close

gayo lues

Flora Fauna

Satu Dekade Konflik Gajah dan Manusia di Pintu Rime Gayo

Redelong, Aceh – “Kami maunya gajah gak datang lagi ke kampung kami,” ucap Idayani penuh harap. Kalimat itu membuat bibir perempuan ini tampak bergetar saat berucap, air mata pun menetes di wajahnya, seolah menunjukkan kedalaman harap dari apa yang disampaikannya.

Idayani (42) adalah warga Dusun Sejahtera, Kampung Rime Raya, Kecamatan Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah, Aceh.

Saat itu di penghujung November 2019, rumah perempuan ini baru saja didatangi kawanan gajah liar di malam hari. Dinding rumahnya jebol, pintu rumah didobrak, dan seisi rumah hancur berantakan oleh kehadiran hewan mamalia bertubuh besar itu.

“Dua malam dia (gajah) datang. Waktu malam pertama itu saya masih di Binjei (Sumatera Utara), itu dinding rumah cuma dirusak yang lain gak ada dirusak. Malam keduanya saya udah disini, karena dinding rumah rusak saya tidur di rumah kakak sebelah,” tutur Idayani.

“Malam keduanya itu udah masuk semua ke dalam rumah, sampai kamar dia masuk, itu karung beras pun dia ambil. Dapur sampai kamar semua berantakan,” kisahnya lagi.

Ibu dua anak ini menuturkan delapan tahun sudah ia merajut pengalaman merasakan konflik gajah yang terjadi di kampungnya. Rasa trauma terus mendera di dadanya selama bertahun-tahun. Di saat-saat kawanan gajah mulai kembali ke desanya, saat itulah rasa khawatir tak lagi bisa terusir untuk hanya sekedar bisa tidur nyenyak di malam hari, di dalam rumahnya sendiri.

“Takut, malam-malam selalu takut kami. Kalau udah dengar suara terompetnya itu dah hidup jantung. Memang dia jarang ganggu, tapi kami yang perempuan ini kan tetap ketakutan,” kata Idayani.

Hal yang sama juga diutarakan oleh Julita (32). Perempuan yang masih satu desa dengan Idayani ini juga mengaku tak bisa melawan rasa takutnya setiap kali berhadapan dengan kenyataan bahwa gajah-gajah liar sedang bermain-main di dekat rumahnya.

“Saya dengar suaranya aja langsung gemetar saya. Kalau malam suaranya itu keras kali, dari jauh aja suaranya kedengaran satu kampung ni, apalagi kalau dia dekat, itu rasanya takut kali,” tutur Julita.

“Kadang-kadang dia udah di belakang rumah, lewat gitu, ribut suaranya krasak krusuk. Sering dia datang kalau malam, paginya ada bekas tapak kakinya di belakang rumah itu banyak,” ujarnya lagi.

Ibu dua anak ini menuturkan bahwa sejak beberapa tahun belakangan, sudah banyak warga desanya yang memilih untuk hijrah meninggalkan kehidupan di desa itu.

Menurutnya warga-warga yang pindah tersebut karena sudah tak tahan lagi harus menjalani kehidupan yang selalu dalam ketakutan.

“Kami pun kalau bisa pindah dari sini pindah kami pun, cuma kami gak tahu mau pindah kemana, lahan kami cuma di sini, gak ada di tempat lain, mau gak mau harus terus di sini,” ucapnya sambil membenahi alas tampat menjemur biji kopi robusta di halaman rumahnya.

Kopi jenis Robusta kata Julita adalah salah satu komoditi perkebunan warga di sana untuk bisa menopang kehidupan ekonomi keluarga.

Wilayah kampung ini yang terletak di kawasan pinggirian Kabupaten Bener Meriah memiliki iklim tak sesejuk wilayah Dataran Tinggi Gayo pada umumnya yang dikenal subur untuk menumbuhkan tanaman kopi jenis Arabica gayo sebagai komoditi unggulan yang namanya telah tersohor ke seantero dunia.

“Kalau kami disini tanamnya kopi Robusta semua, karena disinikan udah daerah panas, arabica gak bagus lagi tanam disini,” kata Julita.

Jika kawanan gajah liar sudah mulai kembali datang ke desa ini, tanaman kopi di areal perkebunan warga kerap luluh lantak, batang-batang kopi bisa patah atau tercabut dari akarnya oleh ulah satwa berbelalai itu.

Sementara ada ratusan hektare lahan perkebunan warga di desa ini dengan berbagai jenis tanaman pertanian di dalamnya terus menerus mendapat ancaman kerusakan sebagai dampak dari konflik gajah yang terjadi.

Warga lainnya, Mariman (46), mengatakan sejak kawanan gajah liar kembali ke desanya dalam sebulan terakhir mulai akhir Oktober 2019, penduduk di desa itu pun mulai menerapkan ronda malam massal untuk berjaga dan mengantisipasi kehadiran kawanan gajah, kalau-kalau mulai mendekati rumah-rumah penduduk.

Untuk ini warga hanya dibekali petasan sebagai alat untuk dapat mengusir para satwa dilindungi itu agar menjauh dari pemukiman penduduk.

Ledakan-ledakan dari suara petasan yang sengaja dibunyikan oleh warga selama ini masih menjadi cara dan solusi paling efektif yang bisa dilakukan.

“Setiap malam kami jaga. Tapi kadang kami kehabisan mercon, habis stok kami. Itu terpaksa kami kumpul-kumpul sesama warga untuk bisa beli mercon lagi,” kata Mariman.

Rumah rusak dan korban jiwa

Reje (Kepala) Kampung Rime Raya Muklis pada 23 November 2019 mencatat ada sebanyak 14 rumah warga di desanya yang dirusak oleh kawanan gajah liar hanya dalam waktu dua pekan saja.

“Itu total (rumah rusak) dua minggu ini, sejak gajah datang lagi ke desa kami. Memang tidak semua rumah rusak berat, kalau yang rusak berat itu ada empat rumah,” kata Muklis.

“Belum lagi kalau kita hitung seluruh kerusakan dari beberapa tahun lalu, sejak tahun 2011. Apalagi kalau kebun, itu mungkin sudah ratusan hektare (kebun rusak), di kampung ini saja,” ujarnya lagi.

Muklis menuturkan bahwa sepengetahuannya sejak konflik gajah terjadi mulai tahun 2011 juga telah berdampak pada jatuhnya korban jiwa.

Dia mengingat ada delapan warga menjadi korban meninggal dunia akibat berbagai insiden yang melibatkan hewan mamalia bertubuh besar itu dengan warga.

Mulai dari insiden kecelakaan di jalan raya akibat kawanan gajah turun menyeberangi jalan, hingga berbagai insiden lainnya yang berakibat fatal bagi keselamatan manusia.

“Itu korban jiwa yang kami ketahui sejak 2011. Kemarin dengan media lain saya salah sebut, saya bilang 5 korban jiwa, padahal sudah 8 korban,” ucap Muklis.

Tapi menurutnya total jumlah korban jiwa itu adalah yang terhitung untuk se Kecamatan Pintu Rime Gayo secara keseluruhan.

Wilayah kecamatan ini disebut merupakan kawasan utama di Kabupaten Bener Meriah, Aceh, dimana kawanan gajah liar selalu hilir mudik pada jalur lintasannya mendatangi satu desa ke desa lainnya dalam wilayah kecamatan tersebut.

“Kalau dari desa kami tidak pernah ada korban jiwa, seingat kami tidak ada,” kata Muklis.

Mencari solusi terbaik

Camat Pintu Rime Gayo Edi Iwansyah Putra menyebut bahwa kawanan gajah liar mulai kembali mendatangi hampir setiap desa dalam wilayah kecamatan tersebut mulai Juli 2019.

Upaya penggiringan para satwa dilindungi itu agar kembali ke kawasan hutan atau minimal menjauh dari wilayah perkampungan penduduk terus dilakukan, namun hasilnya nihil hingga memasuki Desember 2019.

Gajah-gajah liar itu tetap enggan beranjak, mereka hanya meninggalkan satu desa untuk sesaat, itu pun untuk menuju ke desa lainnya, lalu kembali lagi ke desa sebelumnya.

“Makanya untuk penggiringan itu bukan menjadi solusi kalau menurut saya, itu hanya sebagai upaya antisipasi sementara. Sama saja misalnya saat kita usir gajah itu dari wilayah kita, kemudian mereka masuk ke wilayah Bireuen atau Aceh Tengah, nah dari sana juga dilakukan pengusiran, lalu gajahnya kembali lagi masuk ke wilayah kita, begitu terus terjadi,” tutur Edi Iwansyah Putra.

Edi menjelaskan bahwa konflik gajah telah menjadi persoalan rutin setiap tahunnya di wilayah Kecamatan Pintu Rime Gayo, namun tak pernah ada solusi konkrit dari pihak berwenang untuk upaya penanganannya secara tuntas dan terencana.

Sementara pemerintah daerah setempat dalam hal ini, kata dia juga tidak punya kewenangan khusus untuk dapat menangani persoalan tersebut, sehingga masalah konflik gajah ini seolah tak bertuan dan terus menggantung tanpa ada solusi penanganannya.

“Karena urusan satwa dilindungi ini kan sudah jadi urusan pusat ya, Pemda tidak punya anggaran untuk itu. Nah kenapa tidak direncanakan penanganannya secara paripurna, kita gelontorkan anggarannya, tapi permasalahan selesai,” ucapnya.

Edi berharap ada upaya terencana yang dilakukan oleh pihak berwenang baik dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh maupun Pemerintah Provinsi Aceh untuk penuntasan masalah konflik gajah tersebut agar tidak lagi menjadi persoalan rutin setiap tahunnya di daerah itu.

“Apakah dipindah, apakah dipagar, itu bagaimana mekanismenya. Karena kalau seperti ini terus cara penanganannya, memang kita keluarkan dana sedikit, tapi karena rutin, itu akan menjadi besar juga anggarannya,” kata Edi.

Contohnya kata dia dalam sepekan saja melakukan upaya penggiringan kawanan gajah untuk keluar dari satu desa, Pemerintah Kabupaten Bener Meriah sedikitnya harus menggelontorkan dana sebesar Rp40 juta.

“Itu untuk membiayai Tim Delapan namanya, dari masyarakat yang melakukan penggiringan. Dana itu dipakai untuk beli mercon, biaya tim turun ke lapangan, dan juga uang saku untuk mereka,” sebut Edi.

Menurutnya dana itu belum termasuk anggaran yang harus dikucurkan oleh pemerintah daerah setempat dalam membantu warga yang rumahnya dirusak oleh kawanan gajah liar, juga biaya yang dikeluarkan untuk membuat parit gajah sebagai pembatas agar kawanan gajah tak memasuki wilayah perkampungan penduduk.

“Tapi parit ini pun kan gak terlalu efektif, karena gak disemen. Suatu saat nanti datang hujan tertimbun lagi,” kata dia.

Karena itu Edi sangat mengharapkan adanya upaya maksimal dari pemerintah di tingkat provinsi dan pusat untuk dapat menuntaskan konflik gajah yang terjadi di daerah ini.

Hal itu kata dia pastinya akan membutuhkan biaya yang tidak sedikit sehingga memang harus ditangani oleh pemerintah provinsi dan pemerintah pusat.

“Tapi harus paripurna, kita gelontorkan dana besar, tapi selesai. Apakah kita padukan dengan program kepariwisataan misalnya, jadi gajah tetap disitu tapi tidak memasuki wilayah pemukiman warga. Itu bisa menjadi objek wisata, itu harapan kita sebenarnya,” ujarnya.

Edi menuturkan bahwa wilayah Kecamatan Pintu Rime Gayo merupakan kawasan utama di Kabupaten Bener Meriah yang setiap tahunnya didera konflik gajah.

Kondisi ini kata dia selalu menimbulkan kerugian di tengah masyarakat seperti hilangnya sumber pendapatan ekonomi warga dari hasil pertanian karena lahan-lahan perkebunan mereka terus dirusak oleh kehadiran kawanan gajah liar.

Selain itu sejak Juli 2019 juga telah banyak rumah penduduk dalam wilayah kecamatan ini yang dilaporkan mengalami pengrusakan oleh kawanan gajah, bahkan tercatat ada sebanyak 17 unit rumah yang mengalami kerusakan berat.

“Di sini kawasan yang rentan itu seperti Desa Arul Cincin, Arul Gading, Belang Rakal, Negeri Antara, dan Desa Pantanlah,” sebut Edi.

Ekowisata gajah liar

Salah satu solusi yang dimunculkan untuk penanganan konflik gajah liar di daerah ini adalah dengan menjadikannya sebagai pusat ekowisata gajah liar.

World Wildlife Fund for Nature (WWF) Indonesia adalah pihak yang sangat mendorong hal itu terwujud.

Pada 1 November 2019 pihak WWF bahkan telah menggelar sebuah workshop tentang pengembangan ekowisata gajah liar dengan turut mengundang masyarakat desa dari wilayah konflik gajah dari tiga kabupaten yakni Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Bireuen.

Workshop tersebut digelar di Takengon. Pihak WWF, Chik Rini mengatakan bahwa mereka dalam hal ini berupaya untuk mendorong pengembangan sektor ekowisata gajah liar pada kawasan yang selama ini mengalami konflik gajah sebagai solusi.

Menurutnya desa-desa yang selama ini menjadi jalur pergerakan kawanan gajah liar punya peluang untuk mengembangkan sektor ekowisata tersebut agar masalah konflik gajah yang selama ini terjadi dapat diubah menjadi potensi pendapatan ekonomi bagi masyarakatnya.

“Ketika keberadaan gajah di desa bisa memberi keuntungan kepada masyarakat di desa itu, diharap masyarakat nantinya bisa lebih menerima keberadaan gajah ini tanpa takut rugi kebunnya rusak, karena ekowisata sudah menjadi sumber ekonomi alternatif,” tutur Chik Rini.

Dia mengatakan ada empat desa di rute Daerah Aliran Sungai (DAS) Peusangan yang telah didampingi oleh WWF Indonesia sejak tahun 2015 dan mulai tertarik untuk mencoba pengembangan sektor wisata minat khusus tersebut.

Keempat desa itu masing-masing adalah Desa Karang Ampar dan Desa Bergang di Kabupaten Aceh Tengah, Desa Arul Gading di Kabupaten Bener Meriah, dan Desa Pante Peusangan di Kabupaten Bireuen.

“Jadi masyarakat di empat desa ini kan sudah lama mengalami konflik gajah. Kita di WWF sudah dari 2015 mendampingi mereka, bagaimana mencoba mitigasi konflik, mengurangi dampak, dan melatih tim-tim di desa. Nah salah satu solusi yang sama-sama kita cari jalan keluarnya saat ini yaitu peluang untuk pengembangan ekowisata ini,” ujarnya.

Rini menuturkan pihak WWF selama ini sudah memfasilitasi masyarakat di empat desa tersebut untuk bisa mengkaji potensi jika program ekowisata dikembangkan di masing-masing desa.

Menurutnya masyarakat desa juga sudah sepakat untuk menjalankan program tersebut dengan memanfaatkan dana desa dan akan menjadikannya sebagai bagian dari kegiatan pemberdayaan ekonomi masyarakat di masing-masing desa.

“Kita memfasilitasi mereka. Dan setelah mereka susun potensi wisata di desa mereka ternyata tidak hanya gajah liar, potensi desa mereka ternyata lebih dari itu, mereka punya alam yang bagus, kehidupan budaya mereka juga unik, dan ada kegiatan-kegiatan ekonomi masyarakat yang juga menarik dari sisi wisata,” sebut Rini.

Karena itulah pihak WWF Indonesia kemudian memfasilitasi workshop di Takengon dengan mengundang pihak-pihak terkait dari pemerintah daerah setempat untuk bisa memaparkan hasil penyusunan rencana pengembangan ekowisata gajah liar yang telah disusun oleh masyarakat di empat desa tersebut.

“Ini lho ide masyarakat, mereka punya perencanaan ini, mereka sudah berbicara intens, dan mereka ingin mendapat dukungan. Mereka bisa menjalankan,” tuturnya.

Rini mengatakan jika program ekowisata ini berhasil diterapkan di empat desa tersebut maka akan menjadi yang pertama di Indonesia.

Namun menurutnya kegiatan ekowisata gajah liar di sejumlah negara sudah lama dikembangkan dan terbukti sukses untuk menarik minat kunjungan wisatawan.

“Di banyak negara kesuksesan untuk ekowisata gajah liar itu sudah lama sekali. Nah saya pikir kita harus melihat ini, ketika pasar di dunia untuk wisata itu ada, kenapa tidak mengambil peluang itu, sehingga satwa ini pada akhirnya memberi manfaat untuk masyarakat,” tutur Chik Rini.

Sementara banyak kalangan menilai bahwa sebenarnya bukan kawanan gajah yang datang mengganggu wilayah perkampungan penduduk, tapi sebaliknya, kitalah yang datang ke wilayah jalur pergerakan kawanan gajah yang telah memiliki rute perjalanan tetap sejak dulu.

Untuk pendapat ini, solusi yang kemudian bisa ditawarkan hanya ada dua, yaitu mencoba hidup berdampingan dan berbagi ruang antara warga dan kawanan gajah seperti konsep ekowisata yang didorong terwujud oleh pihak WWF, atau relokasi masyarakat kampung ke tempat yang lebih layak.[]

Sumber: aceh.antaranews.com

read more
HutanRagam

Agusen dari Produsen Ganja ke Destinasi Wisata

GAYO LUES – Jarum jam tangan saya menunjukkan pukul 03.45 (WIB). Kami sudah menempuh perjalanan lebih 17 jam dari Banda Aceh menuju Desa Agusen, Kabupaten Gayo Lues. Provinsi Aceh.  Di depan kami terdapat galian badan jalan berair bagaikan saluran yang bekum selesai.

Kami mencoba memastikan bahwa jalan yang kami pilih tidak salah. Beberapa teman turun dan mengamati jejak ban mobil untuk memastikan jalur ini sudah benar.

“Apa mungkin ini Bang. Kenapa ada saluran,” tanya Munjier-reporter RRI Stasion Banda Aceh yang berada di belakang stir.

Tanpa sempat menjawab, Munjier pun menyela. “Tapi ada ban mobil dan beberapa mobil terlihat parkir di depan sebuah bangunan,” kata Munjier meyakinkan.

Sambil sempat memutar arah mobil dan mencari jejak lain. Saya mencoba membuka aplikasi WhatsApp untuk memastikan titik lokasi yang dikirim Mbak Berni saat dalam perjalanan dari Banda Aceh.

“Nah, ini ada tenda biru dan tulisan Jalan Budi Waseso, tapi kita tidak ketemu, gimana?”

“Tapi kita sudah benar masuk gerbang Desa Agusen,” timpal Munjier lagi membela diri.

Di antara temaram cahaya sesaat kami tiba di posko Field Trip. Beberapa mobil terparkir berjejer menghadap kantor  kepala desa atau keuchiek- di kawasan Gayo Lues disebut Pengulu.

Kami menuju ke tempat parkir di depan kantor pengulu. Mobil kami  mengambil posisi sebelah kanan kantor di antara halaman samping kantor penghulu. Dari kegelapan terdengar suara air yang menurut kami pasti ada sungai. Memang, beberapa meter terdapat titi gantung yang lebarnya sekitar satu meter.

Jam sudah menunjukkan pukul 04.00 pagi waktu setempat. Kami pun tak ingin berlama di luar mobil, hanya sesaat tanpa memeriksa kondisi sekitar. Namun Afrizal, kontributor Inews TV, saya dan Munjier masih ragu posisi yang kami tuju. Selain tanpa menemukan gambar petunjuk dari panitia, juga tidak ada tulisan kantor kepala desa.

“Mungkin di sini, kantor geusyiek disebut pengulu,” Munjier mencoba menyimpulkan.

Setelah dia sesaat, kami pun mencoba keluar dari depan kantor penghulu dengan maksud mencari tempat yang menurut kami belum benar. Setelah keluar kembali ke arah jalan Gayo Lues, Kutacane, saya mencoba membuka aplkasi Whats App dan mencari sesuatu petunjuk arah. Saya pun mendapatkan kiriman nomor kontak bernama Jaboi.

Saya segan menelpon karena sudah jam 4 pagi. Tapi dua teman lainnya berusaha meyakinkan jika kondisi saat ini memungkinkan Jaboi ditelpon.

Telpon aja, kan ini darurat, Panitia sudah siap dengan risiko apa pun,”saran Munjier.

Saya pun mengontak Jaboi sambil memberitahukan posisi saat ini. Segan juga rasanya menelpon orang yang menurut kami sedang nyenyak karena kondisi cuaca sangat dingin.

“ Halo, mohon maaf. Ini Bang Jaboi ya, kami udah putar-putar, Cari kantor keuchiek tidak ketemu,” kata saya.

“Kami sudah  di depan kantor pengulu,  dan sudah parkir mobil,” saya memastikan.

‘Ya bang, sudah benar tadi,” ujar Jaboi.

Kami pun langsung balik lagi ke tempat awal. Tak lama beberapa penghuni kantor pengulu keluar termasuk Kang Een dari rekam.or.id-fasilitator field trip Agusen.

“Masuk aja Bang, dingin di luar,“ ujar Jaboi sambil membuka daun pintu.

Memang, suhu udara di luar ruangan menunjukkan pada angka 17 derajat celcius, cukup dingin untuk ukuran kita dari daerah pesisir.

Ya, terimakasih, mohon maaf ya sudah mengganggu tidurnya, kata kami berbasa-basi.

“Kami tunggu sampai jam 1 malam tadi, tidak ada kabar,” timpal Jaboi dan diamini Khairul Wahab-anggota penghuni kantor pengulu yang langsung menyapa saya.

Kami sempat dihidangkan segelas air putih hangat untuk melawan hawa dingin. Afrizal dan Munjier langsung mengambil posisi dalam kamar untuk istirahat. Saya mencoba mengakali untuk tidur dalam mobil karena beberapa penghuni merokok dan bercampur bau obat anti nyamuk.

Sebenarnya, kami mendapat jatah menginap di rumah warga. Karena datangnya sudah dini hari, sangat tidak mungkin menuju ke sana. Kami pun transit sebentar di kantor pengulu.

Saya pun mengambil posisi di luar kantor untuk menghindari asap rokok dan kepulan obat bakar anti nyamuk. Rasa berat berada di luar yang berhawa dingin, tapi apa daya untuk menyelamatkan sesak asap.

Hanya  beberapa saat berada di dalam mobil, saya kembali masuk kantor pengulu karena tidak bisa tidur. Apalagi beberapa saat waktu subuh tiba.  Takut ketiduran dan waktu salat subuh buyar.

Benar saja. Entah karena lelah, saya tertidur dan harus kesiangan salat subuh. Perasaan bersalah tentunya, Tapi, saya harus tetap salat dengan menuju sungai untuk berwudhuk yang tak jauh dari kantor pengulu.

Sekitar pukul 7.30 pagi, kami diarahkan ke rumah warga sebagao tempat menginap selama berada di wilayah Agusen. Satu jam kemudian kami harus kembali ke posko untuk pengarahan.  Maksud mandi urung jadinya karena suhu dingin. Kami hanya sikat gigi dan minum alakadar kemudian langsung kembali ke posko.

Tak mesti menunggu lama, beberapa peserta mulai berkumpul di depan posko. Ada yang baru menyeberangi jembatan gantung, ada yang diantar dengan kendaraan warga.

Kang Een dan Mbak Berni serta beberapa staf mencoba mengumpulkan peserta untuk rundown kegiatan pada Sabtu pagi. Kami pun diperkenalka perangkat Desa Agusen yang kali ini menjadi tujuan Field Trip kami. Tujuanya adalah mempromosikan desa yang pernah mendapat stigma penghasil ganja tersohor di Kabupaten Gayo Lues.

Membenam Stigma

Menyandang predikat desa penghasil ganja sangat tidak nyaman. Setelah puluhan tahun image ini melekat di Desa Agusen, dua tahun lalu  memotivasi warga desa yang terletak di  Kecamatan Blang Keujren Kabupaten Gayo Lues, Aceh beralih profesi. Sebagai desa bekas  penghasil ganja terbaik di dunia Agusen kini berbenah menuju desa  destinasi wisata

Desa berpeduduk 206 kepala keluarga ini terletak di lembah dan dikelilingi Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).  Agusen berbenah menjadi destinasi wisata pilihan bagi  para pecinta alam.

Memiliki sungai berair jernih yang mengalir dari kawasan gunung Leuser. Kini warganya mulai giat menjadi tuan rumah bagi pelancong. Potensi sungai dan tracking atau jelajah bukit serta kebun kopi dan pendakian. Desa terdekat dengan ekosistem Leuser menawarkan beberapa agenda wisata.

Tracking sungai,  hutan dan bukit menjadi pilihan para pengunjung ke desa tersebut. Areal hutan yang sebelumnya jadi hamparan kebun ganja menjadi kebun kopi Arabica Gayo yang terkenal. Juga tempat wisata sungai yang bisa dimanfaatkan untuk drafting atau arung jeram.

Sejak dipilihnya Agusen menjadi desa wisata tahun 2016 lalu, kini pemuda setempat terus memotivasi warga untuk menyiapkan diri. Rumah warga akan ditata menjadi home stay atau tempat tinggal yang nyaman bagi turis. Pagelaran seni pun ditingkatkan menyambut tamu.

“Dulu Agusen adalah produsen the best marijuana in the world. Kita akan melatih warga untuk mengelola homestay atau rumah tinggal sementara wisatawan, “ ujar Amru saat silaturrahmi dengan warga Agusen Sabtu (05/05/2018).

Desa yang dihuni petani dan perkebun  ini memang baru berbenah. Warga secara bertahap mulai meninggalkan kebiasaan menanam ganja yang jadi penghalang mereka berkembang seperti diakui Bupati Gayo Lues, Muhammad Amru.

Tak gampang mengalihkan pola pikir dan pola kerja warga Agusen. Lebih dari 50 persen warganya berprofesi sebagai penanam ganja Namun, sosialisasi dan himbauan secara terus menerus membuat mereka bisa meninggalkan ganja.

Pengulu atau kepala Desa Agusen, Ramadhan pun nyaris putus asa ketika mengajak warganya meninggalkan kebiasaan yang dilarang. Pola kepemilikan satu hektare tanaman kopi ternyata  bisa  mengalihkan usaha mereka dari ganja ke kopi dan wisata.

“Kita selalu menyampaikan dan membujuk para petani ganji untuk beralih ke kopi dalam setiap kesempatan,” kenang Ramadhan.

Memang butuh waktu untuk berbenah dan mengobati citra dari desa produsen ganja menjadi desa destinasi wisata. Meskipun demikian, pemerintah setempat terus mendorong dengan melatih mereka menjadi tuan rumah destinasi wisata.[acl]

Penulis : Muhktaruddin Yacob

read more