close

sumatera

Ragam

Harimau Sumatera Tersisa 400 Ekor, Habitatnya Hancur untuk Perkebunan

Apa yang terjadi jika manusia tidak berjuang menyelamatkan habitat harimau Sumatra? Seperti yang pernah terjadi sebelumnya dengan saudaranya di Jawa dan Bali. Harimau Jawa dan Bali tanpa mendapat perlindungan yang memadai akhirnya mengalami kepunahan. Harimau Jawa – Bali merupakan bukti korban perusakan hutan hujan. Jika kita tidak bisa melindungi hutan hujan Sumatra, harimau Sumatra akan menjadi makhluk yang punah berikutnya.

Saat ini, ada sekitar 400 harimau Sumatra yang tersisa di alam liar. Perusahaan-perusahaan besar dengan modalnya yang besar sangat intensif membuka perkebunan di area hutan hujan. Kegiatan pembukaan perkebunan ini secara sistematis menghancurkan habitat Harimau. Rumah bagi Harimau dan satwa-satwa lainnya lenyap, digantikan dengan barisan tanaman sawit dengan luas sepanjang mata memandang.

Sepertinya walau harimau Sumatera terancam kepunahan, saat ini manusia mempunya kondisi yang lebih baik untuk melindungi si belang ini. Faktanya, kita bisa melindungi harimau, dan pelaksanaannya relatif lebih aplikatif. Ada dua alasan mengapa saat ini lebih memungkinkan membantu menyelamatkan Harimau Sumatera yaitu :

Pertama, saat ini kita memiliki pengetahuan yang lebih banyak tentang harimau daripada yang kita miliki ketika Harimau Jawa punah pada 1970-an, atau harimau Bali pada 1930-an. Dan kita tahu lebih banyak cara bagaimana melindungi mereka juga secara tepat dan efisien.

Kedua, ada banyak orang-orang atau lembaga yang peduli terhadap pelestarian lingkungan terutama flora dan fauna. Masyarakat semakin sadar akan pentingnya kelangsung hidup spesies karena spesies ini memberikan efek pada kehidupan manusia. Sejumah aktivis dengan jujur telah berhasil membuat perusahaan besar sawit menghentikan kegiatan pembukaan perkebunan. Korporasi Besar di masa lalu menghancurkan hutan hujan namun sekarang akan banyak tentangan dari masyarakat.

read more
Flora FaunaHutan

Sumatran Orangutan Society Luncurkan Video Karakter Komik The Jungle Book

Tokoh-tokoh komik The Jungle Book terbitan Disney tahun 1967, selama beberapa generasi telah menjadi ikon satwa liar yang hidup  di luar jangkauan peradaban. Namun jangkauan itu semakin jauh setiap tahun, dan sekarang organisasi advokasi menggunakan karakter film untuk menunjukkan bagaimana habitat mereka hancur.

Dalam klip  berdurasi 75 detik berjudul “Concrete jungle,” yang dipublikasikan oleh The Sumatran Orangutan Society, penonton dapat melihat karakter Baloo, Shere Khan dan beberapa karakter lainnya yang diadaptasi dari buku The Jungle Book hidup di jalanan kota-kota di seluruh dunia. Mereka menjadi pengungsi dari hutan, kampung halaman mereka yang hancur.

Film ini dibuat oleh agensi kreatif London Don’t Panic, juga menampilkan sampul bertuliskan ” Bare Necessities” dibuat oleh artis Inggris Benedict Benjamin, yang mengubah lagu theme song kebahagiaan Baloo yang sederhana menjadi lagu meditasi melankolis .

“Dengan mengambil karakter Jungle Book yang digemari dan menempatkannya ke lanskap perkotaan, kami berharap membuat semua orang melihatnya dua kali,” kata Direktur Pelaksana Don’t Panic Joe Wade. “Raja Louie, Baloo, dan anggota geng lainnya adalah tokoh abadi untuk orang dewasa dan anak-anak. Tidak ada yang ingin melihat mereka dalam kesulitan. Kami berharap kualitas universal ini mampu melibatkan khalayak yang lebih luas di sekitar masalah deforestasi”.

Video ini adalah bagian penting dari kampanye Sumatran Orangutan Society mengumpulkan dana USD 1,1 juta untuk upaya reforestasi. Kelompok ini membeli lahan yang terdeforestasi dan kemudian mencoba untuk membudidayakannya kembali menjadi habitat satwa liar.

Agak ironis, karakter orangutan King Louie dalam Jungle Book seharusnya tidak ada dalam cerita  ini, mengingat bahwa buku dan film tersebut dibuat di India, sedangkan orangutan adalah asli dari Indonesia dan Malaysia.
Namun video ini bertujuan untuk meningkatkan perhatian bagi Sumatera, tempat orangutan memang hidup — tetapi menderita kerugian ekstrem di tengah kegiatan penggundulan hutan, terutama untuk produksi minyak sawit.

“Kami memiliki kesempatan emas untuk mengamankan area lahan penting di tepi Ekosistem Leuser,” kata Helen Buckland, direktur Sumatran Orangutan Society. “Setelah direklamasi dan dipulihkan, itu akan menjadi rumah bagi ribuan spesies, termasuk orangutan, gajah dan harimau yang kita semua kenali dari film kampanye, selamanya.”

Sumber: David Griner/adweek.com 

 

 

read more
Green StyleKebijakan Lingkungan

Dewan Pengawas TFCA: Aceh Menjadi Leading Konservasi di Sumatera

Banda Aceh – Anggota Oversight Committee (Dewan Pengawas) Tropical Forest Conservation Action (TFCA) Sumatera, dalam pertemuan di Banda Aceh, Kamis (19/07/2018), Prof. Dr. Ir. Darusman, M. Sc, mengatakan Aceh bisa menjadi leading dalam usaha konservasi di Sumatera. Hal ini sangat memungkinkan karena kondisi hutan Aceh yang masih relatif luas dan paling bagus di Sumatera. Prof Darusman yang juga merupakan guru besar bidang Ilmu Tanah di Universitas Syiah Kuala ini menyampaikan hal tersebut dalam acara yang diselenggarakan TFCA Sumatera bertajuk ” Jalan Panjang Pelestarian Hutan & Spesies di Aceh”

Prof. Darusman merupakan anggota dewan pengawas tidak tetap dalam program TFCA Sumatera. Program ini memberikan dana hibah untuk konservasi hutan di wilayah Sumatera melalui pengalihan hutang (debt swap) Indonesia kepada Amerika Serikat. Perjanjian pengalihan hutang untuk lingkungan antara Pemerintah AS dan Pemerintah Indonesia, dibentuk berdasarkan U.S. Tropical Forest Conservation Act of 1998, Public Law No. 105-214.

Kedua negara bersepakat bahwa sebagian utang LN Indonesia akan ditransfer kedalam suatu rekening khusus yang hasilnya dipakai untuk membiayai kegiatan konservasi hutan di Sumatera. Rekening ini merupakan rekening trust fund yang berada di Singapura, mengingat Indonesia belum ada regulasi yang mengatur dana trust fund.

Prof. Darusman berharap acara ini dapat memberikan input atau masukan yang dapat ia sampaikan nantinya dalam rapat dewan pengawas sekitar awal September 2018 nanti. “Mari kita selesaikan tahap demi tahap kegiatan TFCA ini dan menyatukan visi dan misi untuk mensukseskan konservasi hutan Sumatera,” ujarnya.

Prof. Darusman menjelaskan para penerima dana hibah ini berasal dari LSM Lingkungan, kehutanan, konservasi, masyarakat adat dan lembaga kemasyarakatan lain yang berdiri dan bekerja di Indonesia secara sah, perguruan tinggi, lembaga regional atau lokal lainnya yang aktif di Indonesia.

Terdapat 13 bentang alam di Sumatera yang menjadi wilayah kerja TFCA Sumatera, sebagaimana terlihat pada gambar di bawah ini.

Bentang alam wilayah kerja TFCA Sumatera | Gambar dokumen TFCA Sumatera

Selain melaksanakan proyek konservasi kehutanan, TFCA Sumatera juga membuat program pelestarian spesies kunci yaitu harimau, badak, gajah dan orangutan. Adapun total dana yang dikelola yaitu dana khusus spesies sebesar 12,6 juta USD dan dana konservasi yang dikelola sebesar  42.6 juta USD (10 tahun
hingga 2020).[]

 

 

read more
Hutan

Sisa Kawasan Vegetasi Danau Toba Cuma 12 Persen

Eksploitasi hutan di wilayah daerah tangkapan air selama bertahun-tahun kini mengancam kelestarian Danau Toba di Sumatera Utara. Badan Lingkungan Hidup Sumut memperkirakan, hingga tahun 2010, sisa vegetasi hutan tinggal 12 persen dari total sekitar 356.800 hektar areal hutan di kawasan Danau Toba tersebut.

Akibatnya terjadi ketidakseimbangan lingkungan. Salah satu di antaranya menyebabkan pasokan air terganggu. Hutan tak lagi bisa menyerap maupun menyimpan air sehingga ratusan sungai di kawasan itu sering kali banjir jika hujan dan sawah kekeringan jika kemarau, padahal sebelumnya tak pernah terjadi.

Selama ini, degradasi hutan terjadi akibat penebangan hutan yang dilakukan oleh perusahaan yang mengantongi izin konsesi hutan maupun yang tidak memiliki izin. Hingga Minggu (10/11/2013), penebangan terus berlangsung.

Anggota staf Bidang Advokasi Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), David Rajagukguk, mengatakan dalam sehari tak kurang dari 10 truk pengangkut kayu-kayu pinus melintas di jalur lintas timur Sumatera menuju Medan.

Menurut Rohani Manalu, juga dari KSPPM, masyarakat berulang kali memprotes aksi penebangan itu. ”Namun, pemerintah seperti diam saja,” ujarnya.

Kesaksian yang sama dilontarkan R Simarmata (76), warga Desa Parbuluan IV, Kecamatan Parbuluan, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara. ”Habis maghrib sering ada truk yang membawa kayu-kayu hutan dari Tele ke arah Dairi dan Medan. Kadang kala tiga truk, dan kadang juga sampai tujuh truk” ujarnya.

Mantan pejabat Bupati Samosir Wilmar Eliaser Simandjorang mengatakan, kerusakan hutan di Danau Toba merupakan ironi. Sebab, penebangan tersebut dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang mengantongi izin dari pemerintah.

Saat melintas di sepanjang jalan dari Kabupaten Dairi hingga Pangururan, berulang kali terdengar suara gergaji mesin dari tengah hutan. Saat dilihat ternyata para pembalak memang tengah menebangi pohon.

Kepala Dinas Bidang Lingkungan Hidup Sumut Hidayati baru-baru ini juga membenarkan adanya degradasi hutan sehingga tinggal 12 persen dari total hutan yang ada. Demikian pula saat dikonfirmasi mengenai temuan di lapangan soal pembalakan liar.

Desak moratorium
Oleh karena itu, warga ataupun penggiat lingkungan di Sumut mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera memberlakukan moratorium penebangan hutan di sekeliling danau vulkanik terbesar di dunia itu. ”Sekarang juga harus diterapkan kalau mau menyelamatkan Danau Toba,” tambah Hidayati.

Sejauh ini, data luas hutan di sekitar Danau Toba berbeda-beda. Tahun 1985, luas hutan di sekitar Danau Toba, yang terdapat di delapan kabupaten, yakni Samosir, Karo, Dairi, Humbang Hasundutan, Pakpak Bharat, Simalungun, Tapanuli Utara, dan Toba Samosir, mencapai 78.558 hektar. Namun, menurut Pohan Panjaitan, dalam bukunya, Strategi Pengembangan Perikanan Tangkap dan Budidaya Perikanan Berkelanjutan di Perairan Danau Toba, daerah tangkapan air Danau Toba mencapai 356.800 hektar. Kini tersisa 12 persen saja vegetasi hutannya.

Gubernur Sumut sudah memberi izin kepada PT Inti Indorayon Utama (IIU) untuk menebangi hutan sejak 1984. PT IIU kemudian berganti nama menjadi Toba Pulp Lestari (PT TPL) dan kini mengantongi izin konsesi atas lahan seluas 188.055 hektar. Lahan ini tersebar di 13 kabupaten. Delapan wilayah di antaranya di daerah resapan air.

Berikutnya, Bupati Samosir Mangindar Simbolon juga memberi izin atas lahan seluas 2.250 hektar di hutan Tele kepada PT EJS Argo Mulya Lestari. Tahun 2012 disusul PT Gorga Duma Sari (PT GDS) yang mendapat izin dari Mangindar atas lahan seluas 800 hektar. Namun, warga melawan dan kini operasionalisasi PT GDS dihentikan sementara.

Di Jakarta, Deputi III Kementerian Lingkungan Hidup Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim Arief Yuwono mengatakan, kerentanan ekosistem Danau Toba sangat mengkhawatirkan. Kegiatan pembangunan berskala kecil pun bisa mengguncang kestabilan danau.

Untuk mengendalikan kerusakan ekosistem Danau Toba dan 16 danau lainnya di Indonesia, sembilan kementerian bertemu untuk menyusun rencana aksi. Dokumen akan diberikan kepada Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho. Namun, Gatot belum tahu rencana itu.[]

Sumber: NatGeo Indonesia

read more