close

Afifudin Acal

HutanKebijakan Lingkungan

HAkA Prediksi Hutan Rawa Tripa Akan Punah

BANDA ACEH – Nagan Raya menjadi kabupaten terparah dan terusak areal tutupan hutannya berdasarkan data citra satelit yang dikeluarkan oleh Yayasan HAkA, periode Januari – Juni 2018 yaitu seluas 627 hektare.

Kawasan Gambut Rawa Tripa yang berada di Kecamatan Darul Makmur, Nagan Raya pun kini sangat memprihatinkan dan terancam hilang. “Rawa Tripa dikhawatirkan akan habis dalam beberapa waktu ke depan,” kata Manager Geographic Information System (GIS) HAkA, Agung Dwinurcahya, Senin (23/7/2018) di Banda Aceh.

Menurut Agung, laju deforestasi di Rawa Tripa yang terjadi tahun ke tahun berada di lokasi yang sama, yaitu di arah timur dan selatan hutan. Pengrusakannya juga terjadi di wilayah hulu, penghancuran hutan itu mengikis kawasan hutan.

“Sebagian besar kerusakan hutan di Nagan Raya memang berada di dalam Kawasan Gambut Rawa Tripa,” kata Agung.

Mirisnya, tutupan hutan di wilayah yang pernah dikenal sebagai tempat populasi Orangutan terpadat dunia ini pun terus menurun. Penyebab utamanya, karena semakin maraknya perambahan hutan untuk dijadikan lahan perkebunan.

Padahal, Kabupaten Nagan Raya termasuk dalam daftar kabupaten yang memiliki hutan sisa terluas di KEL. Selain Nagan Raya, kabupaten lain yang memiliki hutan sisa terluas yaitu Gayo Lues, Aceh Tenggara, Aceh Timur, dan Aceh Selatan.

Menurut Agung, sebagaimana terpantau melalui NASA dan satelit VIIRS dan MODIS. Kerusakan hutan khususnya Rawa Tripa, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya terjadi setiap bulannya sejak Januari-Juni 2018.

“Lama-lama Rawa Tripa tempatnya Orangutan bisa habis kalau tak segera dicegah,” jelasnya.

Sementara itu staf Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), Teuku Muhammad Zulfikar menilai, penting menjaga Rawa Tripa mengingat lahan gambut tersebut memberikan fungsi-fungsi ekologis yang sangat penting bagi manusia dan habitatnya.

Lahan gambut Rwa Tripa merupakan lahan untuk penyimpanan air yang bisa dipergunakan untuk kehidupan manusia. Selain itu juga bisa untuk perlindungan badai dan pencegahan banjir, stabilisasi garis pantai dan pengontrol erosi.

Tak hanya itu, fungsi ekologis lahan gambut Rawa Tripa menjadi pengisian air tanah (pergerakan air tanah dari lahan basah ke daerah atasnya), pengeluaran air tanah (pergerakan dari lahan sebelah atas ke lahan basah di sebelah bawah) hingga pemurnian air, penahan/pengumpul nutrien, penahan/pengumpul sedimen dan penahan/pengumpul bahan-bahan berpolusi.

Lahan gambut Rawa Tripa itu juga sangat berfungsi menstabilkan kondisi iklim lokal, khususnya curah hujan dan temperatur,” tegas Teuku Muhammad Zulfikar.

Sedangkan nilai manfaat lainnya hutan gambut Rawa Tripa yang lebih spesifik di pesisir pantai Barat Aceh adalah menjadi benteng alami penahan tsunami.

Lalu kontribusinya dalam mencegah perubahan iklim melalui penyerapan CO2 dan penyimpanan karbon sesuai dengan “Kyoto protocol” yang sudah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan target untuk menghentikan kehilangan keanekaragaman hayati.

“Karena hutan rawa gambut ini adalah salah satu yang sangat berharga di dunia  karena keunikan dan kekayaan flora dan faunanya,” sebutnya.

Rawa Tripa juga melestarikan sebagian besar populasi Orangutan Sumatera yang tersisa 30 persen dari 7000 di dunia yang sekarang berstatus critically endangered. Penyelamatan spesies ini adalah tujuan utama oleh Pemerintah Indonesia, ketika menandatangani the Kinshasa Great Apes Declaration pada bulan September 2005 lalu.

Kata Teuku Muhammad Zulfikar, penting mendorong upaya pengelolaan kawasan gambut Rawa Tripa sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut dan disempurnakan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.

“Perlu ada model pengelolaan ekosistem gambut lainnya di Provinsi Aceh yang inklusif dan melibatkan masyarakat serta berbagai multipihak secara aktif dan terbuka untuk mencapai tujuan yang diharapkan,” herapnya.

Dengan adanya pengelolaan ekosistem gambut Rawa Tripa, bisa menstabilkan atau bertambahnya tinggi permukaan air, serta terselamatkannya populasi orangutan dengan pulihnya habitat. Maka perlu terus mendorong percepatan pengembalian fungsi kawasan, yang juga sebagai faktor penting sebagai penyedia jasa lingkungan bagi masyarakat Aceh.

read more
Flora Fauna

Satwa Liar KEL Terancam Jerat Pemburu Ilegal

Banda Aceh – Seiring semakin menyempitnya areal tutupan hutan di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) Aceh, ancaman terhadap habitat satwa liar dilindungi semakin meningkat. Konflik satwa liar dengan manusia pun tak dapat dihindari. Sejumlah lembaga melakukan pemantauan terhadap habitat satwa liar tersebut.

Manajer Database Forum Konservasi Leuser (FKL), Ibnu Hasyem mengatakan, mereka memiliki 24 tim ranger yang bertugas patroli di hutan 11 kabupaten. Selama semester pertama tahun 2018 ini sudah 139 kali patroli dilakukan dengan jangkauan patroli mencapai 7.834,44 kilometer.

KEL Aceh masuk dalam 13 kabupaten/kota di Aceh dengan total luas 2,25 juta hektar dan sisanya saat ini sebesar 1,8 juta hektar. KEL berada di Kabupaten Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Singkil, Subussalam, Aceh Tenggara, Gayo Lues, Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Utara, Aceh Timur dan Aceh Tamiang.

Berdasarkan pemantauan yang dilakukan Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) menggunakan teknologi penginderan jarak jauh dari citra satelit. Untuk periode Januari-Juni 2018 ditemukan kerusakan hutan di KEL Aceh sebesar 3.290 hektar.

Ada banyak satwa terdapat di sana, seperti badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), harimau (Panthera tigris sumatrae), gajah (Elephas maximus sumatraensis) dan orangutan (Pongo abelii). Bila laju kerusakan terus meningkat, hewan yang dilindungi ini juga semakin terancam, baik akibat pemburuan maupun kehilangan habitat sehingga terjadilah konflik satwa dengan manusia.

KEL juga berperan dalam mitigasi perubahan iklim, pencegahan bencana alam dan rumah bagi fauna dan flora yang beranekaragam. Ada 8500 spesies tumbuhan, 105 spesies mamalia dan 382 spesies burung. KEL merupakan tempat terakhir di bumi yang memiliki empat jenis satwa terancam punah dan hidup secara bersamaan.

Sejak periode Januari-Juni 2018, tim patroli FKL menemukan 389 kasus pemburuan dan menemukan 25 orang pemburu. Pihaknya juga menyita 497 jerat yang telah dipasang di beberapa titik di hutan dalam KEL Aceh untuk memburu satwa landak, rusa, kijang, beruang, harimau, dan gajah. Selain itu, mereka turut menemukan sebanyak 25 kamp pemburu.

“Wilayah perburuan relatif sama dengan wilayah yang terjadi perambahan, pembalakan, dan perusakan hutan. Tetapi pemburuan lebih masuk ke dalam hutan,” kata Ibnu Hasyem.

Kata Ibnu, selama semester satu tahun 2018, FKL menemukan 187 kasus satwa dari 497 perangkap yang ditemukan. Berdasarkan jenis satwa, burung ditemukan 41 ekor dengan jumlah jerat sebanyak 59.

Lalu rusa, kijang dan kambing ada 65 ekor dengan jumlah jerat 179 buah. Landak sebanyak 68 hewan dengan jumlah perangkap sebanyak 224 jerat, gajah 9 hewan dan 9 jerat dan harimau dan beruang sebanyak 4 satwa dengan jumlah 6 perangkap.

Lanjutnya, pada periode ini juga ditemukan sebanyak 61 satwa ditemukan mati akibat perburuan maupun mati alami. Pihaknya juga menemukan seekor harimau dan gajah mati akibat perburuan di KEL Aceh.

Sedangkan kamp pemburu yang ditemukan langsung dimusnahkan oleh tim ranger yang sedang berpatroli. Kata Ibnu, biasanya pemburu awalnya berburu di pinggir hutan, namun setelah itu mereka mencoba untuk masuk lebih ke dalam hutan.

“Sedangkan yang ditemukan masih hidup langsung kita lepaskan kembali,” jelasnya.

Penulis : Habil Razali/Afifuddin Acal

read more
HutanKebijakan Lingkungan

Hutan Lindung KEL Alami Kerusakan Paling Tinggi

Banda Aceh – Laju kerusakan hutan di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) Aceh semakin tinggi. Setiap bulannya kerusakan terus terjadi akibat adanya perambahan hutan. Hutan yang awalnya seluas 2.255.577 hektar, pada Juni 2018 tersisa sekitar 1,8 juta hektar. Periode Januari – Juni 2018, luas tutupan hutan yang hilang diperkirakan seluas 3.290 hektar.

Manager Geographic Information System  (GIS) Yayasan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA), Agung Dwinurcahya mengatakan tutupan hutan KEL Aceh terus berkurang akibat berbagai kegiatan ilegal. Namun, menurutnya pembangunan jalan di dalam areal hutan lindung juga menjadi salah satu penyebab terjadinya kerusakan hutan.

Padahal KEL Aceh merupakan kawasan hutan tropis yang sangat berperan menyimpan cadangan air dan juga pengendalian iklim mikro. Perlindungan hutan tersebut berguna untuk keberlangsungan hidup manusia dan melindungi spesies-spesies yang harus memiliki skala prioritas untuk dikonservasi.

KEL juga berperan dalam mitigasi perubahan iklim, pencegahan bencana alam dan rumah bagi fauna dan flora yang beranekaragam. Ada 8500 spesies tumbuhan, 105 spesies mamalia dan 382 spesies burung.

KEL juga tempat terakhir di bumi dimana Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), Harimau (Panthera tigris sumatrae), Gajah (Elephas maximus sumatraensis) dan Orangutan (Pongo abelii) berada bersama di alam bebas. Bila laju kerusakan terus meningkat, hewan yang dilindungi ini juga semakin terancam, baik akibat pemburuan maupun kehilangan habitat sehingga terjadilah konflik satwa dengan manusia.

Berdasarkan pantauan Yayasan HAkA melalu NASA dan satelit VIIRS dan MODIS, kerusakan hutan di dalam KEL periode Januari – Juni 2018 seluas 3.290 hektare. Angka ini relatif menurun dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2017 seluas 3.780 hektare, dan meningkat dibanding periode Juli – Desember 2017 seluas 3.095 hektare.

Kerusakan areal tutupan hutan itu terjadi merata di 13 kabupaten di Provinsi Aceh yang masuk dalam KEL Aceh. Namun, Agung menyebutkan terdapat tiga kabupaten dengan kerusakan dan luas hutan yang hilang paling parah pada periode Januari – Juni 2018.

Tiga kabupaten itu yaitu Kabupaten Nagan Raya (627 hektare), Aceh Timur (559 hektare), dan Gayo Lues (507 hektare). Data tersebut diperoleh oleh Yayasan HAkA melalui citra satelit setiap harinya.

“Dari data itu baru kemudian dibuat peta panduan monitoring yang di-update setiap bulan untuk dicek oleh teman lapangan. Dari hasil cek lapangan dibuatlah peta hasil monitoring. Datanya berupa foto, database, dan titik koordinat,” kata Agung.

Hutan Lindung Tertinggi Deforestasi

Kawasan Hutan Lindung (HL) di KEL Aceh menjadi kawasan hutan yang mengalami penghancuran dan pengurangan areal tutupan hutan paling tinggi seluas 615 hektar. Selanjutnya yaitu Hutan Produksi (HP) dengan deforestasi seluas 525 hektare, dan Taman Nasional seluas 368 hektar Hutan Produksi Terbatas 263 hektar, Suaka Margasatwa 96 hakter dan Taman Baru 24 hektar.

Sementara kawasan fungsi hutan yang mengalami kerusakan paling parah terjadi di Kabupaten Gayo Lues, seluas 433 hektar. Disusul Aceh Timur 290 hektar, dan Aceh Tenggara 222 hektar. Total kerusakan hutan di kawasan hutan mencapai 1.891 hektare

Ilegal Logging Faktor Utama Deforestasi

Kerusakan areal tutupan hutan KEL Aceh seluas 3.290 hektare pada periode Januari – Juni 2018 diakibatkan oleh berbagai kegiatan ilegal. Koordinator Monitoring Forum Konservasi Leuser (FKL), Tezar Pahlevie menyebutkan ada tiga faktor utama menjadi penyebab laju deforestasi di KEL, yaitu pembalakan liar, perambahan, dan pembukaan akses jalan.

“Berdasarkan data ground checking atau cek lapangan selama enam bulan oleh 12 tim monitoring lapangan FKL di 13 kabupaten dalam KEL, terdapat 1.892 kasus aktivitas ilegal,” kata Tezar.

Bahkan, kata dia, tim monitoring turut menemukan 63 kamp pembalak liar dan 53 kamp perambah hutan. Tezar mengatakan menemukan 1048 kasus pembalakan liar, menyita sebanyak 2.102,69 meter kubik kayu ilegal, dan bertemu dengan 25 orang pembalak kayu ilegal. Sementara perambahan liar sebanyak 779 kasus seluas 3623 hektare.

Pembangunan jalan tembus menurut Tezar, juga menjadi alasan berkurangnya tutupan hutan. Tim monitoring FKL menemukan sebanyak 65 kasus kerusakan hutan akibat pembangunan jalan seluas 105,55 kilometer di dalam KEL. Misalnya jalan tembus Pining – Lesten di Kabupaten Gayo Lues.

“Jalan ke Lesten misalnya tempat dibangun PLTU Tampur I, buat apa jalan, sedangkan penduduk di Lesten nanti akan direlokasi,” kata Sekretaris HAkA, Badrul Irfan.

Menurut dia, HAkA bukan anti terhadap pembukaan jalan tembus. Akan tetapi setiap ada pembangunan jalan baru harus dipertimbangkan untung dan ruginya. Apakah lebih menguntungkan atau mengalami kerugian.[]

Penulis : Habil Razali/Afifuddin Acal

read more
Kebijakan Lingkungan

Irwandi Cabut Surat Rekomendasi Izin HGU PT Cemerlang Abadi

BANDA ACEH – Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf akhirnya mengeluarkan surat pencabutan surat rekomendasi izin Hak Guna Usaha (HGU). Langkah tegas ini diambil mengingat Plt Gubernur Aceh sebelumnya, Soedarmo telah mengeluarkan surat rekomendasi tersebut.

Surat tersebut nomor 590/18740 tertanggal 26 Juni 2018 itu ditujukan kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Republik Indonesia. Perihal surat itu meminta kepada kedua kementerian tersebut untuk menolak perpanjangan izin HGU yang diajukan oleh PT Cemerlang Abadi.

Sebelumnya Plt Gubernur Aceh, Soedarmo saat memimpin Aceh waktu Pilkada tahun 2016 lalu, pada tanggal 20 Desember 2016 mengeluarkan surat dengan Nomor 525/BP2T/2657/2016, perihal Rekomendasi Perpanjangan HGU PT Cemerlang Abadi.

Juru Bicara Pemerintah Aceh, Saifullah A Gani membenarkan bahwa Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf telah mengeluarkan surat tersebut. Surat itu langsung ditujukan kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Republik Indonesia, meminta agar tidak memperpanjang HGU milik PT Cemerlang Abadi.

“Saya sudah cek kebenaran surat itu, benar bapak Gubernur sudah mengeluarkan surat itu,” kata Saifullah A Gani yang akrap disapa SAG, Rabu (27/6/2018) di Banda Aceh.

Dalam surat tersebut yang dikeluarkan tanggal 26 Juni 2018 – ditandatangani langsung oleh Irwandi Yusuf menyebutkan, pertimbangan mencabut rekomendasi perpanjangan HGU PT Cemerlang Abad, karena HGU sudah berakhir sejak 31 Desember 2017 dan hingga sekarang belum mendapatkan perpanjangan.

Selain itu, Bupati Aceh Barat Daya (Abdya), Akmal Ibrahim juga telah mengeluarkan surat Nomor 590/243/2018 tanggal 19 Maret 2018 tentang penolakan perpanjangan HGU PT Cemerlang Abadi. Lalu diperkuat dengan surat Gubernur Aceh Nomor 590/6993 tanggal 21 Februari 2018 perihal pembatalan izin HGU PT Cemerlang Abadi.

“PT Cemerlang Abadi selama 30 tahun telah menelantarkan lahan HGU dan tidak melaporkan perkembangan usaha secara berkala setiap semester kepadal dinas terkait,” ungkap SAG.

Hal yang mendasar lain, mengapa Gubernur Aceh mengeluarkan surat pencabutan rekomendasi perpanjangan HGU PT Cemerlang Abadi, SAG menyebutkan, selama ini perusahaan sawit tersebut tidak melakukan kegiatan kemitraan usaha perkebunan sebagaimana tercantum dalam pasal 57 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang perkebunan.

Lebih parah lagi, perusahaan tersebut juga tidak melakukan kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR) sebagaimana perintah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang perseroan terbatas.

Oleh karena itu, sebut SAG, Gubernur Aceh meminta kepada kedua kementerian tersebut agar permohonan perpanjangan HGU PT Cemerlang Abadi yang telah diajukan tidak dikabulkan.

Koalisi Tolak HGU PT Cemerlang Abadi dari 7 lembaga di Aceh sebelumnya telah melaporkan perusahaan tersebut ke Direktorat Kriminal Khusus (Ditkrimsus) Polda Aceh, Rabu (23/5). Koalisi berharap polisi bisa bergerak cepat untuk memproses kasus ini sampai tuntas.

Dilaporkannya perusahaan sawit itu karena ada 269 hektar lahan yang kembali digarap dengan menggunakan dua ekskavator. Ini sudah dilakukan sejak awal tahun 2018. PT Cemerlang Abadi melakukan Land Clearing (pembersihan lahan) di HGU yang sudah berakhir.

“Penolakan terhadap perpanjangan izin HGU milik PT Cemerlang Abadi sudah berlangsung lama. Sejak 2015, arus penolakan sudah dilakukan oleh masyarakat maupun pemerintah kabupaten setempat,” kata Ketua Divisi Advokasi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh, Muhammad Nasir.

PT Cemerlang Abadi mendapat HGU nomor Nomor 45/HGU/BPN/87, tanggal 7 November 1987. Luas lahannya adalah 7.516 hektar untuk komoditas kelapa sawit di Abdya.

Namun pada 31 Desember 2017 lalu, HGU milik PT Cemerlang Abadi berakhir. Sampai batas akhir izin HGU itu, perusahaan ini baru melakukan penanaman kelapa sawit seluas 2.627 hektare. Sedangkan sisanya seluas 1.841 hektar ditelantarkan dan 2.286 hetar dikuasai oleh masyarakat atau enclave.

Muhammad Nasir menyebutkan, yang dilaporkan ke Ditkrimsus Polda Aceh adalah dugaan PT Cemerlang Abadi masih melakukan land clearing pada HGU yang sudah berakhir izin seluas 269 hektar. Secara hukum, perusahaan tersebut sebenarnya tidak bisa lagi melakukan aktivitas apapun di HGU tersebut.

Dia juga menyebutkan, selain tidak menggarap semua lahan sesuai dengan HGU yang telah diterbitkan tahun 1987, pihak perusahaan juga diduga mencoba mengelabui masyarakat dan pemerintah dengan cara hanya menanam sawit di pinggir atau sekeliling hutan saja.

Sedangkan hutan yang berada di tengah-tengah masih terlihat lebat. Muhammad Nasir curiga, ini akal-akalan perusahaan untuk tetap bisa menguasai semua lahan tersebut.

“Ini kami menduga modus saja, atas ketidakmampuan mereka menggarap semua lahan, jelasnya.

Sementara itu Koordinator Lapangan (Korlap) PT Cemerlang Abadi, Agus Marhelis mengaku akan membahas hal tersebut dengan top manajer manajemen PT Cemerlang Abadi terlebih dahulu. Namun, apapun yang menjadi keputusan pihak kementerian akan diterima dengan baik.

“Apa yang mereka tetapkan akan kita patuhi, karena semua prosedur sudah kita lakukan,” ungkap Agus Marhelis.

Menyangkut dengan tudingan dalam surat Gubernur Aceh tentang pencabutan rekomendasi perpanjangan HGU PT Cemerlang Abdi yang menyebutkan tidak melakukan CSR. Agus mengaku itu semua informasi yang tidak benar, selama ini pihak perusahaan telah membantu desa setempat dan juga beberapa masjid.

“Kalau dikatakan tidak melakukan CSR itu gak betul juga, kita telah berikan,” tegasnya.

Agus tegaskan, apapun yang menjadi keputusan dari pihak kementerian, terutama BPN akan diterima dan dijalankan. Apa lagi, Agus mengaku perusahaannya itu telah melakukan berbagai proses sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan.[]

read more
HutanKebijakan Lingkungan

Kejari Nagan Raya Eksekusi Kepala Kebun PT SPS II

NAGAN RAYA – Kejaksaan Negeri (Kejari) Nagan Raya mengeksekusi seorang terpidana kasus pembakaran lahan perkebunan sawit PT Surya Panen Subur II (SPS II), dari tiga terpidana yang telah diputuskan bersalah oleh Mahkamah Agung (MA), Senin (25/6/2018) lalu.

Terpidana yang dieksekusi itu sebelumnya menjabat sebagai Kepala Kebun Seunaan PT SPS II, Anas Muda Siregar. Dia terbukti bersalah melalui keputusan MA kasus pembakaran lahan dalam rentang waktu Maret hingga Juli 2012 lalu seluas 1.200 hektar.

Sedangkan dua terpidana lainnya, Eddy Sutjahyo Busin (Presiden Direktur PT SPS), Marjan Nasution (Administrator PT SPS), gagal dieksekusi karena alasan dalam kondisi sakit saat ini. Pihak Kejadi Nagan mengaku akan terus memantau perkembangan kesehatan kedua terpidana yang belum dieksekusi tersebut.

“Terpidana dieksekusi ke Lembaga Permasyarakatan Kelas II B Meulaboh, Aceh Barat,” kata Kepala Kejari Nagan Raya, Sri Kuncoro.

Anas Muda Siregar dihukum penjara selama dua tahun penjara oleh MA. Selain itu, MA juga menghukum pidana denda sebesar Rp 3 miliar dengan subsidair 3 bulan penjara. Putusan hukuman yang sama juga diberikan kepada kedua terpidana yang belum dieksekusi pihak Kejari Nagan Raya.

Ketiga petinggi PT SPS dipidanakan karena telah membuka lahan untuk perkebunan sawit dengan cara membakar seluas 1.200 hektar di lahan gambut. Lalu pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menggugat perusahaan tersebut hingga persidangan bergulir di Pengadilan Negeri (PN) Meulaboh.

Seperti dikutip dari mongabay.co.id, persidangan yang berlangsung Kamis (28/1/2016) di Meulaboh, Hakim Rahma Novatiana, menjatuhkan denda untuk perusahaan ini sebesar Rp 3 miliar dan hukuman penjara 3 tahun, subsider 1 bulan, kepada Anas Muda Siregar (kepala kebun) dan Marjan Nasution (kepala proyek). Namun, Presiden Direktur PT. SPS II Edi Sutjahyo Busiri yang ikut menjadi pesakitan dinyatakan bebas.

Hukuman ini lebih ringan dibandingkan dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum Rahmat Nur Hidayat yang menuntut hukuman 3,5 tahun penjara kepada terdakwa dan denda Rp 4 miliar ke perusahaan. Persidangan PT. SPS II telah berlangsung sejak 2013.

Hakim menjerat terdakwa dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Menurut majelis hakim, PT. SPS II terbukti bersalah membuka lahan dengan cara membakar secara berlanjut. “Hal yang memberatkan perbuatan terdakwa ini menyebabkan perubahan karakteristik pada lahan gambut. Perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam pelestarian lingkungan di lahan gambut.”

Majelis hakim juga memberi pertimbangan lain yang meringankan PT. SPS II yang dianggap telah memiliki manajemen kesigapan tanggap darurat terhadap kebakaran dan telah melakukan upaya maksimal memadamkan kebakaran lahan sehingga kebakaran tidak meluas dan dapat dilakukan secara cepat tanpa bantuan pemerintah.

Kebakaran terjadi di areal konsesi PT. SPS II di Desa Pulo Kruet, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya. PT. SPS II memiliki konsesi hak guna usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit seluas 12.957 hektar di Tripa dan beroperasi atas izin budidaya Gubernur Aceh tahun 2012 setelah membeli HGU itu dari PT. Agra Para Citra. Hasil pemeriksaan lapangan menunjukkan bahwa areal yang terbakar merupakan lahan yang sudah ditanami sawit dan sebagian merupakan lahan yang sudah dibuka sebelum kebakaran terjadi.

Atas vonis hakim ini, para terpidana menyatakan banding. Menurut pengacara PT. SPS II, Trimulya, ada hal yang kontradiktif dalam putusan majelis hakim. “Dalam pertimbangan majelis hakim disebutkan para terdakwa telah menerapkan metode pembukaan lahan tanpa bakar.”

Kejari Nagan Raya tinggal mengeksekusi dua terpidana lainnya yang dinyatakan masih sakit, sehingga tidak bisa dieksekusi. Atas putusan ini menjadi pelajaran semua pihak bahwa begitu penting penyelamatan dan pelestarian lahan gambut di  kawasan Rawa Tripa dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).

read more
Flora Fauna

Petugas Sita Orangutan dari Oknum TNI di Aceh Timur

ACEH TIMUR – Seekor individu Orangutan berhasil diselamatkan dari tangan seorang oknum anggota TNI oleh tim gabungan di Gampong Baru, Kecamatan Idie Rayeuk, Kabupaten Aceh Timur, Senin (25/6/2018) tadi pagi.

Tim gabungan yang selamatkan seekor individu Orangutan itu adalah Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh Human-Orangutan Conflict Response Unit – Orangutan Information Center (HOCRU – OIC) dan Polsek Idie Rayeuk. Orangutan berusia 2,5 tahun itu sebelumnya dipelihara oleh anggota TNI Langsa selama 2 tahun lebih.

“Orangutan ini sebelumnya dipelihara oleh seorang anggota TNI Langsa selama lebih kurang 2 tahun,” kata Kepala BKSDA Aceh, Sapto Aji Prabowo, Senin (25/6/2018).

Kondisi Orangutan saat ditemukan dalam kondisi sangat prihatinkan, jauh dari kata layak. Orangutan berada dalam kandang yang kotor dan tinggal bersama seekor monyet lainnya.

Selain itu, kondisi Orangutan dalam kondisi kesehatan yang memburuk. Dimana petugas menemukan sejumlah penyakit kulit di tubuh Orangutan yang cukup serius dan butuh segera dilakukan pengobatan secara intensif.

“Kondisi dari orangutan ini pun terbilang buruk dimana ditemukan sejumlah penyakit kulit yang cukup serius,” jelasnya.

Untuk menjalani pengobatan dan rehabilitasi, Orangutan itu sudah dibawa menuju pusat rehabitasi Sumatran Orangutan Conservation Programme (SOCP) di Sumatera Utara, Medan.

“Masyarakat harus mengetahui bahwa menangkap, membunuh, memperdagangkan, memiliki orangutan di Indonesia adalah perbuatan illegal dan masuk dalam tindakan kriminal, yang tentu akan ada sanksi hukum berupa denda hingga penjara,” tegas Sapto.

Sejak tahun 2001, SOCP telah menerima lebih dari 360 orangutan di pusat karantina dan rehabilitasi orangutan di dekat Medan, Sumatera Utara. Lebih dari 170 diantaranya telah dilepasliarkan ke pusat reintroduksi SOCP di Provinsi Jambi, dan 105 orangutan lainnya dilepaskan ke hutan Jantho, provinsi Aceh.[]

read more
HutanKebijakan Lingkungan

Eks HGU PT Cemerlang Abadi Lahan Gambut Wajib Dilindungi

BANDA ACEH – PT Cemerlang Abadi telah dimeja hijaukan oleh tujuh lembaga yang konsen melestarikan lingkungan di Aceh. Dipidanakan perusahaan ini, karena masih menggarap tanah pada Hak Guna Usaha (HGU) yang sudah berakhir sejak 31 Desember 2017 lalu.

Masyarakat, lembaga swadaya masyarakat hingga pemerintah Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) sejak tahun 2015 telah berjuang menolak perpanjangan HGU milik PT Cemerlang Abadi, perusahaan yang mengelola perkebunan sawit.

Berdasarkan data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh, perusahaan itu mendapatkan HGU Nomor 45/HGU/BPN/87, tanggal 7 November 1987. Luas lahannya adalah 7.516 hektar untuk komoditas kelapa sawit di Abdya. Namun pada 31 Desember 2017 lalu, HGU milik PT Cemerlang Abadi berakhir.

Sampai batas akhir izin HGU itu, perusahaan baru melakukan penanaman kelapa sawit seluas 2.627 hektar. Sedangkan sisanya seluas 1.841 hektar ditelantarkan dan 2.286 hektar dikuasai oleh masyarakat atau enclave.

Koordinator Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) Wilayah Aceh, T M Zulfikar menyebut ada kekeliruan dari pemerintah masa lalu memberikan HGU di kawasan hutan PT Cemerlang Abadi saat ini. Karena kawasan hutan tersebut merupakan lahan gambut yang memiliki kedalaman lebih dari 3 meter yang wajib dilindungi.

“Ini ada kesalahan pemerintah sebelumnya yang memberikan izin HGU kepada banyak perusahaan di sana, baik di Abdya maupun Nagan Raya, yang selama ini kita kenal sebagai bagian dari kawasan lindung gambut Rawa Tripa,” kata T M Zulfikar di Banda Aceh beberapa waktu lalu.

Sebagaimana tertuang dalam Qanun RTRW Aceh bahwa di Kabupaten Nagan Raya telah dijadikan Kawasan Lindung Gambut seluas lebih kurang 11.359 Hektar, ditambah area eks PT Kallista Alam seluas 1.605 Hektar. Menurutnya, sudah selayaknya sebagian dari areal eks PT Cemerlang Abadi tersebut juga dapat dijadikan bagian dari Kawasan Lindung Gambut.

“Sehingga dapat diusulkan ke dalam Qanun RTRW Aceh yang menurut rencana akan segera direvisi atau ditinjau kembali,” jelasnya.

Kendati demikian, TM Zulfikar menyambut positif rencana pemerintah kabupaten Abdya menolak memberikan rekomendasi perpanjangan HGU miliki PT Cemerlang Abadi.

“Apalagi jika memang terbukti PT CA (Cemerlang Abadi) selama ini tidak menjalankan kewajibannya secara baik. Dan tentunya pemerintah harus berani mengambil tindakan tegas terkait hal ini. Masa iya kebijakan Negara bisa kalah dengan kepentingan perusahaan? Ini namanya sudah keterlaluan,” ungkapnya.

Menyangkut HGU yang nantinya akan diambil alih pemerintah, dia menyarankan dilakukan pengkajian yang mendalam terlebih dahulu agar peruntukannya tepat. Apalagi sebagian wilayah yang berada di Kecamatan Babahrot tersebut merupakan kawasan bergambut. Ini mengacu hasil penelitian dan survei yang dilakukan sebelumnya, kedalaman gambut di atas 3 meter.

“Karena lahan tersebut sudah menjadi wewenang pemerintah kembali, maka tidak ada salahnya jika sebagian dari lahan tersebut diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat,” tegasnya.

Bila hendak dijadikan persawahan, aspek penting yang harus dilihat adalah ketersediaan air. Karena air merupakan sumber utama bagi keberlangsungan tanaman padi dan juga bagi manusia. Jika pemerintah ada niat menanam sawit kembali, dia menyarankan agar dipertimbangkan karena lahan itu tidak sepenuhnya cocok.

“Kita bisa lihat di wilayah Darul Makmur dan sekitarnya hampir seluruh kelapa sawit yang ditanam di lahan gambut yang memiliki kedalaman cukup tebal, kelapa sawit tumbuhnya tidak sempurna, ada yang melingkar-lingkar sehingga membutuhkan banyak space, bahkan ada yang sama sekali tak memiliki buah sawit,” jelasnya.

Zulfikar mengusulkan sebagian dari lahan tersebut dijadikan sebagai kawasan konservasi dengan tujuan utama untuk melindungi sumber-sumber air, habitat dan ekosistem yang ada di sana.

Sebelumnya, Koalisi Tolak HGU PT Cemerlang Abadi dari 7 lembaga di Aceh pun melaporkan PT Cemerlang Abadi ke Direktorat Kriminal Khusus (Ditkrimsus) Polda Aceh, Rabu (23/5). Perusahaan dianggap telah menggarap lahan eks HGU seluas 269 hektar lahan yang kembali dengan menggunakan dua ekskavator. Ini sudah dilakukan sejak awal tahun 2018. PT Cemerlang Abadi melakukan Land Clearing (pembersihan lahan) di HGU yang sudah berakhir.

Menanggapi itu Koordinator Lapangan (Korlap) PT Cemerlang Abadi, Agus Marhelis mengaku sudah mengetahui melalui media tentang laporan tersebut. Pihaknya akan menunggu surat panggilan resmi dari pihak Polda Aceh.

Kita akan kooperatif, sebagai warga negara yang baik kita harus taat kepada hukum, tegas Agus Marhelis melalui sambungan telepon genggamnya.

Agus mengaku operasional perusahaan tetap berjalan seperti biasa. Menurut pandangannya, apa yang dituduhkan kepada pihak perusahaan tidak memiliki alasan yang cukup.

“Karena menurut kami apa yang dituduhkan kepada kami itu mungkin beliau-beliau ini belum melihat secara langsung surat-surat yang kita miliki, jadi mereka perlu kita akan berikan, kita siap untuk bersilaturrahmi,” ungkapnya.

Katanya, pihak yang melaporkan PT Cemerlang Abadi ke Polda Aceh belum pernah sekalipun bertemu dengan manajemen perusahaan. Padahal bila mereka membutuhkan dokumen tentang perizinan milik perusahaan akan diberikan.

“Kami akan berikan kalau memang mereka perlu, tetapi mereka belum pernah berkomunikasi dengan kami,” ungkapnya.

Menyangkut dengan HGU yang berakhir 31 Desember 2017 lalu diakui oleh pihak PT Cemerlang Abadi. Agus menyebutkan, pihak perusahaan sudah melakukan pengurusan perpanjangan HGU sejak 2015 lalu. Semua prasyarat sudah dipenuhi dan sekarang tinggal keputusan dari pemerintah pusat.

“Kita sudah melakukan permohonan secara prosedural di awal tahun 2016, kita sudah melakukan pendaftaran, bahkan pada tahun 2015 juga sudah kita melakukannya. Artinya segala prosedur yang ditentukan oleh BPN sudah kita penuhi,” ucapnya.

Namun pihak perusahaan berdalih, saat ini PT Cemerlang Abadi hanya menunggu kebijakan dari pemerintah pusat terkait perpanjangan HGU. Sedangkan laporan ke Polda Aceh, pihak perusahaan akan menyerahkan kepada Lawyer dan pihaknya siap menghadapi gugatan tersebut. []

read more
HutanKebijakan Lingkungan

PT Cemerlang Abadi Garap Lahan di Eks HGU

BANDA ACEH – Siang itu ruang pertemuan kantor Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh tampak penuh. Ada tujuh pimpinan lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Tolak HGU PT Cemerlang Abadi di Aceh Barat Daya (Abdya) berkumpul.

Sedikit riuh saat Muhammad Nasir sedang sibuk mempersiapkan proyektor untuk mempresentasukan temuan baru koalisi ini. Direktur Walhi Aceh, Muhammad Nur pun mulai menyapa peserta diskusi. Hari itu, Kamis (24/5/2018), koalisi ini menggelar konferensi pers untuk memaparkan temuannya.

Semua tatapan tertuju ke arah layar putih. Muhammad Nasir yang didapuk menjadi juru bicara koalisi langsung memaparkan temuan koalisi 7 lembaga yang melakukan investigasi. Dia memperlihatkan melalui slide proyektor, perusahaan sawit PT Cemerlang Abadi menggarap tanah di bekas Hak Guna Usaha (HGU) yang sudah berakhir 31 Desember 2017.

Muhammad Nasir tampak semangat menjelaskan satu slide ke slide lainnya. Sesekali dia geleng-geleng kepala, tak habis pikir HGU sudah berakhir masih saja berani menggarap lahan untuk ditenam sawit.

Pada slide ke empat, Muhammad Nasir mencoba mendekati layar proyektor. Lalu dia jelaskan, ada 269 hektar lahan yang kembali digarap dengan menggunakan dua ekskavator. Ini sudah dilakukan sejak awal tahun 2018. PT Cemerlang Abadi melakukan Land Clearing (pembersihan lahan) di HGU yang sudah berakhir.

Atas dasar temuan itu juga kemudian Koalisi Tolak HGU PT Cemerlang Abadi dari 7 lembaga di Aceh melaporkan perusahaan tersebut ke Direktorat Kriminal Khusus (Ditkrimsus) Polda Aceh, Rabu (23/5/2018). Koalisi berharap polisi bisa bergerak cepat untuk memproses kasus ini sampai tuntas.

Ketujuh lembaga itu adalah Walhi Aceh, GeRAK, Forum LSM Aceh, HAkA, JKMA, LBH dan MaTA. Ketujuh lembaga inilah membawa kasus ini ke ranah hukum.

“Kami berharap kepolisian segera melakukan penyelidikan atas perkara ini,” kata Ketua Divisi Advokasi Walhi Aceh, Muhammad Nasir.

Penolakan terhadap perpanjangan izin HGU milik PT Cemerlang Abadi sudah berlangsung lama. Sejak 2015, arus penolakan sudah dilakukan oleh masyarakat maupun pemerintah kabupaten setempat. Namun, perusahaan sawit itu hampir saja bisa mendapatkan kembali perpanjangan HGU saat gubernur Aceh dipimpin oleh Plt Soedarmo.

Pada tanggal 20 Desember 2016 Plt Gubernur Aceh, Soedarmo menerbitkan surat dengan Nomor 525/BP2T/2657/2016, perihal Rekomendasi Perpanjangan HGU PT Cemerlang Abadi. Ini menjadi angin segar bagi perusahaan sawit tersebut.

Di sisi lain, pihak yang menolak HGU milik PT Cemerlang Abadi meradang. Masyarakat sipil, warga dan juga pemerintah Kabupaten Abdya terus menolak rencana tersebut. Pemerintah Kabupaten tidak mengeluarkan surat rekomendasi sehelai pun untuk perpanjangan HGU tersebut.

Setelah Irwandi Yusuf-Nova Iriansyah terpilih menjadi Gubernur-Wakil Gubernur Aceh yang baru, terbitlah surat pembatalan HGU milik PT Cemerlang Abadi pada tanggal 21 Februari 2018 Nomor 590/6993, perihal Pembatalan Izin HGU PT Cemerlang Abadi.

Yang menjadi persoalan kemudian, Pemerintah Aceh belum mencabut surat sebelumnya yang dikeluarkan oleh Plt Gubernur Soedarmo tentang rekomendasi perpanjangan HGU PT Cemerlang Abadi. Menurut Muhammad Nasir, ditakutkan surat pembatalan izin HGU yang dikeluarkan Gubernur Irwandi Yusuf tidak memiliki kekuatan hukum kuat.

“Ini karena surat sebelumnya belum dicabut, bisa saja ini bermasalah nantinya dan kekuatan surat pembatalan bisa lemah,” ungkap Muhammad Nasir.

 

HGU Puluhan Tahun Terlantar

Muhammad Nasir menjelaskan, seperti dilansir merdeka.com, perusahaan mendapatkan HGU nomor Nomor 45/HGU/BPN/87, tanggal 7 November 1987. Luas lahannya adalah 7.516 hektar untuk komoditas kelapa sawit di Abdya.

Namun pada 31 Desember 2017 lalu, HGU milik PT Cemerlang Abadi berakhir. Sampai batas akhir izin HGU itu, perusahaan ini baru melakukan penanaman kelapa sawit seluas 2.627 hektare. Sedangkan sisanya seluas 1.841 hektar ditelantarkan dan 2.286 hetar dikuasai oleh masyarakat atau enclave.

Muhammad Nasir menyebutkan, yang dilaporkan ke Ditkrimsus Polda Aceh adalah dugaan PT Cemerlang Abadi masih melakukan land clearing pada HGU yang sudah berakhir izin seluas 269 hektar. Secara hukum, perusahaan tersebut sebenarnya tidak bisa lagi melakukan aktivitas apapun di HGU tersebut.

Dia juga menyebutkan, selain tidak menggarap semua lahan sesuai dengan HGU yang telah diterbitkan tahun 1987, pihak perusahaan juga diduga mencoba mengelabui masyarakat dan pemerintah dengan cara hanya menanam sawit di pinggir atau sekeliling hutan saja.

Sedangkan hutan yang berada di tengah-tengah masih terlihat lebat. Muhammad Nasir curiga, ini akal-akalan perusahaan untuk tetap bisa menguasai semua lahan tersebut.

“Ini kami menduga modus saja, atas ketidakmampuan mereka menggarap semua lahan, jelasnya.

Sementara itu Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, Askhalani mengatakan, ada tiga periode HGU milik PT Cemerlang Abadi. Pertama adalah HGU atau izin dari Badan Pertanahan Negara (BPN), kedua Izin Usaha Perkebunan untuk Budidaya (IUPB) dari Gubernur dan Bupati setempat dan ketiga izin lingkungan dan Amdal.

“Nah izin lingkungan dan Amdal mereka ini tidak ada, sedangkan rekomendasi bupati dan gubernur juga tidak dimiliki,” jelasnya.

Menurut Askhalani yang merangkap jadi kuasa hukum Koalisi Tolak HGU PT Cemerlang Abadi menyebutkan, proses penolakan perpanjangan HGU milik PT Cemerlang Abadi sudah dilakukan sejak 2015 lalu, masa kepemimpinan Bupati Jufri.

“Sejak itu sudah dilakukan penolakan, dan sekarang bupati Akmal juga menolak, ucapnya.

Menurutnya, penolakan ini tidak terlepas dari tidak ada keuntungan apapun masuk ke pemerintah kabupaten Abdya sejak berdirinya perusahaan sawit tersebut. Akan tetapi hanya yang didapatkan oleh pemerintah setempat kerusakan jalan yang semakin parah.

“Ini harus mendapat perhatian dari penegakan hukum,” pintanya.

Undang-Udang yang dilanggar adalah UU Nomor 5 Tahun 1969 tentang pokok Agraria, UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang perkebunan dan sejumlah peraturan lainnya. Termasuk UU Nomor 32 tahun 2009 tentang pengelolaan lingkungan hidup.

 

Janji Perusahaan

Dihubungi terpisah, Koordinator Lapangan (Korlap) PT Cemerlang Abadi, Agus Marhelis mengaku sudah mengetahui melalui media tentang laporan tersebut. Pihaknya akan menunggu surat panggilan resmi dari pihak Polda Aceh.

“Kita akan kooperatif, sebagai warga negara yang baik kita harus taat kepada hukum,” tegas Agus Marhelis melalui sambungan telepon genggamnya.

Agus mengaku operasional perusahaan tetap berjalan seperti biasa. Menurut pandangannya, yang dituduhkan kepada pihak perusahaan tidak memiliki alasan yang cukup.

“Karena menurut kami apa yang dituduhkan kepada kami itu mungkin beliau-beliau ini belum melihat secara langsung surat-surat yang kita miliki, jadi mereka perlu kita akan berikan, kita siap untuk bersilaturrahmi,” ungkapnya.

Menurutnya, pihak yang melaporkan PT Cemerlang Abadi ke Polda Aceh belum pernah sekalipun bertemu dengan manajemen perusahaan. Padahal bila mereka membutuhkan dokumen tentang perizinan milik perusahaan akan diberikan.

“Kami akan berikan kalau memang mereka perlu, tetapi mereka belum pernah berkomunikasi dengan kami,” ungkapnya.

Menyangkut dengan HGU yang berakhir 31 Desember 2017, diakui pihak PT Cemerlang Abadi. Agus menyebutkan, pihak perusahaan sudah melakukan pengurusan perpanjangan HGU sejak 2015 lalu. Semua persyarat sudah dipenuhi dan sekarang tinggal keputusan dari pemerintah pusat.

“Kita sudah melakukan permohonan secara prosedural di awal tahun 2016, kita sudah melakukan pendaftaran, bahkan pada tahun 2015 juga sudah kita melakukannya. Artinya segala prosedur yang ditentukan oleh BPN sudah kita penuhi,” ucapnya.

Pihak perusahaan berdalih, saat ini PT Cemerlang Abadi hanya menunggu kebijakan dari pemerintah pusat terkait perpanjangan HGU. Pihak perusahaan akan menyerahkan kepada kuasa hukum dan siap menghadapi gugatan tersebut. []

read more
1 2 3 4 5
Page 2 of 5