close
Tajuk Lingkungan

Jika saja SBY Berkampung di Porong

Lumpur Lapindo | Google.com

Pak Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Republik Indonesia yang terhormat.

Saya menulis surat ini dengan harapan Bapak bersedia membacanya dan meresapinya dengan mendalam, agar seolah-olah Bapak berada di tengah luapan lumpur Lapindo yang menenggelamkan desa kami.  Bermula dari pengeboran di tengah sawah yang dilakukan sekelompok kapitalis yang berusaha membuat lubang raksasa di desa kami. Mereka mencari minyak dan gas bumi, tapi mujur tak dapat diraih, malang yang menimpa kami. Mereka ternyata bukanlah sekelompok ahli yang patut dibayar mahal. Mereka kerja ceroboh, sehingga menyebabkan lumpur panas dari dalam bumi menggelegak naik ke daratan.

Desa saya tenggelam Pak SBY. Saya yakin Bapak sudah tahu tentang cerita ini, apalagi peristiwa ini sudah terjadi sejak 27 Mei 2006 lalu. Tapi apakah Bapak sudah tahu, sampai dimana penderitaan yang kami rasakan saat ini? Sulit membayangkan bagaimana penderitaan akibat lumpur panas ulah PT Lapindo Brantas jika Bapak tidak pernah tinggal di Porong. Kampung kami dulu adalah kampung yang indah, sawah-sawah berjejeran sepanjang mata memandang. Kambing-kambing dulu berlarian dengan bebas, naik-turun bukit dan memamah rumput sesuka hati. Para pengrajin saling mendengarkan denting alat kerjanya beradu tanpa pernah merasa terganggu dengan alunan suara palu. Tapi lumpur panas itu benar-benar mengganggu dan menenggelamkan masa depan kami.

Pak SBY yang saya hormati. Apakah Bapak sudah mendengar tentang warga kampung kami yang “gila” akibat tak tahan dengan derita menimpa. Sudah rumahnya hilang, mata pencariannya lenyap, tak ada yang tersisa untuk dibanggakan selain hutang yang terus menumpuk. Ntah dimana akal sehat perusahaan Lapindo yang dipimpin politisi terkenal tersebut. Kok tega-teganya dia membiarkan masyarakat menjadi gila akibat ulahnya. Apakah politisi itu sanggup mempertanggungjawabkan perbuatannya di kemudian hari?

Pak SBY yang mulia. Apakah Bapak tahu kalau anak-anak kami menghirup udara beracun yang keluar dari perut bumi? Sepertinya bumi Porong sedang buang “angin”, baunya sangat tidak sedap dan beracun pula. Beberapa teman sekampung, Pak De dan Bu De saya terserang gas beracun dan sesak napas. Mau minum juga susah, air bersih sudah tercemar oleh lumpur panas. Tak sanggup badan kami menahan segala racun ini. Badan kami bukan diciptakan untuk mengolah segala racun dari perut bumi.

Baiklah Pak SBY kalau bapak ingin kami pindah dari Porong. Tapi mana ganti ruginya? Kami sudah menunggu enam tahun tapi yang diberikan cuman sekedar alakadarnya yang untuk ongkos pindahpun tak memadai. Si politisi yang Bapak suruh mengganti rugi milik kami bisanya hanya ngeles setiap orang kampung saya menagihnya. Yang kami minta adalah uang kami sendiri, bukan dana untuk kampanyenya untuk menjadi presiden nanti. Ntah bagaimana dia kalau jadi presiden, sekarang saja sombongnya minta ampun. Katanya lumpur panas di kampung kami adalah ulah alam. Itu artinya dia mau bilang, itu tanggung jawab Tuhan. Minta sana duit ganti rugi sama Tuhan, jangan sama saya. Ini gila.

Pak SBY, presiden Indonesia. Bapak sebentar lagi akan turun, gak jadi lagi presiden karena ini mau Pemilu. Apakah nestapa kami warga Porong akan bapak biarkan saja? Jangan sampai rasa hormat kami kepada Bapak hilang. Bapak belum menunjukan tanggung jawab Bapak sebagai presiden untuk membela hak-hak kami. Apa perlu Bapak kami ajak tinggal di Porong agar Bapak merasakan sendiri bagaimana pekatnya lumpur, bagaimana bau menyengat dari gas? Atau susahnya mencari air bersih di tengah lautan lumpur Lapindo? Saya sudah mulai berpikir demikian sepertinya.

Jika Bapak tidak jadi lagi presiden ada baiknya Bapak menginap di rumah saya yang sudah doyong. Kami sekeluarga sedang bergegas mempreteli satu persatu rumah agar jangan sampai ditelan lumpur. Kami berusaha mati-matian agar sisa-sisa material rumah bisa dijual atau dimanfaatkan kembali. Tapi berapalah nilainya. Ah, surat ini sebaiknya tak saya kirim saja. Bapak kan sedang sibuk![m.nizar abdurrani]

Leave a Response