkan.

Eko Wisnu tak tahu sampai kapan ia bekerja menjaga hutan Jantho. Ia terikat kontrak dengan NGO asing yang tempo-tempo bisa saja berakhir. Namun ia sudah punya persiapan. “Setiap sore saya pangkas-pangkas kontrak, untuk menyambung jika kontrak habis,” katanya tersenyum.

Eko Wisnu berdarah campuran. Ketika ditanya ia dari suku apa, Eko menjawab tersenyum.

“Saya suku campuran. Kakek saya dari Padang, Nenek saya dari Banten, sedangkan dari pihak ibu kedua orangtuanya Jawa. Saya warga Indonesia. Ari-ari saya sudah ditanam di Aceh. Izinkan saya menjadi suku Aceh,” pintanya.

Sumber: theglobejournal.com

read more