close

aceh

Kebijakan Lingkungan

Gubernur: Tidak Ada Sawit di Aceh Merusak Lingkungan

Meulaboh – Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Aceh, Nova Iriansyah menegaskan tidak ada perkebunan kelapa sawit di Provinsi Aceh yang merusak lingkungan seperti informasi negatif yang selama ini beredar di negara luar.

“Tidak mungkin masyarakat Aceh merusak lingkungan, karena kalau hal itu (perusakan lingkungan) dilakukan, maka minyak kelapa sawit petani Aceh tidak akan dibeli oleh negara luar,” kata Nova Iriansyah saat mengunjungi kawasan pedalaman Sikundo, Kecamatan Pante Ceureumen, Aceh Barat, Senin.

Menurutnya, dampak fitnah yang dilancarkan pihak tertentu terhadap komoditas kelapa sawit di Aceh, juga telah berimbas pada turunnya harga jual minyak kelapa sawit (CPO) milik petani yang ada di daerah ini, karena ditolak oleh negara luar termasuk di kawasan negara Uni Eropa.

Ia juga menegaskan, rendahnya harga jual minyak kelapa sawit milik masyarakat terjadi akibat fitnah soal lingkungan.

Nova menambahkan, dari total luas lahan kebun kelapa sawit di Aceh mencapai lebih dari 140 ribu hektare lebih, sebanyak 51 persen kebun kelapa sawit adalah milik rakyat atau petani. Sedangkan sisanya sebanyak 49 persen, merupakan lahan perkebunan milik perusahaan atau pengusaha.

Agar harga komoditas kelapa sawit milik petani di Aceh bisa diterima dan dibeli oleh negara luar, ia mengaku baru-baru ini bersama pejabat kementerian RI, terbang ke Belanda, guna meyakinkan para investor, kalangan pengusaha, dan pemerintah di kawasan Uni Eropa tersebut bahwa kelapa sawit (CPO) dari Aceh ditanam tanpa merusak lingkungan.

Ia berharap kampanye negatif terhadap kelapa sawit yang ditanam oleh masyarakat Aceh tidak lagi terjadi, karena justru merugikan masyarakat di daerah ini karena berimbas terhada turunnya harga jual dan tidak laku di pasar internasional.

Sumber: aceh.antaranews.com

read more
Kebijakan Lingkungan

KEL Sebagai Kawasan Ekosistem Esensial: Sebuah Gagasan

Dalam sejarahnya, Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) digagas sebagai kawasan penyangga untuk Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Puluhan tahun berlalu, kawasan ini selalu menyisakan ‘masalah’ yang belum terselesaikan terutama masalah regulasi. Pertanyaan tentang sejauh mana kewenangan pemerintah lokal dalam mengelola KEL belum menemukan jawaban tegas. Belum lagi masalah ruang lingkup pengelolaan yang masih membutuhkan diskusi panjang. Demikian juga masalah sumber penganggaran untuk pengelolaannya.

Seperti diketahui, sejak diberlakukan Undang-undang No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, kewenangan pengelolaan KEL – yang ada di wilayah Aceh – secara tegas dimandatkan kepada Pemerintah Aceh. Kewenangan tersebut menghendaki Pemerintah Aceh untuk melindungi dan melestarikan KEL. UU yang sama menyebutkan bahwa pengelolaan KEL dilaksanakan dengan anggaran dan fasilitas yang disediakan oleh Pemerintah Pusat. Lebih dari satu dasawarsa berlalu, anggaran yang dicita-citakan tersebut tak terlihat di dalam dokumen anggaran pemerintah pusat. Padahal KEL disebut sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN) yang terkait dengan penataan ruang dalam Peraturan Pemerintah (PP) tahun 2008.

Di masa awal penerapan UU Pemerintahan Aceh, Pemerintah Aceh mengambil mandat tersebut dengan membentuk badan pengelola. Namun Badan ini akhirnya dibubarkan setelah beroperasi beberapa tahun. Saat ini, Pemerintah Aceh menerjemahkan kewenangan yang dimandatkan tersebut dengan menempatkan pengelolaan KEL ke dalam beberapa Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) alih-alih mengelolanya sebagai sebuah kawasan terpadu. Pemerintah Aceh tampaknya lebih fokus pada keberadaan hutan secara keseluruhan di wilayah Aceh daripada melihat keberadaan KEL secara khusus. Hal ini sejalan dengan ketiadaan nomenlaktur KEL di dalam Qanun Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Aceh. Pengaturan yang sedemikian berpotensi untuk mengaburkan KEL sehingga terbingkai menjadi wilayah kerja KPH semata. Apalagi aturan yang mengatur ke KEL sebagai KSN belum muncul hingga saat ini. Lebih jauh lagi, aturan-aturan terkait kehutanan hampir tidak pernah menimbang UU Pemerintahan Aceh di atas. PP tentang kewenangan nasional di Aceh juga tidak secara spesifik menerjemahkan mandat yang dimiliki Pemerintah Aceh terkait pengelolaan KEL.

Jika kita kembali kepada gagasan awal keberadaannya, diketahui bahwa KEL dimaksudkan untuk melindungi habitat beberapa mamalia besar endemik yang menjelajah di areal seluas lebih dari 2,6 juta hektar tersebut. Kekhawatiran terhadap hilangnya habitat dan punahnya satwa membuat banyak pihak mengambil andil untuk melindungi kawasan tersebut meskipun diawali dengan munculnya aturan-aturan yang membingungkan khalayak. Kekhawatiran itu tetap ada mengingat kondisi perlindungan dan pelestarian KEL yang masih jauh panggang dari api.

Gagasan untuk mewujudkan wilayah penyangga sekaligus melestarikan habitat satwa penting saat ini dapat diakomodir melalui pembentukan kawasan ekosistem esensial (KEE). Pasal 24 ayat (1) PP Nomor 28 tahun 2011 secara spesifik menyebutkan bahwa perlindungan pada kawasan perlindungan alam (KPA) dan kawasan suaka alam (KSA) juga memuat perlindungan terhadap kawasan ekosistem esensial.

KEE dapat dipahami sebagai suatu ekosistem diluar kawasan konservasi seperti KSA dan KPA baik yang memiliki alas hak maupun tidak. KEE disyaratkan mempunyai nilai keragaman hayati tinggi sekaligus dapat menunjang kelangsungan kehidupan untuk kemudian ditetapkan pemerintah (melalui kementerian LHK) sebagai kawasan yang dilindungi dan dikelola berdasarkan prinsip-prinsip konservasi keanekaragaman hayati. Pengelolaan KEE ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Kriteria kawasan yang dapat ditetapkan sebagai ekosistem esensial bisa juga karena kawasan tersebut merupakan koridor satwa liar atau habitat bagi spesies penting, langka, endemik atau terancam punah. KEE yang berupa kawasan penyangga kawasan konservasi memenuhi semua kriteria tersebut, berkesesuaian dengan apa yang ingin diperjuangkan dengan keberadaan KEL.

KEL dapat dikelola sebagai KEE bertipe lansekap dengan menempatkannya dalam koridor-koridor untuk mamalia besar seperti Orangutan Sumatera, Badak Sumatera, Gajah Sumatera dan Harimau Sumatera yang endemik di areal ini. Pengelolaan KEE dapat mengakomodir berbagi KPH, ijin usaha kehutanan, masyarakat adat dan berbagai organisasi swadaya masyarakat dengan adanya kepastian regulasi untuk model pengelolaan ini. Regulasi memungkinkan pengelolaan koridor seperti menyusun rencana kerja, memfasilitasi pertemuan- pertemuan, membentuk satuan tugas pengamanan, meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia, membantu proses-proses penyelesaian konflik dan melakukan monitoring, evaluasi serta pelaporan.

Penetapan KEL sebagai KEE tidak membutuhkan langkah yang panjang lagi mengingat bahwa kawasan ekosistem ini telah memiliki banyak bahan pendukung untuk mendapatkan status tersebut. Proses-proses seperti identifikasi dan inventarisasi para pihak dan berbagai potensi ekosistem telah memiliki data yang cukup. Yang dibutuhkan hanyalah keberadaan forum bersama untuk mengelolanya dan pengusulan oleh Gubernur Aceh. Sedikit musyawarah multi pihak untuk menegaskan delineasi batas ekosistem mungkin masih diperlukan.

Forum bersama untuk mengelola KEE diharapkan dapat mengakomodir berbagai kepentingan sepenjang para pengambil kebijakan terlibat penuh di dalamnya. Forum bersama tentu saja dapat memasukkan unsur pemerintahan dari 13 kabupaten/kota yang memiliki KEL kedalam bagiannya serta pihak-pihak lain yang terlibat. Mungkin dapat diatur sehingga forum bersifat bicameral dan menempatkan satu unit pengelolaan yang diisi oleh para professional sebagai eksekutor rencana kerja. Penetapan sebagai KEE juga turut memastikan bahwa kewenangan pengelolaan KEL berada pada forum.[]

Penulis adalah pekerja pada sejumlah lembaga lingkungan baik nasional dan internasional, berdomisili di Banda Aceh. Penulis dapat dihubungi di email:efrizaltamiang@gmail.com

 

 

read more
Flora FaunaHutan

602 Titik Api Terpantau di Kawasan Hutan Aceh

BANDA ACEH – Penghancuran hutan dalam semester satu tahun 2018 ini sudah mencapai 3.290 hektar di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) Aceh. Setiap bulannya kerusakan hutan terus terjadi, baik akibat pembukaan lahan baru maupun pembukaan jalan.

Hutan yang awalnya seluas 2.255.577 hektar, pada Juni 2018 tersisa sekitar 1,8 juta hektar. Seiring semakin menyempitnya areal tutupan hutan di KEL Aceh, ancaman terhadap habitat satwa liar dilindungi semakin meningkat. Konflik satwa liar dengan manusia pun tak dapat dihindari.

Terjadi kerusakan hutan dari tangan jahil yang melakukan perambahan hutan akhir-akhir ini. Semakin diperparah dengan ditemukan sejumlah titik api di kawasan hutan. Adanya titik api akan mengancam kelestarian hewan dan habitat lainnya yang ada di hutan.

Yayasan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) memonitor titik api menggunakan data dari NASA (satelit VIIRS dan MODIS). Untuk semester pertama tahun 2018, titik api di Aceh terdeteksi sebanyak 688 titik.

Sedangkan satelit VIIRS yang lebih sensitif (resolusi 375m) berhasil mendeteksi lebih banyak titik api yaitu sejumlah 602 titik sedangkan MODIS (resolusi 1 km) hanya mendeteksi sebanyak 86 titik api.

Areal Penggunaan Lain (APL) menjadi area yang paling banyak terdeteksi api yaitu sejumlah 440 titik api, sedangkan Hutan Produksi menduduki nomor 2 yaitu sebanyak 100 titik api dan nomor 3 adalah Suaka Margasatwa sebanyak 66 titik api.

“Kondisi ini juga cukup mengkhawatirkan untuk menjaga hutan, teruma KEL Aceh,” Manager Geographic Information System  (GIS) HAkA, Agung Dwinurcahya pekan lalu.

Titik api yang dimonitoring HAkA, kabupaten yang masuk dalam wilayah KEL justru yang peling tinggi ditemukan titik api. Titik api yang paling banyak ditemukan di Kabupaten Aceh Selatan sebesar 45 persen. Lalu disusul Kabupaten Aceh Timur 15 persen, Gayo Lues 13 persen, Bener Meriah 12 persen, Nagan Raya 8 persen dan kabupaten lain 7 persen.

Berdasarkan titik api yang ditemukan tersebut sesuai dengan angka kerusakan hutan yang terjadi di kabupaten tersebut. Kabupaten di KEL Aceh yang terburuk penghancuran hutannya pada semester 1 ini yaitu Nagan Raya 627 hektar, Aceh Timur 559 hektar, Gayo Lues 507 hektar, Aceh Selatan 399 hektar dan Bener Meriah 274 hektar.

Semua kabupaten tersebut di atas masuk dalam KEL Aceh yang mengalami laju deforestasi yang memprihatinkan. Kecuali Kabupaten Aceh Timur yang tidak termasuk KEL Aceh, namun kawasan hutan di daerah itu juga sudah berada pada titik berbahaya.

Menurut Agung Dwinurcahya,  KEL Aceh merupakan kawasan hutan tropis yang sangat berperan menyimpan cadangan air dan juga pengendalian iklim mikro. Perlindungan hutan tersebut berguna untuk keberlangsungan hidup manusia dan melindungi spesies-spesies yang harus memiliki skala prioritas untuk dikonservasi.

KEL juga berperan dalam mitigasi perubahan iklim, pencegahan bencana alam dan rumah bagi fauna dan flora yang beranekaragam. Ada 8500 spesies tumbuhan, 105 spesies mamalia dan 382 spesies burung.

KEL menjadi tempat terakhir di bumi Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), Harimau (Panthera tigris sumatrae), Gajah (Elephas maximus sumatraensis) dan Orangutan (Pongo abelii) hidup berdampingan di alam bebas.

“Bila laju kerusakan terus meningkat, hewan yang dilindungi ini juga semakin terancam, baik akibat pemburuan maupun kehilangan habitat sehingga terjadilah konflik satwa dengan manusia,” tegasnya.

Sementara itu Manajer Database Forum Konservasi Leuser (FKL), Ibnu Hasyem mengatakan, ada 24 tim ranger yang bertugas patroli di hutan 11 kabupaten. Selama semester pertama tahun 2018 ini sudah 139 kali patroli dilakukan dengan jangkauan patroli mencapai 7.834,44 kilometer.

Semester 1 tahun 2018 ini, tim patroli FKL menemukan 389 kasus pemburuan dan menemukan 25 orang pemburu. Pihaknya juga menyita 497 jerat yang telah dipasang di beberapa titik di hutan dalam KEL Aceh untuk memburu satwa landak, rusa, kijang, beruang, harimau, dan gajah. Selain itu, mereka turut menemukan sebanyak 25 kamp pemburu.

“Wilayah perburuan relatif sama dengan wilayah yang terjadi perambahan, pembalakan, dan perusakan hutan. Tetapi pemburuan lebih masuk ke dalam hutan,” kata Ibnu Hasyem.

FKL Aceh juga menemukan 187 kasus satwa dari 497 perangkap yang ditemukan. Berdasarkan jenis satwa, burung ditemukan 41 ekor dengan jumlah jerat sebanyak 59. Lalu rusa, kijang dan kambing ada 65 ekor dengan jumlah jerat 179 buah. Landak sebanyak 68 hewan dengan jumlah perangkap sebanyak 224 jerat, gajah 9 hewan dan 9 jerat dan harimau dan beruang sebanyak 4 satwa dengan jumlah 6 perangkap.

Pada periode ini juga ditemukan sebanyak 61 satwa ditemukan mati akibat perburuan maupun mati alami. Pihaknya juga menemukan seekor harimau dan gajah mati akibat perburuan di KEL Aceh.

Sedangkan kamp pemburu yang ditemukan langsung dimusnahkan oleh tim ranger yang sedang berpatroli. Kata Ibnu, biasanya pemburu awalnya berburu di pinggir hutan, namun setelah itu mereka mencoba untuk masuk lebih ke dalam hutan.

“Sedangkan yang ditemukan masih hidup langsung kita lepaskan kembali,” jelasnya.

read more
HutanKebijakan Lingkungan

HAkA Prediksi Hutan Rawa Tripa Akan Punah

BANDA ACEH – Nagan Raya menjadi kabupaten terparah dan terusak areal tutupan hutannya berdasarkan data citra satelit yang dikeluarkan oleh Yayasan HAkA, periode Januari – Juni 2018 yaitu seluas 627 hektare.

Kawasan Gambut Rawa Tripa yang berada di Kecamatan Darul Makmur, Nagan Raya pun kini sangat memprihatinkan dan terancam hilang. “Rawa Tripa dikhawatirkan akan habis dalam beberapa waktu ke depan,” kata Manager Geographic Information System (GIS) HAkA, Agung Dwinurcahya, Senin (23/7/2018) di Banda Aceh.

Menurut Agung, laju deforestasi di Rawa Tripa yang terjadi tahun ke tahun berada di lokasi yang sama, yaitu di arah timur dan selatan hutan. Pengrusakannya juga terjadi di wilayah hulu, penghancuran hutan itu mengikis kawasan hutan.

“Sebagian besar kerusakan hutan di Nagan Raya memang berada di dalam Kawasan Gambut Rawa Tripa,” kata Agung.

Mirisnya, tutupan hutan di wilayah yang pernah dikenal sebagai tempat populasi Orangutan terpadat dunia ini pun terus menurun. Penyebab utamanya, karena semakin maraknya perambahan hutan untuk dijadikan lahan perkebunan.

Padahal, Kabupaten Nagan Raya termasuk dalam daftar kabupaten yang memiliki hutan sisa terluas di KEL. Selain Nagan Raya, kabupaten lain yang memiliki hutan sisa terluas yaitu Gayo Lues, Aceh Tenggara, Aceh Timur, dan Aceh Selatan.

Menurut Agung, sebagaimana terpantau melalui NASA dan satelit VIIRS dan MODIS. Kerusakan hutan khususnya Rawa Tripa, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya terjadi setiap bulannya sejak Januari-Juni 2018.

“Lama-lama Rawa Tripa tempatnya Orangutan bisa habis kalau tak segera dicegah,” jelasnya.

Sementara itu staf Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), Teuku Muhammad Zulfikar menilai, penting menjaga Rawa Tripa mengingat lahan gambut tersebut memberikan fungsi-fungsi ekologis yang sangat penting bagi manusia dan habitatnya.

Lahan gambut Rwa Tripa merupakan lahan untuk penyimpanan air yang bisa dipergunakan untuk kehidupan manusia. Selain itu juga bisa untuk perlindungan badai dan pencegahan banjir, stabilisasi garis pantai dan pengontrol erosi.

Tak hanya itu, fungsi ekologis lahan gambut Rawa Tripa menjadi pengisian air tanah (pergerakan air tanah dari lahan basah ke daerah atasnya), pengeluaran air tanah (pergerakan dari lahan sebelah atas ke lahan basah di sebelah bawah) hingga pemurnian air, penahan/pengumpul nutrien, penahan/pengumpul sedimen dan penahan/pengumpul bahan-bahan berpolusi.

Lahan gambut Rawa Tripa itu juga sangat berfungsi menstabilkan kondisi iklim lokal, khususnya curah hujan dan temperatur,” tegas Teuku Muhammad Zulfikar.

Sedangkan nilai manfaat lainnya hutan gambut Rawa Tripa yang lebih spesifik di pesisir pantai Barat Aceh adalah menjadi benteng alami penahan tsunami.

Lalu kontribusinya dalam mencegah perubahan iklim melalui penyerapan CO2 dan penyimpanan karbon sesuai dengan “Kyoto protocol” yang sudah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan target untuk menghentikan kehilangan keanekaragaman hayati.

“Karena hutan rawa gambut ini adalah salah satu yang sangat berharga di dunia  karena keunikan dan kekayaan flora dan faunanya,” sebutnya.

Rawa Tripa juga melestarikan sebagian besar populasi Orangutan Sumatera yang tersisa 30 persen dari 7000 di dunia yang sekarang berstatus critically endangered. Penyelamatan spesies ini adalah tujuan utama oleh Pemerintah Indonesia, ketika menandatangani the Kinshasa Great Apes Declaration pada bulan September 2005 lalu.

Kata Teuku Muhammad Zulfikar, penting mendorong upaya pengelolaan kawasan gambut Rawa Tripa sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut dan disempurnakan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.

“Perlu ada model pengelolaan ekosistem gambut lainnya di Provinsi Aceh yang inklusif dan melibatkan masyarakat serta berbagai multipihak secara aktif dan terbuka untuk mencapai tujuan yang diharapkan,” herapnya.

Dengan adanya pengelolaan ekosistem gambut Rawa Tripa, bisa menstabilkan atau bertambahnya tinggi permukaan air, serta terselamatkannya populasi orangutan dengan pulihnya habitat. Maka perlu terus mendorong percepatan pengembalian fungsi kawasan, yang juga sebagai faktor penting sebagai penyedia jasa lingkungan bagi masyarakat Aceh.

read more
Kebijakan Lingkungan

Irwandi Cabut Surat Rekomendasi Izin HGU PT Cemerlang Abadi

BANDA ACEH – Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf akhirnya mengeluarkan surat pencabutan surat rekomendasi izin Hak Guna Usaha (HGU). Langkah tegas ini diambil mengingat Plt Gubernur Aceh sebelumnya, Soedarmo telah mengeluarkan surat rekomendasi tersebut.

Surat tersebut nomor 590/18740 tertanggal 26 Juni 2018 itu ditujukan kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Republik Indonesia. Perihal surat itu meminta kepada kedua kementerian tersebut untuk menolak perpanjangan izin HGU yang diajukan oleh PT Cemerlang Abadi.

Sebelumnya Plt Gubernur Aceh, Soedarmo saat memimpin Aceh waktu Pilkada tahun 2016 lalu, pada tanggal 20 Desember 2016 mengeluarkan surat dengan Nomor 525/BP2T/2657/2016, perihal Rekomendasi Perpanjangan HGU PT Cemerlang Abadi.

Juru Bicara Pemerintah Aceh, Saifullah A Gani membenarkan bahwa Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf telah mengeluarkan surat tersebut. Surat itu langsung ditujukan kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Republik Indonesia, meminta agar tidak memperpanjang HGU milik PT Cemerlang Abadi.

“Saya sudah cek kebenaran surat itu, benar bapak Gubernur sudah mengeluarkan surat itu,” kata Saifullah A Gani yang akrap disapa SAG, Rabu (27/6/2018) di Banda Aceh.

Dalam surat tersebut yang dikeluarkan tanggal 26 Juni 2018 – ditandatangani langsung oleh Irwandi Yusuf menyebutkan, pertimbangan mencabut rekomendasi perpanjangan HGU PT Cemerlang Abad, karena HGU sudah berakhir sejak 31 Desember 2017 dan hingga sekarang belum mendapatkan perpanjangan.

Selain itu, Bupati Aceh Barat Daya (Abdya), Akmal Ibrahim juga telah mengeluarkan surat Nomor 590/243/2018 tanggal 19 Maret 2018 tentang penolakan perpanjangan HGU PT Cemerlang Abadi. Lalu diperkuat dengan surat Gubernur Aceh Nomor 590/6993 tanggal 21 Februari 2018 perihal pembatalan izin HGU PT Cemerlang Abadi.

“PT Cemerlang Abadi selama 30 tahun telah menelantarkan lahan HGU dan tidak melaporkan perkembangan usaha secara berkala setiap semester kepadal dinas terkait,” ungkap SAG.

Hal yang mendasar lain, mengapa Gubernur Aceh mengeluarkan surat pencabutan rekomendasi perpanjangan HGU PT Cemerlang Abadi, SAG menyebutkan, selama ini perusahaan sawit tersebut tidak melakukan kegiatan kemitraan usaha perkebunan sebagaimana tercantum dalam pasal 57 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang perkebunan.

Lebih parah lagi, perusahaan tersebut juga tidak melakukan kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR) sebagaimana perintah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang perseroan terbatas.

Oleh karena itu, sebut SAG, Gubernur Aceh meminta kepada kedua kementerian tersebut agar permohonan perpanjangan HGU PT Cemerlang Abadi yang telah diajukan tidak dikabulkan.

Koalisi Tolak HGU PT Cemerlang Abadi dari 7 lembaga di Aceh sebelumnya telah melaporkan perusahaan tersebut ke Direktorat Kriminal Khusus (Ditkrimsus) Polda Aceh, Rabu (23/5). Koalisi berharap polisi bisa bergerak cepat untuk memproses kasus ini sampai tuntas.

Dilaporkannya perusahaan sawit itu karena ada 269 hektar lahan yang kembali digarap dengan menggunakan dua ekskavator. Ini sudah dilakukan sejak awal tahun 2018. PT Cemerlang Abadi melakukan Land Clearing (pembersihan lahan) di HGU yang sudah berakhir.

“Penolakan terhadap perpanjangan izin HGU milik PT Cemerlang Abadi sudah berlangsung lama. Sejak 2015, arus penolakan sudah dilakukan oleh masyarakat maupun pemerintah kabupaten setempat,” kata Ketua Divisi Advokasi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh, Muhammad Nasir.

PT Cemerlang Abadi mendapat HGU nomor Nomor 45/HGU/BPN/87, tanggal 7 November 1987. Luas lahannya adalah 7.516 hektar untuk komoditas kelapa sawit di Abdya.

Namun pada 31 Desember 2017 lalu, HGU milik PT Cemerlang Abadi berakhir. Sampai batas akhir izin HGU itu, perusahaan ini baru melakukan penanaman kelapa sawit seluas 2.627 hektare. Sedangkan sisanya seluas 1.841 hektar ditelantarkan dan 2.286 hetar dikuasai oleh masyarakat atau enclave.

Muhammad Nasir menyebutkan, yang dilaporkan ke Ditkrimsus Polda Aceh adalah dugaan PT Cemerlang Abadi masih melakukan land clearing pada HGU yang sudah berakhir izin seluas 269 hektar. Secara hukum, perusahaan tersebut sebenarnya tidak bisa lagi melakukan aktivitas apapun di HGU tersebut.

Dia juga menyebutkan, selain tidak menggarap semua lahan sesuai dengan HGU yang telah diterbitkan tahun 1987, pihak perusahaan juga diduga mencoba mengelabui masyarakat dan pemerintah dengan cara hanya menanam sawit di pinggir atau sekeliling hutan saja.

Sedangkan hutan yang berada di tengah-tengah masih terlihat lebat. Muhammad Nasir curiga, ini akal-akalan perusahaan untuk tetap bisa menguasai semua lahan tersebut.

“Ini kami menduga modus saja, atas ketidakmampuan mereka menggarap semua lahan, jelasnya.

Sementara itu Koordinator Lapangan (Korlap) PT Cemerlang Abadi, Agus Marhelis mengaku akan membahas hal tersebut dengan top manajer manajemen PT Cemerlang Abadi terlebih dahulu. Namun, apapun yang menjadi keputusan pihak kementerian akan diterima dengan baik.

“Apa yang mereka tetapkan akan kita patuhi, karena semua prosedur sudah kita lakukan,” ungkap Agus Marhelis.

Menyangkut dengan tudingan dalam surat Gubernur Aceh tentang pencabutan rekomendasi perpanjangan HGU PT Cemerlang Abdi yang menyebutkan tidak melakukan CSR. Agus mengaku itu semua informasi yang tidak benar, selama ini pihak perusahaan telah membantu desa setempat dan juga beberapa masjid.

“Kalau dikatakan tidak melakukan CSR itu gak betul juga, kita telah berikan,” tegasnya.

Agus tegaskan, apapun yang menjadi keputusan dari pihak kementerian, terutama BPN akan diterima dan dijalankan. Apa lagi, Agus mengaku perusahaannya itu telah melakukan berbagai proses sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan.[]

read more
Flora Fauna

Petugas Sita Orangutan dari Oknum TNI di Aceh Timur

ACEH TIMUR – Seekor individu Orangutan berhasil diselamatkan dari tangan seorang oknum anggota TNI oleh tim gabungan di Gampong Baru, Kecamatan Idie Rayeuk, Kabupaten Aceh Timur, Senin (25/6/2018) tadi pagi.

Tim gabungan yang selamatkan seekor individu Orangutan itu adalah Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh Human-Orangutan Conflict Response Unit – Orangutan Information Center (HOCRU – OIC) dan Polsek Idie Rayeuk. Orangutan berusia 2,5 tahun itu sebelumnya dipelihara oleh anggota TNI Langsa selama 2 tahun lebih.

“Orangutan ini sebelumnya dipelihara oleh seorang anggota TNI Langsa selama lebih kurang 2 tahun,” kata Kepala BKSDA Aceh, Sapto Aji Prabowo, Senin (25/6/2018).

Kondisi Orangutan saat ditemukan dalam kondisi sangat prihatinkan, jauh dari kata layak. Orangutan berada dalam kandang yang kotor dan tinggal bersama seekor monyet lainnya.

Selain itu, kondisi Orangutan dalam kondisi kesehatan yang memburuk. Dimana petugas menemukan sejumlah penyakit kulit di tubuh Orangutan yang cukup serius dan butuh segera dilakukan pengobatan secara intensif.

“Kondisi dari orangutan ini pun terbilang buruk dimana ditemukan sejumlah penyakit kulit yang cukup serius,” jelasnya.

Untuk menjalani pengobatan dan rehabilitasi, Orangutan itu sudah dibawa menuju pusat rehabitasi Sumatran Orangutan Conservation Programme (SOCP) di Sumatera Utara, Medan.

“Masyarakat harus mengetahui bahwa menangkap, membunuh, memperdagangkan, memiliki orangutan di Indonesia adalah perbuatan illegal dan masuk dalam tindakan kriminal, yang tentu akan ada sanksi hukum berupa denda hingga penjara,” tegas Sapto.

Sejak tahun 2001, SOCP telah menerima lebih dari 360 orangutan di pusat karantina dan rehabilitasi orangutan di dekat Medan, Sumatera Utara. Lebih dari 170 diantaranya telah dilepasliarkan ke pusat reintroduksi SOCP di Provinsi Jambi, dan 105 orangutan lainnya dilepaskan ke hutan Jantho, provinsi Aceh.[]

read more
HutanKebijakan Lingkungan

Eks HGU PT Cemerlang Abadi Lahan Gambut Wajib Dilindungi

BANDA ACEH – PT Cemerlang Abadi telah dimeja hijaukan oleh tujuh lembaga yang konsen melestarikan lingkungan di Aceh. Dipidanakan perusahaan ini, karena masih menggarap tanah pada Hak Guna Usaha (HGU) yang sudah berakhir sejak 31 Desember 2017 lalu.

Masyarakat, lembaga swadaya masyarakat hingga pemerintah Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) sejak tahun 2015 telah berjuang menolak perpanjangan HGU milik PT Cemerlang Abadi, perusahaan yang mengelola perkebunan sawit.

Berdasarkan data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh, perusahaan itu mendapatkan HGU Nomor 45/HGU/BPN/87, tanggal 7 November 1987. Luas lahannya adalah 7.516 hektar untuk komoditas kelapa sawit di Abdya. Namun pada 31 Desember 2017 lalu, HGU milik PT Cemerlang Abadi berakhir.

Sampai batas akhir izin HGU itu, perusahaan baru melakukan penanaman kelapa sawit seluas 2.627 hektar. Sedangkan sisanya seluas 1.841 hektar ditelantarkan dan 2.286 hektar dikuasai oleh masyarakat atau enclave.

Koordinator Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) Wilayah Aceh, T M Zulfikar menyebut ada kekeliruan dari pemerintah masa lalu memberikan HGU di kawasan hutan PT Cemerlang Abadi saat ini. Karena kawasan hutan tersebut merupakan lahan gambut yang memiliki kedalaman lebih dari 3 meter yang wajib dilindungi.

“Ini ada kesalahan pemerintah sebelumnya yang memberikan izin HGU kepada banyak perusahaan di sana, baik di Abdya maupun Nagan Raya, yang selama ini kita kenal sebagai bagian dari kawasan lindung gambut Rawa Tripa,” kata T M Zulfikar di Banda Aceh beberapa waktu lalu.

Sebagaimana tertuang dalam Qanun RTRW Aceh bahwa di Kabupaten Nagan Raya telah dijadikan Kawasan Lindung Gambut seluas lebih kurang 11.359 Hektar, ditambah area eks PT Kallista Alam seluas 1.605 Hektar. Menurutnya, sudah selayaknya sebagian dari areal eks PT Cemerlang Abadi tersebut juga dapat dijadikan bagian dari Kawasan Lindung Gambut.

“Sehingga dapat diusulkan ke dalam Qanun RTRW Aceh yang menurut rencana akan segera direvisi atau ditinjau kembali,” jelasnya.

Kendati demikian, TM Zulfikar menyambut positif rencana pemerintah kabupaten Abdya menolak memberikan rekomendasi perpanjangan HGU miliki PT Cemerlang Abadi.

“Apalagi jika memang terbukti PT CA (Cemerlang Abadi) selama ini tidak menjalankan kewajibannya secara baik. Dan tentunya pemerintah harus berani mengambil tindakan tegas terkait hal ini. Masa iya kebijakan Negara bisa kalah dengan kepentingan perusahaan? Ini namanya sudah keterlaluan,” ungkapnya.

Menyangkut HGU yang nantinya akan diambil alih pemerintah, dia menyarankan dilakukan pengkajian yang mendalam terlebih dahulu agar peruntukannya tepat. Apalagi sebagian wilayah yang berada di Kecamatan Babahrot tersebut merupakan kawasan bergambut. Ini mengacu hasil penelitian dan survei yang dilakukan sebelumnya, kedalaman gambut di atas 3 meter.

“Karena lahan tersebut sudah menjadi wewenang pemerintah kembali, maka tidak ada salahnya jika sebagian dari lahan tersebut diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat,” tegasnya.

Bila hendak dijadikan persawahan, aspek penting yang harus dilihat adalah ketersediaan air. Karena air merupakan sumber utama bagi keberlangsungan tanaman padi dan juga bagi manusia. Jika pemerintah ada niat menanam sawit kembali, dia menyarankan agar dipertimbangkan karena lahan itu tidak sepenuhnya cocok.

“Kita bisa lihat di wilayah Darul Makmur dan sekitarnya hampir seluruh kelapa sawit yang ditanam di lahan gambut yang memiliki kedalaman cukup tebal, kelapa sawit tumbuhnya tidak sempurna, ada yang melingkar-lingkar sehingga membutuhkan banyak space, bahkan ada yang sama sekali tak memiliki buah sawit,” jelasnya.

Zulfikar mengusulkan sebagian dari lahan tersebut dijadikan sebagai kawasan konservasi dengan tujuan utama untuk melindungi sumber-sumber air, habitat dan ekosistem yang ada di sana.

Sebelumnya, Koalisi Tolak HGU PT Cemerlang Abadi dari 7 lembaga di Aceh pun melaporkan PT Cemerlang Abadi ke Direktorat Kriminal Khusus (Ditkrimsus) Polda Aceh, Rabu (23/5). Perusahaan dianggap telah menggarap lahan eks HGU seluas 269 hektar lahan yang kembali dengan menggunakan dua ekskavator. Ini sudah dilakukan sejak awal tahun 2018. PT Cemerlang Abadi melakukan Land Clearing (pembersihan lahan) di HGU yang sudah berakhir.

Menanggapi itu Koordinator Lapangan (Korlap) PT Cemerlang Abadi, Agus Marhelis mengaku sudah mengetahui melalui media tentang laporan tersebut. Pihaknya akan menunggu surat panggilan resmi dari pihak Polda Aceh.

Kita akan kooperatif, sebagai warga negara yang baik kita harus taat kepada hukum, tegas Agus Marhelis melalui sambungan telepon genggamnya.

Agus mengaku operasional perusahaan tetap berjalan seperti biasa. Menurut pandangannya, apa yang dituduhkan kepada pihak perusahaan tidak memiliki alasan yang cukup.

“Karena menurut kami apa yang dituduhkan kepada kami itu mungkin beliau-beliau ini belum melihat secara langsung surat-surat yang kita miliki, jadi mereka perlu kita akan berikan, kita siap untuk bersilaturrahmi,” ungkapnya.

Katanya, pihak yang melaporkan PT Cemerlang Abadi ke Polda Aceh belum pernah sekalipun bertemu dengan manajemen perusahaan. Padahal bila mereka membutuhkan dokumen tentang perizinan milik perusahaan akan diberikan.

“Kami akan berikan kalau memang mereka perlu, tetapi mereka belum pernah berkomunikasi dengan kami,” ungkapnya.

Menyangkut dengan HGU yang berakhir 31 Desember 2017 lalu diakui oleh pihak PT Cemerlang Abadi. Agus menyebutkan, pihak perusahaan sudah melakukan pengurusan perpanjangan HGU sejak 2015 lalu. Semua prasyarat sudah dipenuhi dan sekarang tinggal keputusan dari pemerintah pusat.

“Kita sudah melakukan permohonan secara prosedural di awal tahun 2016, kita sudah melakukan pendaftaran, bahkan pada tahun 2015 juga sudah kita melakukannya. Artinya segala prosedur yang ditentukan oleh BPN sudah kita penuhi,” ucapnya.

Namun pihak perusahaan berdalih, saat ini PT Cemerlang Abadi hanya menunggu kebijakan dari pemerintah pusat terkait perpanjangan HGU. Sedangkan laporan ke Polda Aceh, pihak perusahaan akan menyerahkan kepada Lawyer dan pihaknya siap menghadapi gugatan tersebut. []

read more
HutanKebijakan Lingkungan

Noktah Hitam di KEL Aceh

Mega proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang dibangun dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) berdampak besar terhadap ancaman bencana, baik bencana ekologi hingga berpengaruh terhadap perekonomian warga.

Bahkan juga mengganggu kelestarian hewan dilindungi seperti badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), harimau (Panthera tigris sumatrae), gajah (Elephas maximus sumatraensis) dan orangutan (Pongo abelii).

Kondisi ini tentu menjadi noktah hitam dalam KEL Aceh. Padahal KEL Aceh wilayah konservasi penting yang berada di dua provinsi, yaitu Provinsi Aceh dan Sumatera Utara dengan luas 2,6 juta hektar. Apa lagi KEL lebih luas masuk dalam provinsi Aceh yang meliputi 13 kabupaten/kota dan 4 kabupaten di Sumatera Utara.

Kabupaten yang masuk dalam KEL di Provinsi Aceh adalah Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Singkil, Subussalam, Aceh Tenggara, Gayo Lues, Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Utara, Aceh Timur dan Aceh Tamiang. Sedang kabupaten di Sumatera Utara yaitu Kabupaten Langkat, Dairi, Karo dan Deli Serdang.

Baca : Noktah Hitam di KEL Aceh

Berdasarkan data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh dalam laporan investigasi disebutkan, KEL menjadi pendukung kehidupan lebih dari empat juta orang yang bermukim di sekitarnya. KEL juga menjadi rumah bagi 105 spesies mamalia, 383 spesies burung dan sekitar 95 spesies reptil dan amfibi, atau setara dengan 54 persen dari fauna terestrial sumatera

Selain itu KEL menjadi tempat terakhir untuk mempertahankan populasi spesies-spesies langka di Asia Tenggara. Spesies langka seperti harimau, orangutan, badak, gajah hingga macan tutul.

KEL juga memiliki fungsi ekologis untuk penyediaan air untuk masyarakat, baik untuk dikonsumsi maupun untuk kebutuhan lainnya. Tentunya keberadaan mega proyek PLTA Tampur 1 akan mengancam upaya konservasi tersebut.

Menurut Direktur Walhi Aceh, Muhammad Nur menyebutkan, dampak yang paling nyata dan sudah ada di depan mata adalah terganggunya habitat satwa dilindungi. Apa lagi, kawasan pembanguan proyek tersebut masuk dalam wilayah jelajah gajah (home range) dan sejumlah hewan dilindungi lainnya.

“Ada berpendapat itu disebut kawasan koridor satwa, salah satunya gajah, ini memang harus juga dibuktikan oleh BKSDA, harus ada petawa koridor satwa,” kata Muhammad Nur.

Muhammad Nur menyebutkan, berdasarkan observasi langsung ke lokasi dan informasi dari masyarakat setempat, Dusun Berawang Gajah, Gampong Lesten yang masuk dalam pembangunan PLTA itu, merupakan lintasan gajah dan harimau dan bahkan sering juga dilintasi beruang madu.

Menariknya lagi, kawasan tersebut terdapat banyak kubangan gajah. Masyarakat setempat biasanya menyebutnya “Berawang Gajah. Adanya berawang gajah membuktikan bahwa kawasan itu sering dikunjungi gajah. Namun masyarakat setempat bisa hidup berdampingan dan beberapa warga sering bertemu dengan kawanan kecil gajah yang sedang melintas, namun tak pernah terjadi konflik di daerah tersebut.

“Jadi warga setempat khawatir dengan ada pembangunan genangan ini akan terjadi konflik gajah nantinya, karena hilang habitat gajah,” jelasnya.

Pembangunan dam dan power house seluas 10 hektar masuk dalam hutan lindung, ini tentunya akan berdampak terhadap menurunya daya dukung lingkungan. Tentunya akan meningkatkan potensi terjadi bencana ekologi, seperti banjir bandang, longsor hingga ancaman kekeringan.

Daerah hulu yang paling berdampak terjadi banjir bandang akibat pembangunan bendungan itu adalah Aceh Timur, Kota Langsa, Aceh Tamiang. Sedangkan yang berpotensi terjadi kekeringan yaitu di kawasan Gampong Lesten, Pining hingga kota Blangkejeren.

Muhammad Nur menyebutkan, sebelum pembangunan ini dilanjutkan pemerintah Aceh harus lebih kritis lagi menganalisa untung dan rugi setelah pembangunan selesai. Selain itu, kalau pun mega proyek ini dilanjutkan, akses air masyarakat harus terjamin.

Selama pembangunan nantinya sungai-sungai di kawasan pembangunan PLTA Tampur 1 ini akan dibendung. Selama pembangunan juga air diperkirakan akan berkeruh, tentunya bisa mengganggu kebutuhan air warga, baik untuk dikonsumsi maupun kebutuhan perekonomian.

Ini penting diperhatikan, mengingat akses air untuk masyarakat selama pembangunan tidak diatur dalam amdal. Sehingga bisa tidak dikelola dengan baik, dikhawatirkan akan lahirnya konflik baru, karena warga tidak bisa mengakses air.

“Sumber air warga, perusahaan harus menjamin tidak ada gangguan, pola akses air, saat dikurung dalam jumlah besar dan bagaimana pemanfaatan oleh warga. Karena tidak ada dalam dokumen amdal,” ungkapnya.

Walhi Aceh juga mengingatkan, KEL masuk dalam wilayah patahan sumatera yang rentan terjadi gampa bumi. Ditambah lagi, curah hujan di kawasan itu cukup tinggi, bahkan hampir setiap hari ada hujan. Tentunya bila daya dukung lingkungan lemah, berbagai ancaman bencana ekologi akan menghantui Aceh.

Bila terjadi gagal teknologi akan berakibat fatal kedepannya. Muhamma Nur mengingatkan, Indonesia sudah pernah mengalami gagal teknologi hingga terjadilah seperti di Lapindo. Apa lagi KEL berada 500 MDPL bila terjadi banjir semua daratan yang berdekatan dengan kawasan pembangunan PLTA Tampur 1 akan mengalami banjir bandang.

“Bila tidak ada jaminan bangunan kuat, harus bertanggungjawab bisa terjadi banjir bandang akibat gagal teknologi, kita tidak mau terjadi seperti Lapindo,” tegasnya.

Tentunya kalau ini terjadi, sama saja Aceh sedang menjemput maut dan pemerintah sedang menyiapkan bencana ekologi yang membuat Aceh lebih banyak mendapat kerugiannya.

Ini tulisan bagian dua dan akan dilanjutkan dengan judul Noktah Hitam di KEL Aceh “Dampak Sosial Ekonomi”.
read more
1 2 3 4
Page 1 of 4