close

jurnalis

Green Style

Forum Jurnalis Lingkungan Aceh Adakan TOT Citizen Journalism

Banda Aceh- Sebanyak 15 jurnalis berbagai media yang tergabung dalam Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) Aceh mengikuti Training of Trainer (TOT) bertemakan Citizen Journalism dengan pemateri dari Society of Indonesian Environment Journalist (SIEJ) di Banda Aceh. ToT dilaksanakan selama lima hari, dimulai hari Selasa (26/3/2019).

Citizen journalism atau jurnalisme warga, merupakan fenomena di dunia jurnalisme ketika teknologi informasi berkembang pesat dan perkembangannya melampaui perkiraan para praktisi komunikasi maupun jurnalis media arus utama.

Sejumlah media arus utama di Indonesia menarik banyak manfaat dari citizen journalism karena mendapatkan berita gratis. Media arus utama menerjemahkan citizen journalism ke dalam bahasa Indonesia menjadi jurnalisme warga.

Menurut Harry Surjadi saat sesi diskusi bersama peserta, citizen journalism adalah sebuah gerakan. “ Karena kalau gerakan itu dari sudut pandang citizen journalism nya, apa untung buat mereka? Kenapa membuat citizen journalism ini? Itu menjadi pertimbangan ketika saya membuat citizen jurnalism. Ketika kita menggunakan kata gerakan, artinya tidak memikirkan dampak sosialnya seperti apa. Maka dari itu saya menyebutnya gerakan,” jelasnya.

Jurnalis bisa mendapatkan informasi dari citizen journalism yang berada di pelosok daerah tidak terjangkau oleh jurnalis itu sendiri.

Salah seorang peserta TOT, Nova Misdayanti mengatakan manfaat mengikuti TOT bisa meningkatkan kepercayaan diri sebagai trainer agar berani berbicara di depan publik dan lebih mengetahui apa itu jurnalisme warga sebenarnya.

Karena bagi Nova seorang trainer tidak hanya menguasai materi tapi juga bisa menyampaikan informasi kepada audiens atau peserta. “Jadi informasi yang kita sampaikan bisa diserap oleh warga dengan cara-cara yang sederhana, atau dengan cara mentransfer ilmu kita dengan lebih dekat dengan permasalahan di warga,” ujarnya.

Selama dua hari mengikuti TOT Nova sudah lebih mengetahui apa itu citizen jurnalism. “Yang saya tahu soal citizen jurnalism itu hanya laporan warga sekedar informasi, ternyata tidak hanya itu tapi ada poin-poin dasar informasi seperti apa yang harus mereka sampaikan, dan layak apa tidak untuk diberitakan,”ungkap Nova.

“Nanti kita akan menjadi pemateri atau trainer untuk memberikan pelatihan bagi warga agar menjadi citizen jurnalism. Agar mereka dapat meramu informasi supaya menjadi produk citizen jurnalism. Seperti di daerah-daerah khusus yang memang betul-betul harus diangkat permasalahan lingkungannya,” ungkapnya.

Pelatihan ini didukung oleh lembaga USAID Lestari bekerjasama dengan FJL Aceh. Kegiatan bertujuan agar para jurnalis bisa menjadi trainer citizen journalism sehingga dapat mempraktikkan dan menyampaikan apa yang mereka pelajari dari TOT ini.[fat]

read more
Green Style

Lestari Training Jurnalis Lanskap Leuser

Lebih kurang 50 peserta yang berasal dari Banda Aceh, Gayo Lues, Aceh Selatan, Aceh Tenggara dan Aceh Barat Daya mengikuti training jurnalis lanskap Leuser yang diselenggarakan oleh Program Lestari selama tiga hari (26-28) di Banda Aceh. Jurnalis yang mengikuti kegiatan ini terdiri dari jurnalis media cetak, online, televisi, radio dan blogger. Para jurnalis dilatih untuk membuat berita yang bermanfaat bagi advokasi lingkungan terutama kaitannya dengan bentang alam Leuser.

Acara yang dibuka sekitar pukul 09.30 pagi itu menghadirkan pemateri dari Lestari sendiri yaitu Cut Meurah Intan dan Rezki Mulyadi (Communication Lestari) dan Muhammad Nizar (Green Journalist Aceh) pada hari pertama. Selanjutnya peserta akan dibagi menjadi tiga kelompok yaitu menulis, fotografi dan video. Masing –masing kelompok akan difasilitasi oleh Adi Warsidi (TEMPO/Ketua AJI) untuk menulis, Chaideer Mahyuddin (AFP/Acehkita/ANC) untuk fotografi dan Davi Abdullah (KompasTV) untuk video.

Rezki Mulyadi dalam kesempatan tersebut banyak memaparkan bagaimana peran jurnalis dalam program Lestari Leuser ini sendiri. Mantan jurnalis radio di Makassar ini mengatakan jurnalis harus memberikan pencerdasan kepada masyarakat. “Jangan hanya menulis untuk memenuhi quota saja. Menulis harus menjadi alat perjuangan dan media interaksi bagi komunitas,”ucapnya. Ia menambahkan kegiatan kampanya melalui jurnalistik diarahkan agar publik mendapatkan manfaat berupa manfaat sosial, manfaat intelektual serta manfaat praktis.

Lestari sendiri telah meluncurkan program kampanye yang bertajuk #Leuserpermatadunia agar menarik perhatian masyarakat internasional.

Sementara Direktur Green Journalist Aceh lebih banyak memaparkan tentang bagaimana jurnalistik lingkungan dapat diterapkan dengan baik pada program Lestari ini. Ada banyak tema yang bisa diangkat dari sektor kehutanan. Selalu saja ada ide untuk membuat artikel, jadi jangan hanya sampai menunggu peristiwa terjadi atau bencana baru menulis. Hasil riset-riset kehutanan juga menjadi bahan yang menarik sebagai penulisan artikel.

Kegiatan Lestari dilaksanakan di enam lanskap strategis di tiga pulau terbesar Indonesia, yang memiliki sebagian tutupan hutan primer yang masih utuh dan memiliki simpanan karbon terbesar. Di Sumatra bagian utara, Lanskap Leuser mencakup Kabupaten Aceh Selatan, Gayo Lues, Aceh Tenggara dan Aceh Barat Daya, termasuk Taman Nasional Leuser dan Suaka Margasatwa Rawa Singkil. Di Kalimantan Tengah, Lestari bekerja di Lanskap Katingan-Kahayan, yang mencakup Kabupaten Pulang Pisau, Katingan dan Gunung Mas, Kotamadya Palangkaraya, dan Taman Nasional Sebangau dan Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya. Lestari juga bekerja di empat lanskap di Papua. Lanskap Sarmi dan Cyclops terletak sepanjang pesisir utara. Lanskap Lorentz Lowlands, mencakup Kabupaten Mimika dan Asmat ditambah sebagian dari Taman Nasional Lorentz, dan Lanskap Mappi-Bouven Digoel yang terletak di pesisir selatan Papua. LESTARI memiliki kantor pusat di Jakarta, dengan kantor cabang di setiap lanskap dan di ibukota Provinsi Aceh, Kalimantan Tengah dan Papua.[]

read more
Green Style

Pentingkah Membangun Jaringan Jurnalis Lingkungan?

Direktur Green Journalist Aceh, Muhammad Nizar mengatakan, sangat penting membuat jaringan jurnalis lingkungan sebagai sarana memperkuat informasi dan tukar menukar pengalaman, menjaga semangat pemberitaan isu-isu lingkungan dan meningkatkan kapasitas jurnalis.

Hal itu disampaikannya dalam kegiatan Media Gathering ), yang digelar oleh USAID LESTARI bersama puluhan jurnalis dari berbagai daerah di Aceh di Oasis Atjeh Hotel, Banda Aceh, Sabtu (30/1).

Proyek USAID LESTARI adalah sebuah upaya Pemerintah Republik Indonesia (RI) menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK), melestarikan keanekaragaman hayati di ekosistem hutan dan mangrove yang bernilai secara biologis serta kaya akan simpanan karbon. Dibangun di atas fondasi proyek USAID IFACS, LESTARI menerapkan pendekatan lanskap untuk menurunkan emisi GRK, dengan mengintegrasikan aksikonservasi hutan dan lahan gambut dan strategi pembangunan rendah emisi (LEDS) di lahan lain yang sudah terdegradasi. Upaya ini bisa dicapai melalui perbaikan tata guna lahan, tata kelola hutan lindung, perlindungan spesies kunci, praktik sektor swasta dan industri yang berkelanjutan, serta peningkatan keterlibatan berbagai pemangku kepentingan dalam kegiatan konservasi.

“Sangat penting dibuat jaringan seperti ini. Namun pembelajaran dari berbagai forum yang pernah terbentuk, banyak anggota forum tidak memiliki passion atau antusiasme terhadap isu, masih tergantung pada donor, dan sering terjebak kembali pada isu-isu lokal, tidak memiliki agenda forum yang jelas dan bersifat sukarelawan serta tak ada badan hukum ,” jelas Nizar.

Kegiatan LESTARI dilaksanakan di enam lanskap strategis di tiga pulau terbesar Indonesia, yang memiliki sebagian tutupan hutan primer yang masih utuh dan memiliki simpanan karbon terbesar. Di Sumatra bagian utara, Lanskap Leuser mencakup Kabupaten Aceh Selatan, Gayo Lues, Aceh Tenggara dan Aceh Barat Daya, termasuk Taman Nasional Leuser dan Suaka Margasatwa Rawa Singkil. Di Kalimantan Tengah, LESTARI bekerja di Lanskap Katingan-Kahayan, yang mencakup Kabupaten Pulang Pisau, Katingan dan Gunung Mas, Kotamadya Palangkaraya, dan Taman Nasional Sebangau dan Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya.LESTARI juga bekerja di empat lanskap di Papua. Lanskap Sarmi dan Cyclops terletak sepanjang pesisir utara. Lanskap Lorentz Lowlands, mencakup Kabupaten Mimika dan Asmat ditambah sebagian dari Taman Nasional Lorentz, dan Lanskap Mappi-Bouven Digoel yang terletak di pesisir selatan Papua. LESTARI memiliki kantor pusat di Jakarta, dengan kantor cabang di setiap lanskap dan di ibukota Provinsi Aceh, Kalimantan Tengah dan Papua.

Sudahkah isu lingkungan mendapat tempat di media lokal? Menurut dia, Isu lingkungan ada diberitakan tapi belum dapat tempat yang layak. Masih sporadis, tidak ada kolom khusus alias masih digabung dengan kolom lain.
“Pemberitaan banyak seputar pernyataan semata, baik para tokoh atau pejabat. Nah disaat  ada kejadian atau insiden baru diberitakan. Padahal memberitakan lingkungan dapat dilakukan terus menerus, baik sebelum kejadian (prediksi), saat kejadian (penanganan) dan pasca kejadian (tanggap bencana, recovery dan penanggulangan),” pungkasnya.

Isu-isu pemberitaan lingkungan menurutnya dapat ditemukan di sektor kehutanan, perkebunan, energi, pesisir, polusi udara, air bersih, tata kota, pemukiman, bencana, konflik satwa, perubahan iklim, kebijakan, dan lain sebagainya.

Dalam pemantauan isu lingkungan lewat media, jurnalis perlu mencatat data jumlah korban, jumlah kerugian, kerusakan, dan sebagainya. Kalau bisa membuat statistik sederhana misalnya frekuensi kejadian per periode, tabel perbandingan, serta memantau penggunaan anggaran terkait lingkungan. (Chai)

read more
Green Style

Pelaksana Pemilu Kurang Peduli Lingkungan

Memasuki masa kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014, Unit Kegiatan Mahasiswa, Angkatan Komunikasi Olah Nalar Alam Kehidupan, Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Pembangunan (UKM-AKONAK-STIK-P) Medan, mengadakan Dialog Interaktif bertema ” Arah Kebijakan Lingkungan Pada Pilpres 2014”, di kampus STIK-P Medan, Selasa (10/6/2014).

Kegiatan yang didukung oleh Yayasan Kippas dan Uni Eropa, diikuti oleh peserta yang berasal dari organisasi Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) dan Kelompok Pencinta Alam (KPA) yang berada di kota Medan.

Menurut Ketua Panitia Pelaksana, Alfan Raykhan Pane, awalnya panitia mengundang empat orang pembicara yaitu Aulia Andri (Komisioner Bawaslu Sumut), Perwakilan Posko Pemenangan Prabowo-Hatta wilayah Sumut, Perwakilan Posko Pemenangan Jokowi-JK wilayah Sumut serta M. Nizar Abdurrani, Pemimpin Redaksi ‘Media Online Lingkungan’ Greenjournalist.net dari Provinsi Aceh.

Namun kemudian, dalam proses negoisasi tempat kegiatan di Kampus STIK-P, muncul persyaratan atau larangan dari pihak kampus, supaya panitia tidak menghadirkan pembicara satu, pembicara dua dan pembicara ketiga. “Mereka (kampus) menganggap pembicara yang lain ‘berpotensi konflik’ karena sarat muatan politis, dimana kampus berdasarkan undang-undang pemilu harus steril dari aroma kampanye,” ujar Alfan.

M. Nizar Abdurrani sebagai pembicara keempat, selanjutnya menjadi pembicara tunggal dalam acara dialog interaktif tersebut. Pemimpin Redaksi Berita Lingkungan Online Greenjournalist.net, yang mengkhususkan pemberitaanya dengan isu-isu lingkungan memaparkan makalah berjudul “Kampanye dan Advokasi Lingkungan Via Media Online”.

Dikatakannya, keunggulan media online dibandingkan dengan media konvensional (cetak/elektronik) yaitu, kapasitas luas dimana halaman web bias menampung naskah sangat panjang, pemuatan dan editing naskah bias kapan saja dan dimana saja, setiap saat, cepat begitu di-upload langsung bisa di akses semua orang, jelasnya secara lugas.

Lanjutnya , media online itu menjangkau seluruh dunia yang memiliki akses internet, actual berisi info aktual karena kemudahan dan kecepatan penyajian. Interaktif dua arah dan ‘egaliter’ dengan adanya fasilitas kolom komentar, chat room, polling, dsb. Terdokumentasi, informasi yang tersimpan di ‘bank data’ (arsip), dan dapat di temukan melalui “link” artikel terkait, fasilitas ‘search’ serta terhubung dengan sumber lain ‘hyperlink’ yang berkaitan dengan informasi tersaji.

Di makalah tersebut, Nizar juga menyebutkan beberapa kelemahan media online, yaitu sangat tergantung dari kualitas jaringan internet, belum seluruh wilayah di Indonesia terjangkau oleh jaringan internet, adanya persepsi di sebagian masyarakat, bahwa media online bukan media massa serta karena sering mengutamakan kecepatan, media online dianggap kurang akurat.

Salah seorang peserta dari ‘Tanpa Atap Pro’ Julia Topik alias Gaban, menyatakan, Tema dialog interaktif ini sebenarnya ingin mencari simpati dari penggiat lingkungan di Medan, tegasnya.

Selanjutnya ia juga mempertanyakan tentang apakah kegiatan ini hanya sebatas dialog saja? Atau adakah pihak panitia akan menindaklanjuti soal bagaimana mengawal proses kampanye pilpres 2014 ini, sehingga tidak adalagi Alat Peraga Kampanye (APK) yang merusak estetika dan dipaku dan terpasang di pohon, seperti saat kampanye caleg yang lalu.

Pada kesempatan yang sama, dalam sesi diskusi, Andika dari Mapala STIPAP Medan, juga menyatakan setuju atas pernyataan Gaban tentang “telah hilangnya ruh kepencinta alaman, karena setiap individu penggiat lingkungan sekarang lebih senang bicara kemping, adventure (petualangan) dan naik gunung saja, jadi saat hobi, prestasi dan profesi menjadi pilihan, maka ruh konservasi justru telah hilang, gugatnya.

Salah seorang alumni STIK-P yang menjadi moderator kegiatan, Darmansyah Lubis bahkan mempertajam pernyataan Gaban tentang, “Adakah bentuk isu peraturan kampanye yang disampaikan KPU dan Bawaslu? Pernahkah hal tersebut benar-benar dijalankan? Apakah KPU pernah menegur para caleg yang saat kampanye lalu, memasang selebaran di taman kota? Atau mungkin saja KPU dan Bawaslu kurang ‘Aware’ terhadap proses pemilu yang mencederai lingkungan, yaitu saat APK seperti spanduk dan baliho merusak estetika, lantas bagaimana wujud produk kebijakan lingkungan lima tahun kedepan? Serta pertanyaan tentang sesama penggiat lingkungan telah berbuat apa sih? Termasuk apa itu filosofi kepencintaalaman, gugatnya.

Sebagai penutup kegiatan, para peserta akhirnya menyampaikan beberapa poin harapan antara lain antara lain apa yang bisa dilakukan sampai dengan 9 Juli 2014 (hari H) ? Apakah sepakat membuat gerakan dan tindakan kongkrit bersama seperti turut serta dalam tim monitoring bersama KPU, Bawaslu, Satpol PP serta stakeholder yang berwenang tentang penertiban alat peraga kampanye agar lebih mengedepankan estetika lingkungan serta keinginan peserta menggagas media online khusus kepencintaalaman khususnya di provinsi Sumut. [rel]

read more
Kebijakan Lingkungan

Lokakarya SIEJ Aceh: Saksi Ahli dari Institusi yang Sama Membingungkan

The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) bekerja sama dengan Chemonic-USAID menyelenggarakan Lokakarya Penegakan Hukum dalam Kasus Keanekaragaman Hayati, di Banda Aceh, Kamis (17/4/2014). Dalam acara yang diikuti oleh dua puluhan peserta yang terdiri dari jurnalis dan aktivitas lingkungan tersebut, tiga pemateri memberikan presentasi tentang kondisi biodiversity di Aceh secara umum.

Direktur SIEJ, IGG Maha Adi mengatakan kegiatan ini bertujuan memberikann informasi kepada para jurnalis/editor tentang kinerja penegakan hukum untuk kasus-kasus biodiversity seperti perdagangan satwa dan tumbuhan yang dilindungi, pembalakan liar, pembakaran hutan dan lahan, dan kasus lain yang berkaitan.

Ketua Pelaksana Harian Yayasan Leuser Internasional (YLI) Dr. Ir. Syahrul, M.Sc, sebagai pemateri pertama menyampaikan perihal kerusakan keanekaragaman hayati yang mereka temukan di wilayah kerja YLI, Aceh Tenggara, Aceh Selatan dan Subulussalam. Syahrul memperlihatkan bagaimana perangkap-perangkap hewan liar dipasang di hutan, kamp-kamp pemburu liar di hutan, perdagangan hewan liar, aktivitas ilegal logging dan berbagai kejahatan lingkungan lainnya.

Selain itu YLI juga memberikan rekomendasi antara lain meningkatkan komitmen penegak hukum, kerja sama aksi ditingkat aktivis, jurnalis dan stakeholder lainnya. Juga rekomendasi memutuskan mata rantai aktivitas ilegal, mengikutsertakan masyarakat adat dan hukum adat, sosialisasi dan penyuluhan hukum dan yang tak kalah pentingnya peningkatan ekonomi masyarakat sekitar hutan.

Pemateri kedua, M. Ali Akbar, SH, MH, yang menjabat Ketua Satuan Khusus (Kasatsus) Tipikor Kejaksaan Tinggi Aceh, memaparkan tentang kondisi penyidikan terhadap kejahatan lingkungan. Ia banyak menyinggung tentang perundangan yang terkait, kasus pembakaran lahan seperti kasus Rawa Tripa, modus operandi pelanggaran hukum lingkungan, minimnya pengetahuan masyarakat terhadap hukum lingkungan dan minimnya Jaksa serta hakim yang bersertifikasi lingkungan dan peran korporasi sebagai pelaku kejahatan lingkungan.

M. Ali Akbar menyebutkan dalam persidangan pembakaran lahan perlu menghadirkan saksi ahli. Saksi ahli dihadirkan agar daya “cengkeram” penuntut semakin kuat. Namun ada pihak lawan yang menghadirkan saksi ahli dari institusi yang sama, dengan keahlian yang sama, alat bukti yang sama namun dengan hasil yang berbeda. Hal ini dikhawatirkannya bisa mempengaruhi keyakinan hakim.

“ Kasus pembakaran Rawa Tripa, saksi ahli jaksa dan tergugat sama-sama dari IPB, saksi ahli tergugat malah membawa sprint (surat perintah-red) dari rektornya,” kata M. Ali Akbar. Padahal kejaksaan sendiri adalah institusi negara yang notabene juga sama dengan IPB yang merupakan institusi negara juga. Ini seperti pemerintah “lawan” pemerintah.

“Ini menjadi kendala, kita akan membahasnya lebih lanjut untuk kepentingan di masa mendatang,” ujarnya. Sebagai informasi, kasus perdata pembakaran lahan Rawa Tripa dengan tergugat PT Kalista Alam telah diputuskan PN Meulaboh dengan memberikan denda kepada PT Kalista sekitar Rp.300 miliar.

Sementara pemateri terakhir dari Pengadilan Tinggi Banda Aceh, Wahidin, SH,MH, mengupas tentang bagaimana hakim mendapatkan sertifikasi hakim lingkungan, undang-undang lingkungan dan memutar film pendek tentang hutan.

Ia mengatakan walau kasus lingkungan, namun bisa tersangka bisa digugat dari berbagai peraturan perundangan yang lain. Misalnya saja dari pajak perusahaan, perizinan, UU Perkebunan dan sebagainya.[]

read more
Ragam

Isu Lingkungan Bisa Jadi Berita Seksi dan Layak Jual

Wartawan senior AS Dale Wilmann dan pemimpin proyek SCP Indonesia Dr. Edzard Ruehe mengajari belasan editor media di Surabaya tentang cara menjadikan isu lingkungan sebagai berita yang “seksi” atau layak baca dan jual.

“Isu lingkungan hidup itu bukan soal sains, biologi atau kimia, tapi isu yang terkait dengan cerita tentang manusia, seperti kesehatan, politik, sosial, dan sebagainya,” kata Dale Wilmann dalam Diskusi-Pelatihan Editor Media di Surabaya, Senin (24/3).

Dalam Diskusi-Pelatihan tentang “Sustainable Consumption and Production Policy Support” (SCP) atau isu Produk Konsumsi Ramah Lingkungan (SCP) yang digelar AJI Surabaya, ia mencontohkan air keruh (kesehatan), asap (politik), dan kotoran hewan (sosial) sebagai isu lingkungan yang “seksi”.

“Jadi, isu lingkungan itu merupakan berita yang seksi atau menarik dan ‘marketable’ bila terkait dengan persoalan lokal yang ada di sekitar kita, bukan isu lingkungan yang ada di Kalimantan atau Sumatera sana,” katanya dalam diskusi yang dipandu jurnalis senior untuk isu lingkungan, Harry Suryadi.

Wartawan yang sudah 40 tahun menekuni isu lingkungan dan pernah bekerja di CNN dan BBC itu, menyebut dua hambatan dalam melihat isu lingkungan secara “seksi”, yakni pemahaman tentang isu lingkungan dan konflik kepentingan terkait iklan anti-lingkungan.

“Tapi, kalau kita konsisten dalam menulis isu-isu lingkungan yang bersifat lokal, tentu akan ada perusahaan yang tertarik memberi iklan, karena perusahaan sekarang ingin mendapatkan citra sebagai perusahaan hijau (ramah lingkungan),” katanya.

Senada dengan itu, pemimpin proyek SCP Indonesia Dr Edzard Ruehe menegaskan bahwa isu-isu lingkungan terkait Produk Konsumsi Ramah Lingkungan (SCP) itu meliputi empat bidang, yakni makanan, transpor, bangunan, dan energi.

“Makanan itu terkait limbah, transpor itu terkait polusi yang tinggi, bangunan itu terkait desain yang tidak ramah lingkungan, dan energi itu terkait pemanfaatan teknologi seperti AC, listrik, komputer, atau lainnya yang berlebihan,” katanya.

Dalam diskusi itu, sebagaimana diwartakan Antara, para editor media mengulas masalah penyebab isu lingkungan tidak “seksi”, di antaranya konflik kepentingan pemilik media (bisnis/iklan), lembaga rating (politik), tingginya biaya investigasi, dan kurangnya inovasi dalam menyoroti isu lingkungan.

Tim SCP menyebut pola hidup “hijau” harus menjadi tren, bukan karena tidak boleh hidup nyaman dengan AC, listrik, televisi, komputer, gadget terbaru, dan sebagainya, melainkan hidup hemat energi itu penting, misalnya AC cukup 22-24 derajat celsius, bukan 18 derajat celsius.

Untuk itu, Tim Proyek SCP menggagas Pola Konsumsi Hijau dan Pola Produksi Hijau melalui kebijakan yang bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), pemerintah daerah, industri, dan media terkait produk ramah lingkungan dan pola hidup ramah lingkungan. []

Sumber: gatra.com

read more
Ragam

GreenJournalist Raih Penghargaan Jurnalistik TFCA

Anggota Green Journalist Aceh (GreenJou), M. Nizar Abdurrani meraih penghargaan Jurnalistik Konservasi Hutan Sumatera yang diselenggarakan oleh The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) bekerjasama dengan Yayasan Kehati dan Tropical Forest Conservation Action (TFCA) Sumatera. Sebanyak 51 karya jurnalistik dari para jurnalis se-Sumatera masuk ke meja panitia untuk mengikuti kompetisi ini dan M. Nizar Abdurrani meraih juara IV untuk region Sumatera Bagian Utara.

Anugerah Jurnalistik Konservasi Hutan Sumatera dibagi menjadi dua region: Sumatera Bagian Utara, dan Sumatera Bagian Selatan.

Para jurnalis diminta menulis kondisi terkini di salah satu dari 13 kawasan konservasi di Sumatera yaitu: Hutan Warisan Seulawah; Taman Nasional Leuser &  Ekosistem Leuser; Taman Nasional Batang Gadis; Ekosistem Angkola; Batang Toru; Daerah Aliran Sungai Toba Barat; TN Bukit Tigapuluh; Semenanjung Kampar; Ekosistem Tesso Nilo; TN Kerinci Seblat; Kepulauan Siberut & Mentawai; TN Bukit Barisan Selatan dan Taman Nasional Way Kambas

Anggota GreenJou menuliskan tentang program TFCA yang dilaksanakan oleh LSM Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) di daerah hutan gambut Rawa Tripa. Hutan ini terletak di kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat Daya. Artikel yang ditulis oleh M. Nizar Abdurrani mengupas program pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar Rawa Tripa agar mereka punya mata pencarian alternatif selain merambah hutan gambut.

Karyanya berjudulbertajuk,”Masyarakat Berdaya Rawa Tripa pun Lestari.” Tulisan ini dimuat dalam website berita lingkungan www.greenjournalist.net, edisi tanggal 3/1/2014.

Berikut adalah daftar lengkap pemenang Anugerah Jurnalistik Konservasi Hutan Sumatera yang diumumkan pada 20 Maret 2014 oleh The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ).

daftar-pemenang

read more
Perubahan Iklim

LPDS Pilih 10 Jurnalis Liput Perubahan Iklim

Lembaga Pers Dr Soetomo (LPDS) bekerja sama dengan Kedutaan Besar Kerajaan Norwegia memilih 10 pewarta, salah satunya Zaki Setiawan dari www.batamekbiz.com untuk meliput perubahan iklim pada 10 provinsi di luar Pulau Jawa.

“Saya mengirimkan tulisan mengenai dampak penebangan hutan bakau di Kota Batam. Tulisan tersebut terinspirasi oleh seminar yang dilakukan oleh LKBN Antara Kepri di Pulau Puteri Batam pada akhir 2012 lalu. Saya tidak menyangka dengan tulisan tersebut saya terpilih melalui pengumuman Kamis pagi,” kata Zaki Setiawan di Batam, Kamis.

Ia mengatakan, sebanyak 10 pemenang travel fellowship yang mewakili provinsi/kota asal berbeda, selanjutnya akan berangkat dan harus tiba di Jakarta pada 18 Maret 2014 mendatang untuk selanjutnya dikirim ke 10 daerah dimaksud.

“Berdasarkan undian, peserta akan dikirim menyebar ke daerah ketiga (liputan daerah ketiga/LDK) yang bukan provinsi asal mereka, untuk meliput isu lokal perubahan iklim,” katanya.

Zaki mengatakan, periode pengiriman tulisan untuk kegiatan tersebut sudah dilaksanakanpada 25 November 2013 hingga 28 Februari 2014.

“Pihak LPDS menyatakan pemilihan peserta LDK berdasarkan pertimbangan baik dari kiriman karya ke lomba maupun dari naskah yang disusun dalam lokakarya meliput perubahan iklim (MPI),” ujarnya.

Ia mengatakan, inti dari tulisan yang dikirim adalah penebangan tanaman bakau di sepanjang bibir pantai di Kepri menjadi pemicu terjadinya abrasi sehingga jika tidak ada penanaman kembali bakau pengganti, diprediksi dalam lima tahun ke depan, 10-15 persen luas daratan Kepri akan hilang akibat abrasi.

Narasumber kegiatan tersebut, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Kepri, Edi Wan menjelaskan, abrasi terjadi akibat ketidakseimbangan ekosistem laut yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya di laut, seperti karang, bakau, dan pasir yang merupakan faktor dominan bagi ketahanan daratan atau pulau.

Ketiga ekosistem ini saling mendukung, jika salah satunya rusak, maka akan mengancam kerusakan ekosistem lainnya.

“Keberlangsungan kehidupan karang diantaranya ditentukan oleh hewan karang. Hewan ini sangat sensitif dengan pencemaran atau limbah. Hewan yang biasa menempel pada karang ini akan pergi jika merasa tidak nyaman yang akhirnya akan mengakibatkan karang menjadi rapuh,” ucapnya.

Begitupun dengan tanaman bakau di bibir pantai, ketiadaannya akan menyebabkan limbah tidak bisa terurai. Limbah merupakan ancaman berbahaya bagi kesuburan ekosistem laut, yang ditandai dengan sedikit-banyaknya jumlah ikan. []

Sumber: antaranews.com

read more
1 2
Page 1 of 2