close

Muhammad Nizar

Tajuk Lingkungan

Buanglah Sampah Pada Tempatnya…

Coba anda perhatikan baik-baik setiap melewati tong sampah, bak sampah atau tempat sampah apapun disekitar anda. Dari kejauhan anda akan melihat bahwa tempat sampah tersebut seolah-olah sudah penuh, saat sudah dekat ternyata bukan tempat sampahnya yang penuh namun sampah berserakan diluar tempatnya. Bukankah masyarakat yang membuang sampah memang tujuannya ke dalam tong sampah namun mengapa banyak diantara mereka dengan kesadaran penuh malah membuang ke luar tong sehingga mengotori lingkungan sekitar. Kelihatan hal ini sepele.

“Nanti kan tukang sampahnya bisa memungutnya kembali,” kata orang-orang. Persoalan lain adalah kebiasaan membuang tidak pada tempat yang disediakan, hal ini merupakan mentalitas jelek masyarakat yang terbentuk bertahun-tahun.

Kota Banda Aceh dapat menjadi contoh buruk kebiasaan membuang sampah. Ibu kota Provinsi Aceh ini mempunyai penduduk sekitar 217.940 jiwa. Produksi sampah rata-rata per orang adalah 0,2 kg/hari, suatu perkiraan yang moderat.

Anda mungkin mengatakan tidak menghasilkan sampah sebanyak ini setiap hari, tapi ada pihak-pihak seperti industri, rumah makan, pertokoan dan lain sebagainya yang bisa  menghasilkan sampah jauh lebih besar dari angka di atas. Anda tinggal mengalikan saja maka diperoleh sampah setiap harinya yaitu hasilnya 43.588 kg atau 43,588 ton/hari ! Ini baru hitungan yang menunjukkan berat sampah, belum lagi jika kita memperhitungan ruang yang dibutuhkan untuk meletakkan sampah sebanyak itu. Sebuah jumlah yang luar biasa besar. Ini barulah perkiraan sederhana, perlu penelitian yang mendalam berapa sebenarnya sampah yang diproduksi setiap hari, termasuk volumenya.

Sedikit bermain dengan matematika, mari kita menghitung kembali waktu yang dibutuhkan untuk membereskan sampah yang berserakan di luar tong sampah yang disediakn. Paling tidak 5-10 menit waktu petugas tersita untuk melakukan pekerjaan yang sebenarnya tidak perlu mereka lakukan, memasukkan kembali sampah kedalam tempatnya. Banyak waktu terbuang yang sebenarnya dapat digunakan petugas kebersihan untuk mengerjakan hal-hal lain. Perhitungan sederhana ini adalah asumsi penulis, yang sebenarnya sekedar untuk memberikan gambaran yang mendekati kenyataan. Ingat, disini yang dibicarakan adalah jumlah sampah yang sangat banyak, pengumpulan sampah yang dilakukan setiap hari dan banyaknya ruang yang dibutuhkan untuk meletakkan sampah.

Pada negara-negara yang sudah maju pengelolaan sampahnya seperti Malaysia, Singapura ataupun Jepang, masyarakat sudah memberikan kontribusi nyata dalam pengelolaan sampah walaupun hal-hal yang mereka lakukan terlihat sepele. Jepang misalnya, masyarakatnya sudah terlatih untuk mengemas sampah di tingkat rumah masing-masing sesuai dengan jenisnya. Sampah kaca, kertas, plastik, elektronik dan sebagainya dipisahkan. Kemudian pada hari-hari tertentu mereka membuang sampah sesuai jenisnya misal; sampah kaca dibuang hari Selasa, plastik hari Rabu dan seterusnya. Mungkin terdengar menggelikan bagi orang Aceh, tapi hal seperti ini sangat penting di Jepang. Pengaturan sampah yang mulai dilakukan dari rumah memudahkan pemerintah untuk mengelola jutaan ton sampah-sampah dalam proses selanjutnya.

Daur ulang, penggunaan ulang dan pemulihan (recycle, reuse & recovery) merupakan prinsip-prinsip utama pengelolaan sampah. Jika prinsip-prinsip ini dapat dijalankan maka pemerintah akan dengan mudah melakukan kegiatan pengelolaan sampah sesuai dengan jenisnya. Seperti kertas apakah di daur ulang, atau elektronika yang diambil komponen-komponen yang masih berguna untuk digunakan kembali dan sebagainya.

Manajemen pengelolaan sampah di Indonesia umumnya atau Aceh khususnya masih jauh dari apa yang kita sebutkan pada negara maju. Sampah plastik, kertas, beling, puntung rokok, bercampur aduk dibungkus dalam satu wadah. Bahkan banyak sampah tidak ditempatkan dalam bungkusan, cuma menuangkan saja ke bak sampah. Membuang sampah pun pada waktu yang sembarangan, kadang pagi, kadang sore. Walhasil program manajemen sampah yang telah disusun sedemikian canggih tidak akan pernah berhasil. Sebuah cerita lucu tentang pengelolaan sampah pasca tsunami menarik disimak.

Negara Turki menyumbangkan truk sampah, compactor, artinya truk ini sekaligus memadatkan sampah sebelum ditempatkan dalam baknya. Ternyata truk ini tidak dapat bertahan lama alias segera mengalami kerusakan di bagian compactor nya. Mesin menjadi cepat rusak karena terlalu banyak memadatkan sampah yang masih bercampur dengan material keras dan besar. Misalnya ada yang membuang besi, kayu dengan beragam ukuran, barang elektronik, sehingga mesin pemadat sampah tidak sanggup bekerja lagi. Akhirnya truk inipun digunakan secara manual kembali yaitu sekedar menampung sampah pada baknya. Padahal akan sangat banyak sampah yang dapat diangkut jika mesin compactor tetap berfungsi dengan baik.

Manajemen persampahan Aceh masih belum begitu efisien. Bagaimana mau mendaur ulang sampah kalau sampahnya saja bercampur aduk tidak karuan. Perlu waktu ratusan jam untuk memilah-milahnya yang pada akhirnya akan membutuhkan banyak waktu sehingga berimplikasi membutuhkan biaya yang lebih mahal. Belum lagi kalau kita membicarakan tentang teknologi daur ulang sampah yang cocok untuk diterapkan di Aceh. Program manajemen pengelolaan sampah susah-susah gampang. Seorang ahli manajemen limbah pasca sarjana Unsyiah pernah menyatakan tidak setuju benar dengan program kompos sebagai cara utama penanggulangan sampah.

Sangat sedikit sampah yang dihasilkan oleh masyarakat dapat diolah menjadi pupuk atau kompos. Hanya sampah organik seperti sayuran, ikan, sisa nasi ataupun sampah yang berasal dari makhluk hidup yang dapat menjadi kompos. Bagaimana dengan sisanya seperti sampah anorganik, besi, kayu, elektronik, kertas dan lain sebagainya? Ahli ini lebih setuju dengan manajemen sampah yang dimulai dari rumah warga. Pemilahan sampah, pembagian hari membuang sampah dan semacamnya oleh warga merupakan langkah strategis pengelolaan sampah yang berkelanjutan. Sehingga sampah jutaan ton dapat menjadi barang yang berguna kembali sebanyak jutaan ton pula. Ini sebenarnya sangat sesuai dengan teori kekekalan massa yaitu massa tidak dapat dimusnahkan atau diciptakan. Yang dapat dilakukan manusia hanyalah mengubah bentuk massa atau benda.

Pemerintah Aceh kini sedang membangun Tempat Pengolahan Akhir (TPA) sampah yang terletak di Desa Data Makmur kecamatan Blang Bintang Aceh Besar. TPA ini menerapkan sistem Sanitary Landfill, artinya setiap lapisan sampah yang terbentuk setiap hari akan segera ditutup dengan lapisan tanah setiap hari juga. TPA Sanitary Landfill dengan penanganan sesuai konsep tidak akan menimbulkan bau, tidak mengundang banyak lalat dan tidak kotor. TPA ini merupakan TPA regional yang menampung sampah dari daerah kota Banda Aceh dan Aceh Besar. Dengan Luas 200 ha, diharapkan TPA dengan teknologi tercanggih di Indonesia ini, akan mampu bertahan hingga 17 tahun. Sekali lagi, pertanyaan selanjutnya, apakah TPA ini akan efektif jika pengelolaan sampah di tingkat masyarakat masih seperti sekarang?

Secara pribadi saya ragu, karena system Sanitary Landfill mengharuskan sampah yang telah dikondisikan sesuai dengan jenis. Apalagi TPA Blang Bintang juga berencana akan mendaur ulang sampah sehingga dapat bermanfaat kembali dan mempunyai nilai ekonomis.

Slogan buanglah sampah pada tempatnya banyak kita baca dimana-mana. Tapi pertanyaan selanjutnya adalah dimana tempatnya aliasnya tong sampahnya? Setelah ada tong sampah, apalagi yang harus kita lakukan? Jangan sampai sudah ada tong sampah masih juga membuang sampah di luar tempatnya. Kalau membuang sampah pada tempatnya saja kita belum bisa, bagaimana melakukan hal-hal lain yang lebih rumit. Maka dari itu buanglah sampah pada tempatnya, jangan di luarnya. [m.nizar abdurrani]

read more
Ragam

Fotografer Aceh, Fahreza Ahmad, Juarai Lomba Foto Lingkungan ASEAN

Badan ASEAN Centre for Biodiversity ( ACB ) dan GIZ mengumumkan pemenang lomba foto lingkungan ASEAN yang bertemakan ” Zooming in on Biodiversity and Climate Change”, dalam acara pertemuan ke-IV ASEAN Konferensi Heritage Parks,  1 Oktober 2013 lalu di Tagaytay City, Filipina . Hal yang membanggakan, fotografer dari Aceh, Fahreza Ahmad, berhasil meraih juara III dalam lomba ini dengan fotonya yang berjudul “Flood”. Fahreza adalah fotografer yang aktif memotret isu-isu lingkungan di Aceh.

Acara penyerahan penghargaan dipimpin oleh Direktur Eksekutif ACB , Atty . Roberto V. Oliva dan Direktur Proyek Keanekaragaman ACB – GIZ dan Proyek Perubahan Iklim ( BCCP ), Dr Berthold Seibert.

Lomba foto ini dimulai sejak 1 Desember 2012 hingga 31 Juli 2013, dengan tujuan menarik perhatian publik terhadap isu-isu keanekaragaman hayati yang bersinggungan dengan isu perubahan iklim dan perlunya tindakan global dan lokal untuk mengatasi kedua masalah ini .

Panitia dari ACB dan GIZ menerima 798 foto dari peserta Kamboja , Indonesia, Malaysia , Myanmar, Filipina , Singapura, Thailand dan Viet Nam.  Pemenang dibagi dalam beberapa kategori yaitu pemuda, amatir dan kategori profesional. Fahreza memenangkan juara untuk kategori profesional. Ia memotret situasi banjir yang terjadi di Padang Tiji-Pidie, beberapa waktu lalu. Ini merupakan kemenangan keduanya di pentas international setelah sebelumnya sempat meraih juara dalam lomba foto yang diadakan oleh UNESCO Republik Rakyat China.

Ketiga pemenang Hadiah Pertama adalah: Kategori Pemuda – Dimas Dwi Adiansyah (Indonesia) untuk fotonya berjudul “Working together for the future “; Kategori Amatir – Jose Melencio ” Bimbo ” M. Brillo (Filipina) untuk fotonya berjudul ” No Fly Zone “; Kategori profesional – Kyaw Kyaw Winn (Myanmar) untuk fotonya berjudul ” Harapan ” .

“Working Together for the Future” oleh Dimas Dwi Adiansyah (Indonesia)

Para pemenang lainnya : Kategori Pemuda, pemenang kedua – Jan Brendan Singlador ( Filipina ) untuk fotonya berjudul ” Mangrove Planting”, Kategori Amatir, pemenang kedua, – Aldrin Cuadra ( Filipina ) untuk fotonya berjudul ” Hope”; Kategori Amatir, pemenang ketiga – Aditya Nugraha ( Indonesia ) untuk fotonya ” Mudskipper Fight”, Kategori Profesional, pemenang kedua – Nikki Sandino Victoriano (Filipina) dengan fotonya berjudul ” Man-made Forest “dan pemenang ketiga untuk kategori profesional – Fahreza Ahmad (Indonesia) untuk foto berjudul “Flood. ”

Mudskipper Fight oleh Aditya Nugrah (Indonesia)

Sementara itu Wilfredo Leonado memenangkan foto pilihan pembaca dengan potretnya yang berjudul “Surviving Drought, ” yang mengantongi jumlah like tertinggi di Facebook .

Total hadiah sebesar US $ 4000 diterima oleh pemenang di semua kategori. Foto para pemenang akan diterbitkan dalam  ASEAN Biodiversity Magazine dan publikasi internasional lainnya dan ditampilkan dalam pameran yang akan di negara-negara ASEAN .

Surviving Drought oleh Wilfredo Leonado

” Kehilangan keanekaragaman hayati dan perubahan iklim merupakan tantangan yang mengkhawatirkan untuk kawasan ASEAN dan seluruh dunia . Untuk mengatasi masalah ini, kita perlu bantuan semua pihak. Lomba foto ini telah memberi kita kesempatan untuk melibatkan profesional, fotografer amatir dan siswa dalam menghasilkan kesadaran untuk keanekaragaman hayati dan perubahan iklim. Foto mereka akan digunakan sebagai alat pendidikan sehingga orang dapat belajar tentang isu-isu kunci , ” kata Atty . Oliva.

Menurut Dr Berthold Seibert, hubungan antara keanekaragaman hayati dan iklim merupakan salah satu paling sedikit dipahami , namun salah satu hal yang paling penting . ” Minimnya pengetahuan sering diterjemahkan menjadi ketidakpedulian dan kurangnya tindakan.  Selamat kepada semua pemenang, gambar mereka telah menangkap kebutuhan mendesak untuk mengatasi hilangnya keanekaragaman hayati dan perubahan iklim , ” jelasnya .[]

Sumber: aseanbiodiversity.org

read more
Ragam

Pentingnya Kajian Resiko Bencana Bagi Masyarakat

Bener Meriah dan Aceh Tengah, tanggal 2 Juli 2013, hari Selasa sekitar tengah hari. Warga baru saja menunaikan shalat Dhuhur ataupun selesai makan siang. Namun banyak juga masyarakat yang masih beraktivitas di ladang dan kebunnya masing-masing. Tiba-tiba bumi bergerak, berderak menggoyang segala sesuatu yang ada di atasnya. Bangunan-bangunan roboh, masyarakat berhamburan keluar rumah mencari tempat yang aman. Suara tangisan dan teriakan panik bercampur baur menyeruak di udara siang itu.

Itulah gempa bumi yang berkekuatan 6,2 SR (7,4 MMI) dengan epicentrum pertama berada pada koordinat di 4.7 LU – 96.61 BT dengan kedalaman 10 Km. Berita duka dengan cepat menyebar ke seluruh Indonesia bahkan dunia. Gempa itu memakan korban 42 orang meninggal, dan 6 orang hilang (tercatat saat proses pencarian dihentikan). Jumlah pengungsi mencapai 36.905 jiwa dengan sebaran 32.129 jiwa di Aceh Tengah dan 4.776 jiwa di Bener Meriah dan terdapat lebih 16 titik pengungsian. Jumlah kerusakan bangunan mencapai 18.902 rumah dan 626 fasilitas umum (sumber data BNPB, 2013). Inilah sebuah bencana yang kurang diprediksi sebelumnya akan terjadi di wilayah tengah Aceh.

Kemudian belum hilang duka di tanah Gayo, di bagian lain Sumatera yaitu di tanah Karo, Gunung Sinabung kemabli memuntahkan abu vulkanik dari kepundannya yang berbahaya, Selasa, 17 September 2013. Sebelumnya warga atau pihak terkait tidak mendeteksi adanya getaran atau tremor, fenomena khas yang biasa selalu mendahului sebelum erupsi gunung berapi. Ribuan penduduk dari desa-desa sekitar terpaksa mengungsi, meninggalkan sawah ladang, menuju tempat yang lebih aman.

Letusan Gunung Sinabung ini mengejutkan banyak pihak karena selama ini gunung yang mempunyai ketinggian 2,460 m dianggap gunung berapi yang sudah mati. Hal ini berdasarkan data bahwa Gunung Sinabung selama 400 tahun terakhir tidak ada aktivitas erupsi. Erupsi terakhir yang tercatat dalam sejarah terjadi sekitar tahun 1600 sehingga Sinabung pun awalnya ditetapkan sebagai gunung berapi tipe B.

Sebelumnya, gunung ini pun telah memuntahkan lava serta debu dan pasir vulkaniknya ke udara pada tanggal 29 Agustus 2010 tengah malam pukul 00.10. Sejak meletus, pemerintah telah mengubah tipe Gunung Sinabung tersebut menjadi tipe A dengan status awas. Gunung ini pun selanjutnya dipantau setiap hari selama 24 jam.

Pada tahun 2004 lalu bencana yang disebut-sbuet sebagai bencana terbesar dalam sejarah dunia modern menghantam di kawasan Asia dan sebagian Afrika. Tsunami raksasa yang didahului gempa bumi berkekuatan 9,6 SR mengguncang Propinsi Aceh dan Nias, meluluhlantakan daerah ini dan membuat ratusan ribu nyawa melayang.  Bencana ini sebelumnya tidak diprediksi, walaupun sudah diketahui bahwa Aceh merupakan daerah rawan gempa karena dilewati patahan aktif. Namun selama sebelum terjadinya tsunami tahun 2004, minim sekali sosialisasi tentang ancaman bencana dahsyat ini.

Lihat saja apa yang penulis lakukan saat gempa bumi 26 Desember 2004 lalu. Penulis kebetulan tinggal di Banda Aceh, di salah satu kampung terparah dihantam tsunami. Sesaat setelah terjadi gempa yang “melemparkan” penulis dari tempat tidur, penulis tidak memiliki sensivitas adanya potensi bahaya yang mengancam setelah gempa bumi yang goncangannya sangat keras terasa.

Setelah gempa reda, penulis masih sempat-sempatnya menikmati sepiring lontong di warung dekat rumah. Saat tampak orang-orang mulai berlari atau memacu sepeda motornya kencang-kencang sambil berteriak,”air laut naik…air laut naik!, barulah penulis sadar yang sedang mengancam dan cepat-cepat berlari menyelamatkan diri. Hal yang serupa juga dialami oleh ribuan penyintas korban tsunami, baru sadar bahaya ketika bahaya tersebut sudah di depan mata.

Dari berbagai peristiwa di atas maka sadarlah kita semua bahwa perlu adanya pengetahuan yang memadai tentang resiko bencana. Apalagi kita tinggal di daerah yang rawan bencana walau bencana itu sendiri tidak selalu terjadi, namun kewaspadaan harus tetap tinggi. Bencana dapat datang kapan saja, ada yang bisa diprediksi seperti banjir dan ada juga yang tidak bisa diprediksi seperti gempa bumi. Bencana umumnya tidak dapat dihindarkan kecuali bencana karena ulah manusia (man made disaster).

Manusia harus membuat sebuah perencanaan sebaik mungkin dalam rangka pengurangan resiko bencana. Perencanaan ini memuat langkah-langkah yang dilakukan sebelum terjadi bencana (pra bencana), saat terjadi bencana (tanggap darurat) dan sesudah terjadinya bencana (pasca bencana). Salah satu langkah yang penting dalam masa pra bencana adalah membuat kajian resiko bencana atas sebuah daerah. Kajian resiko bencana memuat hal penting tentang karakteristik sebuah wilayah, jenis-jenis bencana yang mengancam, wilayah yang terpapar dan berbagai hal yang lain dalam rangka pengurangan resiko bencana bagi masyarakat sekitar.

Membuat Kajian Resiko Bencana
Kajian Resiko Bencana (KRB) adalah sebuah dokumen penting yang memuat mekanisme terpadu untuk memberikan gambaran menyeluruh terhadap risiko bencana suatu daerah dengan menganalisis tingkat ancaman, tingkat kerugian dan kapasitas daerah Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) No.2 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Resiko Bencana.

Adapun tujuan pembuatan KRB ada tiga hal yaitu:

1. Memberikan panduan yang memadai bagi setiap daerah dalam mengkaji risiko setiap bencana yang ada di daerahnya.

2. Mengoptimalkan penyelenggaraan penanggulangan bencana di suatu daerah dengan berfokus kepada perlakuanbeberapa parameter risiko dengan dasar yang jelas dan terukur.

3. Menyelaraskan arah kebijakan penyelenggaraan penanggulangan bencana antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota dalam kesatuan tujuan.

KRB pada prinsipnya dapat disusun oleh berbagai pihak seperti lembaga swadaya masyarakat, akademisi, pemerintah ataupun pihak swasta yang berkompeten asal bekerja dibawah tanggung jawab pemerintah dan mengikuti standar yang ditentukan oleh BNPB. Namun demikian yang terbaik jika semua pihak ikut dilibatkan (partisipatif) dalam pembuatan KRB ini sehingga semua aspek bisa dimunculkan dalam dokumen. Selain itu juga pelibatan semua pihak bisa memunculkan rasa kesadaran bersama dalam penanggulangan bencana.

Data yang digunakan dalam menyusun KRB harus data yang valid dan menggunakan metode yang sangat ilmiah. Pembuatan KRB tidak boleh serampangan atau sembarangan karena ini menyangkut kehidupan banyak manusia. Tantangan utama dalam menyusun KRB adalah ketersediaan data kependudukan yang masih minim terutama di tingkat desa.

Jika melihat dari definisi dan tujuan KRB sebagaimana disebutkan diatas seolah-olah KRB ini hanya bermanfaat bagi pemerintah semata. Namun sebenarnya tidaklah demikian karena KRB ini nantinya harus disosialisasikan kepada masyarakat di daerah kajian tersebut. KRB yang memuat jenis-jenis ancaman bencana, areal yang terkena bencana, jumlah jiwa yang terpapar bencana, potensi kerugian yang ditimbulkan bencana, kapasitas yang dimiliki untuk mengurangi resiko bencana, penting untuk diketahui oleh masyarakat luas.

Masyarakat menjadi tahu daerah mana yang layak untuk tempat tinggal. Jangan sampai warga malah membangun rumah di atas patahan aktif atau membangun rumah di lereng gunung yang rawan longsor. Warga pun tahu bagaimana membangun rumah di daerah yang rawan gempa misalnya, dengan membangunnya dengan struktur yang kokoh dan material yang berkualitas.

Pentingnya Kajian Resiko Bencana Bagi Masyarakat
Jika saja KRB telah disusun dengan baik dan disosialisasikan kepada masyarakat, mungkin bencana-bencana yang terjadi nantinya hanya akan menimbulkan korban yang relatif kecil. Masyarakat sudah siap menghadapi bencana karena mereka tahu resiko yang mereka hadapi di tempat tinggalnya. Mereka sudah tahu apa yang dilakukan sebelum terjadi bencana, saat terjadi bencana dan pasca bencana sendiri. Kesiapsiagaan ini sudah dipraktekkan di berbagai negara dan relatif berhasil.

Misalnya saja yang dilakukan pemerintah Jepang, negara yang sangat rawan bencana terutama bencana gempa bumi dan tsunami. Masyarakatnya diajarkan bagaimana hidup di daerah rawan bencana misalnya membuat bangunan yang tahan terhadap goncangan gempa bumi. Bahkan mereka pun membuat dinding beton yang kokoh di pinggir pantai untuk mencegah gelombang ekstrim mencapai pemukiman. Pemerintahnya selalu bersiaga menghadapi bencana sehingga korbannya bisa dikurangi.

Penduduk Jepang sejak usia dini sudah dilatih secara rutin (drilling) bagaimana menghadapi bencana gempa bumi misalnya dengan mencari tempat yang lebih aman ketika bencana terjadi. Sikap masyarakat Jepang cenderung tenang, tidak panik dan saling membantu ketika bencana terjadi.

Bagaimana dengan Indonesia atau Aceh, tempat tinggal saya sendiri?  Masyarakat masih perlu disosialisasikan lebih intensif lagi tentang resiko bencana. Mereka perlu tahu, apa bahaya yang mengancam disekitar kehidupan mereka. Bisa jadi ada beberapa ancaman bencana yang berpotensi terjadi di wilayah mereka. Sebut saja ada ancaman bahaya longsor, banjir bandang atau kebakaran hutan bagi penduduk yang tinggal di pegunungan. Wilayah pesisir misalnya memiliki potensi bahaya gelombang ekstrim, tsunami, badai dan lain sebagainya.

Bahaya-bahaya akibat bencana ini nyata adanya, bukan hanya teoritis semata. Sering warga menganggap sepele bahaya tersebut jika bencana tidak sering terjadi. Disinilah perlunya sosialisasi dan latihan dalam menghadapi bencana agar semua pihak siap ketika bencana benar-benar terjadi. Jangan lagi ada kepanikan ataupun kekacauan saat bencana melanda karena semua telah pihak memahami apa yang sebenarnya terjadi dan tahu apa yang harus dilakukan.

Sekali lagi saya mengatakan bencana alam nyaris tak bisa dicegah, manusia hanya bisa berupaya mengurangi korban bencana. Jangan lagi muncul korban yang tidak perlu akibat ketidaktahuan tentang resiko bencana. Jangan ada lagi yang seperti penulis lakukan, sempat-sempatnya makan lontong padahal ada bahaya besar yang mengancam. Disinilah pentingnya membuat kajian resiko bencana bagi masyarakat.[m.nizar abdurrani]

Sumber: serambinews.com

read more
Flora Fauna

Luar Biasa, Burung Ini Terbang 6 Bulan Tanpa Henti

Beratnya tidak sampai setengah kg. Bila sayapnya merentang hanya 22 inci – setara 55 cm. Namun, ternyata burung ini sanggup terbang tanpa henti selama 6 bulan. Inilah burung Alpine swifts. Berkembang biak di Swiss, lalu bermigrasi ke Afrika Barat pada musim dingin dan akhirnya kembali lagi ke Swiss seperti dilansir situs apakabardunia.

Sebelumnya banyak ilmuwan meragukan klaim tersebut. Karena penelitian hanya berdasar pada radar pelacakan yang menunjukkan Alpine swifts sering terbang malam. Bukti itu belum cukup meyakinkan. Namun akhirnya sekelompok ilmuan terpana karena berhasil membuktikan klaim kebenaran kemampuan tersebut.

Tim Ilmuwan Liechty lalu menempelkan sensor kecil yang dibuat Universitas Bern sedemikian rupa agar tidak mengganggu pergerakan Alpine swifts. Dari hasil penilitian terbaru ini, seperti ditulis Smithsonian Magazine,  burung Alpine swifts bisa terbang lalu menyambar makanan – berupa serangga kecil – untuk terbang lagi sambil mengunyah. Cara ini bisa membuatnya tetap bugar dalam perjalanan sejauh 3000 mil menuju Swiss.

Sumber:Republika.co.id

read more
Ragam

100 Kendaraan Resmi APEC Gunakan Biodiesel

Sebanyak 100 kendaraan berbahan bakar biodiesel yang merupakan kendaraan resmi KTT APEC diluncurkan di pelataran Hotel Westin Kawasan Nusa Dua, Bali, Jumat.

“Penggunaan biodiesel menunjukkan komitmen Indonesia pada perkembangan perekonomian yang berbasis keberlangsungan lingkungan,” kata Menteri Perindustrian M.S. Hidayat saat menghadiri peluncuran itu.

Sementara Menteri Perdagangan gita Wirjawan memastikan akan terus menyuarakan dan mendorong inisiatif produk ramah lingkungan di forum APEC.

“Mempromosikan produk-produk ramah lingkungan seperti biodiesel akan dapat membantu pengentasan kemiskinan karena ini menyerap banyak lapangan pekerjaan,” kata Gita Wirjawan.

Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Mahendra Siregar mengingatkan agar pengembangan sawit untuk biodiesel tidak ke arah perluasan lahan.

“Karena tujuan kita adalah sustainable development, maka sekarang orientasinya jangan melulu perluasan lahan tapi bagaimana cara meningkatkan produktivitas,” katanya.

Terdapat 100 kendaraan bus resmi untuk para delegasi dan pemimpin ekonomi APEC. Bahan bakar biodiesel yang digunakan didukung sepenuhnya oleh Pertamina.

Sumber: republika.co.id

read more
Kebijakan Lingkungan

Tata Ruang atau Tata Uang

Judul kolom ini terdengar sangat satir, memperolok-olok Rancangan Qanun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Propinsi yang tak kunjung selesai. Saya langsung mengatakan bahwa ada bau rupiah dalam penentuan struktur ruang dan pola ruang di Aceh ini. Indikasinya sederhana saja. Jika sebuah isu bolak-balik tapi tak ‘masak-masak’ maka biasanya ada banyak pihak yang bermain. Ada kepentingan sekelompok orang yang ingin kemauannya diakomodir. Ujung-ujungnya adalah jika kepentingan diakomodir maka akan ada fulus yang berpindah tangan.

Semenjak sebelum tsunami menghantam Aceh, pembahasan RTRW sudah dimulai. Ada banyak pihak yang terlibat terutama para ahli kehutanan dan hukum. Ada banyak persoalan yang harus diselesaikan melalui tata ruang terutamanya struktur ruang. Secara definisi struktur ruang menurut adalah  Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional. Secara sederhana adalah ruang ini sebagai tempat tinggalnya manusia dengan segala aktivitasnya.

Manusia terus tumbuh dan berkembang, membutuhkan tempat tinggal baru. Tempat tinggal baru membutuhkan sarana dan sarana untuk menunjang kehidupan masyarakat. Sarana tersebut misalnya jalan raya, fasilitas air bersih, sekolah, pusat layanan kesehatan dan sebagainya. Prasarana dan sarana ini membutuhkan area tersendiri yang hari ini diklaim oleh pemerintah bahwa mereka sudah kehabisan lahan untuk membangunnya.

Selain struktur ruang, satu lagi ada namanya pola ruang. Definisinya menurut Undang-undang Penataan Ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya. Sederhana ruang ini menentukan dimana area hutan yang dilindungi alias tidak boleh dijamah dan dimana area bagi manusia untuk melakukan kegiatan ekonomi. Kedua fungsi inilah yang saat ini porsinya sedang diutak-atik oleh pihak tertentu dengan alasan yang sama seperti saya sebutkan diatas, yaitu terbatasnya ruang!

Dalam kajian tandingan yang dibuat teman-teman aktivis lingkungan ditemukan fakta bahwa dalam Raqan RTRWA Edisi Desember 2012 dituliskan kawasan lindung, dengan luas 2.649.072 Ha (46,66 persen) dan kawasan budidaya, dengan luas 3.027.742 Ha (53,34 persen). Terlihat bahwa kawasan hutan sudah jauh berkurang dari sebelumnya yang ditetapkan bahwa kawasan hutan Aceh sekitar 60 persen (angka ini tidak akurat, hanya sekedar perbandingan saja). Namun faktanya bisa jadi kawasan hutan jauh dibawah angka 60 tersebut. Banyak yang sudah dialih fungsikan secara illegal ataupun aspal (punya izin resmi tetapi menyalahi prosedur).

Nah apalagi kalau kawasan hutan Aceh berkurang hingga tinggal 46 persen? Siapa yang mendapat laba terbesar dari perubahan ini? Masyarakat kah? Atau pihak korporasi yang sudah menyiapkan buldosernya untuk meratakan hutan? Hasil kajian tim aktivis lingkungan lebih kurang memberikan gambaran bahwa yang mendapat laba adalah pihak korporasi. Tidak percaya boleh saja. Namun sudah banyak lahan-lahan yang diusulkan perubahan statusnya namun sebenarnya sudah dipersiapkan buat perkebunan atau konsesi pertambangan.

Sekedar menyebutkan contoh, ada 5  HGU yang diidentifikasi berada dalam usulan perubahan prioritas terbesar salah satunya adalah PT. Fajar Baizury & Brothers dengan luas sebesar 2.917  Ha. Selain itu ada 5  pertambangan yang diidentifikasi juga berada dalam usulan perubahan terbesar, yang terkenal adalah PT. East Minerals Corp dengan luas sebesar 6.476 Ha. Dan masih ribuan hektar lagi hutan yang dipersiapkan bagi korporasi. Terus, dimana lahan yang dipersiapkan bagi masyarakat untuk struktur ruang alias pemukiman? Ada tetapi tidak sebanyak untuk perusahaan-perusahaan kapitalis ini.

Jadi semakin jelas bahwa alasan pemerintah meminta hutan lindung untuk masyarakat adalah pepesan kosong belaka. Apalagi kita ketahui, untuk sekedar lahan masih banyak lahan kosong atau lahan ‘bobok’ yang tidak mesti berada di hutan. Lahan-lahan tidur ini berada diseputaran kawasan pemukiman namun sayangnya hanya dikuasai oleh segelintir orang kaya. Kenapa lahan tidur ini tidak disita saja dan didistribusikan kembali kepada masyarakat miskin. Ini baru landreform namanya.

Perusahaan-perusahaan besar sudah lama mengincar tanah indatu Aceh. Namun mereka tidak berani masuk ke Aceh saat konflik karena nyawa taruhannya. Saat itu hutan Aceh tumbuh subur dan lebat sehingga sinar matahari pun tak mampu menembus kerimbunannya. Namun pasca perdamaian, mereka bagaikan peserta marathon yang dilepaskan di garis start. Berlomba-lomba menguasai tanah Aceh dengan mengiming-imingi PAD untuk pemerintah dan peningkatan ekonomi masyarakat. Tapi celakanya Aceh, dalam sebuah kajian ilmiah, menjadi penerima dana Otsus nomor 7 terbesar namun sekaligus menyandang predikat memalukan sebagai daerah termiskin dengan nomor urut yang sama.

Alasan ekonomi untuk merusak hutan Aceh tidak boleh dilaksanakan sampai kapanpun. Ada banyak cara untuk sejahtera tanpa merusak lingkungan. Silahkan memanfaatkan hutan tanpa perlu membotakinya. Berikan rakyat hak-haknya. [m.nizar abdurrani]

read more
Ragam

Mongabay Sediakan 150 Juta untuk Liputan Perikanan

Mungkin anda sedang merencanakan liputan tentang kondisi tata kelola perikanan di Indonesia dan terkendala dengan dukungan dana. Mungkin anda perlu mencoba mengikuti program fellowship (beasiswa liputan) yang diselenggarakan oleh salah satu situs berita lingkungan terbesar di dunia yaitu Mongabay.com. Tak tanggung-tanggung, Mongabay melalui program Special Reporting Initiative (SRI) menyediakan dana hingga Rp. 150 juta untuk peserta terpilih plus disediakan dana perjalanan sebesar Rp.50 juta.

Sebagaimana yang dikutip dari artikel di mongabay.com, deadline program ini pada 15 November 2013. Para peserta diwajibkan melakukan pra-pendaftaran melalui situs ini. Kemudian peserta diminta untuk membuat proposal tentang bagaimana liputan akan dilaksanakan. Selain itu butuh dua rekomendasi dari pihak terkait dan melampirkan tiga contoh artikel yang pernah ditulis.

Komite seleksi akan mengevaluasi proposal berdasarkan kualitas aplikasi (ejaan, tata bahasa, organisasi , dll ), kreativitas dan orisinalitas ide lapangan, pemberi referensi, potensi media yang akan menerbitkan tulisan anda  dan kualitas pekerjaan anda sebelumnya.

Jika anda terpilih, anda memiliki waktu selama tiga bulan untuk perjalanan dan penelitian serta tiga bulan lagi untuk menulis laporan. Enaknya lagi, peraih fellowship dapat bekerja dari mana saja di dunia .

Mongabay rutin setiap 1-2 bulan bulan sekali akan memberikan beasiswa peliputan untuk tema dan wilayah yang berbeda-beda. Tema kali ini adalah Tata Kelola Perikanan Perikanan di Indonesia. Sebagaimana diketahui, banyak kerugian yang disebabkan eksploitasi ikan yang berlebihan. Hal ini mempeengaruhi ekonomi masyarakat terutama nelayan kecil.

Khususnya di Indonesia, pemerintahan yang lemah dan dikuasai segelintir elit diyakini menjadi faktor penting dalam aktivitas penangkapan ikan berlebihan. Ini bisa disebabkan pengelolaan perikanan yang kurang dipahami dengan baik .

Liputan dalam program ini harus mampu menjawab pertanyaan bagaimana keadaan saat perikanan di Indonesia dan potensi untuk perbaikan manajemen dan kebijakan dalam waktu dekat ?[]

Sumber: mongabay.com

read more
Green Style

Kota Bisa Jadi Pusat Pelestarian Lingkungan

Urbanisasi akan terus berlangsung dalam beberapa dekade mendatang. Pada 2050, sebanyak 70 persen populasi urban dunia akan berpindah dan tinggal di perkotaan. Penduduk kota semakin padat, memicu masalah lingkungan dan kemanusiaan.

Sebelum masalah lingkungan bertambah parah, kota berpeluang beralih menjadi kota yang hijau dan lestari. Sehingga kota bisa menjadi pusat aksi menanggulangi krisis iklim, mengurangi kelangkaan air dan meningkatkan keamanan pangan. Kesimpulan ini terungkap dalam laporan terbaru berjudul “Cities and Biodiversity Outlook (CBO)” yang dirilis Jum’at (4/10/2013).

Laporan yang disusun oleh Stockholm Resilience Centre (SRC) bersama dengan Secretariat of the Convention on Biological Diversity (CBD), UN-Habitat dan ICLEI – Local Governments for Sustainability ini menjadi laporan pertama yang menganalisis hubungan antara urbanisasi dan menurunnya kualitas keanekaragaman hayati di perkotaan.

Menurut CBO, sebanyak 60 persen rencana perluasan dan pembangunan wilayah perkotaan pada 2030, saat ini masih belum dilaksanakan. Kondisi ini membuka peluang bagi kota mempromosikan pembangunan yang berkelanjutan. Pembangunan rendah karbon yang mengurangi jejak ekologis dan menghemat sumber daya alam, memperbaiki keanekaragaman hayati sekaligus kualitas hidup masyarakat.

Saat ini aktivitas produksi dan konsumsi masih terpusat di perkotaan. Kedua aktivitas ini telah menyumbang 80 persen emisi gas rumah kaca dunia penyebab perubahan iklim dan pemanasan global. Masalah ini bisa diatasi dengan sejumlah aksi. Diantaranya dengan menjaga dan meningkatkan ruang terbuka hijau, koridor hijau, menghijaukan atap gedung serta lahan bekas industri atau lahan komersial melalui misalnya kegiatan berkebun di perkotaan. Sehingga kota tidak lagi menjadi sumber polusi dan emisi karbon namun beralih menjadi pusat penyerapan karbon.

Salah satu program yang berhasil adalah program di distrik Yokohama, Jepang. Pada 2007, Yokohama memproduksi 20 juta ton emisi CO2. Dilandasi kesadaran atas pentingnya keanekaragaman hayati, pemerintah menciptakan sistem perpajakan baru yang hasilnya digunakan untuk mempertahankan dan menambah ruang terbuka hijau. Pemerintah juga menggunakan pajak untuk menghijaukan atap dan dinding gedung di perkotaan. Aksi ini sukses. Yokohama kini berani menargetkan pengurangan emisi per kapita setidaknya hingga 60 persen pada 2050.

Negara-negara Asia yang saat ini dihuni oleh 60 persen populasi dunia, memiliki tantangan dan skala urbanisasi yang berbeda-beda. Di Singapura, misalnya, yang merupakan negara kota, 100 persen  penduduknya tinggal di perkotaan. Di Malaysia, jumlah penduduk yang tinggal di perkotaan mencapai 72 persen. Di Jepang angkanya mencapai 67 persen, sementara di Indonesia 54 persen. Negara Asia dengan tingkat urbanisasi terendah adalah Bangladesh (28 persen) disusul oleh Vietnam (29 persen), India (30 persen), Laos (33 persen) dan Thailand (34 persen).

Walau skala urbanisasinya berbeda, wilayah Asia memiliki tiga karakteristik serupa. Pertama: negara-negara Asia tengah mengalami transisi demografis dan ekonomi yang memicu perpindahan penduduk ke perkotaan. Yang kedua: separuh dari perluasan wilayah perkotaan dunia akan terjadi di Asia dalam 20 tahun mendatang – terutama di China dan India. Yang ketiga: masuknya modal dan investasi dalam jumlah besar akan mengubah ekonomi lokal yang dulunya berbasis pertanian, menjadi ekonomi berbasis industri dan manufaktur.

Semua karakteristik tersebut mengubah secara fundamental lanskap dan lingkungan Asia. Sehingga upaya beralih ke sistem pembangunan yang berkelanjutan dan ekonomi yang ramah alam bisa tidak bisa lagi ditawar untuk menciptakan kota yang sehat, hijau, makmur dan lestari.[]

Sumber: hijauku.com

read more
1 82 83 84 85 86
Page 84 of 86