close

penjaga hutan

Hutan

Masyarakat Bener Meriah Resahkan Perambahan Massal Hutan Lindung

Forum Masyarakat Peduli Lingkungan Bener Meriah (FMPLBM), menerima laporan dari masyarakat bahwa telah terjadi perambahan secara massal di kawasan hutan lindung Kabupaten Bener Meriah.

FMPLBM menuding, praktek ini mulai berlangsung sejak satu tahun terakhir yang melibatkan oknum pejabat daerah, pihak keamanan dan pengusaha holtikultura. Perambahan ini berhubungan dengan program penanaman kentang dan palawija.

Juga disebutkan ada wacana investor dari Malaysia yang menjalin kerjasama dengan pihak pemerintah Bener Meriah sebagai  pasar kentang dan palawija. Komitmen inilah yang menjadi dasar pembukaan lahan secara masif ini. Luas lahan yang rusak diperkirakan mencapai ribuan hektar meliputi Kecamatan Permata, Bener Kelipah, Bukit dan Weh Pesam.

Kegiatan pembalakan hutan juga terjadi di wilayah lain, seperti di Kecamatan Mesidah, Syiah Utama, Pintu Rime Gayo, Gajah Putih dan Timang Gajah. Kegiatan ini disebabkan oleh beberapa hal seperti pembukaan lahan baru dan illegal loging.

Menurut informasi yang diperoleh dari pengakuan masyarakat setempat, berbagai pihak terlibat dalam kegiatan ilegal ini, diantaranya oknum anggota DPRK Bener Meriah, oknum Dinas Kehutanan, Camat, pihak keamanan, mantan pejabat teras KIP Bener Meriah, aparat kampung dan pengusaha kayu dan pengusaha palawija dengan mengatasnamakan koperasi.

Berdasarkan latar belakang di atas, FMPLBM melihat bahwa apa yang terjadi selama ini merupakan kealpaan dan pembiaran pemerintah Kabupaten Bener Meriah dan merupakan tindakan keserakahan dari oknum pejabat di Bener Meriah. Penegakan hukum juga sangat lemah dan terkesan dibiarkan sehingga kerusakan hutan menjadi sangat parah.
Seharusnya dalam situasi seperti ini, pihak kepolisian dan pihak terkait lainnya bertindak tegas dan melakukan pencegahan sebelum kerusakan terjadi. FMPLBM menilai ini merupakan tindakan kejahatan terstruktur, sistematis dan massif,  yang ikut melemahkan sekaligus mengangkangi supremasi hukum yang berlaku.

Masyarakat di Kecamatan Permata, Bandar, Bener Kelipah, Bukit dan Weh Pesam mulai resah dengan kegiatan ini, karena mereka sudah mengalami masalah terutama dengan menurunnya debit air secara signifikan. Misalnya di Desa Gelampang Weh Tenang Uken, Bener Pepanyi, Sepakat dan beberapa desa lainnya sudah kehilangan sumber air. Pipa air yang dipasang ke sumber mata air di wilayah Rebol Linung Bulen sudah tidak lagi dialiri air.

Masyarakat juga mengkhawatirkan akan terjadi banjir bandang dan tanah longsor seperti yang pernah terjadi di Kampung Pondok Keresek (sekarang Sedie Jadi), Kampung Owak Pondok Sayur, Burni Pase dan Kampung Seni Antara yang berbatasan dengan Aceh Utara tahun 2006 silam.

Hal diatas tidak mustahil terjadi karena ribuan hektar hutan di kawasan tersebut sudah luluh lantak meninggalkan bongkahan kayu dan jalan-jalan baru. Kerusakan ini pasti akan berakibat buruk bagi warga apabila musim penghujan tiba. Mengingat kawasan ini merupakan kawasan tangkapan air (chactmen area) dan memiliki curah hujan yang tinggi. Wilayah ini juga merupakan sumber bagi berbagai DAS di Aceh seperti DAS Krueng Peusangan dan DAS Krueng Jambo Aye yang menjadi sumber perairan dan air bersih bagi tujuh kabupaten di Provinsi Aceh.

Kerusakan hutan lindung di Kabupaten Bener Meriah juga akan berdampak pada kerusakan keanekaragaman hayati seperti terputusnya koridor satwa. Salah satunya mengganggu habitat harimau sumatra dan gajah. Kondisi ini juga berefek pada peningkatan suhu dan penurunan cadangan air tanah pada dua Cekungan Pedada dan Lampahan. Kehancuran hutan lindung juga telah sampai ke kaki Burni Telong yang merupakan wilayah gunung merapi aktif.
Ditemukan juga penggunaan pestisida, herbisida, fungisida berlebih yang dapat dilihat dari menurunnya kualitas air karena tercemar oleh zat kimia tersebut. Hal ini dimasa yang akan datang akan berpengaruh pada kesehatan masyarakat misalnya gangguan kulit akut, kangker dan penyakit lainnya.

Sumber: atjehlink.com

read more
Tajuk Lingkungan

Komprador Perusak Lingkungan

Semalam saya membaca kembali buku-buku tua; sejarah, kebudayaan,  catatan-catatan tentang revolusi, pemberontakan dan pengkhianatan. Paragraf yang paling sadis adalah ketika adegan seorang politikus membunuh cinta dalam jiwanya agar perasaan ingin berkuasa tetap dominan. Perasaan cinta dan kasih sayang yang ia
tikam berkali-kali, sampai mampus.

Agama, nilai-nilai, cinta dan kasih sayang dianggap sampah yang memperbudak akal. Hidup adalah kekuasaan atas segala sesuatunya. Maka kerakusan dan kebengisan adalah perkara yang wajar. Nilai-nilai harus disingkirkan dan diganti dengan kesombongan rasionalitas. Rezim efektif menemukan ladangnya.

Inilah tragedi paradoksal dahsyat yang menghipnotis kita dengan mimpi-mimpi pepesan kosong; demokrasi, imajinasi, cyber, dan kesintingan kolegtif. Maka orang selalu ingin merampas apa yang bukan miliknya.

Pengeksploitasian.
Di atas permukaan, rezim yang mendapat kekuasaan dari legitimasi pemilu yang menurut mereka cukup demokratis itu bergaya seolah-olah ikut prihatin dengan keterpurukan mayoritas rakyat. Tetapi sesungguhnya mereka adalah komprador dari gurita kapitalisme; faktanya, sebagian tokoh komprador swasta dan komprador negara dari rezim masa lalu kini masih memegang kunci dalam sistem politik dan ekonomi Indonesia.

Ketergantungan negara ini kepada badan-badan pembangunan internasional di bawah PBB, dan modal asing lainnya justru semakin meningkat.

Dan bagi hutan serta sumber daya alam bernilai tinggi lainnya di sana, juga belum sepenuhnya dikembalikan kepada pribumi. Mereka di lembaga-lembaga terhormat negara pada rezim yang baru, segera bermetamorfosis menjadi komprador-komprador baru, terlibat dalam pemberian bermacam kemudahan bagi mesin-mesin kapital dan neoliberalisme lewat kebijakan tata ruang; menikmati pembagian royalti tinggi dan fasilitas mereka yang begitu mewah, di atas penderitaan rakyat.

Di sini, manuver dan pengaburan substansi kebenaran menjadi bagian skenario besar. Mereka sungguh-sungguh membangun kartel secara sistemik pada semua relung kehidupan, bermanifestasi di sentra-senta kekuasaan negara.

Bertahun-tahun rakyat terasing dari sumber daya alamnya yang mewah. Begitulah, rakyat yang sudah lebih dulu diracuni memang mudah terseret ke dalam mobilisasi politik para komprador; hubungan yang tak berguna.

Sumber: hutan-tersisa-blogspot.com

read more
Hutan

Merancang Masa Depan Penjaga Hutan Aceh

Sejumlah LSM internasional berinisiasi melaksanakan program menjaga hutan dengan merekrut warga sebagai penjaga hutan atau yang biasa disebut Ranger. Donor pun banyak memberikan bantuan pendanaan dan teknis pelaksanaan. Namun sejatinya proyek, tentu tidak bisa berjalan terus menerus, selalu ada masa berakhirnya. Salah satu proyek yang kini tutup adalah Program Community Ranger Programme yang dilaksanakan di enam kabupaten Aceh.

Program ini dilaksanakan oleh LSM Fauna dan Flora International (FFI) dengan dukungan World Bank yang memakai dana bantuan Pemerintah Australia dan Belanda. Program Ranger jaga hutan ini sendiri berada di bawah payung besar program yang bernama Consolidating Peace Development in Aceh yang berlangsung dari tahun 2011-2013.

Di akhir program, FFI melakukan ekspose program pada hari Senin (10/2/2014) bertempat di Aula Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh yang dihadiri sejumlah aktivis LSM dan Dinas Kehutanan propinsi dan kabupaten. Staff FFI, Munawar Kholis, melakukan presentasi menjelaskan capaian-capaian program.

Community Ranger ini didesain bukanlah untuk menjalankan penegakan hukum kehutanan dalam kegiatannya. ” Tidak ada upaya represif dari Community Ranger karena tidak ada kewenangannya selama 1,5 tahun bertugas,” kata Kholis. Ada 18 Community Ranger di enam kabupaten yang masuk dalam wilayah Hutan Ulumasen dengan total anggota 350 anggota, tambahnya.

Community Ranger ini melakukan pemantauan kondisi hutan untuk mencegah kerusakan hutan melalui kegiatan patroli rutin. Ranger dalam melaksanakan tugasnya sering menemukan illegal logging, perburuan dan ancaman terhadap satwa liar langka, penanggulang konflik satwa dan penanggulangan bencana kebakaran hutan.

” Hasil pemantauan ini kemudian dilaporkan dalam bentuk angka-angka dan dibuat pemetaannya (Mapping and Reporting). Dengan kata lain Ranger melakukan pemantauan hutan secara halus karena mereka sering berpatroli di daerah yang tinggi temuan. Memang tidak diambil tindakan hukum karena tidak ada kewenangannya,” jelas Kholis.

Namun dengan patroli rutin yang dilakukan, temua-temuan semakin lama menunjukan trend berkurang jumlahnya. Patroli sering menemukan jerat yang dipasang untuk hewan liar dan mereka membongkar jerat-jerat tersebut. Seperti di daerah Pidie, kata Kholis, tim pernah menemukan 23 jerat harimau yang sengaja dipasang. ” Ada indikasi kuat perburuan Harimau di Pidie,” ucapnya.

Sekali jalan, tim patroli yang beranggotakan 3 sampai 4 orang bisa menghabiskan waktu 2 atau 3 hari berada dalam hutan. Ranger tidak diberi gaji, hanya diberi dana operasional semata namun mereka diberikan bantuan untuk meningkatkan mata pencarian dibidang pertanian atau peternakan.

Hasil-hasil temuan ini selain dilaporkan secara resmi ke organisasi juga disampaikan kepada masyarakat sekitar hutan melalui kegiatan Community Outreach (pertemuan dengan masyarakat) untuk dicarikan solusinya. Hasilnya semakin lama intensitas logging semakin berkurang. Ranger berpatroli di luar wilayah kawasan hutan lindung tetapi mereka memastikan bahwa temuan-temuan mereka berasal dari bagian dalam hutan lindung.

” Patroli bukanlah solusi dari kerusakan hutan, tapi ini alat pemantauan hutan melalui kegiatan patroli. Mungkin kalau ada penindakan hukum trendnya akan berkurang terus,” kata Kholis. Kholis juga menyampaikan anggota Ranger enggan melaporkan pelanggaran hukum kepada aparat yang berwenang karena berefek kepada mereka sendiri. Misalnya saja mereka ikut diperiksa ataupun mendapat ancaman dari pelaku perusakan hutan.

Koordinasi dengan Pemerintah

Kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (TNBL) Andi Basrul yang hadir dalam acara tersebut menyarankan ke depan dilakukan koordinasi yang erat bersama aparat pemerintah. ” Libatkan orang BKSDA dalam patroli, dan harus disiapkan landasan hukum yang kuat,” katanya.

Ketua lembaga Strategic Resource Initiative (SRI), Yacob Ishadamy, menyatakan bahwa selama ini ada inisiatif dari masyarakat untuk menjaga hutan. ” Namun ke depan bagaimana? Setelah program ini berakhir bagaimana dengan pendampingan masyarakat di tingkat basis? Harus ada kebersamaan dalam menjaga hutan,” ujarnya. Federasi Ranger yang telah dibentuk bagaimana ke depan? Sambungnya.

Saat ini telah dibentuk Federasi Ranger Aceh pada tanggal 15 Desember 2013 dengan Sekjen Yacob Ishadamy. Federasi ini menaungi sekitar 364 orang.

Saat diskusi dari peserta lain juga banyak bermunculan pertanyaan bagaimana dengan nasib penjaga hutan ini di masa depan? Para Ranger telah mendapatkan pelatihan SAR, navigasi dan penggunaan GPS, survival, Patroli Monitoring, identifikasi biodiversity, community Outreach dan sebagainya. Ini merupakan asset yang sangat besar dan sangat disayangkan jika tidak dimanfaatkan. Apalagi penjaga hutan dari pemerintah atau Polisi Hutan tidak banyak berfungsi, kurang bergerak di lapangan, lebih banyak mangkal di kantor saja dengan alasan tidak ada dana.

Sebelumnya beberapa program serupa juga telah dilaksanakan oleh Aceh Forest and Environment Project (AFEP) yang dilaksanakan sekitar tahun 2009. Proyek ini juga mendedikasikan diri kepada penyelamatan hutan melalui pembentukan Ranger di berbagai tempat. Sayangnya usai proyek, tidak terdengar lagi kabarnya.

Kholis, menanggapi kekhawatiran peserta mengatakan bahwa Ranger bentukan FFI ini tetap melaksanakan patroli usai dukungan dari program berakhir. ” Mereka tetap melakukan monitoring konflik satwa,tetapi tentu usahanya tidak sebesar dulu lagi. Kehadiran patroli sangat simpel, jika ada temuan catat dan laporkan. Hal ini membuat segan para pelaku,” kata Kholis. Anggota ranger ada juga yang bekas pelaku illegal logging, mantan kombatan dan pemburu hewan liar. Jadi mereka tahu persis medan.

read more