close

Afifudin Acal

HutanRagam

Agusen dari Produsen Ganja ke Destinasi Wisata

GAYO LUES – Jarum jam tangan saya menunjukkan pukul 03.45 (WIB). Kami sudah menempuh perjalanan lebih 17 jam dari Banda Aceh menuju Desa Agusen, Kabupaten Gayo Lues. Provinsi Aceh.  Di depan kami terdapat galian badan jalan berair bagaikan saluran yang bekum selesai.

Kami mencoba memastikan bahwa jalan yang kami pilih tidak salah. Beberapa teman turun dan mengamati jejak ban mobil untuk memastikan jalur ini sudah benar.

“Apa mungkin ini Bang. Kenapa ada saluran,” tanya Munjier-reporter RRI Stasion Banda Aceh yang berada di belakang stir.

Tanpa sempat menjawab, Munjier pun menyela. “Tapi ada ban mobil dan beberapa mobil terlihat parkir di depan sebuah bangunan,” kata Munjier meyakinkan.

Sambil sempat memutar arah mobil dan mencari jejak lain. Saya mencoba membuka aplikasi WhatsApp untuk memastikan titik lokasi yang dikirim Mbak Berni saat dalam perjalanan dari Banda Aceh.

“Nah, ini ada tenda biru dan tulisan Jalan Budi Waseso, tapi kita tidak ketemu, gimana?”

“Tapi kita sudah benar masuk gerbang Desa Agusen,” timpal Munjier lagi membela diri.

Di antara temaram cahaya sesaat kami tiba di posko Field Trip. Beberapa mobil terparkir berjejer menghadap kantor  kepala desa atau keuchiek- di kawasan Gayo Lues disebut Pengulu.

Kami menuju ke tempat parkir di depan kantor pengulu. Mobil kami  mengambil posisi sebelah kanan kantor di antara halaman samping kantor penghulu. Dari kegelapan terdengar suara air yang menurut kami pasti ada sungai. Memang, beberapa meter terdapat titi gantung yang lebarnya sekitar satu meter.

Jam sudah menunjukkan pukul 04.00 pagi waktu setempat. Kami pun tak ingin berlama di luar mobil, hanya sesaat tanpa memeriksa kondisi sekitar. Namun Afrizal, kontributor Inews TV, saya dan Munjier masih ragu posisi yang kami tuju. Selain tanpa menemukan gambar petunjuk dari panitia, juga tidak ada tulisan kantor kepala desa.

“Mungkin di sini, kantor geusyiek disebut pengulu,” Munjier mencoba menyimpulkan.

Setelah dia sesaat, kami pun mencoba keluar dari depan kantor penghulu dengan maksud mencari tempat yang menurut kami belum benar. Setelah keluar kembali ke arah jalan Gayo Lues, Kutacane, saya mencoba membuka aplkasi Whats App dan mencari sesuatu petunjuk arah. Saya pun mendapatkan kiriman nomor kontak bernama Jaboi.

Saya segan menelpon karena sudah jam 4 pagi. Tapi dua teman lainnya berusaha meyakinkan jika kondisi saat ini memungkinkan Jaboi ditelpon.

Telpon aja, kan ini darurat, Panitia sudah siap dengan risiko apa pun,”saran Munjier.

Saya pun mengontak Jaboi sambil memberitahukan posisi saat ini. Segan juga rasanya menelpon orang yang menurut kami sedang nyenyak karena kondisi cuaca sangat dingin.

“ Halo, mohon maaf. Ini Bang Jaboi ya, kami udah putar-putar, Cari kantor keuchiek tidak ketemu,” kata saya.

“Kami sudah  di depan kantor pengulu,  dan sudah parkir mobil,” saya memastikan.

‘Ya bang, sudah benar tadi,” ujar Jaboi.

Kami pun langsung balik lagi ke tempat awal. Tak lama beberapa penghuni kantor pengulu keluar termasuk Kang Een dari rekam.or.id-fasilitator field trip Agusen.

“Masuk aja Bang, dingin di luar,“ ujar Jaboi sambil membuka daun pintu.

Memang, suhu udara di luar ruangan menunjukkan pada angka 17 derajat celcius, cukup dingin untuk ukuran kita dari daerah pesisir.

Ya, terimakasih, mohon maaf ya sudah mengganggu tidurnya, kata kami berbasa-basi.

“Kami tunggu sampai jam 1 malam tadi, tidak ada kabar,” timpal Jaboi dan diamini Khairul Wahab-anggota penghuni kantor pengulu yang langsung menyapa saya.

Kami sempat dihidangkan segelas air putih hangat untuk melawan hawa dingin. Afrizal dan Munjier langsung mengambil posisi dalam kamar untuk istirahat. Saya mencoba mengakali untuk tidur dalam mobil karena beberapa penghuni merokok dan bercampur bau obat anti nyamuk.

Sebenarnya, kami mendapat jatah menginap di rumah warga. Karena datangnya sudah dini hari, sangat tidak mungkin menuju ke sana. Kami pun transit sebentar di kantor pengulu.

Saya pun mengambil posisi di luar kantor untuk menghindari asap rokok dan kepulan obat bakar anti nyamuk. Rasa berat berada di luar yang berhawa dingin, tapi apa daya untuk menyelamatkan sesak asap.

Hanya  beberapa saat berada di dalam mobil, saya kembali masuk kantor pengulu karena tidak bisa tidur. Apalagi beberapa saat waktu subuh tiba.  Takut ketiduran dan waktu salat subuh buyar.

Benar saja. Entah karena lelah, saya tertidur dan harus kesiangan salat subuh. Perasaan bersalah tentunya, Tapi, saya harus tetap salat dengan menuju sungai untuk berwudhuk yang tak jauh dari kantor pengulu.

Sekitar pukul 7.30 pagi, kami diarahkan ke rumah warga sebagao tempat menginap selama berada di wilayah Agusen. Satu jam kemudian kami harus kembali ke posko untuk pengarahan.  Maksud mandi urung jadinya karena suhu dingin. Kami hanya sikat gigi dan minum alakadar kemudian langsung kembali ke posko.

Tak mesti menunggu lama, beberapa peserta mulai berkumpul di depan posko. Ada yang baru menyeberangi jembatan gantung, ada yang diantar dengan kendaraan warga.

Kang Een dan Mbak Berni serta beberapa staf mencoba mengumpulkan peserta untuk rundown kegiatan pada Sabtu pagi. Kami pun diperkenalka perangkat Desa Agusen yang kali ini menjadi tujuan Field Trip kami. Tujuanya adalah mempromosikan desa yang pernah mendapat stigma penghasil ganja tersohor di Kabupaten Gayo Lues.

Membenam Stigma

Menyandang predikat desa penghasil ganja sangat tidak nyaman. Setelah puluhan tahun image ini melekat di Desa Agusen, dua tahun lalu  memotivasi warga desa yang terletak di  Kecamatan Blang Keujren Kabupaten Gayo Lues, Aceh beralih profesi. Sebagai desa bekas  penghasil ganja terbaik di dunia Agusen kini berbenah menuju desa  destinasi wisata

Desa berpeduduk 206 kepala keluarga ini terletak di lembah dan dikelilingi Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).  Agusen berbenah menjadi destinasi wisata pilihan bagi  para pecinta alam.

Memiliki sungai berair jernih yang mengalir dari kawasan gunung Leuser. Kini warganya mulai giat menjadi tuan rumah bagi pelancong. Potensi sungai dan tracking atau jelajah bukit serta kebun kopi dan pendakian. Desa terdekat dengan ekosistem Leuser menawarkan beberapa agenda wisata.

Tracking sungai,  hutan dan bukit menjadi pilihan para pengunjung ke desa tersebut. Areal hutan yang sebelumnya jadi hamparan kebun ganja menjadi kebun kopi Arabica Gayo yang terkenal. Juga tempat wisata sungai yang bisa dimanfaatkan untuk drafting atau arung jeram.

Sejak dipilihnya Agusen menjadi desa wisata tahun 2016 lalu, kini pemuda setempat terus memotivasi warga untuk menyiapkan diri. Rumah warga akan ditata menjadi home stay atau tempat tinggal yang nyaman bagi turis. Pagelaran seni pun ditingkatkan menyambut tamu.

“Dulu Agusen adalah produsen the best marijuana in the world. Kita akan melatih warga untuk mengelola homestay atau rumah tinggal sementara wisatawan, “ ujar Amru saat silaturrahmi dengan warga Agusen Sabtu (05/05/2018).

Desa yang dihuni petani dan perkebun  ini memang baru berbenah. Warga secara bertahap mulai meninggalkan kebiasaan menanam ganja yang jadi penghalang mereka berkembang seperti diakui Bupati Gayo Lues, Muhammad Amru.

Tak gampang mengalihkan pola pikir dan pola kerja warga Agusen. Lebih dari 50 persen warganya berprofesi sebagai penanam ganja Namun, sosialisasi dan himbauan secara terus menerus membuat mereka bisa meninggalkan ganja.

Pengulu atau kepala Desa Agusen, Ramadhan pun nyaris putus asa ketika mengajak warganya meninggalkan kebiasaan yang dilarang. Pola kepemilikan satu hektare tanaman kopi ternyata  bisa  mengalihkan usaha mereka dari ganja ke kopi dan wisata.

“Kita selalu menyampaikan dan membujuk para petani ganji untuk beralih ke kopi dalam setiap kesempatan,” kenang Ramadhan.

Memang butuh waktu untuk berbenah dan mengobati citra dari desa produsen ganja menjadi desa destinasi wisata. Meskipun demikian, pemerintah setempat terus mendorong dengan melatih mereka menjadi tuan rumah destinasi wisata.[acl]

Penulis : Muhktaruddin Yacob

read more
HutanKebijakan Lingkungan

Noktah Hitam di KEL Aceh

Mega proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang dibangun dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) berdampak besar terhadap ancaman bencana, baik bencana ekologi hingga berpengaruh terhadap perekonomian warga.

Bahkan juga mengganggu kelestarian hewan dilindungi seperti badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), harimau (Panthera tigris sumatrae), gajah (Elephas maximus sumatraensis) dan orangutan (Pongo abelii).

Kondisi ini tentu menjadi noktah hitam dalam KEL Aceh. Padahal KEL Aceh wilayah konservasi penting yang berada di dua provinsi, yaitu Provinsi Aceh dan Sumatera Utara dengan luas 2,6 juta hektar. Apa lagi KEL lebih luas masuk dalam provinsi Aceh yang meliputi 13 kabupaten/kota dan 4 kabupaten di Sumatera Utara.

Kabupaten yang masuk dalam KEL di Provinsi Aceh adalah Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Singkil, Subussalam, Aceh Tenggara, Gayo Lues, Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Utara, Aceh Timur dan Aceh Tamiang. Sedang kabupaten di Sumatera Utara yaitu Kabupaten Langkat, Dairi, Karo dan Deli Serdang.

Baca : Noktah Hitam di KEL Aceh

Berdasarkan data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh dalam laporan investigasi disebutkan, KEL menjadi pendukung kehidupan lebih dari empat juta orang yang bermukim di sekitarnya. KEL juga menjadi rumah bagi 105 spesies mamalia, 383 spesies burung dan sekitar 95 spesies reptil dan amfibi, atau setara dengan 54 persen dari fauna terestrial sumatera

Selain itu KEL menjadi tempat terakhir untuk mempertahankan populasi spesies-spesies langka di Asia Tenggara. Spesies langka seperti harimau, orangutan, badak, gajah hingga macan tutul.

KEL juga memiliki fungsi ekologis untuk penyediaan air untuk masyarakat, baik untuk dikonsumsi maupun untuk kebutuhan lainnya. Tentunya keberadaan mega proyek PLTA Tampur 1 akan mengancam upaya konservasi tersebut.

Menurut Direktur Walhi Aceh, Muhammad Nur menyebutkan, dampak yang paling nyata dan sudah ada di depan mata adalah terganggunya habitat satwa dilindungi. Apa lagi, kawasan pembanguan proyek tersebut masuk dalam wilayah jelajah gajah (home range) dan sejumlah hewan dilindungi lainnya.

“Ada berpendapat itu disebut kawasan koridor satwa, salah satunya gajah, ini memang harus juga dibuktikan oleh BKSDA, harus ada petawa koridor satwa,” kata Muhammad Nur.

Muhammad Nur menyebutkan, berdasarkan observasi langsung ke lokasi dan informasi dari masyarakat setempat, Dusun Berawang Gajah, Gampong Lesten yang masuk dalam pembangunan PLTA itu, merupakan lintasan gajah dan harimau dan bahkan sering juga dilintasi beruang madu.

Menariknya lagi, kawasan tersebut terdapat banyak kubangan gajah. Masyarakat setempat biasanya menyebutnya “Berawang Gajah. Adanya berawang gajah membuktikan bahwa kawasan itu sering dikunjungi gajah. Namun masyarakat setempat bisa hidup berdampingan dan beberapa warga sering bertemu dengan kawanan kecil gajah yang sedang melintas, namun tak pernah terjadi konflik di daerah tersebut.

“Jadi warga setempat khawatir dengan ada pembangunan genangan ini akan terjadi konflik gajah nantinya, karena hilang habitat gajah,” jelasnya.

Pembangunan dam dan power house seluas 10 hektar masuk dalam hutan lindung, ini tentunya akan berdampak terhadap menurunya daya dukung lingkungan. Tentunya akan meningkatkan potensi terjadi bencana ekologi, seperti banjir bandang, longsor hingga ancaman kekeringan.

Daerah hulu yang paling berdampak terjadi banjir bandang akibat pembangunan bendungan itu adalah Aceh Timur, Kota Langsa, Aceh Tamiang. Sedangkan yang berpotensi terjadi kekeringan yaitu di kawasan Gampong Lesten, Pining hingga kota Blangkejeren.

Muhammad Nur menyebutkan, sebelum pembangunan ini dilanjutkan pemerintah Aceh harus lebih kritis lagi menganalisa untung dan rugi setelah pembangunan selesai. Selain itu, kalau pun mega proyek ini dilanjutkan, akses air masyarakat harus terjamin.

Selama pembangunan nantinya sungai-sungai di kawasan pembangunan PLTA Tampur 1 ini akan dibendung. Selama pembangunan juga air diperkirakan akan berkeruh, tentunya bisa mengganggu kebutuhan air warga, baik untuk dikonsumsi maupun kebutuhan perekonomian.

Ini penting diperhatikan, mengingat akses air untuk masyarakat selama pembangunan tidak diatur dalam amdal. Sehingga bisa tidak dikelola dengan baik, dikhawatirkan akan lahirnya konflik baru, karena warga tidak bisa mengakses air.

“Sumber air warga, perusahaan harus menjamin tidak ada gangguan, pola akses air, saat dikurung dalam jumlah besar dan bagaimana pemanfaatan oleh warga. Karena tidak ada dalam dokumen amdal,” ungkapnya.

Walhi Aceh juga mengingatkan, KEL masuk dalam wilayah patahan sumatera yang rentan terjadi gampa bumi. Ditambah lagi, curah hujan di kawasan itu cukup tinggi, bahkan hampir setiap hari ada hujan. Tentunya bila daya dukung lingkungan lemah, berbagai ancaman bencana ekologi akan menghantui Aceh.

Bila terjadi gagal teknologi akan berakibat fatal kedepannya. Muhamma Nur mengingatkan, Indonesia sudah pernah mengalami gagal teknologi hingga terjadilah seperti di Lapindo. Apa lagi KEL berada 500 MDPL bila terjadi banjir semua daratan yang berdekatan dengan kawasan pembangunan PLTA Tampur 1 akan mengalami banjir bandang.

“Bila tidak ada jaminan bangunan kuat, harus bertanggungjawab bisa terjadi banjir bandang akibat gagal teknologi, kita tidak mau terjadi seperti Lapindo,” tegasnya.

Tentunya kalau ini terjadi, sama saja Aceh sedang menjemput maut dan pemerintah sedang menyiapkan bencana ekologi yang membuat Aceh lebih banyak mendapat kerugiannya.

Ini tulisan bagian dua dan akan dilanjutkan dengan judul Noktah Hitam di KEL Aceh “Dampak Sosial Ekonomi”.
read more
Flora Fauna

YEL-SOCP & BKSDA Aceh Lepasliarkan Beruang di Aceh Besar

ACEH BESAR – Yayasan Eksositem Lestari Sumatran Orangutan Conservation Program  (YEL-SOCP) bekerjasama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh telah melepasliarkan seekor beruang madu (helarctos malayanus) ke habitatnya, Senin (14/5/2018).

Kepala BKSDA Aceh, Sapto Aji Prabowo mengatakan, beruang madu ini yang dievakuasi tanggal 24 November 2016 lalu di Gampong Karak, Kecamatan Woyla Timur, Kabupaten Aceh Barat, karena kaki kiri depannya terjerat dan terluka parah.

“Sehingga harus dioperasi dan tinggal menyisakan jempolnya saja,” jelasnya.

Setelah mendapatkan perawatan selama 1,5 tahun untuk proses penyembuhan oleh Tim Pusat Kajian Satwa Liar (PKSL) Universitas Syiah Kuala. Beruang malang ini kemudian dinilai oleh tim dokter hewan sudah siap untuk dilepasliarkan kembali ke habitatnya.

Untuk kepentingan penelitian dan guna mengetahui pergerakan beruang tersebut, BKSDA Aceh didukung FKH Unsyiah memasang GPS Collar di leher beruang. GPS Collar yang didatangkan langsung dari Swedia tersebut, akan mengirimkan sinyal ke satelit dan akan dipancarkan kembali ke receiver yang ada di BKSDA dan FKH Unsyiah.

“Dengan data dari GPS Collar tersebut, nantinya dapat diketahui dan dianalisa pola pergerakan, preferensi habitat serta jika ada hal-hal yang tidak diinginkan,” jelasnya.

GPS Collar ini, sebutnya, juga bisa untuk mencegah potensi konflik dengan warga atau terjadi stagnasi pergerakan beruang yang bisa jadi sedang sakit atau bahkan mati, dapat diketahui dengan cepat.

Katanya, menurut keterangan produsen collar, baterai pada collar seharga lebih dari 3.000 dollar itu akan dapat bertahan sekurangnya 2 tahun. “Semoga beruang madu yang dilepasliarkan tersebut dapat kembali hidup nyaman di rumahnya,” tutupnya.[acl]

read more
Hutan

Noktah Hitam di KEL Aceh

Mega proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dibangun dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dikhawatirkan akan merusak ekosistem dan ancaman bencana ekologi. Mega proyek ini juga mengganggu kelestarian hewan dilindungi seperti badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), harimau (Panthera tigris sumatrae), gajah (Elephas maximus sumatraensis) dan orangutan (Pongo abelii).

KEL merupakan kawasan hutan tropis yang sangat berperan menyimpan cadangan air dan juga pengendalian iklim mikro. Perlindungan hutan tersebut berguna untuk keberlangsungan hidup manusia dan melindungi spesies-spesies yang harus memiliki skala prioritas untuk dikonservasi.

Spesies badak dan harimau yang paling terancam punah saat ini. Konon lagi bila PLTA Tampur di Gayo Lues dan PLTA Kluet di Aceh Selatan dibangun. Tentunya rumah satwa dilindungi ini semakin susut dan ancaman konflik satwa dan kepunahan semakin di depan mata.

KEL  juga sangat berjasa untuk keberlangsungan kehidupan manusia, karena tidak hanya menyimpan karbon dunia juga bisa mencegah dampak perubahan iklim. Ekosistem Leuser berdampak langsung dengan udara yang dihirup oleh manusia dan hewan saat ini, sehingga bisa menjaga keseimbangan iklim.

Mirisnya, Pemerintah Indonesa masih saja berencana untuk membangunan mega proyek tersebut, yang kemudian banyak ditentang oleh lembaga lingkungan di Aceh. Padahal, keberadaan Ekosistem Leuser juga tidak hanya mengancam keberadaan satwa dilindungi, juga mengancam kehidupan ribuan penduduk di Sumatera.

Memang tak dapat dipungkuri, Aceh yang berada paling ujung sumatera ini memiliki banyak potensi Sumber Daya Alam (SDA) dan energi yang dapat diandalkan. Namun dibalik banyaknya SDA, pemerintah juga harus memperhatikan banyak aspek saat mengekploitasi.

Aspek keseimbangan antara ekonomi, lingkungan dan tatanan sosial harus menjadi perhatian serius dari masyarakat. Sehingga penggunaan SDA yang dimiliki, terutama dalam KEL harus diperhatikan dampak besar dalam jangka panjang.

Pembangunan dua mega proyek tersebut, merupakan noktah hitam yang masuk dalam KEL. Noda hitam inilah yang kemudian akan mengancam berbagai persoalan kemudian hari, tak hanya merusak lingkungan juga konflik sosial bisa saja terjadi nantinya.

Kenapa pentingnya perlindungan KEL dari kerusakan? Sedekar diketahui, KEL merupakan hutan yang paling lebat saat ini di Asia Tenggara. KEL memiliki tiga lahan gambut yang kaya karbon, begitu penting bagi lingkungan global saat ini.

Lokasi proyek PLTA Tampur-1 yang dibangun oleh PT Kamirzu berada di kawasan sungai Tampur, Gampong Lesten, Kecamatan Pining, Kabupaten Gayo Lues. Gampong tersebut luas sekitar 200 hektar berjarak 18 Km dari ibukota Kabupaten Gayo Lues. Berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan oleh Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh, hingga April 2017 PT Kamirzu baru tahap pengeboran dan pengambilan sampel sebanyak 6 titik.

Lembah Gampong Lesten sebagian besar berlokasi yang kaya hasil hutan, seperti madu, walet dan hingga saat ini masih dimanfaatkan oleh masyarakat. Kekayaan hutan di kawasan itu telah menjadi ekonomi alternatif bagi masyarakat setempat.

Sungai Lesten dan Sungai Pining memiliki arus  yang deras dan kedua sisi merupakan hutan lindung berkarakteristik tebing serta tingkat kecuraman tinggi dan ada beberapa titik air terjun. Kondisinya pun rawan terhadap bencana, karena kawasan tersebut juga rawan terhadap terjadi gempa.

PLTA Tampur-1 merupakan proyek pembangkit energi terbarukan dan masuk dalam daftar percepatan pembangunan di Indonesia. Ini seperti tertuang dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 40 Tahun 2004, tentang perubahan keempat Peraturan Menteri ESDM Nomor 15 Tahun 2010 tentang proyek-proyek percepatan pembangunan pembangkit tenaga listrik menggunakan energi terbarukan.

Perusahaan pengembangan ini berasal dari Hongkong yaitu PT Kamirzu yang merupakan salah satu Perusahaan Modal Asing (PMA) bidang kelistrikan, rencannnya pembangunan PLTA Tampur-1 ini berkapasitas 443 MW.

Mega proyak PLTA Tampur-1 menggunakan lahan seluas 4.090 hektar yang berada untuk rencana genangan. Meskipun tidak semua lahan pembangunan mega proyek ini masuk dalam hutan lindung. Proyek ini dalam tiga kabupaten yaitu Gayo Lues, Aceh Timur dan Aceh Tamiang

“Yang harus diketahui, tidak semua lahan itu masuk dalam hutan lindung,” kata Direktur Walhi Aceh, Muhammad Nur.

Berdasarkan data dari Walhi Aceh, pembangunan mega proyek tersebut dengan nilai investasi Rp 4,158 triliun tersebut mencaplok Hutan Lindung (HL) seluas 1.226,83 hektar, Hutan Produksi (HP) seluas 2.565,44 hektar Area Pengguna Lain (APL) seluas 297,73 hektar. Sedangkan untuk pembangunan bendungan/DAM dan power house seluas 10 hektar dan mirisnya itu juga masuk dalam kawasan Hutan Lindung.

Penggunaan lahan dalam HL tak hanya lokasi pembangunan mega proyek tersebut. Setelah pembangunan selesai, ada sejumlah hutan lainnya ikut dicaplok. Seperti pembangunan Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) sepanjang 45 kilometer.

Lagi-lagi pembangunan SUTET masih tetap menggerus HL sepanjang 9,34 kilometer, HP 21,4 kilometer, APL sepanjang 14,26 kilometer. Selain itu, mega proyek ini juga memerlukan pembangunan atau peningkatan jalan akses sepanjang 68,14 kilometer yang masuk dalam beberapa fungsi kawasan hutan.

Seperti pembangunan jalan akses Simpang Melidi-Babo sejauh 27,14 kilometer, di antarannya 1,08 kilometer masuk dalam HL, 11,03 masuk APL. Sedangkan jalan Babo-Pulau Tiga sepanjang 11,08 Km dan Jalan Pulau Tiga-Simpang Semadam sepanjang 15,97 Km  seluruh masuk dalam APL.

“Karena tidak ada 100 persen di hutan lindung sehingga tidak memproses dokumen AMDAL di nasional. Kalau hutan lindung semua di Kementerian,” jelasnya.

Adapun izin yang sudah dimiliki oleh PT Kamirzu pembangunan mega proyek PLTA Tampur-1, sudah mengantongi sembilan rekomendasi dan izin dari pemerintah provinsi dan nasional. Seperti Izin Prinsip dari Gubernur Aceh Nomor 671.21/BP2T/2523/2015 tanggal 20 November 2015 tentang izin prinsip. Izin prinsip BKPM Pusat, surat kepala BPKH Wilayah XVII Aceh Nomor S.229/III/BPKH.XVIII-2/2016 tanggal 18 April 2016. Surat Kepala BPKH Wilayah XVII Aceh Nomor S.229/III/BPKH.XVIII-2/2016 tanggal 18 April 2016 hasil telaah titik koordinat.

Lalu berita acara rapat kesesuaian dengan  Rencana Tatat Ruang dan Wilayah Aceh pada 10 Oktober 2016, surat keterangan kesesuain dari Badan Koordinasi Perencanaan Ruang Daerah (BKPRD) Provinsi Aceh Nomor 050/25/Bappeda/I/2016, Perpanjangan izin prinsip Gubernur Aceh melalui surat Nomor 671.21/BP2T/2039/2016 tanggal 27 Oktober 2016.

Kemudian keputusan Kepala Bapedal Nomor 660.46/092/XI/AMDAL/2016 tentang persetujuan kerangka acuan (KA), untuk selanjutnya wajib dilengkapi dokumen Studi Analisis Menganai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL). PT Kamirzu juga telah merampungkan dokumen studi AMDAL PLTA Tampur-1 tanggal 28 Desember 2016, Komisi Penilaian Amdal (KPA) Aceh membahas proyek ini dengan melibatkan masyarakat dan lembaga pemerhati lingkungan.

“Pada rapat pembahasan itu Walhi Aceh selaku anggota KPA menolak AMDAL PLTA tersebut, karena ada masuk dalam hutan lindung bisa berdampak besar terhadap kerusakan lingkungan,” ujarnya.

Ini tulisan bagian satu dan akan dilanjutkan dengan judul Noktah Hitam di KEL Aceh “Dampak Lingkungan Hidup”

read more
Flora Fauna

YEL-SOCP Telah Lepaskan 105 Orangutan di Hutan Jantho

BANDA ACEH – Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) bersama Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, Senin (30/4/2018) melaksanakan kegiatan Focus Group Disscussion (FGD) tentang upaya pengamanan di Kawasan Konservasi Hutan Pinus Jantho.

Dalam FGD itu, YEL, Sumatran Orangutan Conservation Programme (SOCP) bekerjasama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh telah melepasliarkan 105 orangutan ke kawasan konservasi hutan pinus Jantho sejak tahun 2011.

“Dilepasliarkan dengan tujuan untuk membangun satu populasi baru spesies kera besar yang sangat terancam punah ini,” kata Koordinator Program YEL-SOCP Wilayah Aceh, TM Zulfikar, Selasa (1/5/2018).

Zulfikar mengatakan, sebagian kerja YEL-SOCP di Jantho adalah melakukan pemantauan Orangutan pasca pelepasliaran. Untuk mencapai target ini telah dibentuk tim khusus pemantauan yang melakukan penjagaan dan patroli di seluruh Kawasan Konservasi Hutan Pinus Jantho. Ini untuk memantau sebaran orangutan dan juga pemantauan ancaman terhadap kawasan dan keanekaragaman hayatinya.

Hasil dari kegiatan selama dua tahun terakhir, YEL-SOCP membuktikan bahwa masih terdapat berbagai ancaman di dalam kawasan konservasi Jantho, antara lain penebangan liar (illegal logging), perburuan satwa (rusa, rangkong beruang, dll), penangkapan satwa seperti burung hias, pembakaran lahan skala besar, serta beberapa bentuk kejahatan hutan dan lingkungan lainnya.

Untuk itulah YEL bersama BKSDA Aceh melaksanakan sebuah FGD tentang upaya pengamanan di Kawasan Konservasi Hutan Pinus Jantho. “Tujuan kegiatan ini adalah untuk meningkatkan dan menguatkan keamanan serta proses penegakan hukum terhadap pelanggar di Kawasan Hutan Konservasi Jantho,” kata Kepala BKSDA Aceh, Sapto Aji Prabowo.

Dari kegiatan FGD tersebut, semua pihak sepakat untuk melakukan aktivitas pengamanan bersama di Kawasan Konservasi Hutan Pinus Jantho. Adapun bentuk-bentuk kegiatan yang akan dilakukan antara lain yang bersifat Prevemtif, seperti upaya penciptaan kondisi yang kondusif dengan tujuan menentukan peran aktif masyarakat dalam pengamanan kawasan hutan dalam bentuk kegiatan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat akan pentingnya menjaga kawasan hutan konservasi.

Aktifitas lainnya yang akan dilakukan adalah langkah-langkah preventif, yakni kegiatan yang bertujuan untuk mencegah terjadinya gangguan keamanan, antara lain dengan membangun pos penjagaan, patroli secara rutin di kawasan konservasi.

Selain itu juga diharapkan proses penegakan hukum dapat dilaksanakan segera terutama untuk para pelaku kejahatan hutan dan lingkungan di kawasan Konservasi Hutan Jantho. Untuk itu peran aktif dan ketegasan pihak Kepolisian dan Kejaksaan sangat diharapkan.

Kegiatan FGD dihadiri oleh para pemangku kepentingan dan pelaku penegakan hukum seperti Pimpinan dan Staf BKSDA Aceh, Balai Penegakan Hukum (Gakkum) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Dinas LHK Aceh, KPH Wilayah I, Perwakilan Polda Aceh, Kodim 0101/AB, Polres Pidie dan Polres Aceh Besar, Polsek dan Koramil Jantho, Jantho Rangers, serta beberapa unsur NGO/LSM konservasi seperti FKL, FFI, HAkA dan YEL-SOCP.[acl]

read more
Hutan

KEL Masih Terus Dirusak Oleh Perusahaan Sawit

BANDA ACEH – Perusahaan kepala sawit di Aceh secara umum masih saja menjadi penyebab utama kebakaran hutan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Meskipun telah dikeluarkannya instruksi dari Presiden Indonesia, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta surat dari Gubernur Aceh tentang moratorium, namun laju deforestasi tetap terjadi.

Berdasarkan penelitian lapangan yang dilakukan oleh Rainforest Action Network (RAN) menemukan fakta di wilayah Singkil-Bengkung yang masuk KEL masih saja terjadi pembukaan lahan baru. Padahal Presiden sudah mengeluarkan moratorium ekspansi sawit dan review izin untuk menghentikan pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit di KEL.

Lokasi tersebut merupakan kawasan rawa gambut hutan padat yang menjadi hot spot keanekaragaman hayati dunia atau sebuah kawasan yang dikenal sebagai ‘ibukota orangutan dunia’, karena berfungsi sebagai rumah bagi spesies kera besar yang terancam punah.

Hutan dataran rendah yang subur ini juga diakui oleh para ilmuwan iklim sebagai salah satu lanskap paling kaya karbon di bumi, yang ketika dikeringkan dan dibakar akan menghasilkan polusi dalam skala besar pada lapisan atmosfer, seperti catatan kebakaran lahan gambut yang terjadi di provinsi Aceh pada bulan Februari tahun ini.

Direktur Kebijakan Hutan,  Rainforest Action Network RAN), Gemma Tillack, mengatakan, aktifitas perusakan hutan ini terbukti terjadi dalam kawasan konsesi perkebunan kelapa sawit PT. Laot Bangko, saat ini juga masih sedang berkonflik dengan masyarakat terkait lahan.

Periode 25 Mei hingga Desember 2017 ada 13 hektar lahan dalam konsesi dibuka, meskipun sempat terhenti beberapa bulan. Namun aktivitas tersebut kembali dilanjutkan pada Januari 2018 lalu dengan membuka 4 hekar lahan baru.

“Pada Februari 2018, titik api juga ditemukan dalam lokasi tersebut menunjukkan bahwa kondisi hutan tetap terancam,” kata Gemma Tillack.

Sementara itu PT. Indo Sawit Perkasa (PT. ISP) pada awal tahun 2017 sempat diprofilkan sebagai salah satu pelaku perusakan hutan di wilayah Singkil-Bengkung. Hingga Maret 2018 masih melakukan aktivitas pembukaan lahan dengan menghancurkan hutan hujan dataran rendah dalam KEL.

“Bukti satelit menunjukkan bahwa PT. ISP telah menghancurkan lebih dari 67 hektar hutan,” jelasnya.

Menurutnya, hingga sekarang kelapa sawit masih diterima di pasar global dengan cara mengorbankan hutan dan melanggar hak asasi manusia. Maka solusi jangka panjang akan sulit ditemukan dalam menyelesaikan konflik lahan dan mengamankan perlindungan KEL.

Untuk mengintervensi jangka panjang agar tidak merusak hutan. Dibutuhkan intervensi oleh para pembeli dan distributor kelapa sawit, agar perusahaan penyuplai seperti PT. Indomas Mitra Teknik, PT. Samudra Sawit Nabati, PT. Bangun Sempurna Lestari, PT. Global Sawit Semesta, PT. Runding Putra Persada, PT. Nafasindo dan PT. Ensem Lestari tidak merusak hutan.

“Pabrik-pabrik ini perlu mengadopsi dan menegakkan kebijakan agar tidak memasok kelapa sawit dari perkebunan yang menghancurkan hutan di dalam Ekosistem Leuser dan gagal menyelesaikan konflik lahan,” tegasnya.

Gemma Tillack menilai butuh komitmen semua pihak untuk menghentikan semua pembukaan lahan untuk kelapa sawit, serta komitmen yang dibuat oleh Golden Agri Resources (GAR), Wilmar dan Musim Mas untuk memprioritaskan upaya perlindungan Ekosistem Leuser dan menghentikan pembukaan hutan hujan dataran rendah dan lahan gambut di wilayah Singkil-Bengkung.

Gemma menghimbau agar perusahaan pemasok kelapa sawit seperti Wilmar, Musim Mas dan Golden Agri Resources (GAR) untuk segera menghentikan merusak  KEL. Termasuk segera menyelesaikan konflik lahan serta mendorong perlindungan hutan berbasis masyarakat dan mendukung usaha pemulihan hutan hujan di dataran rendah Aceh.[]

read more
HutanKebijakan Lingkungan

DPR Aceh Akan Revisi Qanun RTRW untuk Selamatkan Hutan

BANDA ACEH – Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) tahun 2018 ini sudah memasukkan rencana revisi Qanun Nomor 19 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RT-RW). Revisi direncanakan memasukkan nomenklatur Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dalam qanun tersebut.

Qanun RT-RW sudah disahkan oleh Pemerintah Aceh tahun 2013 lalu. Setelah qanun ini disahkan mendapat sorotan dan kritikan bahkan qanun RT-RW sempat digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh dan Gerakan Masyarakat Aceh Menggugat (GeRAM) tahun 2016 lalu.

Namun, perjuangan beberapa lembaga yang konsen terhadap lingkungan kandas di MK. Majelis hakim saat yang dipimpin oleh Agustinus Setia Wahyu Triwiranto didampingi hakim anggota Partahi Tulus Hutapea dan Casmaya Patah menolak gugatan KEL yang tak masuk dalam RT-RW Aceh.

Putusan tersebut dibacakan tanggal 29 November 2016 lalu, majelis hakim menilai Qanun RT-RW Aceh tidak perlu menyebutkan secara eksplisit tentang KEL Aceh. Alasan lain majelis hakim, proses pembuatan qanun sudah dilakukan secara prosedur dan aturan yang ada. Sehingga Qanun tersebut tidak dibatalkan dan masih dipergunakan hingga saat ini.

Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh menilai tidak masuknya KEL dalam qanun RT-RW Aceh sejak 2012-2018 sarat dengan kepentingan agar cukong dan mafia lebih mudah menguasai hutan, baik untuk perkebunan maupun pertambangan.

Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani, SH menyebutkan, bila ingin terbuka, tidak masuknya nomenklatur KEL dalam qanun RT-RW Aceh telah membuat banyak kerugian materil. Diperkirakan sejak disahkan qanun tersebut kerugian materil bisa mencapai Rp 5 triliun lebih.

“Angka ini dilihat dari rasio kayu yang keluar, kemudian bentang alam yang rusak, konflik satwa, pertambangan ilegal, hingga banyak kerugian material,” kata Askhalani, Selasa (24/4) di Banda Aceh.

Menurutnya, dampak yang terjadi paska tidak masuknya KEL dalam Qanun RT-RW, perambahan hutan meningkat, penambangan ilegal terjadi hingga terjadi konflik satwa dengan manusia semakin sering terjadi. Kerugian negara akan lebih besar dibandingkan kalau pemerintah mau melakukan proteksi melalu regulasi.

“Suatu langkah maju dan luar biasa kalau DPRA hendak melakukan revisi RT-RW Aceh memasukkan nomenklatur KEL, ini bisa mencegah kerugian negara,” tegasnya.

Berdasarkan data dari Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA), KEL merupakan hutan tropis yang membentang di 13 kabupaten/kota di Aceh luas mencapai 2.255.577 Ha, mencakup 40 persen total luas Aceh berdasarkan SK Menhut No.190/Kpts-II/2001.

Paska disahkannya qanun RT-RW yang tidak memasukkan nomenklatur KEL telah berkontribusi terjadi deforestasi sejak 2014-2017 mencapai 31.117 hektar. Kemudian kembali meningkat sejak 2016-2017 mencapai 7.006 hektar.

Adapun laju deforestasi dalam KEL yang paling tinggi berada di Kabupaten Aceh Selatan. Pada tahun 2016 lalu hutan di Aceh Selatan 299,723 hektar, turun menjadi 297,904 hektar, ada mengalami kehilangan sebesar 1.819 hektar.

Peringkat kedua kehilangan hutan yang masuk dalam KEL yaitu Kabupaten Aceh Timur. Pada tahun 2016 lalu hutan di Aceh Timur yang masuk KEL seluas 233.863 hektar, turun menjadi 232.635 pada tahun 2017, mengalami kehilangan hutan seluas 1.229 hektar.

Sedangkan kabupaten peringkat ketiga mengalami kehilangan hutan yaitu di Nagan Raya tahun 2016 luas hutan mencapai 128.357 hektar, turun pada tahun 2017 tersisa 127.375 hektar, atau susut 982 hektar. Gayo Lues hanya susut 660 hektar dari luas hutan tahun 2016 lalu 402.073 dan turun pada tahun 2017 tersisa 401.413 hektar.

Kondisi inilah yang kemudian banyak masyarakat sipil menaruh harapan besar agar nomenklatur KEL kembali dimasukkan dalam qanun RT-RW. Sehingga dengan adanya proteksi oleh pemerintah melalui regulasi, laju deforestasi, konflik satwa, perambahan hutan hingga ancaman banjir bisa dimininalisir.

Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) telah memasukkan revisi qanun RT-RW sejak awal 2018 menjadi qanun prioritas dibahas tahun ini. DPRA menilai, revisi qanun RT-RW sudah saatnya dilakukan, karena ada banyak yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan Aceh saat ini. DPRA menilai ada poin-poin penting yang harus direvisi dan ditambah nomenklatur lainnya seperti memasukkan KEL dalam qanun tersebut.

“Benar, revisi dari qanun Aceh, sudah kita prioritas tahun 2018. Perlu direvisi dengan perkembangan terkini sehingga 2018 qanun tersebut perlu kita lakukan revisi, ada poin-poin kalau kita lihat dengan kekinian Aceh,” kata Ketua DPRA, Tgk Muharuddin.

Katanya, bila dilihat ada sejumlah persoalan yang harus direvisi, seperti tapal batas, masalah KEL yang masih perlu dikaji lebih mendalam untuk dimasukkan dalam qanun, sehingga diharapkan qanun RT-RW bisa lebih sempurna nantinya.

“Sudah kita tunjuk tim pembahasnya, semoga nanti teman yang peduli dengan lingkungan bisa memberikan kontribusi yang lebih, kita harapkan melalui regulasi ini qanun akan bermanfaat untuk masyarakat,” tegasnya.

Selain revisi qanun RT-RW, Tgk Muharuddin juga menyebutkan ada memasukkan qanun inisiatif DPRA yaitu tentang qanun Perlindungan Satwa Liar di Aceh. Qanun tersebut saat ini juga sudah ditunjuk tim pembahasnya.

“Barang kali dikawal bersama-sama qanun ini, yang jelas sudah kita tetapkan dan sedang dibahas,” jelasnya.

Menurut Tgk Muharuddin, penting dibuat qanun Perlindungan Satwa Liar untuk melindungi satwa-satwa dilindungi itu dari kepunahan. Selama ini DPRA sudah sering menerima masukan dan informasi, perburuan satwa dilindungi masih marak terjadi, seperti memburu harimau, gajah dan sejumlah satwa lainnya.

Rencana revisi qanun RT-RW dan adanya qanun inisiatif DPRA tentang Perlindungan Satwa Liar di Aceh menjadi era baru untuk menyelamatkan khususnya KEL pada khususnya, hutan Aceh secara umum. Termasuk bisa mencegah terjadi konflik satwa, perdagangan satwa yang dilindungi hingga ancaman kepunahan dan bencana alam bisa terhindari.[]

 

read more
Flora FaunaKebijakan Lingkungan

Membangun Barrier Perlindungan Gajah Sumatera

Laju deforestasi semakin mengkhawatirkan di Aceh membuat habitat satwa gajah sumatera (Elephas maximus sumatraensis) semakin memprihatinkan. Konflik satwa gajah dengan manusia, perebutan ruang hidup, semakin marak terjadi hingga telah membuat hewan bertubuh besar ini terancam punah.

Ditambah minimnya komitmen pemerintah telah menghambat dilakukan pencegahan konflik ini. Pola pencegahan jangka menengah seperti membangun barrier gajah harus terintegrasi antara satu kabupaten dengan kabupaten lainnya. Namun hal tersebut belum terlaksana dengan baik, karena ada kabupaten yang belum menyambut baik program barrier.

Konflik satwa gajah di Aceh marak terjadi kurun waktu 10 tahun terakhir. Padahal sebelumnya masyarakat dan satwa, khususnya gajah sumatera bisa hidup berdampingan dengan masyarakat, tanpa terusik satu sama lain.

Namun sekarang satwa yang dilindungi ini semakin berkonflik antara manusia dan satwa gajah. Akibatnya tak dapat dihindari gajah sering masuk ke pemukiman warga dan juga mengobrak-abrik perkebunan produktif masyarakat.

Sebut saja misalnya di Kecamatan Mila, Kecamatan Keumala, Kecamatan Tangse khususnya di Gampong Cot Wieng Kabupaten Pidie telah banyak mengalami kerugian material. Selain itu terjadi konflik satwa gajah di Bener Meriah, Aceh Tengah, Aceh Utara, Aceh Timur dan juga di sejumlah kabupaten lainnya yang berujung memakan korban jiwa.

Konflik satwa ini tidak terlepas maraknya perambahan hutan yang tak terkendali sejak masa rehabilitasi dan rekontruksi Aceh paska dilanda gempa dan tsunami 24 Desember 2004 lalu. Saat itu Aceh sedang membangun tentunya membutuhkan banyak kayu untuk membangun berbagai infrastruktur.

Ditambah lagi pembalakan liar hingga masuk ke hutan lindung telah berkontribusi besar terjadinya konflik satwa. Belum lagi pembukaan lahan baru untuk kebutuhan perluasan perkebunan sawit yang telah memantik konflik satwa gajah tersebut.

Aceh merupakan daerah populasi Gajah Sumatera terbanyak dari sejumlah provinsi lainnya di Sumatera. Saat ini ada sekitar 539 individu gajah lebih masih tersisa di hutan Aceh. Taksiran bisa lebih meningkat, karena ada ditemukan anak-anak gajah yang sudah lahir di habitatnya.

Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh telah berupaya untuk melakukan pencegahan dan perlindungan satwa gajah agar terlindungi. Seperti melakukan pencegahan dan penggiringan kembali satwa tersebut ke habitannya menggunakan gajah terlatih yang sudah jinak.

Namun semua upaya itu selalu tak efektif dan gajah tetap saja kembali memasuki perkampungan dan perkebunan warga.  Ini akibat manusia telah mengganggu habitatnya dengan maraknya pembalakan liar yang tak terkendali mengakibatkan hutan rusak.

Berdasarkan data perhitungan Badan Pusat Statistik (BPS) luas Aceh 5.677.081 hektar. Dari luas Aceh tersebut Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) menghitung ada 53 persen merupakan hutan yaitu seluas 3.557.928 hektar.

Pada tahun 2017 luas hutan Aceh yang tersisa  3.019.423 Ha, mengalami deferostasi pada tahun 2016-2017 sebesar 17.820 Ha. Sedangkan hutan lindung di Aceh yang menjadi habitat satwa gajah dan lainnya mencapai 1,790,200 hektar.

Kondisi hutan lindung ini semakin menyusut setiap tahunnya. Pada tahun 2016 hutan lindung di Aceh mengalami deforestasi tersisa 1,626,108 hektar, tahun 2017 terus meningkat 1,621,290 hektar. Pada tahun 2016-2017 hutan lindung mengalami deforestasi sejumlah 4,818 hektar.

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, Sapto Aji Prabowo mengatakan, semakin susutnya habitat gajah akibat dari perambahan hutan semakin sering terjadi konflik satwa gajah dan juga kematian hewan bertubuh besar ini juga tak dapat dihindari.

Berdasarkan data BKSDA Aceh, Sapto menyebutkan pada tahun 2012 ada 12 ekor gajah tewas, 2013 hanya 11 gajah, tahun 2014 kembali meningkat menjadi 13 ekor, tahun 2015 sebanyak 14 ekor dan tertinggi kurun wakt enam tahun ini, 2016 hanya 4 ekor gajah liar dan 1 ekor jinak dan terakhir 2017 ada 11 ekor gajah liar, satu jinak dan satu janin gajah.

Kendati demikian kabar gembiranya sebagaimana disampai oleh Sapto, ada kelompok-kelompok gajah di Bener Meriah, Pidie Aceh Timur ada bekas-bekas atau tanda-tanda kelahiran gajah. Namun tentunya tidak sebanding dengan angka kematian gajah yang terjadi di Aceh akibat habitatnya terganggu oleh ulah manusia sendiri.

Untuk mencegah konflik satwa dengan manusia dan mencegah semakin susut jumlah hewan dilindungi ini di hutan Aceh. BKSDA Aceh telah berupaya langkah-langkah strategis seperti pencegahan dalam jangka menengah.

“Sedangkan jangka pendek sudah sangat sering kita lakukan dengan menggiring gajah liar dengan gajah jinak ke habitatnya,” kata Sapto Aji Prabowo.

Namun upaya itu tentu tidak cukup bisa mencegah konflik gajah dengan manusia. Demikian juga belum efektif bisa mencegah kematian gajah di hutan Aceh dengan program jangka pendek. Jangka pendek ini hanya mencegah sementara dan tidak bisa berkelanjutan.

Untuk mencegah konflik satwa dan meminimalisir kematian gajah dibutuhkan upaya penanggulangan jangka menengah dan jangka panjang. Jangka menengah sudah dilakukan saat ini dengan membangun barrier gajah untuk membatasi antara koridor gajah dengan pemukiman dan perkebunan warga.

Di kabupaten Aceh Jaya sekarang sudah dibangun barirer gajah seluas 230 ribu hektar, di Aceh Timur sedang dibangun 41 kilometer dan di Bener Meriah ada sekitar 1000 hektar.

Tentunya menurut Sapto, pembangunan barrier gajah ini belum efektif, karena keberadaan gajah tidak mengenal administrasi. Harus dibangunan secara berintegrasi antara satu kabupaten dengan kabupaten lainnya.

Sapto memberikan contoh, pembangunan barrier antara Kabupaten Aceh Timur harus diikuti juga dengan Kabupaten Aceh Utara. Demikian juga Kabupaten Bireuen dengan Bener Meriah. Bila tidak, makanya akan terputus dan gajah yang sedang berimigrasi akan kembali masuk ke pemukiman dan perkebunan warga.

“Membuat barrier itu harusnya terintegrasi satu wilayah dengan wilayah lainnya. Karena gajah itu tidak mengenal administrasi, mereka gak ada KTP (Kartu Tanda Penduduk),” sebutnya.

Oleh karena itu butuh komitmen semua kabupaten yang masuk dalam lintasan migrasi gajah. Bila tidak, kendati pun sudah dibangun barier gajah di suatu daerah, maka akan terputus dengan daerah tetangganya yang tidak melanjutkan pembangunan barier gajah tersebut, sehingga konflik satwa gajah kembali terjadi.

Sementara untuk program jangka panjang, kata Sapto, maka Aceh membutuhkan Kawasan Ekosistem Esensial. Dengan ada kawasan tersebut, konflik dan kematian gajah bisa dihindari.

Dalam Kawasan Ekosistem Esensial ini pemerintah harus membuat aturan bila masuk dalam hutan produksi, agar tidak menanam pohon yang mengundang datangnya gajah. Seperti sawit dan sejumlah tumbuhan lainnya yang menjadi makanan empuk gajah.

Akan tetapi, lebih baik ditanam seperti cengkeh, pala, coklat atau tanaman lainnya. Sehingga dengan adanya program jangka panjang ini konflik satwa gajah dengan manusia bisa dicegah dan populasi gajah di hutan Aceh bisa terselamatkan.

“Kalau dalam hutan ditanam sawit, itu sama saja kita mengundang gajah, karena itu memang pakannya gajah,” tukasnya.

Sapto berharap kepada seluruh kabupaten/kota agar bisa membangun barier secara berintegrasi. Sehingga konflik satwa gajah di Aceh bisa dicegah dan kematian gajah bisa ditekan hingga satwa dilindungi ini bisa selamat hingga ke anak cucu masa yang akan datang.

read more
1 2 3 4 5
Page 3 of 5