close

kalista alam

Kebijakan Lingkungan

PT Kalista Alam Larang Tim KLHK Masuk Areal Perkebunan

Suka Makmue- PT Kalista Alam diduga tak izinkan tim dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) masuk areal perkebunan milik mereka, Senin, (23/9).

Tim KLHK berkunjung ke perkebunan PT Kalista Alam di Desa Kuala Seumayam Kecamtan Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya untuk meninjau Penilaian Aset (Apraisal) PT Kalista Alam guna Pelaksanaan Eksekusi lelang oleh Team dari KLHK.

Kapolres Nagan Raya, AKBP Giyarto melalui Kapolsek Darul Makmur Ipda. Noca Tryananto,S.Tr membenarkan hal tersebut. Dalam pelaksanaan kegiatan tersebut, pihak perusahaan melalui kuasa hukumnya tidak memberikan izin dan tidak menyetujui kunjungan Team dengan alasan permasalahan perusahaan tersebut masih dalam proses hukum.

“Dikarenakan pihak tim KLHK tidak diberikan ijin untuk melakukan peninjauan dan penilaian aset milik PT KA, mereka (KLHK) akan membuat Berita Acara penolakan peninjauan dan penilaian Aset, selanjut peninjauan diserahkan ke pihak Pengadilan Negeri Suka Makmue, untuk bahan Putusan Akhir,” kata Kapolsek.

Pengamanan peninjauan dilakukan oleh Polres Nagan Raya yang terlibat diantaranya, Kompol. Dahlan,S.H (kabag Ops Polres Nagan Raya), AKP Wagimin (Kasat Shabara Polres Nagan Raya), Kapolsek Darul Makmur serta 12 personel Polres dan Polsek Darul Makmur.

Saat media ini hendak konfirmasi langsung ke humas PT KA yang biasa dimintai info mengenai perusahaan tersebut mengaku kini tak lagi bekerja di PT Kalista Alam. []

Sumber: naganterkini.com

read more
HutanKebijakan Lingkungan

Eksekusi PT Kalista Alam, KLHK datangi BPN dan DJP Banda Aceh

Banda Aceh – Direktorat Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Ditjen Gakkum KLHK mendatangi Kantor Wilayah BPN/ATR dan Kanwil DJP keuangan Banda Aceh untuk menindaklanjuti permohonan eksekusi atas Putusan Peninjauan Kembali No. 1 PK/Pdt/2017 tertanggal 18 April 2017 atas nama PT Kalista Alam. Dalam putusan Peninjauan Kembali tersebut Mahkamah Agung menolak permohonan PK PT Kalista Alam dan menghukum PT. Kalista melaksanakan Putusan Pengadilan Negeri Meulaboh.

Dalam putusan PN Meulaboh PT. Kalista Alam diputus telah melakukan perbuatan melawan hukum karena membuka lahan perkebunan dengan cara membakar untuk ditanami kelapa sawit. Putusan Pengadilan Negeri Meulaboh Nomor : 12/PDT.G/2012/PN.MBO menyatakan sita jaminan atas tanah, bangunan dengan Sertifikat HGU No.27 dengan luas 5.769 Ha. Putusan juga menyatakan PT. Kalista Alam membayar ganti rugi sebesar 114.303.419.000.

Pengadilan juga melarang PT Kalista Alam menanam di lahan gambut yang telah terbakar seluas kurang lebih 1000 ha yang berada dalam wilayah izin usahanya. Sekaligus mewajibkan melakukan pemulihan lingkungan terhadap lahan yang terbakar seluas kurang lebih 1000 ha dengan biaya sebesar 251.765.250.000.

KLHK telah 4 kali mengajukan permohonan eksekusi tapi Ketua Pengadilan Negeri Meulaboh tetap belum melaksanakan putusan Mahkamah Agung tersebut, sehingga pelaksanaan putusan menjadi tidak mempunyai kepastian hukum.

Jasmin Ragil Utomo, S.H., M.M Direktur Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup KLHK mengatakan bahwa KLHK sangat serius mengawal pelaksanaan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), kedatangan kami ke BPN dan DJP Kanwil BPN Banda Aceh untuk menelusuri status aset PT Kalista Alam, sehingga kewajiban hukumnya bisa dilaksanakan seperti dalam putusan Pengadilan. KLHK mempunyai kewajiban bahwa memastikan setiap isi putusan harus dilaksanakan dan dipatuhi. Sehingga kerusakan lingkungan dapat dipulihkan dan hak konstitusional warga negara dapat dipenuhi ujar Ragil.

Dalam koordinasi di kantor DJP Banda Aceh di dapat data-data berupa SPT tahunan. Untuk dapat menelusuri data spesifik atau lembaran fisik laporan keuangan mereka dapat ditelusuri di KPP Pratama Meulaboh. Pada dasarnya, kakanwil DJP Banda Aceh dan KPP Pratama melaboh menyikapi baik dan bersedia untuk membantu dalam pengumpulan data tersebut. Tim Kakanwil DJP Banda Aceh dan KLHK bersama-sama besok akan ke KPP Pratama Meulaboh untuk menelusuri lembaran bukti fisik aset atas nama wajib pajak PT Kalista Alam tambah Ragil.

Kasi Penetapan Hak Tanah dan Pemberdayaan Hak Tanah Masyarakat Kanwil BPN Banda Aceh, Munir, SE, menyatakan bahwa sampai saat ini Kanwil belum menerima perubahan maupun permohonan pergantian aset atas nama PT Kalista Alam. BPN akan patuh sepenuhnya pada putusan pengadilan dan tidak akan melakukan perbuatan hukum yang membuat putusan tidak dapat dilaksanakan (rel).

 

 

read more
Kebijakan LingkunganRagam

Advokasi Rawa Tripa, Pengacara Ajak “Sahabat Pengadilan” ke Pengadilan

Amicus curiae (secara harfiah, “teman pengadilan”; plural, amici curiae) adalah seorang, yang bukan merupakan pihak dalam suatu kasus dan mungkin atau mungkin tidak diminta oleh suatu pihak dan yang membantu pengadilan dengan menawarkan informasi, keahlian, atau wawasan yang memiliki kaitan dengan isu-isu dalam kasus tersebut; dan biasanya disajikan dalam bentuk singkat. Pengadilan bebas memutuskan apakah mereka akan mempertimbangkan suatu amicus brief atau tidak. Dalam hal-hal tertentu sejumlah pengacara memakai Sahabat Pengadilan dalam menangani kasus-kasus yang menarik perhatian publik.

Seperti yang dilakukan oleh pengacara lingkungan dalam kasus perusakan hutan gambut Rawa Tripa dengan terdakwa PT Kalista Alam. Kasus yang sudah ada keputusan tetap dan mengikat (inkrah), bergulir sejak  tahun 2012 KLHK dan telah KLHK memenangkan gugatan lingkungan hidup di PN Meulaboh atas kebakaran lahan yang berada diwilayah izin PT. Kalista Alam seluas 1000 Ha. Putusan ini telah memperoleh kekuatan hukum mengikat sejak putusan Kasasi No. 651K/Pdt/2015 tanggal 28 Oktober 2015 serta dikuatkan dalam putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor: 1PK/Pdt/2017 tanggal 18 April 2017 dimana dalam putusan tersebut mewajibkan PT. Kalista Alam untuk membayar kerugian lingkungan hidup sebesar Rp. 114.303.419.000 dan biaya pemulihan sebesar Rp. 251.765.250.000 sehingga total keseluruhan adalah Rp. 366.068.669.000.

Salah satu pengacara lingkungan tersebut, Nurul Ikhsan, SH, Rabu (3/10/2018) kepada greenjournalist mengatakan bahwa mereka telah menyerahkan Amicus curiae (Sahabat Pengadilan/SP) kepada Pengadilan Tinggi Banda Aceh pada Rabu tersebut. SP tersebut berisikan pendapat, pokok-pokok pikiran beberapa tokoh masyarakat terkait dengan kasus perusakan Rawa Tripa. Pendapat para tokoh masyarakat ini menjadi tambahan wawasan kepada pengadilan dalam sebuah kasus.

“Secara formil sahabat pengadilan tidak mempengaruhi kasus. Paling tidak membuka wacana hakim,”ujar Ikhsan. SP sudah dipraktekkan di beberapa kasus di Indonesia seperti  Amicus Curiae yang diajukan kelompok aktifis kemerdekaan pers kepada Mahkamah Agung terkait dengan peninjauan kembali kasus “Majalah Time versus Soeharto”, Amicus Curiae dalam kasus “Upi Asmaradana” di Pengadilan Negeri Makasar, dan Amicus Curiae dalam kasus “Prita Mulyasari” di Pengadilan Negeri Tangerang –dimana Amicus Curiae diajukan sebagai informasi pelengkap bagi Majelis Hakim yang memeriksa perkara Prita Mulyasari. Selain itu ada pula Amicus Curiae yang diajukan untuk mendukung Peninjauan Kembali kasus Erwin Amada-dan terakhir Amicus Curiae untuk Kebijakan Bailout Century pada Pengadilan Tipikor.

“Melihat praktik yang sudah berjalan itu, besar harapan kami permohonan kami ini diterima oleh Majelis Hakim Banding memeriksa perkara ini,”ujar Ikhsan.

Tokoh-tokoh yang memberikan pendapatnya adalah tokoh independen, memberikan pendapatnya bisa apa saja tanpa dipengaruhi oleh orang lain. Kalaupun pendapat tersebut mengarah atau cenderung kepada sesuatu hal, maka sah-sah saja.

“Untuk Aceh, baru pertama kali kita gunakan Sahabat Pengadilan ini,”kata Ikhsan.

Sejumlah tokoh yang memberikan pendapatnya kepada Pengadilan Tinggi Banda Aceh yaitu Prof. Dr. Emil Salim, Prof. Dr. Mahidin ST MT, Prof. Dr. Syahrizal Abbas MA, Suraiya Kamaruzzaman ST, LL.M.MT, Prof.Drs. Yusny Saby MA.PhD,  Prof. Dr.Ir.Ahmad Humam Hamid MA, Dr. Mawardi Ismail SH.M.Hum, Farwiza Farhan, Nasir Nurdin dan Ir. T.M. Zulfikar, MP.

Tokoh-tokoh masyarakat ini dalam pendapatnya melihat ada pnnsip paling fundamental yang dilanggar oleh PN Meulaboh dalam memeriksa gugatan oleh PT Kalista Alam (PTKA) tersebut, yaitu prinsip “nemo iudex in causa sua” atau “nemo iudex in sua causa“. “Tidak seorangpun boleh mengadili suatu kasus dimana ia mempunyai kepentingan atas kasus tersebut (no person can judge a case in which they have an interest).

Ketua Majelis Hakim yang memeriksa kasus gugatan PTKA ini adalah Ketua PN Meulaboh yang sebelumnya telah mengeluarkan Penetapan atas permohonan perlindungan hukum oleh PTKA. Maka sangat sulit menghindari adanya conflict of interest disini; Majelis dengan demikian menjadi tidak imparsiality lagi. Selain itu, Putusan PN Meulaboh tersebut jelas sudah mengadili putusan sebelumnya yang lebih tinggi, yaitu Mahkamah Agung. Termasuk mengadili sendiri Putusan PN Meulaboh sebelumnya, karena pokok materi sengketanya sama.

“Kami jadi bertanya-tanya, kok bisa pengadilan tingkat pertama membatalkan seluruh amar yang sudah diputuskan oleh pengadilan tingkat akhir? Begitu juga, kami juga bertanya-tanya, dapatkah suatu perkara yang sudah diputuskan diadili kembali oleh pengadilan negeri yang sama? Tidakkah ini menimbulkan situasi ketidakpastian hukum? Adalah tugas pengadilan tingkat banding meluruskan ini kembali, mengembalikan hukum kembali pada relnya yang benar,”jelas Sahabat Pengadilan dalam dokumennya.

 

 

read more
Kebijakan Lingkungan

Temui Ketua PT Banda Aceh, KLHK Minta Percepat Putusan PT. Kalista Alam

Banda Aceh – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) hari ini menemui Ketua Pengadilan Tinggi Banda Aceh. Pertemuan yang diinisiasi oleh Ditjen Gakkum KLHK ini untuk meminta agar supaya Pengadilan Tinggi Aceh mendukung upaya eksekusi yang telah berkekuatan hukum mengikat.

Diketahui bahwa tahun 2012 KLHK telah memenangkan gugatan lingkungan hidup di PN Meulaboh atas kebakaran lahan yang berada diwilayah izin PT. Kalista Alam seluas 1000 Ha dan telah memperoleh kekuatan hukum mengikat putusan Kasasi No. 651K/Pdt/2015 tanggal 28 Oktober 2015 serta dikuatkan dalam putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor: 1PK/Pdt/2017 tanggal 18 April 2017 dimana dalam putusan tersebut mewajibkan PT. Kalista Alam untuk membayar kerugian lingkungan hidup sebesar Rp. 114.303.419.000 dan biaya pemulihan sebesar Rp. 251.765.250.000 sehingga total keseluruhan adalah Rp. 366.068.669.000

Dalam proses pengajuan eksekusi putusan Ditjen Gakkum KLHK telah 3 kali mengajukan permohonan eksekusi tapi Ketua Pengadilan Negeri Meulaboh tetap belum melaksanakan putusan Mahkamah Agung tersebut, sehingga pelaksanaan putusan menjadi tidak mempunyai kepastian hukum.

Menurut Direktur Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup KLHK, Jasmin Ragil Utomo, S.H., M.M, mengatakan bahwa KLHK sangat serius mengawal pelaksanaan putusan atas kasus kebakaran lahan PT. Kalista Alam. Walaupun kekuasan pelaksanan ada di Ketua Pengadilan Negeri Meulaboh tapi dalam hal ini KLHK sangat berkepentingan karena menyangkut aspek kepastian hukum mengenai pelaksanaan putusan Peninjauan Kembali dan pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat sebagaimana mandat konstitusi.

Pertemuan dengan Ketua Pengadilan Tinggi Bamda Aceh hari ini mencapai titik temu bahwa putusan inkracht harus disegerakan pelaksanaannya. Dengan demikian PN Meulaboh tidak ada alasan untuk menunda pelaksanaan putusan. KHLK akan terus melakukan segala tindakan hukum guna mempercepat pelaksanaan putusan ini, termasuk juga melakukan koordinasi dengan lembaga lain yang berkompeten. []

 

 

read more
HutanKebijakan Lingkungan

Berebut Lahan 200 Ha eks PT Kalista Alam di Rawa Tripa

Banda Aceh – Lahan yang dulunya milik PT Kalista Alam, kini menjadi ajang rebutan oleh sejumlah masyarakat. Mereka mengatasnamakan koperasi maupun secara individu. Hal ini menyebabkan tujuan mengembalikan kondisi hutan gambut Rawa Tripa ke keadaan semula menjadi terhambat.

Lahan perkebunan sekitar 200 hektar yang dulunya milik PT Kalista Alam kini dikuasai oleh sejumlah pihak. Awalnya pasca pencabutan Izin Usaha Perkebunan Budidaya (IUPB) lahan dengan totoal luas 1.605 hektare yang diputuskan oleh pengadilan, lahan yang sudah terlanjut ditanami ini menjadi incaran banyak pihak. Organisasi lingkungan yang menggugat pencabutan izin tersebut tahun 2013 berhasil memenangkan gugatannya. Izin yang dikeluarkan oleh Gubernur masa itu Irwandi Yusuf dicabut oleh PTUN. Aktivis lingkungan berharap hutan gambut Rawa Tripa yang sudah mengalami kerusakan bisa dikembalikan seperti semula. Namun apa hendak dikata, kondisi bekas perkebunan ini masih tetap saja rusak.

Staf Dinas Perkebunan Nagan Raya, Akmaizar, SP, kepada Greenjournalist, Rabu (4/7/2018) mengatakan bahwa seluas 200 hektar lahan pasca pencabutan izin dikelola oleh koperasi yang bernama Kopermas Sinpa. Koperasi ini mengadakan perjanjian dengan Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Propinsi Aceh yang saat itu Kepala Dinasnya adalah Husaini Syamaun. Koperasi ini mengatasnamakan masyarakat dhuafa, miskin dan anak yatim, mengelola lahan dengan sistem bagi hasil sesuai persentasi. Koperasi mendapat bagi hasil kemudian Pemkab Nagan Raya dan Pemerintah Provinsi juga mendapatkan keuntungan. Perjanjian kerjasama diteken tahun 2016.

Namun sayangnya setelah perjanjian kerjasama berjalan, ternyata koperasi tidak mampu mengelola lahan ini dengan baik sehingga akhirnya Dishutbun mencabut perjanjian kerja sama ini tahun 2017. Sementara itu, melihat koperasi mengelola kebun sawit di Rawa Tripa, masyarakat pun ikut-ikutan menanam sawit di bekas lahan hutan gambut tersebut. “Alasan mereka, kalau koperasi bisa nanam, kenapa kami tidak,”ujar Akmaizar.

Akmaizar bersama tim baik dari kabupaten Nagan Raya, Propinsi Aceh dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, telah melakukan peninjauan ke lapangan beberapa hari lalu. Kunjungan ini berdasarkan laporan dari PT Kalista Alam bahwa banyak yang menggarap lahan di bekas lahan mereka tersebut sehingga merugikan mereka.

“Yang mengejutkan hari ini baru diketahui bahwa 200 Ha areal yang terlanjur tertanami telah diserahkan pengelolaan nya oleh pemerintah Aceh melalui Dinas Kehutanan kepada salah satu Koperasi di Nagan Raya. Anehnya lagi ada sebagian oknum masyarakat yang menjadikan itu sebagai dasar legalitas untuk menggarap areal lainnnya dalam kawasan areal 1.605 Ha,”kata Akmaizar. Hal ini sangat disayangkan karena menambah kerusakan hutan Rawa Tripa. Pemerintah Aceh secara resmi menetapkan kawasan Rawa Tripa menjadi kawasan lindung gambut seluas 1455 Ha di areal eks PT Kalista Alam di kawasan Suak Bahung Kecamatan Darul Makmur, Kab.Nagan Raya tahun 2015 lalu. Kawasan yang diresmikan ini adalah bagian dari seluas 11.359 Ha kawasan gambut lindung yang sudah dimasukkan dalam Qanun RTRW Aceh.

Dihubungi terpisah, Staf Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), Indrianto mengatakan saat ini sudah ada pihak lain yang mengincar lahan bekas PT Kalista Alam tersebut. Pihak yang mengincar berbentuk koperasi yang mengatasnamakan kelompok masyarakat tertentu.

“Info yang saya dapat, koperasi ini hampir meneken kerjasama dengan Dishutbun Propinsi Aceh. Namun pak Kadis Husaini Syamaun keburu diganti sehingga perjanjian belum diteken hingga saat ini,”kata Indrianto. Pemerintah Aceh sepertinya sangat berniat untuk menyerahkan lahan 200 hektar ini dikelola pihak ketiga. Maklum saja, sawit dalam kebun tersebut sudah menghasilkan duit sehingga menarik minat banyak orang. Indrianto mengatakan pohon sawit  dalam kebun tersebut mencapai tinggi 2 meter dan telah berbuah.

Masyarakat mendirikan pondok di bekas lahan Kalista Alam | Foto: Indrianto

Pihak YEL sendiri sudah berusaha merehabilitasi lahan Rawa Tripa tersebut salah satunya dengan penutupan kanal-kanal (block canals). Hal ini dilakukan agar air yang terdapat dalam tanah gambut tidak mengalir keluar melalui kanal-kanal yang bisa menyebabkan kekeringan serta berujung kepada kebakaran hutan.

“Dalam lahan 200 hektar itu ada juga kanal-kanal yang kami tutup. Tapi di beberapa tempat dirusak kembali oleh oknum,”kata Indrianto. Pemerintah sendiri sejauh ini masih mengumpulkan data-data terkait dengan penguasaan lahan Rawa Tripa.

Rawa Tripa, yang sering dijuluki Ibukota Orangutan, terus menerus mengalami ancaman kerusakan. Masih saja banyak pihak yang memandang Rawa Tripa hanya sebagai tempat menanam sawit semata. Mereka lupa akan fungsi ekologi dari hutan gambut ini.[]

 

read more
Hutan

Rawa Tripa, Riwayatmu dari Dulu hingga Kini

Di masa kolonial, pejuang Aceh menjadikan Tripa sebagai tempat persembunyian. Hutan yang rapat menghentikan serdadu Belanda. Itu sepenggal kisah lokal tentang Tripa yang agung dan misterius. Dari masa ke masa, keagungan Tripa sirna. Rawa ini hanya menjadi tempat merajalelanya keserakahan perkebunan sawit. Lini masa berikut menunjukkan benturan kepentingan di Tripa sudah terjadi sejak era 1990-an.

1920-an
Pembukaan kebun sawit NV Socfin (sekarang PT Sofindo) di Nagan Raya.
1934
Pemimpin adat Aceh mendeklarasikan penyelamatan hutan Leuser, yang mencakup Tripa. Deklarasi Tapaktuan ini ditandatangani gubernur Hindia Belanda.
1940-an
Hampir seluruh Tripa ditutupi hutan perawan.
1980-an
PT Cemerlang Abadi membuka kebun sawit di Alue Mirah. Areal konsesi itu terbengkalai hingga 1990-an.
1983
Tata Guna Hutan Kesepakatan 1983: sebagian besar masih berstatus hutan negara bebas atau hutan produksi.
1990-an
– Hutan Tripa masih relatif utuh. Pembangunan jalan Meulaboh-Tapaktuan yang dibangun pada 1980 pun tak membuka kawasan rawa.
– Ada lima perusahaan: Gelora Sawita Makmur, Kalista Alam, Patriot Guna Sakti Abadi, Cemerlang Abadi dan Agra Para Citra. Hal ini bertentangan dengan SK Presiden No. 32/1990: hutan gambut sedalam lebih dari 3 m harus dilindungi dan tak boleh dikonversi jadi lahan budidaya.

– Padu-serasi kawasan hutan pada 1995 dan SK Gubernur Aceh No. 19/1999: wilayah Tripa ‘bukan kawasan hutan’, tapi masih ada ‘kawasan lindung di luar hutan’. Artinya, pada masa ini masih ada kesempatan untuk menyelamatkan areal Tripa.
1998
Tripa masuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), dengan tata kelola konservasi khusus Pemimpin adat Aceh mendeklarasikan sesuai Keppres No. 33 Tahun 1998.
1999
Konflik bersenjata mengerem pembukaan lahan. Proses suksesi alami berlangsung.
2000
Menteri Kehutanan menerbitkan SK No. 170/2000 yang menyatakan seluruh kawasan Tripa merupakan areal penggunaan lain (APL).
2001
Terbit SK Menhut No. 190/2001 yang menetapkan batas-batas Kawasan ekosistem Leuser di wilayah Aceh.
2001 – 2005
Selama konflik Aceh, kebun sawit tak aktif dan terjadi regenerasi alami. Setelah tsunami dan masa damai, pembukaan lahan dimulai lagi oleh Astra Agro Lestari dan Kalista Alam.

2006
UUPA No. 11/2006 menyatakan mandat pemerintahan Aceh untuk mengatur Kawasan Ekosistem Leuser (KEL): perlindungan, rehabilitasi dan pemanfaatan secara lestari. UUPA menjadi dasar dibentuknya Badan Pengelola KEL, lembaga provinsi untuk melaksanakan mandat itu.
2007
– Gubernur Aceh Irwandi Yusuf menerbitkan instruksi moratorium penebangan hutan di seluruh Aceh.
– Hasil kajian: tersisa 31.410 ha atau 51% dari ekosistem Tripa. Sekitar 17.820 ha berada dalam konsesi perkebunan, dan sisanya 12.573 ha untuk penggunaan lain oleh masyarakat. Hingga akhir 2009, sekitar 8.000 ha telah dibuka kembali.
– Peneliti menguji kedalaman gambut di atas 3 m di sebagian besar lokasi, termasuk areal konsesi HGU. Di lokasi tertentu melebihi 5 m.
2008
Peneliti menyebut hutan Tripa tersisa 15.595 ha (24%) yang berada di kebun sawit. Sekitar 1.000 ha dibuka dengan pembakaran.
2009
– Kajian lain menyebut perubahan lahan selama 19 tahun (1990-2009) sangat cepat. Hutan Tripa pada 1990 seluas 67.000 ha atau 65% dari total area, namun sampai 2009 hanya tersisa 19.000 ha atau tinggal 18%. Selama itu pula, luas kebun sawit perusahaan dan rakyat meningkat drastis: dari 941 ha menjadi 38.568 ha.
2010
– Warga 21 gampong Kemukiman Tripa dan Seumayam melayangkan petisi kepada Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dan bupati Nagan Raya.
2011
– TKPRT merilis petisi kepada pemerintah Aceh dan DPR Aceh untuk menyelamatkan Tripa.
– Sebagai bagian kesepakatan REDD+ Indonesia-Norwegia, pemerintah merilis moratorium penerbitan izin baru di hutan primer dan lahan gambut (PIPIB). Tripa masuk dalam daerah terlarang bagi penerbitan izin baru.
– Izin lokasi Kalista berakhir pada 5 Februari 2011, tapi gubernur Aceh memberikan izin budidaya pada Agustus 2011. Hali ini membuat aktivis lingkungan menggugat gubernur Aceh.
– Walhi Aceh menggugat izin gubernur itu ke PTUN Aceh.
– Tiba-tiba areal Kalista dikeluarkan dari peta moratorium saat revisi PIPIB.
2012
– Petisi Rawa Tripa menuntut Presiden Yudhoyono menegakkan hukum. Dalam semalam, petisi meraih 10.000 lebih tanda tangan. PTUN Aceh menolak gugatan Walhi, lalu  banding ke PTTUN Medan. PTTUN Medan mengabulkan banding Walhi:  gubernur mesti mencabut izin Kalista. Sesuai keputusan PTTUN, gubernur Aceh mencabut izin Kalista. Tak terima, Kalista mengajukan kasasi dan menggugat gubernur. Keadaan kian buruk: tanpa izin, Kalista terus membuka dan membakar lahan.
2013
Kalista menang, PTUN Aceh memerintahkan gubernur mencabut surat pencabutan izin perkebunan. Mahkamah Agung menolak kasasi Kalista dalam gugatan pencabutan izin oleh gubernur. Dengan demikian, pencabutan izin
Kalista oleh gubernur sah dan berkekuatan hukum tetap.  Bekas lahan Kalista ditetapkan sebagai kawasan lindung gambut melalui Qanun RTRW Aceh. Sayangnya, qanun ini menghilangkan nomenklatur KEL di Aceh. Warga Aceh menggugat qanun di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

2014
– Kalista dinyatakan bersalah di pengadilan Meulaboh karena membakar lahan. Denda Rp 336 miliar. Ini kasus perdata pembakaran lahan pertama yang diajukan KLHK. Kalista banding.
– Pengadilan Tinggi Aceh menolak banding Kalista. Perusahaan ini mengajukan kasasi ke MA.
2016
Mahkamah Agung menolak kasasi Kalista. Putusan ini menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Aceh. Vonis pertama dan terbesar sepanjang sejarah kasus pembakaran lahan dan hutan.

2017
PT Kallista Alam menggugat balik pemerintah yaitu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Pemerintah Indonesia, Cq, Kementerian Agraria/Tata Ruang/Kepala BPN, Cq, Badan Pertanahan Nasional Kantor Wilayah Provinsi Aceh, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Aceh, serta Ketua Koperasi Bina Usaha Kita.

Dalam gugatannya, PT. Kallista Alam menyebutkan, koordinat gugatan perdata yang dicantumkan KLHK dan juga dalam putusan hukum pengadilan tidak sesuai dengan kenyataan lapangan, atau error in objekto. Selain itu, perusahaan ini juga menggugat adanya pihak ketiga atau Koperasi Bina Usaha Kita di lahan 1.605 hektare yang telah dicabut izinnya oleh Gubernur Aceh.

2018
PN Meulaboh membatalkan putusan dari MA terhadap eksekusi denda PT Kallista Alam yang telah berkekuatan hukum tetap. Hal ini menimbulkan kontroversial dan sejumlah organisasi masyarakat mengecamnya. Gerakan Rakyat Aceh Menggugat (GeRAM) melakukan demonstrasi untuk memprotes Pengadilan Negeri (PN) Meulaboh di depan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Majelis Hakim PN Meulaboh menyatakan bahwa putusan yang menghukum PT Kallista Alam (PT KA) sebesar Rp. 366 milyar sebagai title non-eksekutorial atau tidak bisa dieksekusi. Seperti diketahui sebelumnya, PT KA dinyatakan bersalah karena terbukti membakar 1.000 hektar lahan gambut di Tripa, Nagan Raya, Aceh.[]

Sumber: Agus Prijono, 2016, Rawa Tarung, Pertaruhan Di Rawa Gambut Tripa, Yayasan KEHATI, Jakarta dan data diolah.

 

 

read more
Kebijakan Lingkungan

Arman Surya Putra Dianugerahkan Sertifikasi Hakim Lingkungan

Seorang hakim di Aceh mendapatkan sertifikasi hakim lingkungan dari Mahkamah Agung tahap pertama tahun 2013. Sebelumnya, Arman Surya Putra sering dipercayakan memimpin perkara pidana dan kasus menyangkut dengan lingkungan. Diantaranya kasus pembukaan lahan tanpa izin dan juga kasus kebakaran.

Sebagaimana dilansir oleh acehterkini.com, Arman mengaku baru saja selesai menerima sertifikasi hakim lingkungan dari Mahkamah Agung di Jakarta. “Saya baru saja lulus sertifikasi hakim lingkungan tahap pertama tahun 2013 yang diberikan oleh Mahkamah Agung,” kata Arman Surya Darma, Selasa (12/11/2013).

Pria kelahiran Bandarwijaya, 18 November 1974 saat ini adalah Kepala Pengadilan Negeri Blangkerejen, Kabupaten Gayo Lues. Kini ia dipercayakan memimpin sidang perkara pidana PT.Kalista Alam.

“Saya datang ke Meulaboh setiap dua minggu sekali untuk bersidang perkara pidana PT.Kalista Alam,” ujar alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini.

Dengan diberikannya sertifikasi hakim lingkungan, tentu ini membuktikan komitmen Pemerintah Pusat dalam melestarikan lingkungan hidup. Kata Arman, Pemerintah Pusat menaruh harapan besar terhadap penyelamatan lingkungan, khususnya di Aceh dengan memberikan sertifikasi hakim lingkungan bagi sejumlah hakim di Aceh.

Arman tidak sendiri memimpin persidangan perkara pidana PT.Kalista Alam. Bersama dia juga ada hakim Rahma Nobatiana dan juga Juanda Wijaya. “Kita akan selesaikan perkara ini dalam waktu paling cepat 4 sampai 5 bulan kedepan,” kata Arman singkat.[]

read more