close

18/05/2018

HutanKebijakan Lingkungan

Noktah Hitam di KEL Aceh

Mega proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang dibangun dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) berdampak besar terhadap ancaman bencana, baik bencana ekologi hingga berpengaruh terhadap perekonomian warga.

Bahkan juga mengganggu kelestarian hewan dilindungi seperti badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), harimau (Panthera tigris sumatrae), gajah (Elephas maximus sumatraensis) dan orangutan (Pongo abelii).

Kondisi ini tentu menjadi noktah hitam dalam KEL Aceh. Padahal KEL Aceh wilayah konservasi penting yang berada di dua provinsi, yaitu Provinsi Aceh dan Sumatera Utara dengan luas 2,6 juta hektar. Apa lagi KEL lebih luas masuk dalam provinsi Aceh yang meliputi 13 kabupaten/kota dan 4 kabupaten di Sumatera Utara.

Kabupaten yang masuk dalam KEL di Provinsi Aceh adalah Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Singkil, Subussalam, Aceh Tenggara, Gayo Lues, Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Utara, Aceh Timur dan Aceh Tamiang. Sedang kabupaten di Sumatera Utara yaitu Kabupaten Langkat, Dairi, Karo dan Deli Serdang.

Baca : Noktah Hitam di KEL Aceh

Berdasarkan data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh dalam laporan investigasi disebutkan, KEL menjadi pendukung kehidupan lebih dari empat juta orang yang bermukim di sekitarnya. KEL juga menjadi rumah bagi 105 spesies mamalia, 383 spesies burung dan sekitar 95 spesies reptil dan amfibi, atau setara dengan 54 persen dari fauna terestrial sumatera

Selain itu KEL menjadi tempat terakhir untuk mempertahankan populasi spesies-spesies langka di Asia Tenggara. Spesies langka seperti harimau, orangutan, badak, gajah hingga macan tutul.

KEL juga memiliki fungsi ekologis untuk penyediaan air untuk masyarakat, baik untuk dikonsumsi maupun untuk kebutuhan lainnya. Tentunya keberadaan mega proyek PLTA Tampur 1 akan mengancam upaya konservasi tersebut.

Menurut Direktur Walhi Aceh, Muhammad Nur menyebutkan, dampak yang paling nyata dan sudah ada di depan mata adalah terganggunya habitat satwa dilindungi. Apa lagi, kawasan pembanguan proyek tersebut masuk dalam wilayah jelajah gajah (home range) dan sejumlah hewan dilindungi lainnya.

“Ada berpendapat itu disebut kawasan koridor satwa, salah satunya gajah, ini memang harus juga dibuktikan oleh BKSDA, harus ada petawa koridor satwa,” kata Muhammad Nur.

Muhammad Nur menyebutkan, berdasarkan observasi langsung ke lokasi dan informasi dari masyarakat setempat, Dusun Berawang Gajah, Gampong Lesten yang masuk dalam pembangunan PLTA itu, merupakan lintasan gajah dan harimau dan bahkan sering juga dilintasi beruang madu.

Menariknya lagi, kawasan tersebut terdapat banyak kubangan gajah. Masyarakat setempat biasanya menyebutnya “Berawang Gajah. Adanya berawang gajah membuktikan bahwa kawasan itu sering dikunjungi gajah. Namun masyarakat setempat bisa hidup berdampingan dan beberapa warga sering bertemu dengan kawanan kecil gajah yang sedang melintas, namun tak pernah terjadi konflik di daerah tersebut.

“Jadi warga setempat khawatir dengan ada pembangunan genangan ini akan terjadi konflik gajah nantinya, karena hilang habitat gajah,” jelasnya.

Pembangunan dam dan power house seluas 10 hektar masuk dalam hutan lindung, ini tentunya akan berdampak terhadap menurunya daya dukung lingkungan. Tentunya akan meningkatkan potensi terjadi bencana ekologi, seperti banjir bandang, longsor hingga ancaman kekeringan.

Daerah hulu yang paling berdampak terjadi banjir bandang akibat pembangunan bendungan itu adalah Aceh Timur, Kota Langsa, Aceh Tamiang. Sedangkan yang berpotensi terjadi kekeringan yaitu di kawasan Gampong Lesten, Pining hingga kota Blangkejeren.

Muhammad Nur menyebutkan, sebelum pembangunan ini dilanjutkan pemerintah Aceh harus lebih kritis lagi menganalisa untung dan rugi setelah pembangunan selesai. Selain itu, kalau pun mega proyek ini dilanjutkan, akses air masyarakat harus terjamin.

Selama pembangunan nantinya sungai-sungai di kawasan pembangunan PLTA Tampur 1 ini akan dibendung. Selama pembangunan juga air diperkirakan akan berkeruh, tentunya bisa mengganggu kebutuhan air warga, baik untuk dikonsumsi maupun kebutuhan perekonomian.

Ini penting diperhatikan, mengingat akses air untuk masyarakat selama pembangunan tidak diatur dalam amdal. Sehingga bisa tidak dikelola dengan baik, dikhawatirkan akan lahirnya konflik baru, karena warga tidak bisa mengakses air.

“Sumber air warga, perusahaan harus menjamin tidak ada gangguan, pola akses air, saat dikurung dalam jumlah besar dan bagaimana pemanfaatan oleh warga. Karena tidak ada dalam dokumen amdal,” ungkapnya.

Walhi Aceh juga mengingatkan, KEL masuk dalam wilayah patahan sumatera yang rentan terjadi gampa bumi. Ditambah lagi, curah hujan di kawasan itu cukup tinggi, bahkan hampir setiap hari ada hujan. Tentunya bila daya dukung lingkungan lemah, berbagai ancaman bencana ekologi akan menghantui Aceh.

Bila terjadi gagal teknologi akan berakibat fatal kedepannya. Muhamma Nur mengingatkan, Indonesia sudah pernah mengalami gagal teknologi hingga terjadilah seperti di Lapindo. Apa lagi KEL berada 500 MDPL bila terjadi banjir semua daratan yang berdekatan dengan kawasan pembangunan PLTA Tampur 1 akan mengalami banjir bandang.

“Bila tidak ada jaminan bangunan kuat, harus bertanggungjawab bisa terjadi banjir bandang akibat gagal teknologi, kita tidak mau terjadi seperti Lapindo,” tegasnya.

Tentunya kalau ini terjadi, sama saja Aceh sedang menjemput maut dan pemerintah sedang menyiapkan bencana ekologi yang membuat Aceh lebih banyak mendapat kerugiannya.

Ini tulisan bagian dua dan akan dilanjutkan dengan judul Noktah Hitam di KEL Aceh “Dampak Sosial Ekonomi”.
read more
Green StyleRagam

Peluang dan Tantangan Ekowisata di Hutan Leuser

Di tepi Taman Nasional Leuser, Desa Tanganan menawarkan hari-hari yang dihabiskan untuk melakukan hiking, melihat harimau liar, badak, gajah, dan orangutan; mandi di air terjun; dan makan dengan menu rumahan bersama keluarga setempat sambil menikmati pemandangan sekitar.

Di sisi lain, penduduk desa mendapatkan manfaat dari sejumlah kegiatan yang menghasilkan pendapatan – homestay, layanan pemandu, makanan, transportasi – yang tidak hanya membantu mereka menjaga kawasan hutan tetap subur dan hijau, dimana mereka juga bergantung padanya.

Desa Tanganan adalah salah satu desa di sekitar hutan Indonesia yang mendapat manfaat dari kegiatan ekowisata yang terus berkembang di dunia ini. Turis-turis yang tertarik pada petualangan yang personal, budaya, dan berorientasi alam, menyukai petualangan ‘hijau’ ketika tiba saatnya merencanakan liburan.

Ekowisata di Hutan Indonesia
Di Indonesia, lebih dari 6.000 desa berada di dalam atau di sekitar kawasan lindung yang siap untuk peluang ekowisata, kata Direktur Jenderal Konservasi dan Ekosistem Alam di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia, Wiratno.

“Keanekaragaman hayati adalah tulang punggung pariwisata, dan pariwisata menikmati keanekaragaman hayati,” kata peneliti di Kehutanan dan Penelitian, Pengembangan, dan Badan Inovasi (FOERDIA), Asep Hidayat di kementerian yang sama.

Mendidik penduduk setempat tentang keanekaragaman hayati di bentang alam mereka – hingga ke mikroorganisme asli – adalah kunci, jika penduduk ingin mengambil keputusan yang membantu mempertahankan ekologi mereka dan manfaat pariwisata dalam jangka panjang.

Pada gilirannya, mereka dapat membantu pengunjung sepenuhnya merasakan dan menyebarkan berita tentang tempat-tempat yang mereka kunjungi. Memiliki daya tarik ekowisata adalah satu hal tetapi membawa turis – dan uang – adalah hal lain.

Direktur Komunikasi, Penjangkauan, dan Keterlibatan di Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR), John Colmey, mengatakan bahwa metode tradisional seperti dari mulut ke mulut, iklan, dan yang menjangkau kelompok-kelompok konservasi serta jaringan perjalanan yang berkelanjutan masih berdampak pada kegiatan ekowisata.
Namun, John menekankan bahwa di era media sosial, memiliki informasi online yang aktif dan menarik adalah cara tercepat untuk perusahaan ekowisata mendapatkan para pelancong.

Sedangkan untuk umpan media sosial, Manajer Keberlanjutan di Grup Intrepid, Robyn Nixon, operator tur petualangan terbesar di dunia, mengatakan bahwa ekowisata menemukan interaksi pribadi dengan komunitas sebagai bagian yang paling mengesankan dari perjalanan mereka.

“Untuk membangun infrastruktur untuk ekowisata, berinvestasi pada orang dan masyarakat,” saran Nixon.
Untuk menjangkau komunitas-komunitas ini, Nixon mengatakan operator tur perlu melakukan pekerjaan rumah mereka. Ini berarti menemukan LSM yang bekerja dengan komunitas lokal; terlibat dengan para pemangku kepentingan politik di tingkat subnasional; memastikan masyarakat mempertahankan penguasaan lahan mereka; dan berinvestasi dalam infrastruktur dan pelatihan di lapangan untuk pemandu wisata, koki, transportasi, kerajinan tangan dan sejenisnya.

Direktur Program untuk Aksi Pelestarian Hutan Tropis Sumatra, Samedi, mencatat bahwa ekowisata dapat menjadi alternatif ekonomi untuk mencegah deforestasi dan pemanenan sumber daya alam. Tetapi seperti Nixon, Samedi mengatakan bahwa semua pemangku kepentingan, dari LSM lokal hingga kemitraan publik-swasta, harus bekerja menuju tujuan bersama.

“Kita semua sepakat orang lokal adalah penting karena kita harus membangun kapasitas dan kesiapan untuk menerima pengunjung asing, dan itu dapat mengubah perilaku orang-orang,” katanya.

Pariwisata adalah salah satu sektor ekonomi terkemuka di Indonesia, dengan Kementerian Pariwisata yang menargetkan 20 juta pengunjung pada tahun 2019. Kementerian juga mencari cara meningkatkan jumlah homestay di seluruh negeri, yang akan membuka tujuan baru di luar Bali.

Namun, Wiratno mencatat bahwa keberlanjutan kawasan lindung adalah masalah lain. “Ekowisata di kawasan lindung tidak dapat memenuhi harapan Kementerian Pariwisata,” katanya. “Harus ada kuota.”

Dengan kata lain, ketika orang banyak datang dan uang mengikuti, para pemimpin pariwisata perlu memikirkan masa depan tanah dan orang-orang yang terlibat.

Secara umum, Nixon menganggap kapasitas manajemen akan segera menjadi masalah global karena semakin banyak wisatawan – terutama mengingat pasar perjalanan China dan India yang sedang tumbuh – mulai memilih usaha ekowisata dan situs kecil yang secara signifikan semakin populer.

Pengunjung di situs tertentu dapat dibatasi setiap hari atau setiap tahun, dan itu akan menjadi tindakan sulit yang harus dilakukan pemerintah dan masyarakat, Nixon menambahkan.

“Turisme berlebihan menghancurkan budaya,” katanya, lebih lanjut memperingatkan, “dan keserakahan akan menghancurkan hal yang membuat tempat-tempat yang layak dikunjungi.”

“Ekowisata adalah pasar kecil, tetapi itu akan tumbuh,” kata Colmey.

Sumber : forestsnews.cifor.org

read more