close
Flora Fauna

Satu Dekade Konflik Gajah dan Manusia di Pintu Rime Gayo

Kawanan gajah liar dengan jumlah 23 ekor melintas di ruas jalan nasional Takengon-Bireuen di Kabupaten Bener Meriah, Sabtu (7/12/2019) | Foto: ANTARA/HO

Redelong, Aceh – “Kami maunya gajah gak datang lagi ke kampung kami,” ucap Idayani penuh harap. Kalimat itu membuat bibir perempuan ini tampak bergetar saat berucap, air mata pun menetes di wajahnya, seolah menunjukkan kedalaman harap dari apa yang disampaikannya.

Idayani (42) adalah warga Dusun Sejahtera, Kampung Rime Raya, Kecamatan Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah, Aceh.

Saat itu di penghujung November 2019, rumah perempuan ini baru saja didatangi kawanan gajah liar di malam hari. Dinding rumahnya jebol, pintu rumah didobrak, dan seisi rumah hancur berantakan oleh kehadiran hewan mamalia bertubuh besar itu.

“Dua malam dia (gajah) datang. Waktu malam pertama itu saya masih di Binjei (Sumatera Utara), itu dinding rumah cuma dirusak yang lain gak ada dirusak. Malam keduanya saya udah disini, karena dinding rumah rusak saya tidur di rumah kakak sebelah,” tutur Idayani.

“Malam keduanya itu udah masuk semua ke dalam rumah, sampai kamar dia masuk, itu karung beras pun dia ambil. Dapur sampai kamar semua berantakan,” kisahnya lagi.

Ibu dua anak ini menuturkan delapan tahun sudah ia merajut pengalaman merasakan konflik gajah yang terjadi di kampungnya. Rasa trauma terus mendera di dadanya selama bertahun-tahun. Di saat-saat kawanan gajah mulai kembali ke desanya, saat itulah rasa khawatir tak lagi bisa terusir untuk hanya sekedar bisa tidur nyenyak di malam hari, di dalam rumahnya sendiri.

“Takut, malam-malam selalu takut kami. Kalau udah dengar suara terompetnya itu dah hidup jantung. Memang dia jarang ganggu, tapi kami yang perempuan ini kan tetap ketakutan,” kata Idayani.

Hal yang sama juga diutarakan oleh Julita (32). Perempuan yang masih satu desa dengan Idayani ini juga mengaku tak bisa melawan rasa takutnya setiap kali berhadapan dengan kenyataan bahwa gajah-gajah liar sedang bermain-main di dekat rumahnya.

“Saya dengar suaranya aja langsung gemetar saya. Kalau malam suaranya itu keras kali, dari jauh aja suaranya kedengaran satu kampung ni, apalagi kalau dia dekat, itu rasanya takut kali,” tutur Julita.

“Kadang-kadang dia udah di belakang rumah, lewat gitu, ribut suaranya krasak krusuk. Sering dia datang kalau malam, paginya ada bekas tapak kakinya di belakang rumah itu banyak,” ujarnya lagi.

Ibu dua anak ini menuturkan bahwa sejak beberapa tahun belakangan, sudah banyak warga desanya yang memilih untuk hijrah meninggalkan kehidupan di desa itu.

Menurutnya warga-warga yang pindah tersebut karena sudah tak tahan lagi harus menjalani kehidupan yang selalu dalam ketakutan.

“Kami pun kalau bisa pindah dari sini pindah kami pun, cuma kami gak tahu mau pindah kemana, lahan kami cuma di sini, gak ada di tempat lain, mau gak mau harus terus di sini,” ucapnya sambil membenahi alas tampat menjemur biji kopi robusta di halaman rumahnya.

Kopi jenis Robusta kata Julita adalah salah satu komoditi perkebunan warga di sana untuk bisa menopang kehidupan ekonomi keluarga.

Wilayah kampung ini yang terletak di kawasan pinggirian Kabupaten Bener Meriah memiliki iklim tak sesejuk wilayah Dataran Tinggi Gayo pada umumnya yang dikenal subur untuk menumbuhkan tanaman kopi jenis Arabica gayo sebagai komoditi unggulan yang namanya telah tersohor ke seantero dunia.

“Kalau kami disini tanamnya kopi Robusta semua, karena disinikan udah daerah panas, arabica gak bagus lagi tanam disini,” kata Julita.

Jika kawanan gajah liar sudah mulai kembali datang ke desa ini, tanaman kopi di areal perkebunan warga kerap luluh lantak, batang-batang kopi bisa patah atau tercabut dari akarnya oleh ulah satwa berbelalai itu.

Sementara ada ratusan hektare lahan perkebunan warga di desa ini dengan berbagai jenis tanaman pertanian di dalamnya terus menerus mendapat ancaman kerusakan sebagai dampak dari konflik gajah yang terjadi.

Warga lainnya, Mariman (46), mengatakan sejak kawanan gajah liar kembali ke desanya dalam sebulan terakhir mulai akhir Oktober 2019, penduduk di desa itu pun mulai menerapkan ronda malam massal untuk berjaga dan mengantisipasi kehadiran kawanan gajah, kalau-kalau mulai mendekati rumah-rumah penduduk.

Untuk ini warga hanya dibekali petasan sebagai alat untuk dapat mengusir para satwa dilindungi itu agar menjauh dari pemukiman penduduk.

Ledakan-ledakan dari suara petasan yang sengaja dibunyikan oleh warga selama ini masih menjadi cara dan solusi paling efektif yang bisa dilakukan.

“Setiap malam kami jaga. Tapi kadang kami kehabisan mercon, habis stok kami. Itu terpaksa kami kumpul-kumpul sesama warga untuk bisa beli mercon lagi,” kata Mariman.

Rumah rusak dan korban jiwa

Reje (Kepala) Kampung Rime Raya Muklis pada 23 November 2019 mencatat ada sebanyak 14 rumah warga di desanya yang dirusak oleh kawanan gajah liar hanya dalam waktu dua pekan saja.

“Itu total (rumah rusak) dua minggu ini, sejak gajah datang lagi ke desa kami. Memang tidak semua rumah rusak berat, kalau yang rusak berat itu ada empat rumah,” kata Muklis.

“Belum lagi kalau kita hitung seluruh kerusakan dari beberapa tahun lalu, sejak tahun 2011. Apalagi kalau kebun, itu mungkin sudah ratusan hektare (kebun rusak), di kampung ini saja,” ujarnya lagi.

Muklis menuturkan bahwa sepengetahuannya sejak konflik gajah terjadi mulai tahun 2011 juga telah berdampak pada jatuhnya korban jiwa.

Dia mengingat ada delapan warga menjadi korban meninggal dunia akibat berbagai insiden yang melibatkan hewan mamalia bertubuh besar itu dengan warga.

Mulai dari insiden kecelakaan di jalan raya akibat kawanan gajah turun menyeberangi jalan, hingga berbagai insiden lainnya yang berakibat fatal bagi keselamatan manusia.

“Itu korban jiwa yang kami ketahui sejak 2011. Kemarin dengan media lain saya salah sebut, saya bilang 5 korban jiwa, padahal sudah 8 korban,” ucap Muklis.

Tapi menurutnya total jumlah korban jiwa itu adalah yang terhitung untuk se Kecamatan Pintu Rime Gayo secara keseluruhan.

Wilayah kecamatan ini disebut merupakan kawasan utama di Kabupaten Bener Meriah, Aceh, dimana kawanan gajah liar selalu hilir mudik pada jalur lintasannya mendatangi satu desa ke desa lainnya dalam wilayah kecamatan tersebut.

“Kalau dari desa kami tidak pernah ada korban jiwa, seingat kami tidak ada,” kata Muklis.

Mencari solusi terbaik

Camat Pintu Rime Gayo Edi Iwansyah Putra menyebut bahwa kawanan gajah liar mulai kembali mendatangi hampir setiap desa dalam wilayah kecamatan tersebut mulai Juli 2019.

Upaya penggiringan para satwa dilindungi itu agar kembali ke kawasan hutan atau minimal menjauh dari wilayah perkampungan penduduk terus dilakukan, namun hasilnya nihil hingga memasuki Desember 2019.

Gajah-gajah liar itu tetap enggan beranjak, mereka hanya meninggalkan satu desa untuk sesaat, itu pun untuk menuju ke desa lainnya, lalu kembali lagi ke desa sebelumnya.

“Makanya untuk penggiringan itu bukan menjadi solusi kalau menurut saya, itu hanya sebagai upaya antisipasi sementara. Sama saja misalnya saat kita usir gajah itu dari wilayah kita, kemudian mereka masuk ke wilayah Bireuen atau Aceh Tengah, nah dari sana juga dilakukan pengusiran, lalu gajahnya kembali lagi masuk ke wilayah kita, begitu terus terjadi,” tutur Edi Iwansyah Putra.

Edi menjelaskan bahwa konflik gajah telah menjadi persoalan rutin setiap tahunnya di wilayah Kecamatan Pintu Rime Gayo, namun tak pernah ada solusi konkrit dari pihak berwenang untuk upaya penanganannya secara tuntas dan terencana.

Sementara pemerintah daerah setempat dalam hal ini, kata dia juga tidak punya kewenangan khusus untuk dapat menangani persoalan tersebut, sehingga masalah konflik gajah ini seolah tak bertuan dan terus menggantung tanpa ada solusi penanganannya.

“Karena urusan satwa dilindungi ini kan sudah jadi urusan pusat ya, Pemda tidak punya anggaran untuk itu. Nah kenapa tidak direncanakan penanganannya secara paripurna, kita gelontorkan anggarannya, tapi permasalahan selesai,” ucapnya.

Edi berharap ada upaya terencana yang dilakukan oleh pihak berwenang baik dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh maupun Pemerintah Provinsi Aceh untuk penuntasan masalah konflik gajah tersebut agar tidak lagi menjadi persoalan rutin setiap tahunnya di daerah itu.

“Apakah dipindah, apakah dipagar, itu bagaimana mekanismenya. Karena kalau seperti ini terus cara penanganannya, memang kita keluarkan dana sedikit, tapi karena rutin, itu akan menjadi besar juga anggarannya,” kata Edi.

Contohnya kata dia dalam sepekan saja melakukan upaya penggiringan kawanan gajah untuk keluar dari satu desa, Pemerintah Kabupaten Bener Meriah sedikitnya harus menggelontorkan dana sebesar Rp40 juta.

“Itu untuk membiayai Tim Delapan namanya, dari masyarakat yang melakukan penggiringan. Dana itu dipakai untuk beli mercon, biaya tim turun ke lapangan, dan juga uang saku untuk mereka,” sebut Edi.

Menurutnya dana itu belum termasuk anggaran yang harus dikucurkan oleh pemerintah daerah setempat dalam membantu warga yang rumahnya dirusak oleh kawanan gajah liar, juga biaya yang dikeluarkan untuk membuat parit gajah sebagai pembatas agar kawanan gajah tak memasuki wilayah perkampungan penduduk.

“Tapi parit ini pun kan gak terlalu efektif, karena gak disemen. Suatu saat nanti datang hujan tertimbun lagi,” kata dia.

Karena itu Edi sangat mengharapkan adanya upaya maksimal dari pemerintah di tingkat provinsi dan pusat untuk dapat menuntaskan konflik gajah yang terjadi di daerah ini.

Hal itu kata dia pastinya akan membutuhkan biaya yang tidak sedikit sehingga memang harus ditangani oleh pemerintah provinsi dan pemerintah pusat.

“Tapi harus paripurna, kita gelontorkan dana besar, tapi selesai. Apakah kita padukan dengan program kepariwisataan misalnya, jadi gajah tetap disitu tapi tidak memasuki wilayah pemukiman warga. Itu bisa menjadi objek wisata, itu harapan kita sebenarnya,” ujarnya.

Edi menuturkan bahwa wilayah Kecamatan Pintu Rime Gayo merupakan kawasan utama di Kabupaten Bener Meriah yang setiap tahunnya didera konflik gajah.

Kondisi ini kata dia selalu menimbulkan kerugian di tengah masyarakat seperti hilangnya sumber pendapatan ekonomi warga dari hasil pertanian karena lahan-lahan perkebunan mereka terus dirusak oleh kehadiran kawanan gajah liar.

Selain itu sejak Juli 2019 juga telah banyak rumah penduduk dalam wilayah kecamatan ini yang dilaporkan mengalami pengrusakan oleh kawanan gajah, bahkan tercatat ada sebanyak 17 unit rumah yang mengalami kerusakan berat.

“Di sini kawasan yang rentan itu seperti Desa Arul Cincin, Arul Gading, Belang Rakal, Negeri Antara, dan Desa Pantanlah,” sebut Edi.

Ekowisata gajah liar

Salah satu solusi yang dimunculkan untuk penanganan konflik gajah liar di daerah ini adalah dengan menjadikannya sebagai pusat ekowisata gajah liar.

World Wildlife Fund for Nature (WWF) Indonesia adalah pihak yang sangat mendorong hal itu terwujud.

Pada 1 November 2019 pihak WWF bahkan telah menggelar sebuah workshop tentang pengembangan ekowisata gajah liar dengan turut mengundang masyarakat desa dari wilayah konflik gajah dari tiga kabupaten yakni Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Bireuen.

Workshop tersebut digelar di Takengon. Pihak WWF, Chik Rini mengatakan bahwa mereka dalam hal ini berupaya untuk mendorong pengembangan sektor ekowisata gajah liar pada kawasan yang selama ini mengalami konflik gajah sebagai solusi.

Menurutnya desa-desa yang selama ini menjadi jalur pergerakan kawanan gajah liar punya peluang untuk mengembangkan sektor ekowisata tersebut agar masalah konflik gajah yang selama ini terjadi dapat diubah menjadi potensi pendapatan ekonomi bagi masyarakatnya.

“Ketika keberadaan gajah di desa bisa memberi keuntungan kepada masyarakat di desa itu, diharap masyarakat nantinya bisa lebih menerima keberadaan gajah ini tanpa takut rugi kebunnya rusak, karena ekowisata sudah menjadi sumber ekonomi alternatif,” tutur Chik Rini.

Dia mengatakan ada empat desa di rute Daerah Aliran Sungai (DAS) Peusangan yang telah didampingi oleh WWF Indonesia sejak tahun 2015 dan mulai tertarik untuk mencoba pengembangan sektor wisata minat khusus tersebut.

Keempat desa itu masing-masing adalah Desa Karang Ampar dan Desa Bergang di Kabupaten Aceh Tengah, Desa Arul Gading di Kabupaten Bener Meriah, dan Desa Pante Peusangan di Kabupaten Bireuen.

“Jadi masyarakat di empat desa ini kan sudah lama mengalami konflik gajah. Kita di WWF sudah dari 2015 mendampingi mereka, bagaimana mencoba mitigasi konflik, mengurangi dampak, dan melatih tim-tim di desa. Nah salah satu solusi yang sama-sama kita cari jalan keluarnya saat ini yaitu peluang untuk pengembangan ekowisata ini,” ujarnya.

Rini menuturkan pihak WWF selama ini sudah memfasilitasi masyarakat di empat desa tersebut untuk bisa mengkaji potensi jika program ekowisata dikembangkan di masing-masing desa.

Menurutnya masyarakat desa juga sudah sepakat untuk menjalankan program tersebut dengan memanfaatkan dana desa dan akan menjadikannya sebagai bagian dari kegiatan pemberdayaan ekonomi masyarakat di masing-masing desa.

“Kita memfasilitasi mereka. Dan setelah mereka susun potensi wisata di desa mereka ternyata tidak hanya gajah liar, potensi desa mereka ternyata lebih dari itu, mereka punya alam yang bagus, kehidupan budaya mereka juga unik, dan ada kegiatan-kegiatan ekonomi masyarakat yang juga menarik dari sisi wisata,” sebut Rini.

Karena itulah pihak WWF Indonesia kemudian memfasilitasi workshop di Takengon dengan mengundang pihak-pihak terkait dari pemerintah daerah setempat untuk bisa memaparkan hasil penyusunan rencana pengembangan ekowisata gajah liar yang telah disusun oleh masyarakat di empat desa tersebut.

“Ini lho ide masyarakat, mereka punya perencanaan ini, mereka sudah berbicara intens, dan mereka ingin mendapat dukungan. Mereka bisa menjalankan,” tuturnya.

Rini mengatakan jika program ekowisata ini berhasil diterapkan di empat desa tersebut maka akan menjadi yang pertama di Indonesia.

Namun menurutnya kegiatan ekowisata gajah liar di sejumlah negara sudah lama dikembangkan dan terbukti sukses untuk menarik minat kunjungan wisatawan.

“Di banyak negara kesuksesan untuk ekowisata gajah liar itu sudah lama sekali. Nah saya pikir kita harus melihat ini, ketika pasar di dunia untuk wisata itu ada, kenapa tidak mengambil peluang itu, sehingga satwa ini pada akhirnya memberi manfaat untuk masyarakat,” tutur Chik Rini.

Sementara banyak kalangan menilai bahwa sebenarnya bukan kawanan gajah yang datang mengganggu wilayah perkampungan penduduk, tapi sebaliknya, kitalah yang datang ke wilayah jalur pergerakan kawanan gajah yang telah memiliki rute perjalanan tetap sejak dulu.

Untuk pendapat ini, solusi yang kemudian bisa ditawarkan hanya ada dua, yaitu mencoba hidup berdampingan dan berbagi ruang antara warga dan kawanan gajah seperti konsep ekowisata yang didorong terwujud oleh pihak WWF, atau relokasi masyarakat kampung ke tempat yang lebih layak.[]

Sumber: aceh.antaranews.com

Tags : gajahgayo lues

Leave a Response