close
Ragam

Eko Wisnu Abdi Penjaga Mata Air Belantara Jantho

Ilustrasi | Foto: M. NIzar Abdurrani

Azan subuh lamat-lamat terdengar dari kejauhan. Eko segera bangkit dari tempat tidur menuju sumur untuk mengambil wudhu dan menunaikan shalat. Udara dingin pegunungan Seulawah menjalari tubuh tegap  Eko yang cokelat terbakar matahari.

Eko Wisnu Abdi nama lengkapnya, putra Cot Girek, Aceh Utara, yang telah bermukim di Jantho-Aceh Besar semenjak pasca tsunami. Ia menikahi seorang gadis setempat dan kini bertugas menjaga kelestarian Cagar Alam Jantho seluas 16.464 hektar.

Inilah rutinitas yang dijalani Eko sehari-hari sebagai field officer (staf lapangan) yang bekerja pada lembaga lingkungan internasional, FFI. Usai shalat subuh ia pun segera melaksanakan kegiatan rutinnya. Sejak tahun 2008, Eko mulai berkenalan dengan aktivitas lingkungan.

Pria yang lahir tahun 1974 merasa prihatin dengan kerusakan hutan di Jantho pasca tsunami. Saat itu kebutuhan kayu untuk rekonstruksi pasca tsunami sangat membludak. Hal ini mengakibatkan hutan-hutan di Aceh, tak ketinggalan hutan Janto menjadi korban.

Sumber air terancam. Tak bisa terbayangkan jika suatu saat sumber air mengalami kerusakan akibat tiada adanya tumbuhan penyimpan air.

Bukan hanya warga Jantho yang kesulitan mendapatkan air. Tapi bisa dipastikan warga kota Banda Aceh, tempat hilir sungai-sungai di Jantho akan pontang panting mencari air.

Eko memandang jauh hutan-hutan lebat di depannya. Membentang berkelok-kelok sungai Krueng Kalok yang jernih bening.

“Air sungai ini pernah diperiksa oleh ahli, ternyata bebas dari bakteri e-coli. Jadi bisa diminum langsung, ga usah takut sakit perut,” kata Eko.

Tapi sayangnya keberadaan sungai ini semakin terancam. Penebangan liar semakin mendekati sumber airnya. Warga empat desa yaitu Desa Bueng, Desa Awek, Desa Datacut dan Desa Jalin,  di sekitar sungai menjadi resah. Eko pun bahu membahu bersama masyarakat menjaga sumber kehidupan ini.

Ia bersama warga sepakat untuk membentuk Forum Perlindungan Kawasan Sumber air yang diberi nama FORSAKA di tahun 2007.

Sebuah NGO asing yang saat itu banyak hadir di Aceh ikut memberikan dukungan. Environmental Service Provider (ESP), sebuah proyek yang didanai oleh USAID Amerika Serikat memberikan pendampingan.

Eko sedikit merasa lega, tapi itu belum apa-apa. Perjalanan menjaga sumber mata air masih panjang dan terjal. Beberapa kali ia bersama FORSAKA terpaksa ‘mengusir’ orang yang merambah Cagar Alam Jantho.

Kali pertama ia ‘mengusir’ pengungsi korban tsunami yang direlokasi di hutan lindung, tahun 2008. Kali kedua lawannya lebih berat, seorang oknum polisi Polsek membekingi kegiatan perambahan liar, tahun 2009.

Keduanya bisa ‘diusir’ dengan melakukan pendekatan kekeluargaan tanpa harus melakukan kekerasan.

Hari-hari Eko dilalui dengan pengabdian demi lestarinya hutan Jantho. Ia sering terlibat diskusi dengan masyarakat, mencari jalan keluar jika ada masalah, bertanya kepada tokoh desa. Semua ini dilakukan agar Cagar Alam Jantho tetap lestari. Sayangnya belakangan ini dirinya semakin galau. Kabar dari ibukota Aceh menyesakan dadanya.

Terbetik berita bahwa para petinggi akan merubah kawasan Cagar Alam menjadi kawasan wisata alam. Jalan-jalan akan dibangun, tentu saja nantinya akan diikuti berdirinya rumah-rumah. Belantara lebat akan dipenuhi dengan deru kendaraan bermotor lalu lalang menerbitkan jelaga.

Hewan-hewan tak lagi betah tinggal di hutan yang mulai menjadi pasar. Mereka akan berimigrasi jika beruntung tidak mati dibunuh buat dijual jadi koleksi.

Eko tak bisa membayangkan jika anak cucunya nanti tidak bisa melihat berbagai tumbuhan langka, berbagai spesis endemik berwarna warni berterbangan di Hutan Jantho.

Anak-anak tak bisa lagi meminum langsung air sungai Krueng Kalok dari ‘wadahnya’ karena sungai bisa tercemar e-coli buangan dari pemukim.

Perubahan status ini sangat ia sayangkan.

Alasan ekonomi menjadi pemicu pembangunan dalam hutan, katanya. Tapi Eko sendiri tak yakin. Ia melihat fakta, empat desa yang menjadi anggota FORSAKA jaraknya hanya sepelemparan batu dengan kota Jantho, ibu kota kabupaten Aceh Besar.

Tapi warga desa miskinnya tak terperikan alias masih memprihatinkan.

Eko Wisnu tak tahu sampai kapan ia bekerja menjaga hutan Jantho. Ia terikat kontrak dengan NGO asing yang tempo-tempo bisa saja berakhir. Namun ia sudah punya persiapan. “Setiap sore saya pangkas-pangkas kontrak, untuk menyambung jika kontrak habis,” katanya tersenyum.

Eko Wisnu berdarah campuran. Ketika ditanya ia dari suku apa, Eko menjawab tersenyum.

“Saya suku campuran. Kakek saya dari Padang, Nenek saya dari Banten, sedangkan dari pihak ibu kedua orangtuanya Jawa. Saya warga Indonesia. Ari-ari saya sudah ditanam di Aceh. Izinkan saya menjadi suku Aceh,” pintanya.

Sumber: theglobejournal.com

Tags : airhutansatwa

Leave a Response