close
Flora Fauna

Perlindungan Ikan Kerling di KEL, Perlukah?

Ikan Kerling | Foto: Chik Rini

Penulis Fahmi Rizal, Pernah bergiat di berbagai LSM dan Program Lingkungan

Para pakar lingkungan hidup di seluruh dunia bersepakat bahwa untuk menyelamatkan spesies tertentu diperlukan upaya melindungi area dimana spesies tersebut mencari makan, berkembang biak dan membesarkan anak-anak mereka. Apapun spesies-nya, upaya demikian “pasti” berhasil untuk menyelamatkan spesies dimaksud.

Sebagai contoh, ada daerah yang telah puluhan tahun diterapkan di Indonesia untuk melestarikan spesies Tor spp. atau Tambra (Mahseer). Penyelamatan beberapa spesies dari genus Tor (mahseer) ini dilakukan dengan pendekatan tradisional di Sumatera, Jawa dan Kalimantan yakni dengan menempatkan genus ini ke dalam status pantangan untuk tidak boleh ditangkap suka-suka. Di Sumatera Barat misalnya, seringkali penduduk tidak lagi mengingat lagi nama lokal untuk ikan ini saking masifnya pewarisan kultural yang mengenalkan ikan ini dengan sebutan Ikan Larangan. Penulis menduga Ikan Larangan adalah spesies Tor Tambroides.

Sekedar informasi, Tor adalah genus ikan yang hidup di perairan tawar yang berarus (lotic water) dengan wilayah persebaran cukup luas, di zona iklim tropis dan sub-tropis dan di aliran sungai di pegunungan. Saking luas persebarannya, di Indonesia saja ikan ini memiliki banyak nama seperti Ikan Jurung, Ikan Kerling, Ikan Garing, Ikan Dewa, Ikan Empura, Ihan Batak, Ikan Kelah, Ikan Semah atau Ikan Kancra. Tor memainkan peran penting dalam ekologi karena makanan utama mereka berupa buah-buahan dari tanaman liar yang hanyut di permukaan sungai. Hal itu menempatkan status mereka sebagai konsumen utama dalam jaring makanan yang kompleks di sistem sungai.

Selain itu, Tor sering diidentikkan dengan riam dan sungai beraliran deras karena jenis ikan ini lebih memilih perairan sungai yang jernih dan deras yang mengalir diantara bebatuan atau pada riam beralas kerikil atau berbatu. Posisi tersebut menempatkan Tor menjadi salah satu bioindikator hulu sungai yang tidak tercemar (Lee K.S., 2014). Sayangnya, sebagian besar spesies dari genus ini masuk dalam status konservasi IUCN Red List dengan kode Data Deficient, ada pula yang diberi kode Extinct (punah) dan Endangered (terancam).

Ikan Larangan di Sumatera Barat dan Jawa Barat masih sangat bermakna dalam kehidupan sosial masyarakat. Larangan menangkap atau membunuh ikan ini masih berlaku efektif, terutama dengan adanya rumor datangnya malapetaka bagi siapa saja yang melanggar larangan tersebut. Padahal ikan ini memiliki rasa yang lezat serta harganya yang mahal: mencapai ratusan ribu rupiah per kilogram! Asumsi bahwa suplai yang terbatas mendorong tingginya harga bisa jadi benar meskipun pada beberapa daerah lain yang suplai ikan jenis ini cukup banyak pun harga tetap tinggi.

Rasa dan harga yang luar biasa ini pula yang menempatkan ikan ini sebagai makanan para raja dan menu utama acara adat di berbagai daerah di bagian barat Indonesia. Kepatuhan masyarakat terhadap larangan juga didukung oleh dua benefit langsung yang mereka terima. Benefit pertama bersifat individual berupa kunjungan wisatawan sementara benefit kedua bersifat komunal berupa hasil pelelangan ikan yang dilakukan sedikitnya sekali setahun.

Implikasi dari larangan tersebut adalah populasi ikan yang melimpah. Kelimpahan Tor dapat digunakan sebagai petunjuk rendahnya kekeruhan hulu sungai akibat endapan lumpur erosi sungai sekaligus menunjukkan peresapan air di wilayah berhutan di hulu sungai masih sangat baik.

Bagaimana dengan di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL)? Ikan Jurung semakin sedikit jumlahnya di sungai-sungai di KEL. Dewasa ini tidak lagi didapatkan Ikan Jurung dengan panjang mencapai 1 meter. Penangkapan yang masif karena dorongan harga jual yang tinggi telah mendegradasi populasi ikan ini di wilayah hutan hujan tropis tersebut. Tidak berlakunya pembatasan kultural maupun legal terhadap jenis ikan yang rentan punah ini ikut memperburuk perlindungannya.

Penangkapan Ikan Jurung di sungai Alas, sebagai contoh, masih sering dilakukan oleh oknum masyarakat dengan cara penyetruman atau pengeboman. Beberapa desa di sepanjnag sungai Alas telah membuat aturan tingkat desa yang melarang penangkapan ikan di sungai (semua ikan, termasuk Ikan Jurung) dengan cara yang destruktif namun masih membolehkan penggunaan pancing dan jala. Penerapan regulasi tingkat desa ini dibiayai dengan anggaran desa.

Alih-alih membiarkan desa yang mati-matian mencoba melindungi Ikan Jurung dan membatasi penangkapannya, bukankah lebih baik jika perlindungan terhadap satwa ini ditetapkan melalui Qanun? Dalam bulan-bulan terakhir ini, Pemerintah Aceh telah membahas dan mendiskusikan rancangan Qanun untuk perlindungan satwa liar yang dominan didorong oleh konflik antara satwa dan manusia dalam konteks melindungi satwa liar agar tidak terbunuh atau cedera akibat berkonflik dengan manusia sekaligus melindungi manusia agar tidak terbunuh atau mendapat musibah dari satwa liar tertentu.

Selain itu, Qanun tersebut juga dimaksudkan untuk menyelamatkan satwa dari kepunahan akibat hilangnya habitat, putusnya koridor, serta perburuan dan perdagangan ilegal. Begitupun, penulis tidak yakin bahwa perlindungan terhadap Ikan Jurung masuk secara spesifik dalam pengaturan yang dimuat oleh Qanun tersebut. Apalagi belum pernah terdengar adanya konflik yang terjadi antara Ikan Jurung dengan manusia.

Pengaturan perlindungan Ikan Jurung dengan instrumen hukum berbentuk Qanun tentu dapat memperkuat upaya-upaya perlindungan yang coba diterapkan oleh masyarakat desa melalui peraturan desa mereka. Adanya beberapa desa yang menetapkan upaya perlindungan lokal patut dianggap sebagai kebutuhan yang bukan lagi lokalistik tetapi regional.

Oleh karena itu, menggunakan momentum pembahasan Rancangan Qanun tersebut untuk memperkuat perlindungan dan pelestarian Ikan Jurung, an sich, sebagai jaminan kebersihan sungai adalah langkah yang perlu dilakukan. Jika pelestarian dan perlindungan dimaksud sampai pada “tingkat” ikan larangan tentu sangat baik.

Tetapi, boleh jadi, Pemerintah Aceh telah memikirkannya dan memasukkan perlindungan ikan ke dalam perlindungan satwa liar di Aceh. Semoga.

Tags : ikanjurung

Leave a Response