close

perusahaan

HutanKebijakan Lingkungan

PepsiCo Investigasi Deforestasi Ekosistem Leuser oleh Pemasok Minyak Sawit

JAKARTA – Perusahaan makanan dan minuman raksasa PepsiCo telah meluncurkan investigasi terhadap laporan deforestasi yang dilakukan oleh salah satu pemasok minyak sawitnya di habitat kunci Indonesia yang menjadi rumah bagi harimau, orangutan, dan badak yang terancam punah.

Perusahaan itu mengatakan sedang menyelidiki pengaduan dari Rainforest Action Network (RAN), sebuah kelompok advokasi yang berbasis di AS, atas tuduhan penebangan hutan yang sedang berlangsung dalam konsesi yang dimiliki oleh perusahaan minyak sawit PT Surya Panen Subur II (SPS II), yang termasuk dalam daftar pemasok 2017 PepsiCo.

“Kami menganggap tuduhan ketidakpatuhan kebijakan dalam rantai pasokan kami sangat serius,” kata manajer komunikasi keberlanjutan global PepsiCo, Joshua Bayly, sebagaimana dikutip dari Mongabay. “Segera setelah menerima keluhan ini, kami mengaktifkan proses pengaduan kami dan menghubungi pemasok, rekan-rekan dan pihak lain untuk menyelidikinya.”

RAN mengatakan bahwa investigasi lapangan dan analisis satelit menunjukkan bahwa dalam lima bulan pertama tahun 2018 saja, 118 hektar hutan telah dihancurkan dalam konsesi SPS II, yang berada di dalam Kawasan Ekosistem Leuser di provinsi Aceh. Daerah ini merupakan hotspot ekologi, sebagai tempat terakhir di bumi di mana harimau Sumatra (Panthera tigris sondaica), badak (Dicerorhinus sumatrensis), orangutan (Pongo abelii) dan gajah (Elephas maximus sumatranus) hidup berdampingan di alam liar.

PepsiCo, perusahaan makanan ringan dengan distribusi global terbesar di dunia dan konsumen utama minyak sawit, mengatakan telah menerima beberapa tanggapan dari beberapa pemasok mereka.

Tuduhan Empat Tahun

Kesediaan untuk mengambil tindakan oleh PepsiCo datang hampir empat tahun setelah RAN mulai melaporkan dugaan penggundulan hutan di dalam konsesi SPS II pada tahun 2014. Pada tahun-tahun berikutnya, RAN mengatakan, PepsiCo tetap diam dan menolak untuk mengambil tindakan nyata.

Bertahun-tahun pembukaan hutan dan kebakaran telah merusak konsesi SPS II, menjadikannya hanya 30 persen dari tutupan hutannya yang asli seluas 130 kilometer persegi per April tahun ini.

“PepsiCo belum secara terbuka menanggapi kasus deforestasi yang sedang berlangsung ini dalam rantai pasokannya, meskipun SPS II diberi nama dalam beberapa laporan RAN sejak 2014,” ujar manajer komunikasi hutan di RAN, Emma Lierley.

Lierley juga mengatakan bahwa SPS II telah diprofilkan dalam studi kasus di LeuserWatch.org, sebuah situs web yang dibentuk oleh RAN berisi pembaruan tentang deforestasi di Ekosistem Leuser, dan disebutkan di media tentang penggunaan pembakaran ilegal untuk membersihkan lahan pada tahun 2012. Namun, nyatanya, PepsiCo terus mengambil minyak sawit yang sumbernya berasal dari konsesi SPS II.

Kebakaran enam tahun yang lalu, di area gambut Tripa yang secara ekologis penting di Leuser, dideskripsikan oleh majalah investigasi Indonesia Tempo sebagai kebakaran abu dan asap yang mengepul. Panas dari pembakaran gambut mengusir manusia dan hewan, meninggalkan reruntuhan yang membara dari “hutan yang terbakar habis dengan batang pohon yang hangus dan menghitam.”

Api dengan cepat menempatkan rawa gambut Tripa dalam sorotan internasional; daerah kaya karbon dengan populasi orangutan Sumatera yang paling padat di dunia, terancam punah, dan bahkan disebut “ibukota orangutan di dunia.”

Menanggapi kebakaran tersebut, pemerintah Indonesia meluncurkan penyelidikan yang menghasilkan gugatan perdata terhadap SPS II pada tahun 2012. Pada tahun 2016, pengadilan negeri Meulaboh memutuskan perusahaan membayar denda sebesar 3 miliar rupiah. Namun sayangnya, Mahkamah Agung telah membatalkan putusan pengadilan negeri ini pada tingkat banding.

Sementara perusahaan dibebaskan, tiga karyawannya, termasuk kepala eksekutifnya, dinyatakan bersalah memerintahkan kebakaran, dengan masing-masing dijatuhi hukuman dua tahun penjara dan denda 3 miliar rupiah.

Orang luar harus disalahkan

Minyak sawit yang diproduksi oleh SPS II memasuki rantai pasokan PepsiCo melalui Golden Agri-Resources (GAR), salah satu perusahaan minyak sawit terbesar di dunia. Dalam laporan tahun 2014, GAR mengatakan SPS II tidak dapat disalahkan atas deforestasi di dalam konsesinya.

Sebaliknya, GAR menuduh para pelaku pembakaran sebagai penduduk desa terdekat, Kuala Seumayam, dan sebuah perusahaan minyak sawit bernama CV Sawit Mandiri, yang dikatakan telah menduduki lahan-lahan bagian konsesi.

“SPS II telah mengalami perambahan oleh komunitas lokal yang menyebabkan serangkaian pembakaran lahan dan deforestasi di konsesi selama beberapa tahun,” kata GAR di situs webnya.

Penduduk Kuala Seumayam, bagi sekitar 500 orang, mengatakan mereka diusir dari tanah mereka ketika PT SPS II dan perusahaan kelapa sawit lainnya, PT Kallista Alam, beroperasi di sana pada tahun 2000-an.

GAR mengatakan mengadakan dialog terbuka antara SPS II dan penduduk desa untuk mengatasi perambahan tersebut. Selama diskusi, GAR mengatakan, penduduk desa mengaku memasuki konsesi dan membakar untuk membersihkan lahan. Penduduk percaya bahwa konsesi itu ditinggalkan ketika mereka pertama kali masuk, dan meminta untuk tidak dituntut keluar dari konsesi mengingat banyak uang yang mereka habiskan untuk mengolah tanah.

Pada gilirannya, kepala desa bersumpah untuk mendorong penduduk desa untuk menghentikan pembukaan lahan, sambil menunggu selesainya pemetaan partisipatif dan studi kepemilikan lahan.

Sementara GAR menganggap dialog itu sukses, katanya pemantauan berikutnya, dari November 2017 hingga April 2018, menemukan tanda-tanda bahwa pembukaan lahan di dalam konsesi berlanjut.

“Hal ini menunjukkan bahwa meskipun SPS II memiliki keterlibatan pertama yang positif dengan masyarakat, mereka perlu melakukan lebih banyak pekerjaan untuk memastikan tindakan tindak lanjut yang tepat yang akan mengarah pada perubahan,” kata GAR.

Lierley mengakui masalah perambahan, tetapi mengatakan itu tidak membebaskan SPS II dan PepsiCo dari tanggung jawab apa pun. Perusahaan lain yang diidentifikasi oleh RAN sebagai sumber minyak sawit mereka dari konsesi SPS II termasuk Unilever, Nestlé, Mars, Mondelēz International dan General Mills.

“Adalah aman untuk mengatakan bahwa pembukaankanal saat ini terjadi melalui pihak ketiga yang terorganisasi, sementara secara historis telah dilakukan oleh SPS II,” kata Lierley. “[Namun], SPS II tetap bertanggung jawab atas konsesinya – dampak penebangan hutan di masa lalu dan saat ini.”

Dia mengatakan perambahan dan penggundulan hutan terus berlanjut karena kegagalan SPS II untuk menyelesaikan perselisihan lama atas tanah melalui proses resolusi konflik yang transparan, kredibel dan independen. Permintaan pasar untuk apa yang disebut minyak sawit konflik dari pabrik dan kilang dekat, termasuk yang memasok merek utama, juga memicu deforestasi, tambahnya.

Laporan RAN mengatakan bahwa SPS II telah memilih untuk tidak mempublikasikan metodologi studi tenurial lahan atau laporan publik tentang setiap kemajuan yang dibuat pada upaya untuk mengatasi deforestasi yang sedang berlangsung, pengerukan kanal, kebakaran dan resolusi konflik.[]

Sumber: Mongabay 

 

read more
Kebijakan Lingkungan

Benarkah Perusahaan Rugi Jika Memasukan Biaya Lingkungan?

Mungkin Anda tak percaya fakta ini setelah banyak melihat perusahaan berusaha keras memoles citra mereka dan menampilkan diri sebagai progresif dan bertanggung jawab terhadap lingkungan. Ini mereka lakukan walaupun mereka telah mengubah daratan menjadi gurun dan lautan menjadi zona mati. Sayangnya, seperti tokoh terkenal Mark Twain pernah berkata, “Lebih mudah membodohi orang daripada meyakinkan mereka bahwa mereka telah tertipu “.

Dengan sistem sekarang ini, memungkinkan hampir setiap perusahaan untuk mengeksternalisasi biaya baik lingkungan dan sosial. Pada artikel ini, kita bahkan tidak membahas biaya sosial. Perumpamaan biaya eksternalisasi adalah seperti membuat orang lain membayar sebagian atau seluruh biaya Anda. Misalnya, perusahaan BP mengeksternalisasi biaya lingkungan ketika bencana Deepwater Horizon dengan mengambil semua keuntungan tetapi membuat pemerintah membayar upaya perbaikan secara buruk dalam menghentikan krisis lingkungan tersebut.

Trucost atas nama Program The Economics of Ecosystems and Biodiversity (TEEB) yang disponsori oleh Program Lingkungan PBB telah mengeluarkan sebuah laporan. Laporan ini merupakan hasil penelitian bagaimana uang yang diperoleh oleh industri-industri terbesar di planet ini, dan kemudian membandingkan pengeluaran mereka dengan 100 jenis biaya lingkungan. Untuk membuatnya lebih mudah, Trucost memperkecil 100 kategori ini menjadi 6 kategori saja: penggunaan air, penggunaan lahan, emisi gas rumah kaca, polusi limbah, polusi tanah, dan polusi air.

Laporan ini membeberkan fakta bahwa dengan memasukan biaya-biaya eksternal dalam perusahaan, pada dasarnya tak membuat industri itu benar-benar mendapat laba. Industri-industri pencetak laba besar seperti industri minyak, daging, tembakau, pertambangan, elektronik, telah membayar demi masa depan dengan melakukan perdagangan berkelanjutan untuk kepentingan bersama. Faktanya, kadang-kadang biaya lingkungan jauh melebihi pendapatan, yang berarti bahwa industri ini akan merugi jika mereka membayar kerusakan ekologis (eksternalitas) yang ditimbulkan.
tabel teratas

Sebagai contoh, dalam hal penggunaan lahan dan air malah hampir tidak ada perusahaan yang benar-benar membayar setara dengan apa yang mereka ambil dari ekosistem. Misalnya saja perusahaan raksasa Nestle yang menyedot air dalam tanah tanpa batas sehingga menyebabkan kekeringan di California tapi membayar eksternalitas dengan harga yang murah.  Kemudian Nestle menjual produk yang telah diolah dengan air tanah tersebut kembali ke masyarakat yang terkena dampak kekeringan dan mendapat keuntungan sekitar  $ 4 miliar per tahun (berdasarkan data 2012).

Bahkan fakta yang lebih menakutkan dalam semua ini adalah bahwa biaya tidak langsung dari industri “hilir” sebenarnya lebih besar. Berikut adalah 5 sektor teratas dengan biaya sangat besar.
5 sektor trbesar

Industri daging dan batubara mungkin adalah pelanggar terbesar. Jika Anda melihat tabel 2 di atas, Anda dapat melihat bahwa peternakan di Amerika Selatan menimbulkan biaya lingkungan yang lebih tinggi 18 kali dari semua pendapatan yang hasilkan. Fakta yang tak kurang mengejutkan adalah sekitar 91% kerusakan hutan hujan Amazon didorong oleh pengembangan sektor peternakan.

Berapa banyak uang perusahaan harus dikeluarkan,  jika mereka benar-benar  memperbaiki kerusakan lingkungan atau membayar untuk mengurangi dampak kerusakan lingkungan?  Jadi, sangat jelas bahwa sistem saat ini sangat koruptif/lemah.

Apa yang dapat kita lakukan terhadap hal itu? Yah, kita harus meminta perusahaan berhenti berpura-pura “bertanggung jawab terhadap lingkungan” ketika mereka berperilaku lebih buruk daripada anak nakal yang pernah anda temui. Bayangkan jika seseorang datang dan menghancurkan dapur anda untuk membuatkan anda sepotong roti dengan mentega, kemudian meminta uang untuk roti tersebut? Bukankah ini omong kosong dan konyol jika ia mengatakan bahwa ia adalah juru masak yang bertanggung jawab.

Stop omong kosong ini, kita perlu mencari dan mendukung solusi yang sebenarnya. Kita harus bersedia untuk memboikot dan melakukan kampanye melawan produk “murah” yang sebenanya “mahal” karena merusak lingkungan,  serta menekan pemerintah untuk mengubah peraturan. Apakah kita harus mengharapkan perusahaan untuk berubah jika tidak konsumen atau pemerintah yang memaksa mereka?

Sumber: www.exposingtruth.com

read more
Hutan

Colgate Janji Akan Menghentikan Perannya Merusak Hutan

Hampir 400.000 orang telah menulis surat ke CEO P&G. Puluhan aksi protes telah dilakukan di beberapa kota termasuk Jakarta, Cincinnati dan London. Ribuan orang lainnya mendesak P&G melalui Facebook, Twitter bahkan menelfon langsung ke kantor mereka untuk membersihkan kegiatannya.

Ketika P&G masih menggunakan minyak sawit dari pengrusakan hutan, suara masyarakat sangat berpengaruh. Minggu ini, salah satu perusahaan produk perawatan pribadi, Colgate-Palmolive berkomitmen untuk “membersihkan” kegiatan bisnisnya dan menghasilkan produk bebas dari pengrusakan hutan.

Kebijakan Colgate sangat terperinci. Melebihi standar keberlanjutan P&G yang lemah. Kebijakan Colgate mencantumkan hal-hal penting seperti keanekaragaman hayati, stok karbon dan tanah. Kebijakan Colgate menekankan pentingnya terlibat dengan komunitas lokal, memetakan minyak sawit yang dibeli Colgate hingga perkebunan yang menjadi sumber pembelian. Kebijakan yang sama juga mendesak pemasok untuk memberlakukan prinsip-prinsip ini di seluruh operasional mereka,  dengan jelas menyatakan bahwa kontrak akan dibatalkan jika ada ketidak sesuaian.

Satu-satunya kelemahan adalah jadwal yang kurang ambisius di tahun 2020 – satu hal yang akan terus didorong.

Sementara kebijakan P&G masih tetap samar-samar: “P&G berkomitmen mendapatkan sumber minyak sawit berkelanjutan. Tahun 2015 kami hanya akan membeli dan menggunakan minyak sawit yang bisa kami pastikan berasal dari sumber bertanggung jawab dan berkelanjutan.” P&G terus mengatakan, “Kami mendorong pemasok untuk mengadaptasi Prinsip dan Kriteria dari RSPO untuk produksi minyak sawit berkelanjutan.”

Pada dasarnya, P&G membayangkan mereka tidak berkontribusi pada deforestasi dan mungkin di masa depan mereka bisa mengatakan hal tersebut, jika mereka mau berkomitmen. Dengan bergabungnya Colgate di jajaran perusahaan yang berkomitmen pada Nol Deforestasi – termasuk di dalamnya Nestlé, L’Oréal, Mars, Ferrero dan Unilever.

Sumber: greenpeace.org

read more