close
Hutan

Merancang Masa Depan Penjaga Hutan Aceh

Sejumlah LSM internasional berinisiasi melaksanakan program menjaga hutan dengan merekrut warga sebagai penjaga hutan atau yang biasa disebut Ranger. Donor pun banyak memberikan bantuan pendanaan dan teknis pelaksanaan. Namun sejatinya proyek, tentu tidak bisa berjalan terus menerus, selalu ada masa berakhirnya. Salah satu proyek yang kini tutup adalah Program Community Ranger Programme yang dilaksanakan di enam kabupaten Aceh.

Program ini dilaksanakan oleh LSM Fauna dan Flora International (FFI) dengan dukungan World Bank yang memakai dana bantuan Pemerintah Australia dan Belanda. Program Ranger jaga hutan ini sendiri berada di bawah payung besar program yang bernama Consolidating Peace Development in Aceh yang berlangsung dari tahun 2011-2013.

Di akhir program, FFI melakukan ekspose program pada hari Senin (10/2/2014) bertempat di Aula Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh yang dihadiri sejumlah aktivis LSM dan Dinas Kehutanan propinsi dan kabupaten. Staff FFI, Munawar Kholis, melakukan presentasi menjelaskan capaian-capaian program.

Community Ranger ini didesain bukanlah untuk menjalankan penegakan hukum kehutanan dalam kegiatannya. ” Tidak ada upaya represif dari Community Ranger karena tidak ada kewenangannya selama 1,5 tahun bertugas,” kata Kholis. Ada 18 Community Ranger di enam kabupaten yang masuk dalam wilayah Hutan Ulumasen dengan total anggota 350 anggota, tambahnya.

Community Ranger ini melakukan pemantauan kondisi hutan untuk mencegah kerusakan hutan melalui kegiatan patroli rutin. Ranger dalam melaksanakan tugasnya sering menemukan illegal logging, perburuan dan ancaman terhadap satwa liar langka, penanggulang konflik satwa dan penanggulangan bencana kebakaran hutan.

” Hasil pemantauan ini kemudian dilaporkan dalam bentuk angka-angka dan dibuat pemetaannya (Mapping and Reporting). Dengan kata lain Ranger melakukan pemantauan hutan secara halus karena mereka sering berpatroli di daerah yang tinggi temuan. Memang tidak diambil tindakan hukum karena tidak ada kewenangannya,” jelas Kholis.

Namun dengan patroli rutin yang dilakukan, temua-temuan semakin lama menunjukan trend berkurang jumlahnya. Patroli sering menemukan jerat yang dipasang untuk hewan liar dan mereka membongkar jerat-jerat tersebut. Seperti di daerah Pidie, kata Kholis, tim pernah menemukan 23 jerat harimau yang sengaja dipasang. ” Ada indikasi kuat perburuan Harimau di Pidie,” ucapnya.

Sekali jalan, tim patroli yang beranggotakan 3 sampai 4 orang bisa menghabiskan waktu 2 atau 3 hari berada dalam hutan. Ranger tidak diberi gaji, hanya diberi dana operasional semata namun mereka diberikan bantuan untuk meningkatkan mata pencarian dibidang pertanian atau peternakan.

Hasil-hasil temuan ini selain dilaporkan secara resmi ke organisasi juga disampaikan kepada masyarakat sekitar hutan melalui kegiatan Community Outreach (pertemuan dengan masyarakat) untuk dicarikan solusinya. Hasilnya semakin lama intensitas logging semakin berkurang. Ranger berpatroli di luar wilayah kawasan hutan lindung tetapi mereka memastikan bahwa temuan-temuan mereka berasal dari bagian dalam hutan lindung.

” Patroli bukanlah solusi dari kerusakan hutan, tapi ini alat pemantauan hutan melalui kegiatan patroli. Mungkin kalau ada penindakan hukum trendnya akan berkurang terus,” kata Kholis. Kholis juga menyampaikan anggota Ranger enggan melaporkan pelanggaran hukum kepada aparat yang berwenang karena berefek kepada mereka sendiri. Misalnya saja mereka ikut diperiksa ataupun mendapat ancaman dari pelaku perusakan hutan.

Koordinasi dengan Pemerintah

Kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (TNBL) Andi Basrul yang hadir dalam acara tersebut menyarankan ke depan dilakukan koordinasi yang erat bersama aparat pemerintah. ” Libatkan orang BKSDA dalam patroli, dan harus disiapkan landasan hukum yang kuat,” katanya.

Ketua lembaga Strategic Resource Initiative (SRI), Yacob Ishadamy, menyatakan bahwa selama ini ada inisiatif dari masyarakat untuk menjaga hutan. ” Namun ke depan bagaimana? Setelah program ini berakhir bagaimana dengan pendampingan masyarakat di tingkat basis? Harus ada kebersamaan dalam menjaga hutan,” ujarnya. Federasi Ranger yang telah dibentuk bagaimana ke depan? Sambungnya.

Saat ini telah dibentuk Federasi Ranger Aceh pada tanggal 15 Desember 2013 dengan Sekjen Yacob Ishadamy. Federasi ini menaungi sekitar 364 orang.

Saat diskusi dari peserta lain juga banyak bermunculan pertanyaan bagaimana dengan nasib penjaga hutan ini di masa depan? Para Ranger telah mendapatkan pelatihan SAR, navigasi dan penggunaan GPS, survival, Patroli Monitoring, identifikasi biodiversity, community Outreach dan sebagainya. Ini merupakan asset yang sangat besar dan sangat disayangkan jika tidak dimanfaatkan. Apalagi penjaga hutan dari pemerintah atau Polisi Hutan tidak banyak berfungsi, kurang bergerak di lapangan, lebih banyak mangkal di kantor saja dengan alasan tidak ada dana.

Sebelumnya beberapa program serupa juga telah dilaksanakan oleh Aceh Forest and Environment Project (AFEP) yang dilaksanakan sekitar tahun 2009. Proyek ini juga mendedikasikan diri kepada penyelamatan hutan melalui pembentukan Ranger di berbagai tempat. Sayangnya usai proyek, tidak terdengar lagi kabarnya.

Kholis, menanggapi kekhawatiran peserta mengatakan bahwa Ranger bentukan FFI ini tetap melaksanakan patroli usai dukungan dari program berakhir. ” Mereka tetap melakukan monitoring konflik satwa,tetapi tentu usahanya tidak sebesar dulu lagi. Kehadiran patroli sangat simpel, jika ada temuan catat dan laporkan. Hal ini membuat segan para pelaku,” kata Kholis. Anggota ranger ada juga yang bekas pelaku illegal logging, mantan kombatan dan pemburu hewan liar. Jadi mereka tahu persis medan.

Tags : biodiversitypenjaga hutanranger

Leave a Response