close

July 2018

Green StyleRagam

Perjuangan Melindungi Hutan Leuser Lewat Petisi Online

Perjuangan melindungi lingkungan ditempuh bukan hanya dengan cara demonstrasi, aksi, advokasi ataupun lewat pengadilan. Teknologi informasi yang semakin berkembang dan masyarakat yang saling terkoneksi membuat pejuang lingkungan menambah metode lagi, yaitu melalui petisi online. Petisi online bisa dikatakan perjuangan bersama masyarakat global yang menekan pihak-pihak tertentu agar memenuhi tuntutan disebuah tempat dan dengan sebuah isu. Masyarakat diseluruh penjuru dunia, atas kesamaan ide dan visi meneken tuntutan bersama yang diajukan ke pihak tertentu.

Situs petisi online, change.org menjadi pioner perjuangan advokasi petisi online di Indonesia. Sejumlah isu sudah di petisikan lewat situs ini termasuk perlindungan hutan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Yang terbaru adalah petisi online dari 100.000 masyarakat yang menuntut agar lahan PT Kallista Alam di Nagan Raya, Propinsi Aceh dieksekusi oleh pemerintah sesuai dengan putusan MA. Namun sebelum ini, sudah ada beberapa petisi online terkait dengan perlindungan KEL.

Berikut petisi online yang pernah diluncurkan terkait hutan dalam KEL:

1. Petisi “Selamatkan Leuser, Selamatkan Aceh! Petisi ini ditujukan kepada Menteri Dalam Negeri RI, Tjahjo Kumolo, digagas oleh Gerakan Rakyat Aceh Menggugat (GeRAM). Petisi meminta Presiden Jokowi melalui jajaran Kementerian Dalam Negeri dapat menjalankan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 650–441 Tahun 2014, dengan membatalkan RTRW Aceh 2013–2033 yang tidak memasukkan Kawasan Ekosistem Leuser ke dalam Kawasan Strategis Nasional. Pembatalan ini akan menjadi langkah awal yang sangat penting bagi penyusunan RTRW yang memperhatikan kepentingan kami, masyarakat Aceh, Indonesia, dan dunia.

Petisi online diluncurkan pada 26 Januari 2016 dan diteken oleh 81.825 pendukung sampai tanggal berita ini dimuat.

2. Petisi “Tolak pemberian izin eksplorasi kawasan inti Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL)” ditujukan kepada pecinta alam, Pelestari Lingkungan, Taman Nasional Gunung Leuser dan Gubernur Aceh Zaini Abdullah serta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Petisi yang diajukan oleh masyarakat lokal,Warman Saputra, meminta masyarakat pecinta alam dan pemerhati lingkungan di Aceh agar memohon kepada kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tidak memberi izin pengembangan potensi panas bumi kepada PT Hitay Panas Energy melakukan eksplorasi kawasan hutan Leuser. Kawasan inti Taman Nasional Gunung Leuser dihuni oleh berbagai Flora dan Fauna yang tergolong langka, kawasan ini harus dilindungi dan dilestarikan.

Petisi online diluncurkan tanggal 29 Agustus 2016 dan mendapat tekenan dari 317 pendukung.

3. Petisi “Lindungi Kawasan Ekosistem Leuser, Nyatakan Warisan Dunia! Petisi ini ditujukan kepada Gubernur Aceh 2012-2017, Dr. Zaini Abdullah sebagai pemimpin Aceh untuk menunjukkan kepada dunia bahwa keputusannya sangat mempengaruhi kehidupan banyak orang di Aceh. Gubernur Aceh saat itu dianggap berada di bawah tekanan untuk menandatangani peraturan baru yang akan menghancurkan KEL untuk selamanya. Petisi ini dibuat oleh WALHI Aceh.

Petisi online diluncurkan pada 6 Desember 2013 dan sampai penutupannya telah diteken oleh 22.746 pendukung.

4.Petisi ” Gubernur Zaini, Tepati Janji, Tegakkan Hukum. Hentikan semua kegiatan berbasis lahan di Rawa Tripa dan cabut izin perusahaan yang membakar Rawa Tripa! Petisi ini mengingatkan Gubernur dan mendukung beliau untuk menepati janjinya dengan memerintahkan penghentian semua operasi berbasis lahan di Rawa tripa, dan mencabut izin perusahaan kelapa sawit bermasalah di Tripa. Petisi ini salah satu tonggak keberhasilan perjuangan penyelamatan lingkungan oleh masyarakat global karena isu yang diusung petisi meraih kemenangan mulai dari PN hingga Mahkamah Agung. Petisi digagas oleh organisasi End of the Icons dan ditujukan kepada World Bank Investigation Team.

Petisi online diluncurkan tanggal 28 Juni 2012 dan mendapat 35.595 pendukung.

Kedepan tentu akan makin banyak petisi online bermunculan mengingat kasus-kasus lingkungan juga semakin banyak. Dukungan dari masyarakat luas sangat dibutuhkan dalam perjuangan melindungi hutan Indonesia..

 

 

read more
Green StyleHutan

Seratus Ribu Masyarakat Teken Petisi Dukung Eksekusi PT Kallista Alam

BANDA ACEH – Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) mendatangi Pengadilan Tinggi Banda Aceh untuk menyerahkan seratus ribu lebih dukungan publik untuk eksekusi putusan MA terhadap PT Kallista Alam (PT KA), perusahaan pembakar lahan rawa gambut Tripa, Nagan Raya, Kamis (12/07/2018).

KMS yang terdiri dari Yayasan HAkA, Rumoh Transparansi, FORA, Change.org Indonesia, Gerakan Rakyat Aceh Menggugat (GeRAM), dan Perhimpunan Pengacara Lingkungan Hidup (P2LH) menyerahkan petisi Change.org/HukumPembakarLahan. Petisi tersebut berisikan dukungan sekaligus desakan kepada PT Banda Aceh untuk membatalkan putusan Pengadilan Negeri Meulaboh Perkara Nomor 16/Pdt_G/2017/PN Mbo.

Pada sidang tanggal 12 April 2018, Majelis Hakim PN Meulaboh yang memeriksa Perkara Nomor 16/Pdt_G/2017/PN Mbo menyatakan bahwa Putusan PN Meulaboh sebelumnya yaitu Perkara Nomor 12/PDT.G/2012/PN MBO yang menghukum PT Kallista Alam (PT KA) dengan denda dan kewajiban memulihkan lahan yang rusak akibat dibakar senilai Rp. 366 milyar tidak mempunyai title eksekutorial atau tidak bisa dieksekusi. Seperti diketahui sebelumnya, PT KA dinyatakan bersalah karena terbukti membakar 1.000 hektar lahan gambut di Tripa, Nagan Raya, Aceh.

Sekretaris Yayasan HAkA, Badrul Irfan mengatakan penyerahan petisi ini merupakan bentuk kepedulian dan kekecewaan publik terhadap putusan PN Meulaboh yang menyatakan bahwa putusan Mahkamah Agung (MA) terhadap kasus pembakar lahan ini tidak bisa dieksekusi. Sebagai wujud partisipasi pubik, HAkA menggalang petisi ini melalui Change.org Indonesia mendesak MA untuk membatalkan putusan 16/Pdt.G/2017/PN.Mbo sekaligus memerintahkan PN Meulaboh melaksanakan eksekusi terhadap PT. KA sesuai dengan putusan perkara no. 1 PK/PDT/2017 jo. Putusan no. 651 K/Pdt/2015 jo putusan no. 50/PDT/2014/PT BNA jo. Putusan no. 12/PDT.G/2012/PN.MBO — untuk membayar biaya pemulihan lingkungan sebesar Rp 366 miliar.

Sebelumnya, Rumoh Transparansi juga sudah melaporkan kasus ini ke KPK dengan nomor pengaduan 96297 pada hari Rabu, 2 Mei 2018. “Kami mencium ada penyelewengan pada kasus ini yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 366 milyar. Hal ini juga kami anggap sebagai salah satu upaya penyalahgunaan wewenang oleh PN Meulaboh. Atas dasar ini, kami mengadukan pihak PN Meulaboh ke KPK sebagai lembaga anti-rusuah di Indonesia,” ujar Koordinator Rumoh Transparansi, Crisna Akbar.

Salah satu penandatangan petisi dengan akun Aslam Saad menulis, “Ketika hukum digadaikan oleh penegak hukum kepada para perusak hutan, rakyat sekitar hutan semakin menderita dan negara tak berdaya.” Akun lain dengan nama Elok Galih Karuniawati menulis, “Selamatkanlah hutan kita dan eksekusi perusahaan yang telah ceroboh membakar hutan. #SaveTripa.”

“PT Kallista Alam telah dibuktikan bersalah berdasarkan undang-undang administrasi, pidana, dan perdata oleh majelis pengadilan dan Mahkamah Agung. Bila suatu pengadilan negeri bisa menentang putusan Mahkamah Agung, ini sangat tidak masuk akal. Tidak mengejutkan kalau sekarang banyak pengamat yang mempertanyakan motif di belakang putusan hakim PN Meulaboh dalam kasus ini, dan kami meminta ada investigasi khusus disini,” ujar juru bicara GeRAM, M. Fahmi.[rel]

 

read more
Flora Fauna

Polisi Tangkap Dua Tersangka Pembunuh Gajah Bunta

Kepolisian berhasil menangkap dua dari empat tersangka yang telah membunuh gajah Sumatra langka dan memotong gadingnya bulan lalu.

Polres Aceh Timur, mengumumkan (3/7/2018) bahwa mereka telah menangkap dua pria dan sedang mengejar dua orang lainnya, yang semuanya merupakan tersangka pembunuh gajah. Polis menunjukkan bukti-bukti yang disita dari para tersangka, termasuk parang dan dua gading gajah, yang salah satunya diyakini diambil dari Bunta, hewan yang ditemukan mati pada 9 Juni di dalam Ekosistem Leuser.

Bunta, gajah jantan Sumatra (Elphas maximus sumatranus) berusia 27 tahun , sejak tahun 2016 secara teratur dilatih dan dipekerjakan oleh polisi hutan sebagai bagian dari unit untuk menangkal kawanan gajah liar yang merambah di pertanian dan desa. Petugas konservasi menduga Bunta diracuni.

Kepala unit kejahatan khusus Polisi Nasional, Adi Karya, mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa pihak berwenang berkomitmen untuk membasmi jaringan perdagangan di balik pembunuhan gajah. “[Kami] berharap penangkapan ini dapat menjadi pelajaran bagi orang lain untuk tidak melakukan [jenis] kejahatan terhadap satwa liar ini,” tambahnya.

Berdasarkan hukum konservasi Indonesia, pembunuhan, perdagangan atau distribusi spesies yang dilindungi dan bagian-bagiannya dapat menyebabkan hukuman penjara hingga lima tahun dan denda hingga 100 juta rupiah.

Namun penegakan hukum terhadap pembunuhan terhadap satwa liar masih lemah, dengan pelanggar jarang dituntut. Pada beberapa kesempatan, kasus-kasus itu sampai ke pengadilan, para pelakunya biasanya menerima hukuman atau denda jauh kurang dari maksimum.

Berita tentang pembunuhan Bunta menarik perhatian nasional, bahkan Gubernur Aceh menawarkan hadiah untuk informasi yang mengarah pada penangkapan para pelaku. (Gubernur, Irwandi Yusuf, minggu ini ditangkap oleh penyelidik antikorupsi dalam kasus suap). Sebuah petisi online muncul meminta pihak berwenang Indonesia untuk mengusut pembunuhan tersebut menerima hampir 85.000 tanda tangan.

Kematian Bunta adalah pembunuhan gajah kedua di Sumatera oleh para pemburu. Pada bulan Januari, para petani menemukan tubuh gajah jantan di hutan lindung  dengan kedua gadingnya dipotong. Gajah tersebut mati diduga karena diracuni.

Pada Desember tahun lalu, seekor gajah yang hamil ditemukan mati di sebuah perkebunan kelapa sawit di Aceh. Dalam kasus itu, pihak berwenang mengatakan otopsi menunjukkan tanda-tanda umum keracunan, termasuk organ-organ pencernaan berubah menjadi hitam. Gajah itu diperkirakan berusia 25 tahun dan diyakini setidaknya enam bulan lagi akan melahirkan. Gajah betina tidak memiliki gading, ciri khas untuk gajah Sumatra betina.

Tingkat penggundulan hutan yang tinggi di sebagian besar Sumatera, terutama untuk perkebunan monokultur seperti kelapa sawit, karet dan kayu pulp, telah mendorong satwa liar asli keluar dari habitatnya dan lebih sering konflik dengan manusia. Orangutan dan gajah, khususnya, dilihat sebagai hama oleh petani karena merampok tanaman dan menginjak tanaman. Penduduk setempat dalam banyak kasus terpaksa meracuni atau menembak binatang.

Selain masalah-masalah ini, spesies Ekosistem Leuser yang terancam punah juga menghadapi ancaman yang semakin meningkat dari semakin banyaknya penyusupan manusia ke habitatnya sebagai hasil dari proyek jalan. Wilayah ini sangat penting secara ekologi sebagai salah satu dari hutan hujan utuh yang masih ada di Indonesia. Ini adalah rumah bagi empat spesies yang paling ikonik dan sangat terancam punah di Bumi: gajah Sumatera, harimau (Panthera tigris sondaica), badak (Dicerorhinus sumatrensis) dan orangutan (Pongo abelii).

Bunta dilaporkan adalah salah satu gajah yang dikunjungi oleh superstar Hollywood dan filantropis margasatwa Leonardo DiCaprio pada Maret 2016. Yayasan milik aktor tersebut memberikan $ 3,2 juta kepada LSM Rainforest Action Network dan Haka untuk melindungi Ekosistem Leuser.

Hanya ada sekitar 2.400 ekor gajah sumatera yang tersisa di alam liar, tersebar di 25 habitat yang terfragmentasi di pulau itu.[]

Sumber: mongabay.com

read more
HutanKebijakan Lingkungan

Berebut Lahan 200 Ha eks PT Kalista Alam di Rawa Tripa

Banda Aceh – Lahan yang dulunya milik PT Kalista Alam, kini menjadi ajang rebutan oleh sejumlah masyarakat. Mereka mengatasnamakan koperasi maupun secara individu. Hal ini menyebabkan tujuan mengembalikan kondisi hutan gambut Rawa Tripa ke keadaan semula menjadi terhambat.

Lahan perkebunan sekitar 200 hektar yang dulunya milik PT Kalista Alam kini dikuasai oleh sejumlah pihak. Awalnya pasca pencabutan Izin Usaha Perkebunan Budidaya (IUPB) lahan dengan totoal luas 1.605 hektare yang diputuskan oleh pengadilan, lahan yang sudah terlanjut ditanami ini menjadi incaran banyak pihak. Organisasi lingkungan yang menggugat pencabutan izin tersebut tahun 2013 berhasil memenangkan gugatannya. Izin yang dikeluarkan oleh Gubernur masa itu Irwandi Yusuf dicabut oleh PTUN. Aktivis lingkungan berharap hutan gambut Rawa Tripa yang sudah mengalami kerusakan bisa dikembalikan seperti semula. Namun apa hendak dikata, kondisi bekas perkebunan ini masih tetap saja rusak.

Staf Dinas Perkebunan Nagan Raya, Akmaizar, SP, kepada Greenjournalist, Rabu (4/7/2018) mengatakan bahwa seluas 200 hektar lahan pasca pencabutan izin dikelola oleh koperasi yang bernama Kopermas Sinpa. Koperasi ini mengadakan perjanjian dengan Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Propinsi Aceh yang saat itu Kepala Dinasnya adalah Husaini Syamaun. Koperasi ini mengatasnamakan masyarakat dhuafa, miskin dan anak yatim, mengelola lahan dengan sistem bagi hasil sesuai persentasi. Koperasi mendapat bagi hasil kemudian Pemkab Nagan Raya dan Pemerintah Provinsi juga mendapatkan keuntungan. Perjanjian kerjasama diteken tahun 2016.

Namun sayangnya setelah perjanjian kerjasama berjalan, ternyata koperasi tidak mampu mengelola lahan ini dengan baik sehingga akhirnya Dishutbun mencabut perjanjian kerja sama ini tahun 2017. Sementara itu, melihat koperasi mengelola kebun sawit di Rawa Tripa, masyarakat pun ikut-ikutan menanam sawit di bekas lahan hutan gambut tersebut. “Alasan mereka, kalau koperasi bisa nanam, kenapa kami tidak,”ujar Akmaizar.

Akmaizar bersama tim baik dari kabupaten Nagan Raya, Propinsi Aceh dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, telah melakukan peninjauan ke lapangan beberapa hari lalu. Kunjungan ini berdasarkan laporan dari PT Kalista Alam bahwa banyak yang menggarap lahan di bekas lahan mereka tersebut sehingga merugikan mereka.

“Yang mengejutkan hari ini baru diketahui bahwa 200 Ha areal yang terlanjur tertanami telah diserahkan pengelolaan nya oleh pemerintah Aceh melalui Dinas Kehutanan kepada salah satu Koperasi di Nagan Raya. Anehnya lagi ada sebagian oknum masyarakat yang menjadikan itu sebagai dasar legalitas untuk menggarap areal lainnnya dalam kawasan areal 1.605 Ha,”kata Akmaizar. Hal ini sangat disayangkan karena menambah kerusakan hutan Rawa Tripa. Pemerintah Aceh secara resmi menetapkan kawasan Rawa Tripa menjadi kawasan lindung gambut seluas 1455 Ha di areal eks PT Kalista Alam di kawasan Suak Bahung Kecamatan Darul Makmur, Kab.Nagan Raya tahun 2015 lalu. Kawasan yang diresmikan ini adalah bagian dari seluas 11.359 Ha kawasan gambut lindung yang sudah dimasukkan dalam Qanun RTRW Aceh.

Dihubungi terpisah, Staf Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), Indrianto mengatakan saat ini sudah ada pihak lain yang mengincar lahan bekas PT Kalista Alam tersebut. Pihak yang mengincar berbentuk koperasi yang mengatasnamakan kelompok masyarakat tertentu.

“Info yang saya dapat, koperasi ini hampir meneken kerjasama dengan Dishutbun Propinsi Aceh. Namun pak Kadis Husaini Syamaun keburu diganti sehingga perjanjian belum diteken hingga saat ini,”kata Indrianto. Pemerintah Aceh sepertinya sangat berniat untuk menyerahkan lahan 200 hektar ini dikelola pihak ketiga. Maklum saja, sawit dalam kebun tersebut sudah menghasilkan duit sehingga menarik minat banyak orang. Indrianto mengatakan pohon sawit  dalam kebun tersebut mencapai tinggi 2 meter dan telah berbuah.

Masyarakat mendirikan pondok di bekas lahan Kalista Alam | Foto: Indrianto

Pihak YEL sendiri sudah berusaha merehabilitasi lahan Rawa Tripa tersebut salah satunya dengan penutupan kanal-kanal (block canals). Hal ini dilakukan agar air yang terdapat dalam tanah gambut tidak mengalir keluar melalui kanal-kanal yang bisa menyebabkan kekeringan serta berujung kepada kebakaran hutan.

“Dalam lahan 200 hektar itu ada juga kanal-kanal yang kami tutup. Tapi di beberapa tempat dirusak kembali oleh oknum,”kata Indrianto. Pemerintah sendiri sejauh ini masih mengumpulkan data-data terkait dengan penguasaan lahan Rawa Tripa.

Rawa Tripa, yang sering dijuluki Ibukota Orangutan, terus menerus mengalami ancaman kerusakan. Masih saja banyak pihak yang memandang Rawa Tripa hanya sebagai tempat menanam sawit semata. Mereka lupa akan fungsi ekologi dari hutan gambut ini.[]

 

read more
Kebijakan Lingkungan

Irwandi Cabut Surat Rekomendasi Izin HGU PT Cemerlang Abadi

BANDA ACEH – Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf akhirnya mengeluarkan surat pencabutan surat rekomendasi izin Hak Guna Usaha (HGU). Langkah tegas ini diambil mengingat Plt Gubernur Aceh sebelumnya, Soedarmo telah mengeluarkan surat rekomendasi tersebut.

Surat tersebut nomor 590/18740 tertanggal 26 Juni 2018 itu ditujukan kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Republik Indonesia. Perihal surat itu meminta kepada kedua kementerian tersebut untuk menolak perpanjangan izin HGU yang diajukan oleh PT Cemerlang Abadi.

Sebelumnya Plt Gubernur Aceh, Soedarmo saat memimpin Aceh waktu Pilkada tahun 2016 lalu, pada tanggal 20 Desember 2016 mengeluarkan surat dengan Nomor 525/BP2T/2657/2016, perihal Rekomendasi Perpanjangan HGU PT Cemerlang Abadi.

Juru Bicara Pemerintah Aceh, Saifullah A Gani membenarkan bahwa Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf telah mengeluarkan surat tersebut. Surat itu langsung ditujukan kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Republik Indonesia, meminta agar tidak memperpanjang HGU milik PT Cemerlang Abadi.

“Saya sudah cek kebenaran surat itu, benar bapak Gubernur sudah mengeluarkan surat itu,” kata Saifullah A Gani yang akrap disapa SAG, Rabu (27/6/2018) di Banda Aceh.

Dalam surat tersebut yang dikeluarkan tanggal 26 Juni 2018 – ditandatangani langsung oleh Irwandi Yusuf menyebutkan, pertimbangan mencabut rekomendasi perpanjangan HGU PT Cemerlang Abad, karena HGU sudah berakhir sejak 31 Desember 2017 dan hingga sekarang belum mendapatkan perpanjangan.

Selain itu, Bupati Aceh Barat Daya (Abdya), Akmal Ibrahim juga telah mengeluarkan surat Nomor 590/243/2018 tanggal 19 Maret 2018 tentang penolakan perpanjangan HGU PT Cemerlang Abadi. Lalu diperkuat dengan surat Gubernur Aceh Nomor 590/6993 tanggal 21 Februari 2018 perihal pembatalan izin HGU PT Cemerlang Abadi.

“PT Cemerlang Abadi selama 30 tahun telah menelantarkan lahan HGU dan tidak melaporkan perkembangan usaha secara berkala setiap semester kepadal dinas terkait,” ungkap SAG.

Hal yang mendasar lain, mengapa Gubernur Aceh mengeluarkan surat pencabutan rekomendasi perpanjangan HGU PT Cemerlang Abadi, SAG menyebutkan, selama ini perusahaan sawit tersebut tidak melakukan kegiatan kemitraan usaha perkebunan sebagaimana tercantum dalam pasal 57 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang perkebunan.

Lebih parah lagi, perusahaan tersebut juga tidak melakukan kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR) sebagaimana perintah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang perseroan terbatas.

Oleh karena itu, sebut SAG, Gubernur Aceh meminta kepada kedua kementerian tersebut agar permohonan perpanjangan HGU PT Cemerlang Abadi yang telah diajukan tidak dikabulkan.

Koalisi Tolak HGU PT Cemerlang Abadi dari 7 lembaga di Aceh sebelumnya telah melaporkan perusahaan tersebut ke Direktorat Kriminal Khusus (Ditkrimsus) Polda Aceh, Rabu (23/5). Koalisi berharap polisi bisa bergerak cepat untuk memproses kasus ini sampai tuntas.

Dilaporkannya perusahaan sawit itu karena ada 269 hektar lahan yang kembali digarap dengan menggunakan dua ekskavator. Ini sudah dilakukan sejak awal tahun 2018. PT Cemerlang Abadi melakukan Land Clearing (pembersihan lahan) di HGU yang sudah berakhir.

“Penolakan terhadap perpanjangan izin HGU milik PT Cemerlang Abadi sudah berlangsung lama. Sejak 2015, arus penolakan sudah dilakukan oleh masyarakat maupun pemerintah kabupaten setempat,” kata Ketua Divisi Advokasi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh, Muhammad Nasir.

PT Cemerlang Abadi mendapat HGU nomor Nomor 45/HGU/BPN/87, tanggal 7 November 1987. Luas lahannya adalah 7.516 hektar untuk komoditas kelapa sawit di Abdya.

Namun pada 31 Desember 2017 lalu, HGU milik PT Cemerlang Abadi berakhir. Sampai batas akhir izin HGU itu, perusahaan ini baru melakukan penanaman kelapa sawit seluas 2.627 hektare. Sedangkan sisanya seluas 1.841 hektar ditelantarkan dan 2.286 hetar dikuasai oleh masyarakat atau enclave.

Muhammad Nasir menyebutkan, yang dilaporkan ke Ditkrimsus Polda Aceh adalah dugaan PT Cemerlang Abadi masih melakukan land clearing pada HGU yang sudah berakhir izin seluas 269 hektar. Secara hukum, perusahaan tersebut sebenarnya tidak bisa lagi melakukan aktivitas apapun di HGU tersebut.

Dia juga menyebutkan, selain tidak menggarap semua lahan sesuai dengan HGU yang telah diterbitkan tahun 1987, pihak perusahaan juga diduga mencoba mengelabui masyarakat dan pemerintah dengan cara hanya menanam sawit di pinggir atau sekeliling hutan saja.

Sedangkan hutan yang berada di tengah-tengah masih terlihat lebat. Muhammad Nasir curiga, ini akal-akalan perusahaan untuk tetap bisa menguasai semua lahan tersebut.

“Ini kami menduga modus saja, atas ketidakmampuan mereka menggarap semua lahan, jelasnya.

Sementara itu Koordinator Lapangan (Korlap) PT Cemerlang Abadi, Agus Marhelis mengaku akan membahas hal tersebut dengan top manajer manajemen PT Cemerlang Abadi terlebih dahulu. Namun, apapun yang menjadi keputusan pihak kementerian akan diterima dengan baik.

“Apa yang mereka tetapkan akan kita patuhi, karena semua prosedur sudah kita lakukan,” ungkap Agus Marhelis.

Menyangkut dengan tudingan dalam surat Gubernur Aceh tentang pencabutan rekomendasi perpanjangan HGU PT Cemerlang Abdi yang menyebutkan tidak melakukan CSR. Agus mengaku itu semua informasi yang tidak benar, selama ini pihak perusahaan telah membantu desa setempat dan juga beberapa masjid.

“Kalau dikatakan tidak melakukan CSR itu gak betul juga, kita telah berikan,” tegasnya.

Agus tegaskan, apapun yang menjadi keputusan dari pihak kementerian, terutama BPN akan diterima dan dijalankan. Apa lagi, Agus mengaku perusahaannya itu telah melakukan berbagai proses sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan.[]

read more
1 2
Page 2 of 2