close

Afifudin Acal

Pejuang Lingkungan

Makam Syuhada di Zona Tambang Emas Beutong

Nagan Raya – Pria paruh baya itu tampak semangat mengikuti pelatihan jurnalisme warga di Beutong Ateuh, Nagan Raya. Meskipun usia di ujung senja, minat untuk belajar menggebu.

Dia itu Tgk Diwa Laksana, usianya 60 tahun menjadi peserta pertama hadir dalam ruangan beberapa waktu lalu. Rambutnya yang beruban, jenggot terburai. Dialah sosok garda terdepan menolak perusahaan tambang emas PT Emas Mineral Murni (PT EMM) di tanah kelahirannya.

Pelatihan menulis berita ini digagas oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh, Forum Jurnalis Lingkungan (FJL), dan Generasi Beutong Ateuh Banggalang (GBAB). Ini dilakukan agar kampanye penolakan PT EMM bisa lebih masif dengan ada kemampuan menulis.

 “Dengan bisa menulis, saya bisa kampanyekan melawan PT EMM. Terimakasih FJL,” kata Tgk Diwa beberapa waktu lalu.

Kecamatan Beutong Ateuh Benggalang memiliki empat desa, yaitu Babah Suak, Blang Meurandeh, Blang Puuk dan Kuta Teungoh. Keempat gampong ini berada di lembah yang dibatasi sungai. Geografisnya berbukit-bukit, pepohonan yang lebat, cukup subur untuk perkebunan dan pertanian dengan suhu pada malam hari mencapai 17 derajat.

Jarak tempuh sekitar 2,5 jam perjalanan darat dari pusat kota Kabupaten Nagan Raya. Untuk menuju ke Beutong Ateuh Beunggalang, harus terlebih dahulu melintasi jalan yang berlika-liku, karena harus melintasi pegunungan.

Jalan semua sudah beraspal. Namun tetap harus waspada. Karena jalur yang berliku  dan tikungan patah yang menanjak dan turunan tajam. Cuaca pun sering sekali diselimuti kabut tebal, sehingga jarak pandang terbatas.

Suasana Beutong Ateuh tampak masih asri. Suhu yang sejuk, pepohonan yang masih rimbun. Hamparan perkampungan itu dikelilingi oleh pegunungan dengan pohon yang masih padat.

Tgk Diwa diam sejenak. Mata menatap kosong sembari berucap. “Saya tak ingin generasi kedepan hanya bisa mendengar cerita, sebuah desa dulunya yang padat dengan hutan, terdapat banyak makam syuhada.”

Harapannya generasi kedepan terus bisa menikmati lebatnya hutan dan kekayaan alam di sana. Suhu udara sejuk, tanah subur, tongkat kayu ditanam tumbuh. Air sungai mengalir deras  memiliki ikan khas di sana yaitu Keureulieng.

Jiwa Tgk Diwa yang sudah di ujung senja terus bergolak. Dia khawatir keberadaan PT EMM menghancurkan hutan belantara yang ada di Beutong Ateuh Benggalang.

Semakin dia gelisah, hilangnya kuburan-kuburan para syuhada di dalam hutan belantara Beutong Ateuh Benggalang. Bila perusahaan tambang itu beroperasi, semua kuburan itu dipastikan harus dipindahkan.

Menurutnya, ada 10 kuburan keramat yang dipercaya oleh warga berada di kawasan PT EMM. Salah satunya kuburan Tgk Bantaqiah yang menjadi korban pembantaian aparat keamanan pada masa konflik Aceh dulu.

Ada sejumlah kuburan keramat lainnya yang cukup dihormati oleh warga setempat. Yaitu kuburan Tgk Kali Alue, Tgk Laueh Panah, Tgk Alue Hee, Tgk Trieng Beutong, Tgk Lhok Pawoh, Tgk Diriwat, Tgk Di Tungkop dan Tgk Pakeh.

Beutong Ateuh juga memiliki sejarah perjuangan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Beutong Ateuh titik terakhir perjuangan pahlawan nasional Cut Nyak Dhien. Belanda berhasil menangkap istri Tgk Umar ini di Beutong Ateuh.

Bahkan saat ini ada tapak tilas Cut Nyak Dhien di Beutong Ateuh Benggalang. Monumen tempat ditangkapnya Cut Nyak Dhien berada di pinggir sungai, hanya selemparan batu dari lokasi ditangkap pahlawan nasional ini saat Belanda menjajah Indonesia.

“Banyak kuburan para syuhada di sini. Jadi tak boleh PT EMM itu buka tambang emas di sini,” kata Tgk Diwa.

Kecamatan Beutong Ateuh Beunggalang memiliki empat desa dan penduduk 1.800 jiwa. Sumber ekonomi mayoritas berkebun dan pertanian. Keseharian, warga menanam kopi, palawija dan padi di sawah. Tanah yang subur, menjadikan warga di Beutong bisa memenuhi ekonomi mereka keseharian.

“Kami sudah sejahtera, kesejahteraan bagiamana yang hendak mereka (PT EMM) berikan kepada kami,” tukasnya.

Pembukaan tambang di Beutong Ateuh Benggalang sudah direncanakan sejak tahun 2006 lalu. Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi diterbitkan tahun 2006 berdasarkan SK Bupati Nagan Raya Nomor 545/68/KP-EKSPLORASI/2006 tentang Pemberian Kuasa Pertambangan Eksplorasi, diberikan selama 3 (tiga) tahun.

Lalu diperkuat oleh Gubernur Aceh Nomor 545/12161 tanggal 8 Juni 2006 perihal Rekomendasi Kuasa Pertambangan Eksplorasi kepada PT. Emas Mineral Murni.

Pada tahun 2010 dilakukan pembaharuan berdasarkan SK Bupati Nagan Raya Nomor 545/22/SK/IUP-Ekspl/2010 tentang Persetujuan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi Kepada PT. Emas Mineral Murni, tertanggal 11 Januari 2010.

Surat gubernur 8 Juni 2006 dan Surat Direktorat Jenderal Minerba, Batubara dan Panas Bumi Nomor 1053/30/DJB/2009 tertanggal 23 maret 2009 perihal Izin Usaha Pertambangan. Lokasi pertambangan di desa Blang Puuk, Kecamatan Beutong, Kabupaten Nagan Raya.

Berdasarkan laporan dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh, pada tahapan ini PT. EMM belum berstatus Penanaman Modal Asing (PMA). Saat itu komposisi saham PT. Indoenergi Platinum sebanyak 248 lembar, dan Toh Seng Hee (Komisaris) sebanyak 2 lembar saham. SK ini berlaku surut mulai tanggal 16 Juni 2006 serta diberikan untuk jangka waktu 7 (tujuh) tahun.

Mulanya pengumuman AMDAL PT EMM tanggal 3 Desember 2012 dengan luas lahan 3.620 hektare berlokasi di Beutong Ateuh Benggalang, Kabupaten Nagan Raya diberikan waktu selama 8 tahun.

Lalu PT. EMM mendapatkan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi melalui SK Kepala BKPM Nomor 66/1/IUP/PMA/2017 pada tanggal 19 Desember 2017, untuk komoditas emas dengan luas areal 10.000 hektar.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, pada 9 Juli 2018 mengumumkan rencana pemasangan Tanda Batas pada Wilayah Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi PT. EMM di Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Tengah.

Saat itulah, reaksi penolakan PT EMM kian menggelinding dari masyarakat Beutong Ateuh Benggalang. Tanggal 8 September 2018 seluruh masyarakat menggelar aksi di jembatan Beutong Ateuh Benggalang, Kabupaten Nagan Raya yang difasilitasi oleh Walhi Aceh.

Mereka membentang spanduk menolak kehadiran PT EMM dan tandatangan bersama pada kain putih sebagai bukti penolakan. Setelah itu perjuangan masyarakat Beutong mendapat dukungan dari banyak pihak, termasuk Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).

Meskipun aksi penolakan ini sudah pernah dilakukan oleh warga tanggal 28 Maret 2013 lalu. Masyarakat kemudian menyurati Bupati Nagan Raya dan Gubernur Aceh untuk menyatakan sikap menolak PT EMM. Surat itu ditandatangani Geuchik (kepala desa) dan tokoh masyarakat empat desa tersebut.

“Sudah sepakat dan sudah membuat sebuah peraturan yang bahwa kami menolak (PT EMM),” ungkap Tgk Diwa.

Hal senada juga diakui oleh Tarmizi, warga Beutong Ateuh Benggalang yang terlibat aktif di GBAB. Organisasi yang dipimpin Zakaria sebagai wadah memperjuangkan penolakan PT EMM.

“Tidak ada warga yang setuju masuk PT EMM ke sini, dengan tegas kami sampaikan bahwa kami menolak,” tukas Tarmizi.

Tarmizi mengaku sudah berusaha berjuang untuk menolak kehadiran PT EMM. Bila pemerintah tak mengubrisnya, dirinya bersama warga lainnya bisa saja terancam terusir dari tanah sendiri.

“Seandainya PT EMM itu jalan, kami gak tau apa yang terjadi. Kami sudah berusaha untuk menolak, itu kami tidak tau apa terjadi nanti,” imbuhnya.

Malik Radin, warga lainnya juga mengkhawatirkan bila PT EMM beroperasi di Beutong Ateuh Benggalang, kualitas air akan berubah. Yang paling dikhawatirkan mengalami kekurangan air untuk kebutuhan konsumsi dan persawahan.

Atas alasan itu pula, Malik Radin mengaku tetap bersikeras untuk menolak keberadaan PT EMM. Selain terancam kekurangan dan tercemar air sungai untuk dikonsumsi warga dan kebutuhan persawahan. Ada juga kuburan yang dipercaya masyarakat keramat, jangan sampai tidak ada lagi jejak setelah perusahaan itu beroperasi.

“Ini yang kami khawatirkan,” jelasnya.

Penolakan proyek tambang disebut-sebut “Freeport Kedua” bakal berdampak negatif. Sebab, sebagian besar lahan yang dipergunakan memakai Hutan Lindung (HL) dan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Kedua fungsi hutan ini sangat penting untuk keberlangsungan kehidupan masyarakat setempat.

Direktur Walhi Aceh, Muhammad Nur, ikut juga berdampak terhadap kualitas air dan fisik sungai Krueng Mereubo yang berada sekitar 9 kilometer dari lokasi tambang.

Tak hanya berdampak bagi masyarakat di Beutong Ateuh, tetapi juga beberapa wilayah penyangga lainnya di Kabupaten Nagan Raya, Aceh Barat dan Aceh Tengah. Karena sungai tersebut tersambung dalam beberapa daerah di tiga kabupaten tersebut.

Selain berdampak pada sungai Krueng Meureubo, terdapat juga tiga sub sungai lainnya yang berada dalam area tambang. Ketiga anak sungai itu mengalir air ke sungai Krueng Meureubo.

Sungai Krueng Meureubo menjadi sumber air bagi masyarakat. Selain untuk kebutuhan rumah tangga, juga dipergunakan untuk keperluan air lahan pertanian serta sumber kehidupan lainnya.

Kata M Nur, saap akrap Muhammad Nur, area tambang berdampak terhadap lahan pertanian sawah dan perkebunan masyarakat. Hasil overlay peta Walhi Aceh, terdapat seluas 204,15 ha lahan pertanian sawah yang masuk dalam area izin.

Persoalan lainnya, sesuai dengan RTRW Aceh dan RTRW Kabupaten Nagan Raya, area pertambangan PT EMM merupakan kawasan rawan bencana. Ini diperkuat lagi adanya program Kementerian Sosial RI menetapkan Beutong Ateuh Banggalang sebagai Kampung Siaga Bencana pada tahun 2018.

Akibat adanya PT EMM berdampak besar semakin sempitnya ruang kelola rakyat atas sumber daya hutan yang ada di Beutong Ateuh Benggalang. Bisa saja wilayah perkebunan warga yang dikelola secara mandiri terancam tak lagi bisa dipergunakan setelah tambang emas beroperasi.

“Berdampak terjadinya bencana ekologis seperti banjir dan longsor,” kata M Nur.

Kawasan hutan Beutong Ateuh Benggalang juga merupakan koridor satwa kunci di Aceh. Seperti Gajah, Harimau, Badak dan burung Rangkong. Bila PT EMM beropasi, konflik sawat dengan manusia bakal terjadi. Padahal selama ini warga setempat bisa hidup berdampingan dengan satwa dilindungi ini, tanpa terjadi konflik.

M Nur mengaku, hal paling dikhawatirkan terjadi perubahan fungsi kawasan hutan lindung, perubahan iklim dan hilangnya fungsi paru-paru dunia yang ada di KEL.

Berdasarkan hasil overlay peta oleh Walhi Aceh, area IUP Operasi Produksi 10.000 ha berada di Kecamatan Beutong 21,71 ha, Beutong Ateuh Banggalang 6.259,93, Kabupaten Nagan Raya. Lalu di Kecamatan Peugasing 2.084,81 hektare, Kecamatan Cilala 1.259,74 ha, Kabupaten Aceh Tengah.

Dengan rincian, Hutan Lindung 5.981,87 ha (HL dalam KEL 918,25 ha), APL 3.914,33 ha (APL dalam KEL 343,22 ha). Overlay ini berdasarkan data koordinat yang tersedia pada AMDAL PT. EMM.

Sedangkan Dampak sosial juga bakal terjadi di Beutong Ateuh Benggalang, sebut M Nur. Ia mencontohkan, makam  Raja Beutong di desa Babah Suak, makam Tgk Lhok Pawoh dan makam Tgk Alue Panah (kedua makam ini merupakan makan keramat), hanya 800 meter dari basecamp PT EMM.

Selama ini upaya penolakan PT EMM kurang mendapat respon dari Pemerintah Aceh. Berulang kali mahasiswa bersama warga Beutong Ateuh Benggalang menggelar aksi di kantor Gubernur Aceh. Tak pernah sama sekali Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah menemui mereka.

Bahkan sangking kecewanya. Pada aksi Senin (10/12) depan kantor Gubernur Aceh, peserta aksi sempat salatkan jenazah pocong boneka yang dipasangi foto Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah. Hingga sekarang Nova Iriansyah belum memberikan sinyal positif menolak PT EMM.

Aksi serupa juga dilakukan Kamis (28/3) lalu di kantor Gubernur Aceh. Ratusan mahasiswa menggeruduk kantor itu. lagi-lagi mahasiswa dibikin kecewa oleh Nova Iriansyah, selalu Plt Gubernur Aceh.

Setelah ditunggu-tunggu oleh peserta aksi. Plt Gubernur Aceh tak mau hadir langsung di depan peserta aksi. Hanya Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Aceh, Mahdi Nur yang hadir.

Saat itu Mahdi Nur juga tidak memberikan respon positif. Dia mengungkapkan perizinan PT EMM sudah sesuai aturan yang berlaku. Semua keputusan berada di tingkat kementerian. Gubernur Aceh tidak bisa mencabut izin perusahaan tersebut.

“Kita gak bisa mencabut izin, kalau kita cabut bisa saja mereka menggugat kita lagi. Karena mereka sudah sesuai dengan aturan yang berlaku,” ungkapnya.

Proyek tambang disebut-sebut “Freeport Kedua” di Indonesia ini masih berada di Beutong Ateuh Benggalang. Arus penolakan dari warga masih terus menggelinding. [Acal]

read more
Ragam

Menghalau Gajah Mencegah Konflik

Konflik gajah masih terjadi selama ini di Aceh akibat habitatnya yang sudah rusak. Koridor hewan dilindungi ini juga sudah berubah fungsinya menjadi perkebunan dan fungsi lainnya. Meskipun begitu, mitigasi harus diperkuat untuk mengurangi konflik satwa liar dengan manusia. (more…)

read more
Flora Fauna

Lahan Sawit Membuat Orangutan di Rawa Tripa Terancam Punah

BANDA ACEH – Pembukaan lahan sawit secara bersar-besaran sejak tahun 1990 telah membuat habitat Orangutan semakin sempit di kawasan Rawa Tripa. Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh mencatat, pada tahun 2018 hanya tersisa sekitar 150-200 individu.

Pembukaan lahan sawit dengan cara membakar telah membuat Orangutan dan sejumlah hewan lainnya kehilangan habitatnya. Semakin hari ruang gerak semakin sempit. Pembakaran lahan yang dilakukan oleh PT Kalista Alam misalnya, telah banyak berkotribusi menyembitnya wilayah jelajah satwa yang ada di Rawa Tripa.

Perusahaan sawit ini bahkan kemudian didugat oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) ke pengadilan. Pengadilan telah memvonis perusahaan sawit itu harus membayar denda Rp 366 miliar untuk memperbaiki lahan gambut yang dibakar itu.

Meskipun hingga sekarang putusan itu belum dilaksanakan. Padahal penting mengembalikan lahan tersebut seperti semula. Sehingga dengan alam pulih kembali, Orangutan bisa semakin luas memiliki arial untuk ditempati.

Pembakaran lahan di Rawa Tripa membuat habitat satwa dilindungi ini semakin sempit. Rawa Tripa yang menjadi rumahnya Orangutan semakin terdesak, sehingga mengakibatkan terancam punah saat ini.

Luas total Rawa Tripa mencapai 60.657,29 hektar. Namun akibat adanya pembukaan perkebunan sawit sejak 1990, rawa gambut hanya tersisa 12.455,45 hektar saja.

Berdasarkan data dari BKSDA Aceh, jumlah Orangutan yang sudah tewas sejak tahun 1990 sebanyak 2.850 ekor. Populasi Orangutan di Rawa Tripa tahun 1990 tercatat 3000 individu.

Jumlah tersebut semakin susut seiring tingginya pembukaan lahan sawit di Nagan Raya dan beberapa kabupaten yang masuk Rawa Tripa. Akibatnya pada tahun 2012 jumlah Orangutan yang tersisa hanya 250-300 individu.

Populasi tersebut semakin susut seiring maraknya pembakaran lahan untuk perluasan perkebunan sawit. Pada tahun 2016 lalu, jumlah Orangutan hanya tersisa 150-200 indivusu.

“Pada tahun 2018 ini kita yakini hanya tersisa 150 indivisu,” kata Kepala BKSDA Aceh, Sapto Aji Prabowo beberapa waktu lalu.

Sapto menyebutkan, bila Rawa Tripa tidak segera diselamatkan dan kawasan lindung yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh (RTRWA) tidak diimplementasikan dan dikawal dengan baik. Maka Orangutan yang masih tersisa di Rawa Tripa saat ini hanya menunggu waktu akan habis.

Cara satu-satunya selamatkan Orangutan di Rawa Tripa, sebutnya, maka harus dilakukan pemulihan lahan gambut yang sudah terlanjur rusak. Kalau pun tidak bisa dipulihkan di kawasan HGU, minimal di kawasan hutan lindung seluas 11 ribu hektar harus segera diselamatkan dan dipulihkan.

“Orangutan terdesak di areal sawit saat ini, perlu segera diselamatkan Ratwa Tripa untuk selematkan Orangutan,” tegasnya.

Adapun jumlah populasi Orangutan di seluruh Aceh saat ini berdasarkan data tahun 2010, tercatat 6.600-9.000 individu yang ada di Kawasan Ekosistem Leuser. Sedangkan di Rawa Singkil data tahun 2014 lalu tercatat sebanyak 1.472 individu.

read more
Flora Fauna

Melestarikan Satwa dengan Kemah Jurnalistik

Pipit setengah berteriak di hadapan puluhan jurnalis, mahasiswa, dan aktivis lingkungan yang duduk melingkar di Aula Conservation Respons Unit (CRU) Sampoiniet, Kabupaten Aceh Jaya, Aceh. Perempuan dengan nama asli Fitria itu adalah manager program CRU Aceh, berhadapan dengan para jurnalis.

Malam itu, Kamis (16/8/2018) jarum jam baru saja menunjukkan pukul 20.30 WIB saat puluhan peserta Kemah Jurnalistik berkumpul di Aula CRU Sampoiniet. Bangunan basecamp yang didirikan untuk merespons konflik gajah liar itu terletak di pinggiran hutan Ulu Masen, sekitar 24 kilometer dari Jalan Banda Aceh – Meulaboh.

Genset sumber energi untuk menghidupkan beberapa lampu penerangan di CRU. Bangunan itu jauh dari pemukiman, tanpa akses listrik, dan sinyal telepon.

Pipit menjadi narasumber menyampaikan pengetahuan tentang Gajah Sumatera dalam diskusi yang digagas oleh Forum Jurnalis Lingkungan (FJL). Ia berharap, jurnalis punya andil besar dalam mengampanyekan keberadaan satwa Gajah Sumatera yang kini keberadaannya semakin terancam.

“Kita berharap jurnalisnya smart. Jurnalis harus memberitakan fakta, kalaupun ada bumbu, bumbunya harus edukatif, bukan provokatif,” kata perempuan itu dengan suara yang lumayan keras.

Pipit menerangkan bahwa kehidupan satwa gajah kini semakin terancam karena hutan habitatnya sudah menipis akibat pembalakan liar. Dalam beberapa bulan ini saja, dalam setiap bulannya terdapat seekor gajah ditemukan mati. Pada 9 Juni, gajah jinak bernama Bunta dibunuh untuk diambil gadingnya di CRU Serbajadi, Aceh Timur.

Sebulan berselang, pada 12 Juli, seekor gajah liar ditemukan tewas di HGU milik PT. Bumi Flora di Desa Jambo Reuhat, Kecamatan Banda Alam, Aceh Timur. Baru-baru ini, pada tanggal 13 Agustus 2018, gajah jinak bernama Retno juga ditemukan tak bernyawa di CRU Lala, Pidie.

Kematian gajah belakangan ini merupakan dampak setelah meluasnya pembalakan liar dan hutan sebagai habitat gajah yang menyempit. Pipit menyebut, akibat habitat yang berkurang, gajah liar terpaksa turun ke perkebunan warga di beberapa kabupaten di Aceh. Sehingga terjadi konflik satwa liar dan manusia.

Konflik satwa dan seringnya turun gajah ke perkebunan dan perkampungan warga tidak terlepas tingginya penghancuran hutan di Aceh. terutama di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) Aceh.

KEL Aceh juga tempat terakhir di bumi dimana Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), Harimau (Panthera tigris sumatrae), Gajah (Elephas maximus sumatraensis) dan Orangutan (Pongo abelii) berada bersama di alam bebas. Bila laju kerusakan terus meningkat, hewan yang dilindungi ini juga semakin terancam, baik akibat pemburuan maupun kehilangan habitat sehingga terjadilah konflik satwa dengan manusia.

Berdasarkan data dari Yayasan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA), laju kerusakan hutan di KEL Aceh semakin tinggi. Setiap bulannya kerusakan terus terjadi akibat adanya perambahan hutan. Hutan yang awalnya seluas 2.255.577 hektar, pada Juni 2018 tersisa sekitar 1,8 juta hektar. Periode Januari – Juni 2018, luas tutupan hutan yang hilang diperkirakan seluas 3.290 hektar.

Angka ini memang relatif menurun dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2017 seluas 3.780 hektare, dan meningkat dibanding periode Juli – Desember 2017 seluas 3.095 hektare. Namun Hutan Lingsung tertinggi terjadi deforestasi saat ini.

Kawasan Hutan Lindung (HL) di KEL Aceh menjadi kawasan hutan yang mengalami penghancuran dan pengurangan areal tutupan hutan paling tinggi seluas 615 hektar. Selanjutnya yaitu Hutan Produksi (HP) dengan deforestasi seluas 525 hektare, dan Taman Nasional seluas 368 hektar Hutan Produksi Terbatas 263 hektar, Suaka Margasatwa 96 hakter dan Taman Baru 24 hektar.

Sementara kawasan fungsi hutan yang mengalami kerusakan paling parah terjadi di Kabupaten Gayo Lues, seluas 433 hektar. Disusul Aceh Timur 290 hektar, dan Aceh Tenggara 222 hektar. Total kerusakan hutan di kawasan hutan mencapai 1.891 hektare

Kerusakan areal tutupan hutan KEL Aceh seluas 3.290 hektare pada periode Januari – Juni 2018 diakibatkan oleh berbagai kegiatan ilegal. Forum Konservasi Leuser (FKL) Aceh menilai ada tiga faktor utama menjadi penyebab laju deforestasi di KEL, yaitu pembalakan liar, perambahan, dan pembukaan akses jalan.

Tentunya keberadaan CRU, khususnya di  Sampoiniet, Kabupaten Aceh tak terlepas dari merespon konflik gajah liar yang terus terjadi di Aceh. Setelah perdamaian antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka pada 15 Agustus 2005, perambahan hutan pun semakin gencar dilakukan.

Apalagi untuk pemenuhan pasokan kayu untuk rekonstruksi pembangunan pascatsunami menerjang Aceh pada 26 Desember 2004. Dampaknya, gajah liar semakin rutin turun dan mengobrak-abrik areal perkebunan warga di Kabupaten Aceh Jaya.

Merespons konflik satwa ini, kemudian pada Juli 2008, CRU Sampoiniet resmi didirikan di Desa Ie Jeureungeh, Kecamatan Sampoiniet, Aceh Jaya. Sebanyak empat ekor gajah jinak dari Pusat Latihan Gajah (PLG) Saree, Aceh Besar, ditempatkan ke sana. Mereka adalah Olu, Johana, Isabela, dan Azis.

Meski sudah ada CRU, gajah liar masih enggan pindah dari kawasan hutan yang sekarang menjadi perkebunan warga. Namun, keberadaan CRU menjadi benteng besar agar tidak terjadi konflik langsung antara gajah liar dan warga di Sampoiniet.

Tidak cukup hanya CRU, dalam waktu dekat ini, kata Pipit, CRU Aceh ingin membangun barier penghalang gajah liar di tengah hutan Ulu Masen untuk meredam konflik satwa. Barier itu nantinya akan menarik batas Kawasan Pengelolaan dan Pengawasan Habitat Gajah Aceh Jaya.

Hingga kini, pihak CRU Aceh masih merencanakan pemasangan barier jenis seperti apa yang cocok digunakan di kawasan hutan Ulu Masen. Menurut Pipit, ada dua jenis barier untuk gajah liar, yaitu berbentuk parit dan pagar listrik.

“Barier salah satu strategi untuk meredam konflik gajah liar, selain GPS Collar (pendeteksi posisi gajah liar). Apakah akan efektif, nanti akan kita lihat kalau sudah selesai,” kata Pipit.

Untuk pamasangan barier gajah, kata Pipit, lokasi pembangunannya harus terdapat barier alami. Misalnya, berupa dinding terjal, bukit terjal, dan lain sebagainya yang bisa menjadi penghalang lintasan gajah. “Barier dipasang di tengah hutan, di mana ada barier alaminya,” katanya.

Gajah Sumatera, kata Pipit, merupakan satu di antara empat spesies kunci yang hidup di hutan Aceh dan saat ini terancam keberadaannya. Keempat spesies itu adalah gajah, harimau, badak, dan orangutan.

“Sebenarnya, satwa yang terancam itu milik mereka,” kata Pipit sembari menunjuk tiga anak kecil berlarian di tengah forum diskusi. Usia mereka di bawah lima tahun. “Makanya, kita harus menjaganya. Ini hutang ke generasi yang akan datang.”

FJL Bentuk Keresahan Jurnalis

Ketua Divisi Organisasi dan Pendidikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Banda Aceh, Zulkarnain Masry mengatakan,  FJL pada dasarnya dibentuk sebagai respon dari keresahan jurnalis terhadap pembalakan hutan dan perburuan satwa liar yang gencar terjadi.

Dengan menggelar Kemah Jurnalistik pada setiap bulannya, kata Zul, sehingga semakin terbuka wawasan terhadap satwa, terutama gajah Sumatera.

“Kegiatan ini akan dilakukan dengan rutin dengan tema berbeda, sebulan sekali atau dua bulan sekali. Meskipun bukan wartawan, tapi berkonsentrasi dalam isu lingkungan, untuk menyelamatkan hutan, satwa, dan lingkungan kita,” kata dia.

Sementara itu Koordinator FJL Aceh, Ratno Sugito mengatakan, peserta Kemah Jurnalistik  dari kalangan jurnalis profesional, pers kampus dan blogger. Selama Kemah Jurnalistik digelar mereka diberikan pemahaman tentang pentingnya memberitakan isu-isu lingkungan.

Katanya, mengambil momen 17 Agusutus pada hari peringatan proklamasi kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). FJL Aceh ingin mengkampanyekan perlindungan satwa yang dilindungi dan terancam punah di Aceh.

“Setidaknya ada 40 orang jurnalis, pers kampus, baik tulis, foto dan video berkumpul bersama. Diharapkan nantinya bisa memantik untuk menulis tentang isu-isu lingkungan,” ungkapnya.

FJL Aceh dalam melaksanakan Kemah Jurnalistik juga selalu didukung oleh beberapa elemen sipil yang peduli terhadap lingkungan. Seperti CRU Aceh, Yayasan Ekosistem Leuser (YEL), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh, Pewarta Foto Indonesia (PFI) Aceh, Ikatan Jurnalis Telivisi Indonesia (IJTI), Aceh, Walhi Aceh dan Aceh Chilimate Change Inisitive (ACCI).

Upacara Bendera Libatkan Gajah

Jumat (17/8) pagi, CRU Sampoiniet menggelar upacara bendera Hari Kemerdekaan Ke-73 Republik Indonesia. Uniknya, tiga gajah jinak di CRU bernama Olu, Johana, dan Isabela dilibatkan sebagai pembawa bendera sebelum dinaikkan oleh pengibar bendera merah putih.

Bendera diikatkan di sebatang bambu. Kemudian, gajah Olu merangkul bambu itu dengan belalai dan menyerahkannya kepada seorang mahout yang bertugas sebagai pengibar bendera. Setelah diserahkan, tiga gajah itu hormat bendera dengan menundukkan kepala.

Seusai upacara, gajah turut menyusuri sungai. Sang mahout yang duduk di pundak masing-masing gajah memegang bendera merah putih.

Leader CRU Sampoiniet, Samsul Rizal mengatakan upacara bendera pada HUT Kemerdekaan Ke-73 RI yang melibatkan gajah Sumatera baru pertama kali dilakukan. Dengan melibatkan gajah, dia ingin mengampanyekan bahwa manusia bisa hidup berdampingan dengan gajah.

“Untuk mengampanyekan bahwa kita bisa hidup dengan gajah. Kita di Indonesia hari ini merasakan kemerdekaan, termasuk gajah,” kata Samsul Rizal.[]

Penulis : Habil Razali

read more
Flora Fauna

Kepala BKSDA : Harimau Sumatera Terancam Punah di Aceh

BANDA ACEH – Populasi harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) di Provinsi Aceh berada pada level sangat rentan (critically endangered) ke level punah (extinct). Kondisi ini semakin diperparah dengan makin maraknya perburuan liar dan menyempitnya habitat.

Penghancuran hutan di Serambi Mekkah, khususnya di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) Aceh semakin tinggi. Padahal harimau secara alamiah membutuhkan wilayah jelajah antara 60 hingga 100 kilometer persegi.

Wilayah jelajah harimau yang semakin sempat inilah yang kemudian semakin memperparah ancaman kelestarian harimau di Tanah Rencong. Polulasi harimau terbanyak saat ini berada di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), termasuk di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).

Mirisnya, berdasarkan data dari Yayasan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA), setiap bulannya kerusakan terus terjadi akibat adanya penghancuran hutan di KEL Aceh. Hutan yang awalnya seluas 2.255.577 hektar, pada Juni 2018 tersisa sekitar 1,8 juta hektar. Periode Januari – Juni 2018, luas tutupan hutan yang hilang diperkirakan seluas 3.290 hektar.

Belum lagi jeratan berbagai jenis juga sering ditemukan di kawasan hutan. Forum Konservasi Leuser (FKL) yang memiliki 24 tim ranger telah bertugas patroli di hutan 11 kabupaten. Selama semester pertama tahun 2018 ini sudah 139 kali patroli dilakukan dengan jangkauan patroli mencapai 7.834,44 kilometer.

Sejak periode Januari-Juni 2018, tim patroli FKL menemukan 389 kasus perburuan dan menemukan 25 orang pemburu. Pihaknya juga menyita 497 jerat yang telah dipasang di beberapa titik di hutan dalam KEL Aceh untuk memburu satwa landak, rusa, kijang, beruang, harimau, dan gajah. Selain itu, mereka turut menemukan sebanyak 25 kamp pemburu.

Selama semester satu tahun 2018, FKL menemukan 187 kasus satwa dari 497 perangkap yang ditemukan. Berdasarkan jenis satwa, burung ditemukan 41 ekor dengan jumlah jerat sebanyak 59 buah.

Lalu rusa, kijang dan kambing ada 65 ekor dengan jumlah jerat 179 buah. Landak sebanyak 68 hewan dengan jumlah perangkap sebanyak 224 jerat, gajah 9 hewan dan 9 jerat dan harimau dan beruang sebanyak 4 satwa dengan jumlah 6 perangkap.

Pada periode ini juga ditemukan sebanyak 61 satwa ditemukan mati akibat perburuan maupun mati alami. Pihaknya juga menemukan seekor harimau dan gajah mati akibat perburuan di KEL Aceh.

KEL juga tempat terakhir di bumi dimana Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), Harimau (Panthera tigris sumatrae), Gajah (Elephas maximus sumatraensis) dan Orangutan (Pongo abelii) berada bersama di alam bebas. Bila laju kerusakan terus meningkat, hewan yang dilindungi ini juga semakin terancam, baik akibat perburuan maupun kehilangan habitat sehingga terjadilah konflik satwa dengan manusia.

“Ancaman yang paling besar adalah pragmentasi habitat, karena habitat semakin berkurang, sehingga dia semakin sulit untuk berkembang biak, untuk mengeksistensi dirinya,” kata Kepala Balai Konservasi Lingkungan Alam (BKSDA) Aceh, Sapto Aji Prabowo.

Sapto menyebutkan saat ini yang tersisa harimau sebanyak 150-200 individu. Baik itu dalam TNGL maupun di hutan lainnya.

Secara nasional  dan sumatera populasi harimau di Aceh terbilang paling besar. Menurut Sapto, bila penghancuran hutan terus terjadi, perburuan semakin marak tanpa ada upaya penghentian, populasi harimau di Aceh akan terancam.

Harimau sering dijumpai di hutan berdataran rendah hingga pegunungan. Wilayah penyebaran pada ketinggian 0-2.000 mdpl. Meskipun tidak tertutup kemungkinan sampai ketinggian di atas 2.400 mdpl.

Namun tingginya kerusakan hutan di dataran rendah saat ini telah memaksa harimau bermigrasi ke pegunungan atau perbukitan, bahkan bisa saja masuk dalam perkebunan warga. Kondisi ini juga kemudian konflik satwa dengan manusia tak dapat dihindari, sehingga masyarakat beranggapan harimau tersebut dianggap hama.

“Kemudian terjadi konflik dan ini bisa mendorong kematian-kematian selanjutnya, kemudian dianggap hama oleh masyarakat,” tukasnya.

Menyangkut dengan perburuan, Sapto mengakui tidak semua jerat yang dipasang oleh pemburu untuk menangkap harimau. Tetapi ada jerat rusa, babi dan sejumlah jerat lainnya yang kemudian bisa mengancam keberadaan harimau.

“Memang tidak khusus ditujukan pada harimau ya, tetapi cukup mengancam harimau dan itu akan sangat mengancam kelestarian,” imbuhnya.

Menurut Sapto, masih maraknya perburuan satwa liar di Aceh tidak terlepas masih banyaknya orang mengoleksi satwa dilindungi. Masih tingginya permintaan dengan harga yang menggiurkan, telah memantik pemburu untuk berburu dan memperdagangkannya.

“Perdagangan yang masih sangat marak. penjualan kulit harimau dan bagian-bagian yang lain masih sangat tinggi, banyak kolektor-kolektor gila yang mengkoleksi itu, sehingga orang terus mencari dan menjual,” tukasnya.

Oleh karena itu, kata Sapto, upaya yang harus dilakukan adalah penegakan hukum dan menghukum pelaku sesuai dengan regulasi yang ada. Sehingga pelaku memiliki efek jera sehingga tidak ada lagi yang memburu satwa yang dilindungi tersebut.

Bila penegakan hukum tidak ditegakkan. Sapto pesimis bisa melindungi satwa liar, terutama harimau yang semakin kritis populasinya. Penegakan hukum cukup berperan untuk melestarikan satwa dilindungi di Aceh.

Kata Sapto, perdagangan satwa liar yang dilindungi saat ini tertinggi dari Aceh. Ini butuh ada penindakan yang tegas untuk memerangi perburuannya.

“Selain itu harus ada sosialisasi kepada masyarakat pentingnya konservasi satwa liar yang dilindungi itu,” ungkapnya.

Deforestasi hutan dan perburuan yang masih marak telah menyumbang besar ancaman kepunahan harimau. Bagaimana pun hutan itu habitat utama dari harimau itu sendiri. Ketika habitat rusak karena ada konversi, otomatis akan mengancam kelestarian harimau tersebut.

read more
Flora Fauna

Dalam Setahun, Dua Gajah Jinak Tewas di Aceh

BANDA ACEH – Gajah jinak di Conservation Response Unit (CRU) Mila, Kabupaten Pidie kembali ditemukan tewas. Kasus ini merupakan kasus kematian gajah jinak milik CRU yang  kedua dalam tahun 2018.

Gajah betina usia 40 tahun ini ditemukan tewas di pinggir sungai, sekitar 300 meter dari CRU Mila, Senin sore (13/8/2018). Dugaan sementara, hewan bertubuh besar ini tewas karena keracunan akibat terpapar tuba ikan yang  ada di sungai tersebut.

Pagi harinya, gajah malang itu dalam kondisi sehat saat ditambatkan di pinggir sungai. Gajah ditaruh di pinggir sungai mengingat Kabupaten Pidie sedang dilanda kemarau. Sehingga gajah ditambatkan di pinggir sungai agar mudah mendapat air.

Biasanya,sore harinya mahout (pawang gajah) mengambil gajah kembali untuk dibawa ke dalam arena CRU. Rutinitas ini dilakukan selama musim kemarau yang sedang melanda Pidie.

“Gajah tersebut ditambat di sungai pada pagi harinya dalam kondisi sehat,” kata Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, Sapto Aji Prabowo. Seraya menjelaskan, gajah betina itu tewas kecil kemungkinan dibunuh, karena dipastikan tidak ada unsur ekonomis hendak mengambil gading.

Gajah betina bernama Retno tidak mungkin dibunuh untuk mendapatkan gading karena gajah betina tidak memiliki gading. Maka dugaan awal karena keracunan.

Berdasarkan analisis dari tim yang melakukan pemeriksaan, tidak ditemukan adanya bukti mengarah upaya seseorang meracun gajah tersebut.

Meskipun tim dokter hewan sempat kebingungan. Hasil pemeriksaan di usus, jantung dan ginjal terdapat pendarahan mirip terjadi keracunan. Namun saat diambil sampel makanan di lambung gajah tidak mengandung racun.

“Dari makanan yang diambil tidak ada racun, sehingga kita agak ragu ambil kesimpulan awalnya. Namun dari analisis awal ada tanda-tanda keracunan, bukan berarti sudah pasti, tidak, tapi ada tanda-tanda keracunan, karena ditandai ada pendarahan di usus, jantung dan ginjal,” ujar tim dokter hewan.

Saat ini di wilayah CRU Mila, Kabupaten Pidie sedang dilanda kemarau. Air sungai pun semakin surut. Kondisi kemarau inilah kemudian memaksa gajah jinak itu ditambatkan di pinggir sungai jarak sekitar 300 meter dari CRU Mila.

Menurut Sapto, di kawasan sungai yang ditambat gajah jinak itu ada warga yang mencari ikan menggunakan tuba ikan. Kemungkinan, Retno meminum air sungai itu dan terpapar dengan tuba ikan warga yang sedang mencari ikan saat air sungai sedikit.

“Dugaannya adalah gajah ini meminum air sungai, karena kondisinya surut airnya yang kemungkinan terpapar racun tuba ikan, beberapa orang memang sering menemukan mencari ikan dengan tuba ikan,” tukasnya.

Pada tahun 2018 ini, gajah sudah tewas sebanyak 4 ekor. Tiga ekor berada di Kabupaten Aceh Timur dan satu ekor di Pidie. Dua di antaranya adalah gajah jinak tewas.

Sebelumnya gajah jinak jenis kelamin jantan bernama Bunta juga ditemukan tewas di CRU Desa Bunin, Kecamatan Serbajadi, Aceh Timur. Saat ini polisi sudah membekuk dua tersangka dan satu masih buron.

read more
Flora Fauna

Memperingati Hari Gajah Sedunia di CRU Peusangan

Berbagai kegiatan digelar di CRU DAS Peusangan dalam rangka memperingati hari World Elephant Day,  dengan melibatkan berbagai komunitas dan lembaga swadaya masyarakat yang peduli dengan kelestarian Gajah, terutama di DAS Peusangan, Minggu (12/8/2018).

“Selain mengajak masyarakat untuk lebih mengenal gajah dan camping, banyak hal yang kita lakukan dalam serimoni World Elephant Day di CRU DAS Peusangan diantaranya dengan penanaman tumbuhan yang tidak disukai gajah seperti seperti jeruk lemon, serai, kita juga dibantu oleh Komunitas, KomaTiga dan HPI” ujar Ketua Panitia, Muhammad Agung.

Khusus untuk pengenalan gajah, kegiatan ini merupakan edukasi kepada masyarakat terutama warga di seputaran CRU DAS Peusangan tentang pentingnya menjaga kelestarian Gajah dan lingkungan.

Daerah Aliran Sungai Peusangan memiliki total wilayah mencapai 238.550 hektare, merupakan tempat bagi 45 hingga 50 individu gajah dan sejumlah binatang liar lainnya.

Peringatan hari Gajah Dunia di CRU DAS Peusangan sendiri merupakan rangkaian kegiatan peringatan hari gajah sedunia, dengan kegiatan, sosialisasi, penanaman pohon dan kemah jurnalistik di CRU DAS Peusangan dan CRU Sampoiniet.

CRU DAS Peusangan Memprihatinkan

CRU DAS Peusangan berada di Kecamatan Pintu Rime Gayo, wilayah Kabupaten Bener Meriah yang berbatasan dengan Kabupaten Bireuen dan wilayah kerjanya Kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah dan Bireuen. Keberadaannya sangat penting terutama dalam mitigasi konflik gajah dengan manusia. CRU ini memiliki tiga gajah jinak dengan tiga Mahout, dua asisten Mahout, satu orang juru masak dan satu orang penjaga barak serta seorang leader.

Leader CRU DAS Peusangan, Sahru Rizal mengatakan pihaknya sebenarnya mempunyai banyak kendala, terutama untuk operasional” Saat ini kita tidak punya dana untuk patroli dan monitoring karena sudah tidak dianggarkan di Dinas terkait,”sebut Sahru.

Dengan segala keterbatasan yang ada, kata Sahru semangat tak boleh surut, tim CRU terus berusaha maksimal. Unit ini dibentuk oleh Pemerintah Aceh dan bertanggung jawab atas pengusiran gajah liar di desa dan di kawasan Peusangan. Selain CRU yang dibentuk oleh Pemerintah Aceh, ada pula kelompok serupa yang dibentuk oleh WWF-Indonesia dengan nama Kelompok Delapan. Semua kelompok tersebut pun berkolaborasi dalam menjalankan tugasnya dan memiliki tujuan sama, yaitu untuk membantu masyarakat kawasan rentan konflik gajah dan meminimalisir konflik yang terjadi.

Konflik gajah dengan manusia kerap terjadi dan telah memakan korban nyawa di Bener Meriah. Sejak tahun 2012 silam, tercatat, lima warga Bener Meriah yang tewas karena menjadi korban amukan gajah dan puluhan orang luka-luka. Bukan itu saja, lahan pertanian dirusak ditambah dengan sejumlah rumah warga yang dirusak. Warga yang ketakutan terpaksa berulangkali mengungsi.

Masalah konflik gajah ini bukan hanya masalah Kecamatan Pintu Rime Gayo atau Bener Meriah saja dan penanganannya harus melibatkan tiga kabupaten yakni Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Bireuen. Pemerintah sendiri diharapkan serius dalam persoalan.

“Yang kita bisa lakukan saat ini adalah memberikan pengarahan kepada masyarakat tentang cara penggiringan gajah yang masuk ke pemukiman dan perkebunan, karena jika salah penanganan maka dampaknya akan lebih buruk”kata Sahru.[]

Sumber: Arsadi Laksamana

 

 

 

read more
Flora FaunaHutan

602 Titik Api Terpantau di Kawasan Hutan Aceh

BANDA ACEH – Penghancuran hutan dalam semester satu tahun 2018 ini sudah mencapai 3.290 hektar di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) Aceh. Setiap bulannya kerusakan hutan terus terjadi, baik akibat pembukaan lahan baru maupun pembukaan jalan.

Hutan yang awalnya seluas 2.255.577 hektar, pada Juni 2018 tersisa sekitar 1,8 juta hektar. Seiring semakin menyempitnya areal tutupan hutan di KEL Aceh, ancaman terhadap habitat satwa liar dilindungi semakin meningkat. Konflik satwa liar dengan manusia pun tak dapat dihindari.

Terjadi kerusakan hutan dari tangan jahil yang melakukan perambahan hutan akhir-akhir ini. Semakin diperparah dengan ditemukan sejumlah titik api di kawasan hutan. Adanya titik api akan mengancam kelestarian hewan dan habitat lainnya yang ada di hutan.

Yayasan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) memonitor titik api menggunakan data dari NASA (satelit VIIRS dan MODIS). Untuk semester pertama tahun 2018, titik api di Aceh terdeteksi sebanyak 688 titik.

Sedangkan satelit VIIRS yang lebih sensitif (resolusi 375m) berhasil mendeteksi lebih banyak titik api yaitu sejumlah 602 titik sedangkan MODIS (resolusi 1 km) hanya mendeteksi sebanyak 86 titik api.

Areal Penggunaan Lain (APL) menjadi area yang paling banyak terdeteksi api yaitu sejumlah 440 titik api, sedangkan Hutan Produksi menduduki nomor 2 yaitu sebanyak 100 titik api dan nomor 3 adalah Suaka Margasatwa sebanyak 66 titik api.

“Kondisi ini juga cukup mengkhawatirkan untuk menjaga hutan, teruma KEL Aceh,” Manager Geographic Information System  (GIS) HAkA, Agung Dwinurcahya pekan lalu.

Titik api yang dimonitoring HAkA, kabupaten yang masuk dalam wilayah KEL justru yang peling tinggi ditemukan titik api. Titik api yang paling banyak ditemukan di Kabupaten Aceh Selatan sebesar 45 persen. Lalu disusul Kabupaten Aceh Timur 15 persen, Gayo Lues 13 persen, Bener Meriah 12 persen, Nagan Raya 8 persen dan kabupaten lain 7 persen.

Berdasarkan titik api yang ditemukan tersebut sesuai dengan angka kerusakan hutan yang terjadi di kabupaten tersebut. Kabupaten di KEL Aceh yang terburuk penghancuran hutannya pada semester 1 ini yaitu Nagan Raya 627 hektar, Aceh Timur 559 hektar, Gayo Lues 507 hektar, Aceh Selatan 399 hektar dan Bener Meriah 274 hektar.

Semua kabupaten tersebut di atas masuk dalam KEL Aceh yang mengalami laju deforestasi yang memprihatinkan. Kecuali Kabupaten Aceh Timur yang tidak termasuk KEL Aceh, namun kawasan hutan di daerah itu juga sudah berada pada titik berbahaya.

Menurut Agung Dwinurcahya,  KEL Aceh merupakan kawasan hutan tropis yang sangat berperan menyimpan cadangan air dan juga pengendalian iklim mikro. Perlindungan hutan tersebut berguna untuk keberlangsungan hidup manusia dan melindungi spesies-spesies yang harus memiliki skala prioritas untuk dikonservasi.

KEL juga berperan dalam mitigasi perubahan iklim, pencegahan bencana alam dan rumah bagi fauna dan flora yang beranekaragam. Ada 8500 spesies tumbuhan, 105 spesies mamalia dan 382 spesies burung.

KEL menjadi tempat terakhir di bumi Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), Harimau (Panthera tigris sumatrae), Gajah (Elephas maximus sumatraensis) dan Orangutan (Pongo abelii) hidup berdampingan di alam bebas.

“Bila laju kerusakan terus meningkat, hewan yang dilindungi ini juga semakin terancam, baik akibat pemburuan maupun kehilangan habitat sehingga terjadilah konflik satwa dengan manusia,” tegasnya.

Sementara itu Manajer Database Forum Konservasi Leuser (FKL), Ibnu Hasyem mengatakan, ada 24 tim ranger yang bertugas patroli di hutan 11 kabupaten. Selama semester pertama tahun 2018 ini sudah 139 kali patroli dilakukan dengan jangkauan patroli mencapai 7.834,44 kilometer.

Semester 1 tahun 2018 ini, tim patroli FKL menemukan 389 kasus pemburuan dan menemukan 25 orang pemburu. Pihaknya juga menyita 497 jerat yang telah dipasang di beberapa titik di hutan dalam KEL Aceh untuk memburu satwa landak, rusa, kijang, beruang, harimau, dan gajah. Selain itu, mereka turut menemukan sebanyak 25 kamp pemburu.

“Wilayah perburuan relatif sama dengan wilayah yang terjadi perambahan, pembalakan, dan perusakan hutan. Tetapi pemburuan lebih masuk ke dalam hutan,” kata Ibnu Hasyem.

FKL Aceh juga menemukan 187 kasus satwa dari 497 perangkap yang ditemukan. Berdasarkan jenis satwa, burung ditemukan 41 ekor dengan jumlah jerat sebanyak 59. Lalu rusa, kijang dan kambing ada 65 ekor dengan jumlah jerat 179 buah. Landak sebanyak 68 hewan dengan jumlah perangkap sebanyak 224 jerat, gajah 9 hewan dan 9 jerat dan harimau dan beruang sebanyak 4 satwa dengan jumlah 6 perangkap.

Pada periode ini juga ditemukan sebanyak 61 satwa ditemukan mati akibat perburuan maupun mati alami. Pihaknya juga menemukan seekor harimau dan gajah mati akibat perburuan di KEL Aceh.

Sedangkan kamp pemburu yang ditemukan langsung dimusnahkan oleh tim ranger yang sedang berpatroli. Kata Ibnu, biasanya pemburu awalnya berburu di pinggir hutan, namun setelah itu mereka mencoba untuk masuk lebih ke dalam hutan.

“Sedangkan yang ditemukan masih hidup langsung kita lepaskan kembali,” jelasnya.

read more
1 2 3 5
Page 1 of 5