close

Muhammad Nizar

Energi

Murid SD di Bogor Diajak Bikin Biodiesel dari Minyak Jelantah

Sejumlah siswa SD Negeri Bantarjati 9 Kota Bogor, Jawa Barat, kembali membuat inovasi dengan mencoba mengolah minyak jelantah menjadi bahan bakar biodiesel. “Kami telah mencoba mengolah sendiri minyak jelantah menjadi biodiesel, walau hasilnya masih dalam skala kecil,” kata Ely Rachmawati, salah satu guru SD Negeri Bantarjati 9 di
Kota Bogor.

Ely menyebutkan pengolahan minyak jelantah menjadi biodiesel baru dimulai oleh pihak sekolah. Sebelumnya, SD Negeri Bantarjati 9 menjadi salah satu sekolah yang memasok minyak jelantah yang disalurkan ke Perusahaan Daerah Jasa Transportasi (PDJT) Kota Bogor untuk diolah menjadi biodiesel bahan bakar bus Trans Pakuan.

Menurut Ely, pengolahan minyak jelantah sebagai biodiesel tidak terlalu sulit. Cukup menyiapkan methanol, soda api dan minyak jelantah untuk menjadikan biodiesel. “Kami sudah mempraktikkan dengan tiga liter minyak jelantah yang dicampur dengan methanol, soda api kemudian diendapkan hingga 12 sampai 14 jam,” jelasnya.

Untuk mengolahnya, lanjut Ely, campuran minyak jelantah dan ethanol tersebut membentuk lapisan bening yang akan dicampurkan dengan dua liter air lalu disuling untuk diambil biodieselnya. “Biodiesel warnanya bening kekuning-kuningan, hasilnya dapat dicobakan untuk bahan bakar kendaraan, dan alat-alat industri lainnya,” kata Ely.

Ely mengatakan biodiesel yang diproduksi para siswa tersebut hanya berskala kecil yang bisa dipasok untuk rumah tangga. Untuk memenuhi kebutuhan minyak jelantah, pihak sekolah mengumpulkan setiap harinya minyak bekas goreng tersebut dari para  siswa. Hampir setiap hari siswa SD Negeri Bantarjati 9 dianjurkan membawa minyak jelantah ke sekolah. Bila dihitung dalam waktu seminggu rata-rata sekolah bisa mengumpulkan enam hingga tujuh liter minyak jelantah.

Menurut Kepala Sekolah SD Negeri Bantarjati 9 Yayah Komariah, program pengumpulan minyak jelantah oleh siswa itu sesuai dengan program Pemerintah Kota Bogor dalam mengumpulkan minyak goreng bekas di kalangan masyarakat.[]

Sumber : Antara

read more
Sains

Trio Ilmuwan Peraih Nobel Kimia 2013

Tiga orang ilmuwan menerima penghargaan Nobel Kimia untuk jasa mereka membawa eksperimen kimia ke ruang angkasa. Mereka adalah Martin Karplus dari Universitas Strasbourg, Michael Levitt dari Universitas Stanford, serta Arieh Warshel dari Universitas Southern California.

Trio ilmuwan ini mengembangkan simulasi komputer yang bisa memahami proses kimia dan menjadi landasan baru dalam pengembangan dunia farmasi. “Pemenang Nobel 2013 memungkinkan pemetaan cara-cara misterius dalam bidang kimia dengan menggunakan komputer,” seperti dinyatakan Akademi Sains Kerajaan Swedia. “Saat ini komputer sama pentingnya bagi ahli kimia seperti uji tabung.”

Dalam konferensi pers di Ibu Kota Swedia, Stockholm, Arieg Warshel mengatakan bahwa dia amat gembira terbangun tengah malam di Los Angeles untuk mendengar berita kemenangannya untuk Nobel Kimia. “Secara singkat, yang kami kembangkan adalah sebuah cara bagi komputer untuk mengambil struktur protein dan kemudian perlahan-lahan memahami bagaimana dia melakukan yang dilakukannya itu,” tuturnya kepada para wartawan.

Membantu farmasi
Sementara itu presiden Masyarakat Kimia Amerika, Marinda Li Wu, mengatakan jasa ketiga pemenang amat penting. “Para pemenang meletakkan pekerjaan dasar untuk mengkaitkan eksperimen klasik ilmu pengetahuan dengan teori melalui model-model komputer.”

“Hasilnya membantu kita mengembangkan obat-obat baru; misalnya karya mereka digunakan untuk menentukan berapa lama obat-obatan berinteraksi dengan protein di dalam tubuh untuk menangani penyakit.”

Adapun Nobel Fisika diraih Francois Englert dari Belgia dan Peter Higgs terkait dengan partikel yang disebut Higgs boson, yang diduga ditemukan pada tahun 2012 di CERN, Swiss setelah menjadi bahan penelitian selama 45 tahun.

Sedankan Nobel Kedokteran dibagi oleh dokter yaitu James Rothman,Randy Schekman, dan Thomas Sudhof- berkat penelitian tentang “vesicle traffic” atau sistem transportasi di dalam sel.

Sumber: bbc.co.uk/indonesia

read more
Hutan

Menjaga Taman Nasional Gunung Leuser, Menjaga Kehidupan

Gunung Leuser, sebuah nama yang sangat populer di kalangan masyarakat Aceh terutama bagi warga yang mendiami wilayah tengah propinsi yang berjulukan Serambi Mekkah ini. Sedari saya duduk di sekolah dasar, saya sudah diperkenalkan dengan nama pegunungan yang membentang dengan ketinggian mencapai 3.404 meter di atas permukaan laut. Juga diperkenalkan dengan keanekaragaman hayati dan adat istiadat penduduknya. Setelah saya dewasa ternyata Leuser bukan itu saja, di kawasan ini belakangan sudah bermunculan konflik pula.

Pada kawasan Gunung Leuser berdiri Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) sejak tahun 1980 dengan luas areal 1.094.692 hektar.  TNGL adalah sebuah cagar alam yang terletak di perbatasan Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara, meliputi wilayah-wilayah Kabupaten Aceh Tenggara, Singkil, Aceh Selatan, Gayo Lues dan Langkat. Empat kabupaten pertama termasuk wilayah administrasi Nanggroe Aceh Darussalam sedangkan Langkat masuk wilayah administrasi Sumatera Utara. TNGL berada di dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang luasnya mencapai 2,6 juta hektar.

Taman nasional ini menjadi salah satu tujuan penelitian dan wisata yang cukup banyak dikunjungi terutama oleh para peneliti bidang biologi. Mereka melakukan penelitian tentang spesies-spesies, perilaku hewan, jenis-jenis tumbuhan langka, konservasi hutan dan berbagai hal lain. Jutaan kehidupan terdapat dalam hutan ini sehingga badan dunia UNESCO pun menganugerahkan gelar TNGL sebagai situs warisan dunia (Tropical Rainforest Heritage of Sumatra) pada tahun 2004. Sebelumnya, TNGL juga telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai Cagar Biosfer pada tahun 1981, dan ASEAN Heritage Park pada tahun 1984.

TNGL pun dianggap sebagai rumah terakhir bagi Orangutan Sumatera (Pongo abelii) yang terancam punah. Selain menjadi habitat berbagai flora dan fauna, di sekitar TNGL juga menjadi pemukiman penduduk dan sebagian lahan di TNGL telah diubah peruntukannya baik oleh penduduk maupun perusahaan. Inilah salah satu permasalahan besar hingga terjadi perseteruan antara pengelola TNGL, penduduk, perusahaan dan tentu saja berdampak pada biodiversity di dalam TNGL.

Permasalahan TNGL
Tekanan manusia terhadap hutan telah menyebabkan keseimbangan alam menjadi terganggu, beberapa spesies pun terancam punah. Seperti yang pernah dilaporkan oleh  lembaga Live Science pada Agustus lalu, terdapat dua spesies terancam punah yang hidup di TNGL. Dua hewan tersebut adalah Badak Sumatra (Dicerorhinus sumatrensis) dan Orangutan Sumatra (Pongo abelii). Menurut Live Science jumlah badak diperkirakan hanya tinggal 300 ekor. Penyebab utamanya kepunahan badak adalah perburuan ilegal demi cula yang harganya mencapai lebih dari Rp285-jutaan per kilogram di pasar gelap.

Sedangkan Orangutan dari Indonesia ini mengalami nasib yang serupa karena hal yang sama: perburuan dan hilangnya habitat. Selain itu, Orangutan Sumatra sulit berkembang karena siklus reproduksi yang rendah. Seekor orangutan betina hanya mampu memproduksi tiga keturunan sepanjang hidupnya.

Itu baru masalah tentang ancaman kepunahan satwa liar, ada juga ancaman perambahan hutan baik oleh masyarakat ataupun perusahaan.  Masyarakat menganggap lahan di TNGL dapat dikelola walau dengan bekal secarik surat dari pihak yang tak berwenang. Sedangkan perusahaan bisa menyerobot hutan di TNGL dengan ataupun tanpa izin sama sekali. Perusahaan biasanya membuka perkebunan kelapa sawit ataupun menebang kayu-kayu bermutu dengan berkedok Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Kedua pihak menimbulkan masalah yang pelik karena mempersempit hutan habitat berbagai flora fauna dan mengurangi daya dukung lingkungan. Akibatnya nyata, terjadi konflik satwa antara penduduk dengan hewan liar, konflik lahan dan kurangnya daya dukung lingkungan yang menyebabkan bencana.

Permasalahan utama TNGL jika dikelompokan dapat dibagi dua masalah besar yaitu perambahan lahan baik oleh masyarakat atau perusahaan dan masalah perburuan yang menyebabkan ancaman kepunahan beberapa spesies. Perambahan lahan oleh masyarakat dilakukan karena alasan ekonomi. Tingkat kesejahteraan masyarakat sekitar TNGL yang masih rendah sehingga mereka mencari penghidupan dengan merambah hutan.

Padahal ada potensi ekonomi di TNGL seperti ekowisata yang bisa dikembangkan. Sedangkan perusahaan membuka perkebunan ataupun menebang pohon tanpa izin ataupun tidak sesuai prosedur yang seharusnya.  Koran Analisa terbitan Medan memberitakan sekitar  22 perusahaan perkebunan sawit bersempadan dengan areal TNGL di kabupaten Langkat. Padahal Kementerian Kehutanan menyatakan tidak pernah mengeluarkan izin apapun terhadap 22 perusahaan tersebut.

Masyarakat dan perusahaan mengabaikan fungsi TNGL sehingga melakukan perusakan hutan seperti pembakaran untuk pembukaan ladang atau kebun baru dan illegal logging. Ini bisa jadi karena kurangnya pengetahuan manusia tentang fungsi hutan lindung bagi kehidupan. Manusia sebatas melihat hutan dan isinya sebagai asset ‘warisan’ yang dapat dimanfaatkan kapan saja. Seharusnya asset ini dilihat sebagai ‘pinjaman anak cucu’ yang harus segera dikembalikan.

Penyerobotan lahan dilakukan oleh masyarakat dan perusahaan dengan berbekal surat dari institusi tertentu ataupun izin yang tumpang tindih dengan kawasan TNGL. Ketidakjelasan tapal batas TNGL menurut beberapa pihak dijadikan salah satu alasan beraktivitas dalam TNGL. Penyerobotan membuat kawasan TNGL kian hari kian berkurang dan sering menimbulkan konflik antar makhluk hidup di dalamnya.

Perseteruan ini memprihatinkan dan bisa menimbulkan korban di semua pihak terutama bagi keanekaragaman hayati misalnya saja ancaman kepunahan beberapa spesies antara lain badak dan orangutan akibat perburuan liar. Harga cula bada dan Orangutan yang tinggi di pasar gelap membuat segelintir orang gelap mata menghabisi hewan langka di TNGL.
Mencari Solusi TNGL

Sebelum mencari solusi berbagai persoalan di atas sepertinya kita perlu menjawab terlebih dahulu pertanyaan mendasar yaitu untuk siapakah manfaat TNGL? Pertanyaan filosofi ini penting dijawab agar diperoleh hakikat pengelolaan TNGL dan bisa dicari penyelesaian masalah. Harus diakui masih ada pihak-pihak yang tidak paham tentang keberadaan TNGL dan menganggap bahwa hutan dan biodiversity dalam TNGL adalah barang take for granted, alias barang warisan yang bisa diambil kapan saja, gratis dan tak perlu menjaga kelestariannya.

Masih banyak orang yang tidak mengerti apa itu Taman Nasional bahkan masyarakat yang bermukim disekitar taman pun banyak yang tidak mengerti arti dan fungsinya. Secara gamblang Taman Nasional dapat diartikan sebagai ”daerah/kawasan/areal atau tanah yang dilindungi oleh negara”. Taman Nasional sendiri dapat diartikan sebagai tanah yang dilindungi, dari perkembangan manusia dan polusi. Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Taman Nasional didefinisikan sebagai kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi.

Nah, jelas dari definisi di atas apa yang dimaksud dengan taman nasional. Sayangnya kita tidak menemukan secara gamblang penjelasan untuk siapakah  manfaat taman nasional. Namun berdasarkan ilmu yang kita miliki tentunya kita dapat menarik kesimpulan bahwa manfaat taman nasional adalah bagi makhluk hidup. Siapapun makhluk hidup yang berada di taman nasional dan sekitarnya adalah penerima manfaat dari keberadaan taman nasional. Manfaat yang diberikannya sangat besar dan luas terutama bagi manusia sebagai khalifah di permukaan bumi. Jadi apa saja manfaat dari keberadaan flora dan fauna tersebut?

Manfaat umum yang bisa dikatakan adalah taman nasional menjadi kawasan penyangga bagi makhluk hidup sekitarnya. Makhuk hidup ini tidak terbatas hanya bagi hewan dan tumbuhan tapi juga bagi manusia. Manfaat bagi manusia juga tidak terbatas hanya bagi ilmuan ataupun masyarakat pecinta lingkungan. Manfaatnya merentang jauh bagi semua makhluk hidup hingga jauh dari kawasan taman nasional sendiri. Taman nasional menjadi sumber kehidupan, menyediakan berbagai jasa lingkungan seperti tempat penyimpan cadangan air, pengendali iklim mikro, penyerap karbon dan masih banyak lagi manfaat lainnya. Manfaat ini seharusnya paling dirasakan oleh manusia agar manusia dapat terus menjaga kelestariannya. Kalau demikian adanya, mengapa pula manusia menjadi pihak yang paling banyak merusaknya?

Kebutuhan ekonomi sepertinya menjadi faktor utama yang mendorong perusakan terhadap taman nasional di berbagai tempat juga di TNGL. Padahal kita juga yakin sebagian dari ‘perusak’ tersebut paham dampak negatif yang akan dirasakan jika taman nasional hancur. Tapi kita juga yakin, para perusak itu bukan semata-mata orang miskin yang butuh duit hanya sekedar bertahan hidup melainkan juga gerombolan cukong bermodal besar. Timbunan rupiah telah membuat mata mereka gelap sehingga tega merusak lingkungan. Biasanya cukong ini bukanlah warga setempat, mereka hanya memanfaatkan warga miskin yang masih lemah pengetahuan tentang manfaat hutan dan segala isinya.

Jika TNGL rusak maka hilanglah manfaat tersebut akan menimbulkan bencana besar seperti tanah longsor, banjir, kekeringan, konflik satwa, dan pelepasan karbon yang  dapat menyebabkan perubahan iklim. Kerusakan ini harus dihindari atau paling tidak diperkecil dengan berbagai cara. Ada banyak metode yang bisa digunakan namun harus diingat tidak ada jalan yang mudah, yang ada adalah jalan “menanjak”. Dari kesemua metode itu yang terpenting adalah pelibatan para pihak (stakeholder) terutama masyarakat sekitar hutan (forest community).

Jangan sampai mereka ditinggalkan, hanya menjadi penonton semata. Ataupun jangan pula kita hanya bisa memerintahkan mereka, menghimbau mereka, memaksa mereka menjaga hutan tetapi tidak memberikan kompensasi apapun. Kompensasi atau manfaat bukan hanya berupa materi (tangible) tetapi juga manfaat lain yang bisa mereka rasakan sehari-hari (intangible). Ada pepatah yang berbunyi “sudah jatuh tertimpa tangga”, yang jika kita beri konteks saksikan dalam kehidupan masyarakat miskin hutan bisa berarti sudah miskin disuruh jaga hutan tapi tak diberi apa-apa. Sungguh malang.

Hal yang harus dilakukan dalam pengelolaan TNGL adalah mengajak semua stakeholder untuk duduk bersama merumuskan tata kelola taman nasional satu-satunya di Aceh ini. Mulai dari masyarakat, pemerintah, badan-badan terkait, LSM dan ilmuan diundang untuk diminta masukan. Harap diingat bahwa acara musyawarah ini bukanlah semata-mata mencari masukan saja tapi lebih dari itu acara ini untuk menumbuhkan semangat rasa memiliki dan menjaga hutan warisan dunia tersebut. Salah satu sifat bangsa Indonesia adalah jika sudah diajak urun rembug berarti orang tersebut sudah dihargai keberadaannya. Pertemuan-pertemuan sejenis jangan hanya menjadi pertemuan ilmiah yang membahas flora dan fauna semata tetapi juga lebih membumi lagi karena membahas manusia di dalamnya.

Manusia bukanlah makhluk terlarang dalam mencari nafkah dari hutan sebab sejak ratusan tahun lalu manusia sudah bergantung dari kemurahan alam. Tetapi yang terpenting adalah bagaimana mengatur manusia-manusia yang jumlahnya kian bertambah. Disusun tata kelola bagaimana memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan dan tidak merusak ekosistem yang lain. Jika manusia sudah merasa bahwa hutan adalah ‘miliknya’ atau sumber penghidupannya maka tentu ia berusaha keras merawatnya. Tetapi hal ini belum menjamin tidak terjadi perusakan lingkungan jika manusia tidak diberikan wawasan dan kemampuan menjaga hutan. Satu hal lagi, harus ada jaminan kesejahteraan bagi masyarakat dalam mengelola hutan agar mereka tidak tergiur dengan tawaran cukong menebang hutan ataupun membabat hutan untuk membuka kebun.

Pembentukan forum-forum masyarakat kehutanan atau sejenisnya, yang anggotanya semua stakeholder taman nasional sangat penting dilakukan di sekitar TNGL. Ini merupakan bentuk pelibatan langsung masyarakat dalam pengelolaan TNGL sehingga semua pihak mempunyai saluran dalam menyampaikan aspirasinya terkait TNGL. Selain itu masyarakat harus dilibatkan dalam menjaga hutan langsung misalnya direkrut menjadi penjaga hutan (ranger), pemandu wisata hutan (guide) ataupun petugas rehabilitasi hutan. Warga yang akan direkrut tidak perlu dipersusah persyaratannya karena seperti kita ketahui pendidikan formal masyarakat pedalaman sangat minim. Syarat yang terpenting adalah pengetahuan mereka tentang hutan dan semangat mereka menjaga kelestarian lingkungan.

Hal lain yang perlu juga dilakukan adalah penegakan hukum tanpa pandang bulu. Jika ada pihak yang melanggar hukum dalam kawasan konservasi TNGL maka harus segera diberi sangsi tegas. Ini agar tidak menjadi preseden buruk bagi pihak lain yang ingin mencoba hal serupa. Namun bagi masyarakat yang merambah hutan maka mereka harus diberi pemahaman perlahan mengapa mereka tidak diperbolehkan tinggal di dalam wilayah TNGL.

Kenapa mesti perlahan? Ini dikarenakan pemahaman warga terhadap lingkungan dan kemampuan perekonomian mereka umumnya lemah. Tentu mereka harus mempersiapkan tempat baru untuk tinggal atau untuk mencari nafkah.
Selain persoalan sosial kemasyarakatan juga perlu diperhatikan adalah isu biodiversity dalam hutan taman nasional. Pendataan keanekaragaman hayati perlu dilakukan sebagai inventarisasi asset yang jumlahnya tak ternilai. Ini penting agar bangsa kita mengetahui seberapa besar kekayaan yang dimiliki sehingga diharapkan muncul rasa cinta kepada keanekaragaman hayati. Juga tak kalah penting agar plasma nutfah tidak dibawa pergi oleh pihak asing dan diklaim sebagai milik mereka seperti yang sering kita dengar.

Tak ada jalan mudah memang namun berbagai langkah-langkah penyelamatan sebagaimana disebutkan di atas harus dilakukan. Saya yakin ada banyak masalah lain yang harus dipecahkan misalnya masalah minimnya anggaran, keterbatasan personil dan sebagainya. Namun jika persoalan yang paling besar bisa kita atasi maka persoalan lain tentunnya lebih mudah kita tuntaskan. Menjaga Taman Nasional Gunung Leuser berarti kita menjaga kehidupan disekitarnya.[m.nizar abdurrani]

read more
Tajuk Lingkungan

Jika saja SBY Berkampung di Porong

Pak Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Republik Indonesia yang terhormat.

Saya menulis surat ini dengan harapan Bapak bersedia membacanya dan meresapinya dengan mendalam, agar seolah-olah Bapak berada di tengah luapan lumpur Lapindo yang menenggelamkan desa kami.  Bermula dari pengeboran di tengah sawah yang dilakukan sekelompok kapitalis yang berusaha membuat lubang raksasa di desa kami. Mereka mencari minyak dan gas bumi, tapi mujur tak dapat diraih, malang yang menimpa kami. Mereka ternyata bukanlah sekelompok ahli yang patut dibayar mahal. Mereka kerja ceroboh, sehingga menyebabkan lumpur panas dari dalam bumi menggelegak naik ke daratan.

Desa saya tenggelam Pak SBY. Saya yakin Bapak sudah tahu tentang cerita ini, apalagi peristiwa ini sudah terjadi sejak 27 Mei 2006 lalu. Tapi apakah Bapak sudah tahu, sampai dimana penderitaan yang kami rasakan saat ini? Sulit membayangkan bagaimana penderitaan akibat lumpur panas ulah PT Lapindo Brantas jika Bapak tidak pernah tinggal di Porong. Kampung kami dulu adalah kampung yang indah, sawah-sawah berjejeran sepanjang mata memandang. Kambing-kambing dulu berlarian dengan bebas, naik-turun bukit dan memamah rumput sesuka hati. Para pengrajin saling mendengarkan denting alat kerjanya beradu tanpa pernah merasa terganggu dengan alunan suara palu. Tapi lumpur panas itu benar-benar mengganggu dan menenggelamkan masa depan kami.

Pak SBY yang saya hormati. Apakah Bapak sudah mendengar tentang warga kampung kami yang “gila” akibat tak tahan dengan derita menimpa. Sudah rumahnya hilang, mata pencariannya lenyap, tak ada yang tersisa untuk dibanggakan selain hutang yang terus menumpuk. Ntah dimana akal sehat perusahaan Lapindo yang dipimpin politisi terkenal tersebut. Kok tega-teganya dia membiarkan masyarakat menjadi gila akibat ulahnya. Apakah politisi itu sanggup mempertanggungjawabkan perbuatannya di kemudian hari?

Pak SBY yang mulia. Apakah Bapak tahu kalau anak-anak kami menghirup udara beracun yang keluar dari perut bumi? Sepertinya bumi Porong sedang buang “angin”, baunya sangat tidak sedap dan beracun pula. Beberapa teman sekampung, Pak De dan Bu De saya terserang gas beracun dan sesak napas. Mau minum juga susah, air bersih sudah tercemar oleh lumpur panas. Tak sanggup badan kami menahan segala racun ini. Badan kami bukan diciptakan untuk mengolah segala racun dari perut bumi.

Baiklah Pak SBY kalau bapak ingin kami pindah dari Porong. Tapi mana ganti ruginya? Kami sudah menunggu enam tahun tapi yang diberikan cuman sekedar alakadarnya yang untuk ongkos pindahpun tak memadai. Si politisi yang Bapak suruh mengganti rugi milik kami bisanya hanya ngeles setiap orang kampung saya menagihnya. Yang kami minta adalah uang kami sendiri, bukan dana untuk kampanyenya untuk menjadi presiden nanti. Ntah bagaimana dia kalau jadi presiden, sekarang saja sombongnya minta ampun. Katanya lumpur panas di kampung kami adalah ulah alam. Itu artinya dia mau bilang, itu tanggung jawab Tuhan. Minta sana duit ganti rugi sama Tuhan, jangan sama saya. Ini gila.

Pak SBY, presiden Indonesia. Bapak sebentar lagi akan turun, gak jadi lagi presiden karena ini mau Pemilu. Apakah nestapa kami warga Porong akan bapak biarkan saja? Jangan sampai rasa hormat kami kepada Bapak hilang. Bapak belum menunjukan tanggung jawab Bapak sebagai presiden untuk membela hak-hak kami. Apa perlu Bapak kami ajak tinggal di Porong agar Bapak merasakan sendiri bagaimana pekatnya lumpur, bagaimana bau menyengat dari gas? Atau susahnya mencari air bersih di tengah lautan lumpur Lapindo? Saya sudah mulai berpikir demikian sepertinya.

Jika Bapak tidak jadi lagi presiden ada baiknya Bapak menginap di rumah saya yang sudah doyong. Kami sekeluarga sedang bergegas mempreteli satu persatu rumah agar jangan sampai ditelan lumpur. Kami berusaha mati-matian agar sisa-sisa material rumah bisa dijual atau dimanfaatkan kembali. Tapi berapalah nilainya. Ah, surat ini sebaiknya tak saya kirim saja. Bapak kan sedang sibuk![m.nizar abdurrani]

read more
Green Style

Beware of Using Plastic Containers

Everyday, we use plastic as container either for food or beverages. In my home, I have many plastics such as cup, dish, bottle and we use them regularly. I used to carry water in plastic bottle whenever I went. It’s simple and easy to replace it and I was not afraid if my bottle disappears or damage. After using plastics, I could throw out them into trash bin soon, not necessary to clean them. It was very efficient and cheap. But as I know how danger plastic container for food and beverages, I stop refilling my bottle. From some articles, I read each kind of plastic has different level of danger for human body health. If we are able to identify them, we can minimize negative impacts of plastic.

Danger level of plastic is represented by number and symbol. The Numbers and symbols are to express what material product may harm you. By knowing the number or symbol, you can choose safer material for your health. For instance you can see the number and symbol usually on the bottom of container. If you have drinking bottle now, please see the bottom.

Consider this.  At the bottom, like this bottle, it is added on number and symbol, in this case number…. and PET symbol. This number means bottle recommend for one time only, do not refill it. Symbol PET means this material not recommended for warm and hot water. Of course, question rising, why?

Much plastic material contains toxic chemical that may harm your body. One of the cruelest substances is DIOXIN. Dioxin inside plastic while meet hot food or beverage will release out bit by bit. Imagine, you eat hot food every day use plastic dish. You eat food plus dioxin as well. Accumulation dioxin in your body for many years will cause cancer and other critical diseases.

One important thing, never ever use plastic for cooking in your microwave especially for fatty food. Combination among fat, high temperature and plastic dispense dioxin into the food and your body finally. So, in case you want to heat up food in microwave, please use corning ware, Pyrex or ceramic. It’s still available many options.

You can not heat up food with plastic material in microwave but you still use plastic container for other purposes. We still apply plastic for food or beverage. Look at the bottom of plastic and select number 4 and 5 along symbol PP. These numbers mean plastic not toxic, can be refilled, and recycle friendly. Plastic with these numbers do not contain dioxin. Researcher already determined 4 and 5 as representation safer plastic material and government have validated them with regulation.

In fact we still find many plastics material without number and symbol in market, mostly made in Indonesian.  It is a must for all material add on number symbol and Indonesian government obligates it. Doing smart shopping in case you need plastic. Choose plastic number four and five for better life and apply appropriate material for cooking.[m.nizar abdurrani]

read more
Kebijakan Lingkungan

Advokasi Lingkungan Untuk Siapa ?

Pasca tsunami dan perjanjian damai Helsinki, Aceh menjadi daerah yang berkembang pesat baik secara perekonomian maupun dalam jumlah penduduk (4,3 juta jiwa saat ini). Pertumbuhan ini mempunyai implikasi tekanan terhadap lingkungan juga menjadi semakin besar. Tak pelak lagi, tekanan lingkungan yang semakin besar menyebabkan isu-isu atau kasus lingkungan juga menjadi mencuat lebih banyak. Mulai dari isu moratorium logging atau jeda penebangan legal, kasus penambangan mineral yang banyak merusak alam serta kasus pengambil alihan paksa lahan.

Mungkin ini sudah menjadi rahmat dari Allah SWT bahwa selain Aceh kaya dengan sumber daya alam, daerah Serambi Mekkah juga kaya dengan berbagai persoalan lingkungan. Hal-hal yang dulu tidak menjadi masalah di Aceh seperti penambangan, kini menjadi isu yang sangat ‘seksi’. Konon lagi pemerintah Aceh sangat doyan mengundang investor asing untuk menanamkam modal sembari ‘melubangkan’ bumi Aceh melalui sektor pertambangan ataupun sektor lain yang merusak lingkungan.

Masyarakat sekitar lokasi menjadi penerima kerugian utama dari dampak kerusakan lingkungan yang muncul. Sebut saja berbagai kasus yang merusak lingkungan: kasus penambangan PT Lhoong Setia Mining di Lhoong Aceh Besar, Penambangan PT Pinang Sejati Utama di Manggamat Aceh Selatan, penambangan rakyat yang tidak terkendali di Gunong Ujeun-Aceh Jaya dan Sawang-Aceh Selatan, pencemaran yang dilakukan oleh PT SAI, pembangunan embung (semacam waduk) Lambadeuk Aceh Besar, pengalihan lahan masyarakat menjadi kebun sawit di Sinabang dan masih banyak lagi yang jika kita sebut satu persatu tidak akan muat halaman koran ini. Semua kasus-kasus ini sangat merugikan masyarakat dan mereka pun terus berjuang agar para perusak lingkungan menghentikan kegiatan mereka dan memberikan kompensasi yang layak atas bencana yang mereka timbulkan.

Masyarakat dalam memperjuangkan tuntutannya bahu membahu dengan berbagai lembaga yang peduli dengan lingkungan. Warga pun biasanya didampingi untuk mendirikan organisasi masyarakat sehingga perjuangan menjadi lebih teratur dan terarah. Perjuangan membela kepentingan masyarakat banyak sering diistilahkan sebagai “advokasi” dalam ranah lembaga Organisasi Masyarakat Sipil (OMS). Menjadi pertanyaan, sampai kapankah advokasi itu dapat dijalankan? Siapa yang paling bertanggung jawab dalam menjalankan advokasi? Bagaimana suatu advokasi dapat dikatakan berhasil? Apakah advokasi tetap berjalan pada tuntutan awal atau jangan-jangan sering mengalami ‘penyesuaian’ akibat upaya orang-orang tertentu?

Pertanyaan seperti ini sering mengemuka dalam internal organisasi pembela lingkungan. Wajar pertanyaan ini muncul mengingat semakin hari semakin banyak kasus kerusakan lingkungan muncul. Sebagai conth, belum selesai memperjuangkan kasus pencemaran udara yang dilakukan PT Arun, muncul lagi kasus kebocoran amonia dari PT PIM. Atau advokasi terhadap pencemaran yang dilakukan PT SAI selama bertahun-tahun belum juga tuntas bahkan isunya terkadang dibelokkan oleh pihak-pihak tertentu. Perjuangan advokasi sering menjadi perjuangan ‘abadi’ alias perjuangan tanpa henti. Hanya saja OMS dibelahan dunia manapun tetap saja mempunyai prioritas dalam gerakannya. Semua ini tak lain agar perjuangan melestarikan lingkungan dapat berjalan fokus, tidak ‘lari’ kemana-mana.

Sebelumnya mari kita lihat terlebih dahulu pengertian advokasi menurut para ahli. Topatimasang (2000) mengatakan advokasi adalah upaya untuk memperbaiki, membela (confirmatio) dan mengubah (policy reform) kebijakan sesuai dengan kepentingan prinsip-prinsip keadilan.  Sedangkan dalam buku terbitan Insist Pers (2002) yang berjudul “Kisah-kisah advokasi di Indonesia” secara eksplisit membenarkan pengertian advokasi sebagai aksi-aksi sosial, politik dan kultural yang dilakukan secara sistematis, terencana dan dilakukan secara kolektif, melibatkan berbagai strategi termasuk lobby, kampanye, bangun koalisi, tekanan aksi massa serta penelitian yang ditujukan untuk mengubah kebijakan dalam rangka melindungi hak-hak rakyat dan menghindari bencana buatan manusia.

Ada banyak pengertian advokasi menurut para ahli namun dari kesemuanya itu pada dasarnya advokasi mempunyai kesamaan yaitu sebuah gerakan bersama yang disusun secara sistematis untuk merubah kebijakan. Ada dua unsur penting disini yaitu bersama-sama dan sistematis. Ini artinya sebuah gerakan yang dijalankan secara individual baik perorangan maupun individual organisasi serta dilakukan sembarangan alias tidak sistematis, tidak layak dikatakan sebagai sebuah gerakan advokasi.  Prinsip-prinsip ini kalau kita lihat dalam konteks Aceh, memang sudah dilaksanakan oleh sebagian besar organisasi lingkungan.
Gerakan bersama yang direncanakan secara sistematis terkadang dirusak oleh berbagai persoalan internal yang sering tidak ada hubungannya sama sekali dengan tujuan perjuangan. Ada beberapa gerakan advokasi yang tidak ketahuan ujung pangkalnya akibat terjadi perpecahan di antara komponen anggotanya. Sering juga akibat perencanaan yang tidak sistematis mengakibatkan gerakan perlahan-lahan lenyap begitu saja bagai debu yang ditiup angin sepoi-sepoi. Gerakan advokasi tampaknya harus diformulasi ulang.

Sebagian besar organisasi lingkungan telah banyak mendapatkan peningkatan kapasitas atau bahasa kerennya “Building Capacity” selama hadirnya NGO-NGO internasional dan Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi di Aceh. Peningkatan kapasitas tersebut diharapkan dapat meningkatkan juga kemampuan melakukan kerja-kerja advokasi. Peningkatan kapasitas kelembagaan hari ini bisa jadi menjadi salah satu faktor mencuatnya kasus-kasus lingkungan. Gerakan advokasi diharapkan tidak lagi menjadi gerakan konvensional dengan alur : Rapat- Aksi-Muncul di media-selesai. Perlu ada perencanaan yang lebih sistematis dan berdurasi panjang dari pada alur yang di sebutkan di atas tadi.

Terkadang, gerakan sistematis dan penuh perencanaan tersebut sering disalah pahami oleh orang-orang yang berkepentingan secara langsung. Kepentingan yang dimaksud disini biasanya adalah orang-orang yang langsung terkena dampak dari kerusakan lingkungan. Misalnya warga Manggamat tentu sangat berkeinginan secepatnya agar desa mereka kembali seperti sediakala ketika pencemaran pertambangan belum terjadi. Hal ini sangat wajar karena mereka setiap hari menghirup debu tambang dan air bersih sungai mereka sudah penuh lumpur.
Perbedaan sistem menyebabkan munculnya “ketegangan” sesaat yang harus segera dipulihkan kembali. Ketegangan antara OMS pendamping dan masyarakat yang ingin segera kasusnya tuntas.  Apalagi jika ada pihak-pihak yang ingin mengambil kesempatan dalam kesempitan alias bermain di air keruh sehingga menimbulkan prasangka yang berkelanjutan. Alih-alih bersatu untuk memperjuangan tujuan bersama malah bisa-bisa jalan sendiri-sendiri karena adanya perbedaan gerakan.

Kebersamaan dalam sebuah gerakan advokasi sangat dibutuhkan agar tujuan perjuangan bisa berhasil secepatnya. Advokasi bukanlah aksi individual, seperti layaknya permainan sepak bola Brasil. Advokasi bukan lah gerakan yang ditujukan untuk segelintir orang dengan sejumput keinginan untuk memuaskan keinginan sendiri. Perlu ada upaya merangkul pihak-pihak lain sebanyak mungkin. Yang belum masuk ke dalam barisan, diajak masuk. Yang sudah mulai keluar dari barisan, segera ditarik kembali ke dalam barisan. Seperti  yang sudah diungkapkan di atas, perjuangan advokasi seringnya adalah perjuangan tanpa akhir. Meminjam istilah salah satu parpol “Bersama kita Bisa”, agar perjuangan advokasi bisa tuntas.

read more
Energi

Membuat Listrik dari Tandan Sawit, Emang Bisa?

Saat sedang antri mengisi bahan bakar di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) saya sering membayangkan betapa banyaknya minyak yang ‘diminum’ oleh kendaraan bermotor. Ribuan liter minyak disedot oleh mesin, dibakar dan kemudian lepas menjadi asap ke udara.

Saat berhenti di traffic light, berada diantara ribuan moda transportasi berlalu lalang, saya membayangkan seandainya minyak dalam tanki semua kendaraan dituangkan ke jalan, bisa-bisa tumpahan minyak tersebut menjadi banjir bandang karena saking banyaknya.

Alangkah rakusnya negeri ini dalam mengkonsumsi bahan bakar. Nyaris tak ada kegiatan manusia tanpa menggunakan bahan bakar minyak.

Walaupun kini banyak orang menggunakan peralatan bertenaga listrik namun sejatinya listrik yang dihasilkan tersebut memakai minyak sebagai bahan bakarnya.

Saya tinggal di Banda Aceh, ibukota Propinsi Aceh yang berjulukan Serambi Mekkah. Negeri yang subur tapi belum begitu makmur ini hingga kini masih diwarnai ‘aksi’ pemadaman listrik baik reguler maupun non reguler.

Non reguler maksudnya listrik padam tanpa ada pemberitahuan terlebih dahulu, ntah karena gangguan alam atau memang sedang terjadi defisit arus. Kekurangan arus listrik sering menjadi alasan pihak berwenang untuk melakukan pemadaman listrik.

Sampai saat ini listrik yang disuplai ke Aceh sebagian besar berasal dari energi bahan bakar fosil sebagai penggeraknya. Bisa dibayangkan berapa ribu kiloliter minyak yang dibutuhkan untuk menerangi rumah-rumah penduduk?

Belum lagi daerah yang tidak terjangkau listrik PT PLN kemudian memakai genset sebagai gantinya. Mereka ini pun cukup ‘rakus’ mengkonsumsi BBM untuk genset sehingga ada ditemui pembangkit listrik ini tidak mampu dioperasikan lagi oleh warga karena kehabisan uang untuk beli minyak.

Tahun 2012 diperkirakan konsumsi BBM mencapai 43,5 juta kiloliter, naik 3,5 juta kiloliter dari kuota 40 juta kiloliter. Sedangkan subsidi minyak tahun ini mencapai Rp.305,9 triliun atau 20 persen dari volume belanja APBN (Kompas, Selasa 16 Oktober 2012).

Konsumsi BBM sebesar ini sangat memberatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) apalagi Indonesia masih sangat membutuhkan dana untuk pembangunan disegala bidang. Rakyat Indonesia masih menikmati subsidi harga minyak, artinya harga yang kita bayar saat membeli minyak sudah dilunasi sebagian oleh pemerintah.

Secara bertahap pemakaian energi fossil haruslah dikurangi agar tidak membebani keuangan negara dan menimbulkan berbagai persoalan lingkungan di kemudian hari. Terlebih BBM yang sering disebut non renewable energy persediaannya semakin terbatas.

Manusia harus mencari energi terbarukan atau renewable energy yang ternyata potensinya di Nusantara ini sangat besar. Misalnya saja energi panas bumi yang memiliki potensi sebesar 28 gigawatt.

Namun sayangnya dari potensi gigantis tersebut hanya empat  persennya saja yang baru dimanfaatkan. Sementara itu target kebijakan energi nasional Indonesia untuk energi terbarukan sebesar 17 persen.

Ini artinya masih jauh panggang dari api. Selain energi panas bumi ada juga sumber energi lain yang tak kalah besar potensinya di Indonesia yaitu energi dari biomassa atau biomass energy.

Indonesia memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang merupakan sumber energi biomassa.  Ada beberapa jenis tanaman yang bisa menjadi sumber energi dan tersedia dalam jumlah melimpah seperti tebu, ubi, jagung, sekam, tandan kosong sawit dan banyak lainnya.

Banyak biomassa yang seharusnya bisa dimanfaatkan menjadi energi tetapi terbuang begitu saja seperti tandan sawit. Selama ini tandan kosong hasil dari pemrosesan pada Pabrik Kelapa Sawit (PKS) belum dimanfaatkan maksimal. Panas yang dihasilkan oleh pembakaran tandan kosong menurut hasil penelitian cukup signifikan sebagai sumber pembangkit listrik.

Seorang pakar energi biomassa, Goenadi, D.H., dalam artikelnya yang berjudul, ‘Berburu energi di kebun sawit’ (2006) menyebutkan nilai energi panas (calorific value) dari tandan kosong sebagai bahan bakar generator listrik dapat mencapai 18.796 kJ/kg, suatu jumlah yang cukup signifikan.

Sebagai ilustrasi, sebuah PKS dengan kapasitas 200 ribu ton Tandan Buah Segar (TBS) per tahun menghasilkan 44 ribu ton tandan kosong (kadar air 65 persen) yang mampu membangkitkan energi ekuivalen dengan 2,3 MWe (megawatt-electric) pada tingkat efisiensi konversi 25 persen.

Meningkatnya harga BBM dan gas serta isu pelestarian lingkungan telah meningkatkan pamor biomassa dan limbah biomassa sebagai salah satu sumber energi alternatif. Biomassa adalah bahan organik yang merupakan hasil kegiatan fotosintesis baik berupa produk maupun buangannya. Masalah yang dihadapi adalah bagaimana cara meningkatkan pemanfaatan limbah tersebut sehingga lebih efisien dan memberikan nilai ekonomis tinggi.

Tentu saja diperlukan pengetahuan yang cukup tinggi tentang teknologi serta kearifan memanfaatkannya. Pemanfaatan biomassa tidak dapat mengandalkan swadaya dan kreatifitas masyarakat semata tetapi perlu ditunjang oleh kebijakan yang mendukung dan infrastruktur yang memadai dan berorientasi ke masa depan.

Manfaat penggunaan biomassa juga dapat mendorong penghematan ekonomi/ sumber daya lokal yang ada dan mempercepat pengembangan ekonomi yang sehat di daerah tersebut.

Dengan lahan perkebunan kelapa sawit yang sangat luas, Propinsi Aceh dapat memanfaatan limbah padat PKS menjadi sumber energi listrik. Lebih lanjut, Aceh dapat sumber energi alternatif untuk memecahkan masalah krisis energi yang telah menimpa Aceh selama puluhan tahun yang menghambat peningkatan ekonomi daerah.

Menurut data dari Dinas Kehutanan & Perkebunan Aceh, 2009, terdapat 25  PKS di Aceh yang berlokasi di delapan kabupaten dengan total kapasitas operasi terpakai 551,12 ton/jam. Umumnya PKS tersebut beroperasi 20 jam/hari, terkadang jika bahan baku TBS sedang melimpah pabrik bisa bekerja selama 24 jam/hari.

Melihat hal ini tentu saja limbah padat yang dihasilkan sangat besar dimana jika limbah tersebut tidak dimanfaatkan maka akan mengganggu lingkungan.

Selama ini limbah padat tandan kosong hanya ditimbun atau digunakan untuk penyubur tanaman sawit muda dengan cara menyebarkan disekitar pohon sawit muda. Cara ini baik namun kelemahannya adalah tumpukan tandan kosong menjadi tempat nyaman berkembangnya hama sawit seperti kumbang sawit.

Limbah padat tandan kosong juga dapat diolah menjadi kompos dan briket arang. Untuk pembuatan kompos dapat dikombinasikan dengan limbah cair PKS yang biasa disebut Palm Oil Mill Effluent (POME) dengan metode tertentu. Namun pembuatan kompos dan briket arang hanya dapat digunakan oleh sebagian kecil masyarakat.

Lain halnya seperti pemanfaatan limbah padat sebagai sumber energi listrik yang dapat digunakan secara luas oleh masyarakat.

Energi untuk Pembangunan Berkelanjutan
Pengembangan sumber energi listrik dengan menggunakan tandan kosong layak untuk diterapkan di Aceh karena ketersediaan bahan baku yang sangat banyak. Dari sisi pembangunan berkelanjutan, pemanfaatan tandan kosong sebagai sumber energi listrik sangat berpotensi dalam mengatasi persoalan limbah padat pabrik PKS dan kekurangan listrik baik bagi pabrik sendiri maupun daerah sekitarnya.

Pemakaian tandan kosong sebagai energi pengganti bahan bakar fosil dalam penerapannya  membutuhkan biaya yang relatif besar di awal investasinya sehingga terkesan mahal namun dalam jangka panjang akan menghemat banyak dana. Pemakaian tandan kosong sebagai sumber energi listrik bernilai ekonomis karena harga jual listrik yang dihasilkan bisa lebih murah dibanding listrik dari PLN.

Meskipun pemakaian tandan kosong sebagai sumber energi listrik sangat potensial namun berbagai tantangan masih harus diatasi.  Tantangan tersebut antara lain persoalan teknis, institusional, dan tantangan keuangan.

Namun demikian, saat persediaan minyak bumi kita semakin menipis, harga minyak semakin mahal, lingkungan sudah semakin tercemar, apakah patut kita berdiam diri tanpa membuat perubahan skema energi? Kondisi ini menjadi alasan yang kuat agar aplikasi energi biomassa dapat segera dilaksanakan.

Alasan lain yang juga tak kalah pentingnya adalah demi pelestarian lingkungan. Pemakaian biomassa sebagai sumber energi kurang menghasilkan emisi dibandingkan pemakaian BBM yang menghasilkan asap mengandung karbon. Hal ini berarti langit kita bisa lebih biru dan tanaman pun bisa lebih hijau.[]

Sumber: theglobejournal.com

read more
Energi

Enceng Gondok pun Bisa Menjadi Biogas

Eceng gondok, tanaman yang selama ini dikenal sebagai tanaman yang merugikan dan merusak habitat air, ternyata memberi manfaat bagi masyarakat. Eceng gondok sangat tepat menjadi alternatif potensi biogas. Gulma yang hidup mengapung di air dan tidak mempunyai batang, selain daun dan akar yang menempel pada dasar sungai, kolam dan perairan dangkal mampu tumbuh dengan sangat cepat, terutama pada perairan yang mengandung banyak nutrien seperti nitrogen, fosfat dan potasium, sehingga sangat berpotensi menjadi bahan baku biogas.

Biogas ini lebih hemat ketimbang elpiji karena pembuatannya tak memerlukan biaya. Api yang dihasilkan dari biogas eceng gondok sama besarnya dengan elpiji dan bisa digunakan untuk keperluan memasak.

Keunggulan Biogas antara lain:

1. Safety, Karena tekanan gas bio lebih rendah dari gas elpiji maka kemungkinan untuk meledak sangat kecil, bahkan nihil. Tekanan gas juga bisa dideteksi secara konvensional dengan melihat kembang-kempisnya penampung gas akhir atau air yang dikeluarkan dari regulator.

2. Multi Fungsi, Pada dasarnya gas bio merupakan sumber energi. Selain bisa digunakan sebagai bahan bakar untuk keperluan rumah tangga gas bio juga sudah dikembangkan untuk penerangan dan bahan bakar mesin genset dan kendaraan roda dua.

3. Byproduct, Limbah hasil fermentasi masih bisa dimanfaatkan. Setelah keluar dari digester, maka limbah akan terbagi dua yaitu limbah padat dan limbah cair. Limbah padat dapat dimanfaatkan sebagai pupuk kompos dan juga substitusi pakan ternak dan ikan. Sedangkan limbah cair dapat dijadikan sebagai pupuk cair.

Proses Pembuatan Biogas

1. Larutkan potongan eceng gondok dalam air (1:1)
2.Tambah feses sapi untuk mempercepat fermentasi
3. Digester dari penampung air volume 1 kubik untuk menampung larutan enceng gondok agar menjadi Gas
4. Gas dari Digester ditampung di Penampung Gas Plastik
5. Gas dari Penampung Gas Plastik disalurkan melalui Regulator untuk mengontrol tekanan gas
6.  BioGas Enceng Gondok siap dipakai untuk memasak atau kebutuhan energi lainnya.[]

Sumber: green-pnpm.com

read more
1 83 84 85 86
Page 85 of 86