close

September 2018

Green Style

UNESCO Dorong Aceh Dirikan Badan Pengelola Leuser

Takengon – Komite Nasional UNESCO dalam Man and the Biosphere Programme (MAB) mendorong pemerintah Provinsi Aceh dan Sumatera Utara untuk segera menetapkan lembaga Cagar Biosfer Gunung Leuser  untuk mempromosikan Sustainable Development Goals (SDGs) dalam perspektif lingkungan.

“Kami berharap Pemerintah Aceh dan Sumatera Utara segera membentuk lembaga untuk Leuser Cagar Biosfer karena Leuser didirikan sebagai cagar biosfer pada tahun 1981,” kata Ketua MAB-UNESCO Komite Nasional, Enny Sudarmonowati, Jumat (14/9/2018) di sela-sela mengunjungi Desa Kupi Tebes Lues di Kabupaten Aceh Tengah.

Sudarmonowati menjelaskan bahwa lembaga tersebut merupakan bentuk komitmen dari pemerintah daerah yang wilayah yang termasuk dalam zona cagar biosfer. Lembaga ini dikelola di bawah lintas sektoral sistem.

Menurut dia, lembaga ini dapat bergantian dikelola antar provinsi karena Kawasan Ekosistem Leuser berada di wilayah meliputi Aceh dan Sumatera Utara.

“Kami mengharapkan lembaga ini akan didirikan dalam satu tahun. Kehadiran lembaga ini akan menjadi sangat penting untuk melakukan branding dan mempromosikan Leuser Cagar Biosfer yang lebih baik,” ujar Sudarmonowati. Dia menambahkan bahwa tanpa lembaga, pemerintah provinsi akan sulit untuk branding dan promosi Leuser Cagar Biosfer.

Cagar biosfer adalah situs yang ditunjuk oleh berbagai negara melalui MAB-UNESCO program. Situs ini mempromosikan konservasi keanekaragaman hayati dan SDGs berdasarkan pada upaya masyarakat lokal dan ilmu pengetahuan yang dapat diandalkan.

Cagar biosfer adalah suatu kawasan yang menjelaskan hubungan yang harmonis pembangunan ekonomi, pemberdayaan masyarakat dan perlindungan lingkungan.

“Ini berarti bahwa pembangunan di daerah ini dilakukan dalam harmoni antara manusia dan lingkungan alam tanpa merusak hutan,” katanya.

Sudarmonowati menunjukkan bahwa Leuser Cagar Biosfer memiliki kombinasi dari tiga fungsi, yaitu logistik, penelitian, serta ilmu pengetahuan dan teknologi. Semua fungsi-fungsi ini akan memberikan nilai tambah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat di masa depan.

Menurut dia, Leuser Cagar Biosfer lembaga, yang melibatkan semua sektor, juga akan mengupayakan pencapaian target SDGs program.

Sudarmonowati menambahkan bahwa Gayo Alas Gunung International Festival (GAMIFest) adalah juga bagian dari program percepatan pembangunan di wilayah tengah Aceh.

“Acara yang diadakan di empat kabupaten dan kota di wilayah tengah Aceh, juga dapat digunakan sebagai sarana untuk mempromosikan Leuser Cagar Biosfer,” katanya.[]

Sumber: antara 

 

 

read more
Kebijakan Lingkungan

Pemerintah Aceh Belajar Pendanaan Konservasi KEL di Kanada

Vancouver – Minggu lalu delegasi Pemerintah dan Parlemen dari Aceh belajar mengenai opsi-opsi pembangunan ekonomi berbasis konservasi yang bisa menyelamatkan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) ke Great Bear Rainforest, Provinsi British Columbia, Kanada. Model pendanaan konservasi yang menitik beratkan pada pembangunan ekonomi masyarakat telah diterapkan di Great Bear Rainforest sejak 2007 dan merupakan salah satu model finansial paling komprehensif dan berskala terbesar di dunia. Keunggulan ekonomi Great Bear Rainforest bergantung pada perlindungan satwa langka seperti beruang hitam, beruang Grizzly, dan beruang Bermode yang hidup di sana, bersama dengan serigala, dan berbagai jenis paus yang melewati perairan tersebut. KEL merupakan tempat terakhir di dunia dimana orangutan, gajah, badak dan harimau masih tinggal bersama di alam. Perlindungan KEL memainkan peran penting untuk pembangunan ekonomi ke depan.

Para Delegasi Konservasi dan Pendanaan Hijau Aceh diundang oleh Canopy, sebuah organisasi nirlaba lingkungan internasional. Delegasi ini terdiri dari para pemangku kebijakan politik di Aceh dan para ketua lembaga swadaya masyarakat di Aceh. Dalam kunjungan 5 hari tersebut, Menteri Koordinator Lingkungan dan Iklim British Columbia, Kanada, Hon. George Heyman, para pemimpin First Nations, bersama dengan para eksekutif finansial, bisnis dan yayasan filantropi memberikan presentasi mengenai pendanaan konservasi (Green financing) dan peluang yang dapat dihasilkan untuk membangun ekonomi hijau lokal berskala besar.

Delegasi yang diundang adalah Teuku Irwan Djohan (Wakil Ketua DPRA), Azhari (Kepala BAPPEDA ACEH), Mursil (Bupati Aceh Tamiang), Raidin Pinim (Bupati Aceh Tenggara) dan tim asistennya, Ahmad Ubaidi, Farwiza Farhan (Ketua Yayasan HAkA), Rudi Putra (Direktur FKL) dan Wahdi Azmi (Direktur ACCI – Aceh Program).

Pada akhir kunjungan, Teuku Irwan Djohan, mengatakan,“Saya yakin bahwa model ekonomi konservasi yang ada di Great Bear Rainforest, Kanada, bisa menjadi fondasi atau model yang bisa dipakai untuk Aceh agar bisa mengembangkan masyarakat yang sejahtera sekaligus melindungi Kawasan Ekosistem Leuser. Semangat saya bangkit untuk bekerja dengan kolega saya di Aceh untuk mencapai visi tersebut bersama dengan partner baru yang kami temui di Kanada.”

Direktur Eksekutif Leonardo Di Caprio Foundation, Justin Winters, mengatakan, “Kawasan Ekosistem Leuser adalah salah satu hutan hujan paling berharga di dunia dan mempunyai potensi untuk mendatangkan investasi hijau untuk pembangunan berkelanjutan berbasis masyarakat, perencanaan konservasi dan perlindungan skala besar yang ada di Great Bear Rainforest, Kanada. Ada keinginan dari yayasan filantropi untuk mendukung kepemimpinan konservasi di lanskap sebesar Kawasan Ekosistem Leuser”.

Direktur Eksekutif Canopy, Nicole Rycroft, menambahkan,“Dengan adanya revisi rencana revisi RTRW Aceh, Aceh mempunyai kesempatan untuk mengejar jalan pembangunan yang berbeda dengan industrialisasi yang banyak kita lihat di daerah lain. Para pemangku kebijakan di Aceh punya kekuatan untuk memanfaatkan keindahan alam Aceh yang sangat kaya sebagai fondasi kesuksesan ekonomi hijau dan masyarakat yang sejahtera sekaligus melindungi Kawasan Ekosistem Leuser. Tanpa inisiatif ini, satwa penting, seperti orangutan dan harimau, akan semakin punah”. “Mengingat krisis iklim dan keanekaragaman hayati yang terjadi di bumi, kita benar-benar tidak mampu menanggung dampak jika Kawasan Ekosistem Leuser ini hilang,” sambung Justin Winter

Pertemuan ini juga membicarakan bagaimana pendanaan konservasi dikembangkan dan disusun di Great Bear Rainforest dan model pendanaan konservasi seperti apa yang bisa dikembangkan di Kawasan Ekosistem Leuser. Para delegasi juga berkesempatan untuk mengunjungi Great Bear Rainforest yang indah dan melihat bisnis dan inisiatif seperti apa yang dikembangkan oleh masyarakat First Nation dengan bantuan investasi pendanaan konservasi. Para delegasi melihat langsung bagaimana masyarakat yang hidup di sekitar Great Bear Rainforest memperoleh pendapatan dua kali lipat semenjak berganti kepada ekonomi berbasis konservasi.

Delegasi, ahli dan peserta panel telah berkomitmen untuk bekerja sama untuk mengembangkan rencana pendanaan konservasi di Aceh yang mencakup perlindungan Kawasan Ekosistem Leuser. Kunjungan ini adalah awal dari hubungan kerja yang erat antara para ahli di British Columbia dan Pemerintah Aceh.[rel]

 

 

read more
Flora Fauna

Lahan Sawit Membuat Orangutan di Rawa Tripa Terancam Punah

BANDA ACEH – Pembukaan lahan sawit secara bersar-besaran sejak tahun 1990 telah membuat habitat Orangutan semakin sempit di kawasan Rawa Tripa. Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh mencatat, pada tahun 2018 hanya tersisa sekitar 150-200 individu.

Pembukaan lahan sawit dengan cara membakar telah membuat Orangutan dan sejumlah hewan lainnya kehilangan habitatnya. Semakin hari ruang gerak semakin sempit. Pembakaran lahan yang dilakukan oleh PT Kalista Alam misalnya, telah banyak berkotribusi menyembitnya wilayah jelajah satwa yang ada di Rawa Tripa.

Perusahaan sawit ini bahkan kemudian didugat oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) ke pengadilan. Pengadilan telah memvonis perusahaan sawit itu harus membayar denda Rp 366 miliar untuk memperbaiki lahan gambut yang dibakar itu.

Meskipun hingga sekarang putusan itu belum dilaksanakan. Padahal penting mengembalikan lahan tersebut seperti semula. Sehingga dengan alam pulih kembali, Orangutan bisa semakin luas memiliki arial untuk ditempati.

Pembakaran lahan di Rawa Tripa membuat habitat satwa dilindungi ini semakin sempit. Rawa Tripa yang menjadi rumahnya Orangutan semakin terdesak, sehingga mengakibatkan terancam punah saat ini.

Luas total Rawa Tripa mencapai 60.657,29 hektar. Namun akibat adanya pembukaan perkebunan sawit sejak 1990, rawa gambut hanya tersisa 12.455,45 hektar saja.

Berdasarkan data dari BKSDA Aceh, jumlah Orangutan yang sudah tewas sejak tahun 1990 sebanyak 2.850 ekor. Populasi Orangutan di Rawa Tripa tahun 1990 tercatat 3000 individu.

Jumlah tersebut semakin susut seiring tingginya pembukaan lahan sawit di Nagan Raya dan beberapa kabupaten yang masuk Rawa Tripa. Akibatnya pada tahun 2012 jumlah Orangutan yang tersisa hanya 250-300 individu.

Populasi tersebut semakin susut seiring maraknya pembakaran lahan untuk perluasan perkebunan sawit. Pada tahun 2016 lalu, jumlah Orangutan hanya tersisa 150-200 indivusu.

“Pada tahun 2018 ini kita yakini hanya tersisa 150 indivisu,” kata Kepala BKSDA Aceh, Sapto Aji Prabowo beberapa waktu lalu.

Sapto menyebutkan, bila Rawa Tripa tidak segera diselamatkan dan kawasan lindung yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh (RTRWA) tidak diimplementasikan dan dikawal dengan baik. Maka Orangutan yang masih tersisa di Rawa Tripa saat ini hanya menunggu waktu akan habis.

Cara satu-satunya selamatkan Orangutan di Rawa Tripa, sebutnya, maka harus dilakukan pemulihan lahan gambut yang sudah terlanjur rusak. Kalau pun tidak bisa dipulihkan di kawasan HGU, minimal di kawasan hutan lindung seluas 11 ribu hektar harus segera diselamatkan dan dipulihkan.

“Orangutan terdesak di areal sawit saat ini, perlu segera diselamatkan Ratwa Tripa untuk selematkan Orangutan,” tegasnya.

Adapun jumlah populasi Orangutan di seluruh Aceh saat ini berdasarkan data tahun 2010, tercatat 6.600-9.000 individu yang ada di Kawasan Ekosistem Leuser. Sedangkan di Rawa Singkil data tahun 2014 lalu tercatat sebanyak 1.472 individu.

read more
Perubahan Iklim

Masyarakat Beutong Ateuh Tolak Tambang Emas PT. EMM

Lagi-lagi perusahaan tambang mengancam kelestarian lingkungan dan manusia. Sepertinya perusahaan tambang ini tidak punya nurani lagi sehingga mudah saja membuka usaha tambang. Akibatnya sudah dapat ditebak, timbul reaksi penolakan dari masyarakat setempat. Misalnya saja masyarakat yang bermukim di Beutong Ateuh Kabupaten Nagan Raya.

Masyarakat Beutong Ateuh Banggala menolak kehadiran PT. Emas Mineral Murni (PT. EMM) di wilayah mereka. Masyarakat yang tergabung dalam empat empat desa menyatakan sikap penolakannya dengan meneken bersama pada kain putih dalam aksi damai di Beutong Ateuh Banggalang, pada hari Sabtu (8/9/2018). Aksi ini disertai pemasangan spanduk tolak PT. EMM di jembatan rangka baja yang merupakan jalan akses Beutong Ateuh Banggala – Aceh Tengah. Pemasangan spanduk ini bertujuan untuk diketahui oleh semua pihak bahwa masyarakat Beutong Ateuh Banggala menolak kehadiran PT. EMM.

Masyarakat Beutong Ateuh Banggala juga menyatakan sikap menolak semua jenis usaha pertambangan di daerah mereka. Dalam waktu dekat, masyarakat juga akan menyiapkan petisi menolak PT. EMM yang ditandatangani oleh semua masyarakat desa Babah Suak, Kuta Tengoh, Blang Puuk, dan Blang Meurandeh Kecamatan Beutong Ateuh Banggalang, Kabupaten Nagan Raya.

Pernyataan sikap tersebut bentuk kesadaran masyarakat terhadap lingkungan dampak dari usaha pertambangan. Dengan hadirnya usaha pertambangan, masyarakat mengkhawatirkan akan terjadi kerusakan lingkungan hidup yang berdampak terhadap terjadinya bencana ekologis. Maka dari itu, masyarakat menyatakan sikap menolak semua jenis pertambangan di daerah mereka, termasuk usaha pertambangan emas oleh PT. EMM. Karena masyarakat menyadari tidak ada satupun jenis pertambangan yang ramah lingkungan, justru sebaliknya hadirnya pertambangan akan berdampak negatif terhadap masyarakat.

PT. EMM telah mendapatkan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi melalui SK Kepala BKPM Nomor 66/1/IUP/PMA/2017 pada tanggal 19 Desember 2017, untuk komoditas emas, dengan luas areal 10.000 Ha yang terdiri dari APL sekitar 2.779 Ha, HL 4.709 Ha, dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) sekitar 2.478 Ha (APL 1.205 Ha dan HL 1.273 Ha). Lokasi izin PT. EMM berada di Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Tengah.

Masyarakat Beutong Ateuh Manggalang dengan didampingi WALHI Aceh akan menempuh jalur hukum untuk membatalkan izin PT. EMM. Diduga proses perizinan dan pengkajian dampak PT. EMM untuk lokasi pertambangan di Nagan Raya dan Aceh Tengah tidak dilakukan sesuai prosedur dan tidak melibatkan masyarakat yang terkena dampak dari usaha tersebut. Untuk itu, sejumlah komponen masyarakat sipil Aceh mendesak Kementerian ESDM, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk mengevaluasi kembali proses perizinan yang telah diberikan kepada PT. EMM selaku perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA). Begitu pula halnya kepada Bupati Nagan Raya dan Gubernur Aceh untuk dapat membatalkan segala bentuk rekomendasi terkait proses perizinan PT. EMM.[rel]

 

 

read more
Green StyleKebijakan Lingkungan

Masyarakat Tolak PLTA Tampur Yang Ancam Jutaan Nyawa

Pembangunan mega proyek PLTA Tampur akan membuka akses ke kawasan hutan primer, sehingga menimbulkan aktivitas pembukaan hutan dan perburuan. Kondisi tersebut akan menurunkan keutuhan fungsi lindung dari Kawasan Strategis Nasional Kawasan Ekosistem Leuser. Ini dapat menimbulkan krisis ekologi yang ujung-ujungnya akan memicu konflik. Potensi konflik tersebut dipicu oleh adanya rencana eksploitasi alam untuk mega Proyek PLTA Tampur, Provinsi Aceh. Proyek tersebut dinilai mengancam kelangsungan hidup masyarakat di sekitar dan satwa yang dilindungi.

Sebuah petisi di situs change.org dengan judul “Batalkan Proyek PLTA Tampur yang Mengancam Jutaan Jiwa” telah ditandatangani sebanyak 11.396 orang. Jumlah ini diperkirakan akan semakin bertambah mengingat kesadaran masyarakat akan pentingnya kelestarian hutan Leuser juga semakin meningkat.

Petisi berisikan alasan-alasan mengapa pembangunan PLTA Tampur harus ditolak. Beberapa alasan tersebut yaitu:

  1. Rencana pembangunan PLTA Tampur ini berlokasi di dalam hutan lindung Kawasan Ekosistem Leuser, Aceh. Kalau project ini berlanjut, 4.000 hektar hutan lindung habitat gajah Sumatra dan spesies lain akan terendam. Hutan akan menjadi danau, dan ratusan kepala keluarga akan direlokasi.
  2. Pembangunan jalan untuk proyek ini akan membelah hutan alami Leuser, hutan tropis penting daerah penyangga Situs Warisan Dunia. Sekali hutan yang sudah dibelah maka kerusakan lingkungan lainnya akan menyusul seperti habitat satwa liar rusak, kebakaran hutan, perburuan satwa, penebangan liar dan lainnya.
  3. Sungai di Kawasan Ekosistem Leuser adalah sumber air minum, transportasi, dan irigasi yang penting bagi jutaan orang di Aceh dan Sumatra Utara. Bagi ribuan masyarakat Aceh Tamiang sungai adalah sumber penghidupan, untuk memancing dan menjala. Jika sungai dibendung, akses air bersih hilang sumber penghidupan mereka pun musnah.
  4. Menurut organisasi Masyarakat untuk Kesehatan, Pendidikan, Lingkungan dan Perdamaian (SHEEP), masih terdapat banyak kekurangan dalam AMDAL PLTA Tampur. Amdal terkesan dipaksakan dan terburu-buru, bahkan relokasi masyarakat dan mitigasi konflik satwa pun diabaikan. Hingga saat ini KLHK belum mengeluarkan izin kehutanan, namun pemerintah daerah sudah membuat MoU antara pemerintah provinsi Aceh dengan Prosperity International Holding (HK) Limited yang ditandatangani oleh Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf sebagai saksi.
  5. Pemerintah Aceh seharusnya memaksimalkan produksi energi dari pembangkit listrik yang ada dan bisa menghasilkan sekitar 400 MW surplus kebutuhan, atau mengembangkan alternatif program energi baru di luar kawasan hutan yang tidak memiliki dampak negatif pada ekosistem dan masyarakat​ ​lokal. Aceh punya banyak lokasi alternatif berpotensi energi yang lebih besar tanpa harus hancurkan aset alam.

 

Aktivis menolak pembangunan PLTA Tampur | Foto:Ist

Matsum, salah satu warga Aceh Tamiang dan Pencetus Petisi Tolak PLTA Tampur, menjelaskan bahwa masyarakat yang tinggal di hilir sungai Tamiang mulai merasa cemas menanggapi rencana pembangunan PLTA Tampur ini. Sebenarnya Matsum mendukung segala bentuk pembangunan yang dilakukan Pemerintah. Hanya saja karena trauma dengan banjir yang sering melanda wilayahnya, ia ingin agar pembangunan tidak merambah hutan Leuser  Matsum berharap Pembangunan bisa dilakukan di tempat-tempat lain yang bisa menghasilkan listrik tanpa merusak hutan dan menimbulkan bencana.

Pemerintah Indonesia disebutkan telah mengeluarkan izin pembangunan proyek PLTA raksasa di dalam hutan lindung Kawasan Ekosistem Leuser. Bendungan akan dibangun setinggi 175 meter yang diperkirakan akan menenggelamkan lahan seluas 4.000 hektar hutan hujan perawan.

Puluhan keluarga yang tinggal di desa Lesten terpaksa direlokasi. Aneka satwa dan tumbuhan yang hidup saat ini akan tenggelam, padahal kawasan Ekosistem Leusur menjadi suaka alami bagi populasi gajah dan orangutan Sumatera.[]

 

 

read more
Flora FaunaKebijakan Lingkungan

“M. Salah”, Diselamatkan di Rawa Tripa, Dilepasliarkan di Jantho

Satu individu orangutan Sumatera (Pongo abelii) berjenis kelamin Jantan berhasil diselamatkan oleh tim dari Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Aceh – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indonesia dalam program Sumatran Orangutan Conservation Programme (SOCP). Orangutan tersebut terisolir sebuah fragmen hutan kecil dan sempit yang dikelilingi oleh kelapa sawit di Kawasan Rawa Gambut Tripa, yang merupakan sebagian dari Kawasan Ekosistem Leuser, Aceh, Indonesia.

Tim YEL-SOCP yang terdiri dari dokter hewan drh. Pandu Wibisono dan Manajer Operasional SOCP Asril Abdullah, S.Si serta petugas Balai KSDA Aceh berhasil menyelamatkan orangutan dari lokasi tepatnya di Desa Blang Mee (Kecamatan Kuala Batee, Kabupaten Aceh Barat Daya, dan kemudian dibawa ke Pusat Reintroduksi Orangutan SOCP, di kawasan Cagar Alam Jantho, Aceh Besar, dan telah dilepasliarkan kembali ke hutan alam Kamis pagi  (31/08/2018).

Orangutan jantan dewasa ini diberi nama “M. (Mawas) Salah” oleh tim penyelamat di lokasi, karena sambil melaksanakan tugasnya, tim membahas piala dunia sepakbola dan pemain terkenal tim Liverpool di Inggris, Mohamed Salah.

Dari hasil pemerikasaan kesehatan awal, Orangutan “M Salah” diperkirakan berumur antara 30-35 tahun, dan berat badannya sekitar 65 kilogram. Informasi oleh drh. Pandu juga mengatakan bahwa kondisi fisiknya cukup sehat, apalagi untuk orangutan yang sudah cukup lama hidup di habitat yang sumber makanan alaminya sangat terbatas.

Drh. Pandu Wibisono, menjelaskan, “Hasil cek kesehatan awal, orangutan “M Salah” ini terlihat sehat, hanya saja dia terlihat sedikit stress. Hal tersebut dapat disebabkan karena dia telah terisolasi di daerah seperti ini”.

Manajer Operasional SOCP, Asril, S.Si menyampaikan, “Jika kita tidak melakukan penyelamatan, besar kemungkinan orangutan akan mati disana akibat kelaparan ataupun dibunuh oleh masyarakat. Orangutan Jantan ini dikabarkan sudah mengganggu lahan pertanian masyarakat, termasuk memakan bibit kelapa sawit muda dalam upayanya untuk bertahan hidup.”

Sebenarnya bibit sawit bukan diet alami atau yang sehat untuk orangutan, akan tetapi jika tidak ada sumber makanan lain orangutan ini terpaksa turun dan mencobanya”.

Direktur SOCP, Dr. Ian Singleton dari PanEco Foundation yang juga ikut dalam kegiatan penyelamatan menjelaskan, “Sebenarnya kami merasa sedih jika harus menangkap orangutan liar dan bebas dari habitat aslinya. Tetapi dalam kasus seperti ini dimana habitat aslinya sudah dimusnahkan, tidak ada pilihan lain selain menyelamatkan ke tempat yang lebih aman di Jantho.”

Orangutan “M Salah” ini akan memiliki kesempatan bertahan hidup dan tetap berkontribusi terhadap generasi orangutan Sumatera, sekaligus untuk pelestarian spesiesnya. Kemungkinan besar dia akan dibunuh jika tidak diselamatkan, maka tidak punya pilihan selain mencoba membantu mentranslokasinya. Dengan begitu, setelah ditranslokasi ke hutan yang lebih aman, “M Salah” akan bergabung dengan lebih dari 100 individu orangutan lain yang telah dilepasliaarkan, sebagai upaya untuk membangun populasi baru spesies sangat terancam punah ini di alam liar”.

Sementara itu, Kepala Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (KSDA) Aceh, Sapto Aji Prabowo, M. Si mengatakan, “Dengan jumlah orangutan Sumatera yang tersisa diperkirakan hanya sekitar 13.000-an, orangutan Sumatera terdaftar oleh IUCN (Badan Konservasi Alam Dunia) sebagai jenis satwa yang ‘Sangat Terancam Punah’. Selain itu, Orangutan juga dilindungi secara tegas dibawah hukum Indonesia, dengan potensi denda sebesar Rp 100,000,000 dan hukuman kurungan selama 5 (lima) tahun jika membunuh, menangkap, memelihara atau menjualnya”.

“Kami telah dan akan terus melakukan penegakan hukum terhadap kasus-kasus pembunuhan, penangkapan, dan pemeliharaan orangutan secara illegal, dengan tujuan bahwa kasus-kasus ini akan menjadi efek jera kepada siapa saja yang akan menangkap atau membunuh orangutan, dan juga kepada orang yang membeli atau menerima orangutan dari orangutan lain secara illegal”, tegasnya.

Lokasi penyelamatan orangutan “M Salah” berada di Kawasan Rawa Gambut Tripa, di Kawasan Ekosistem Leuser, yang menjadi fokus masyarakat dunia tahun 2012 ketika terdapat banyak titik api dan kebakaran berskala besar di perkebunan kelapa sawit, yang memusnahkan ribuan hektar hutan rawa gambut dan keanekaragaman hayatinya, dan melepaskan sejumlah besar karbon dioksida ke atmosfir. Kejadian ini mengakibatkan beberapa kasus hukum berupa tuntutan yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terhadap pengusaha-pengusaha perkebunan kelapa sawit.

Beberapa tuntutan tersebut berhasil memberikan denda dalam jumlah besar dan hukuman penjara terhadap pengusaha dan pihak-pihak yang terbukti melanggar hukum.

“Kami telah dan akan terus melakukan penegakan hukum terhadap kasus-kasus pembunuhan, penangkapan, dan pemeliharaan orangutan secara illegal, dengan tujuan bahwa kasus-kasus ini akan menjadi efek jera kepada siapa saja yang akan menangkap atau membunuh orangutan, dan juga kepada orang yang membeli atau menerima orangutan dari orangutan lain secara illegal,”tegasnya.

Sejak tahun 2001, SOCP telah menerima lebih dari 370 orangutan di pusat karantina dan rehabilitasi orangutan yang berada di Kecamatan Sibolangit, Deli Serdang, Sumatera Utara. Lebih dari 280 diantaranya telah dilepasliarkan di kedua pusat reintroduksi yang dikelola YEL-SOCP di Provinsi Jambi dan di Jantho, Aceh. Sebanyak 105 orangutan lainnya telah dilepaskan ke hutan Jantho, Provinsi Aceh sejak 2011.[rel]

 

 

read more
1 2
Page 2 of 2