close
Green Style

Kisah Perempuan Aceh Menjaga Sumber Daya Alam

Kaum perempuan, warga desa Lubuk Beringin, propinsi Jambi memotong-motong buah kacang, hasil pertanian utama desa mereka | Foto: Tri Nugroho/CIFOR

Banda Aceh – Para perempuan berkumpul dalam acara Temu Perempuan Penjaga Sumber Daya Alam Aceh dan menceritakan pengalaman mereka dalam menjaga sumber daya alam di daerahnya masing–masing. Acara ini diselenggarakan oleh Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) di Hotel Kyriad Muraya Banda Aceh, Minggu (15/12/2019).

Salah seorangnya adalah Sumini, yang mengisahkan tentang banjir bandang yang pernah menerjang pemukimannya di kaki Gunung Burni Telong, Kabupaten Bener Meriah. Banjir bandang itu membawa batu-batu besar, serta gelondongan kayu bekas penebangan liar oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.

Setelah kejadian tersebut pihaknya mengajak perempuan-perempuan disana untuk menanam pohon di hutan-hutan yang sudah digunduli.

“Di mana kami berjumpa dengan perempuan mengajak secara persuasif untuk menjaga hutan. Kemudian langkah ini mendapat dukungan dari para suami masing-masing,” kata Sumini.

Hal serupa juga disampaikan Yusdarita, kesadaran inilah yang kemudian membuat perempuan perempuan di dataran tinggi itu bergerak dengan suka rela untuk menjaga alam.

Pada 2013 Yusdarita ia mulai ikut dalam struktur kepemimpinan desa yaitu menjadi pengurus mukim, suatu komponen organisasi pemerintahan masyarakat gampong. Hingga saat ini bersama pengurus mukim lainnya terus membuat kegiatan untuk menjaga resapan air agar tidak tercemar.

Perjuangan ini diakuinya tidak mudah. Kata dia, karena ada pihak-pihak yang tidak senang dengan aktivitasnya menata sumber daya air itu. Ia dari Mukim Simpang Tiga menginisiasi untuk menanam tanaman alpukat dan nangka untuk menahan debit air di bawah permukaan tanah. Saat musim kering air yang ditangkap tanaman ini akan dikeluarkan.

Di samping itu dalam menjaga sungai ia juga mengajak perempuan desa di sana agar tidak membuang sampah dan pestisida ke sungai atau ke sembarang tempat.

“Kemudian sekarang kami berjuang untuk meminta perhatian pemerintah agar menyetop dulu pemberian izin pembukaan lahan hutan dan izin pengelolaan hutan,” ujarnya.

Berikutnya ia juga mengajak perempuan untuk menjaga hulu sungai itu dengan tidak menggunakan pupuk pestisida, tapi menganjurkan dan ikut bertani bersama ibu-ibu di sana menggunakan pupuk organik.

“Karena kita perempuan menjaga bumi ini agar kita tetap bisa hidup di bumi ini. Kalau perempuan mulai terlibat mejaga alam maka lingkungan ini akan terselamatkan,” tuturnya.

Sementara Yeni dari Aceh Besar, menyampaikan persoalan di tempatnya Desa Paya Umbang, Kecamatan Lhoknga yang sangat kompleks, yaitu persoalan tambang. Desa tersebut sumber bahan baku bagi perusahaan semen sehingga banyak tanah warga dijual untuk perusahaan.

“Dampaknya air sumur menjadi kering, kotor akibat blasting atau penambangan pasir di tempat kami. Karena sumber kerusakan karst, maka kami beraksi ke kantor bupati agar menghentikan tambang PT SBA dan kami meminta agar pucuk Karst tetap terjaga. Kami juga meminta agar PT SBA mereklamasi kembali areal tambang mereka,” kata Yeni.

Sri Haryati dari Aceh Tamiang, juga mengisahkan perjuangan mereka melawan HGU. Sebagai warga gampong perkebunan Sungai Hiu di sekitar perkebunan PT Rapala yang berkonflik dengan mereka sejak puluhan tahun lalu.

Pihaknya telah meminta kepada perusahaan melalui pemerintah agar dibayarkan HGU-nya. Sejauh ini areal desa sudah dikeluarkan dari areal HGU beberapa tahun lalu, tapi hingga kini masih berkonflik dengan perusahaan.

Tapi perusahaan selalu meminta warga supaya pindah dari tempat tersebut dan menawarkan uang sewa rumah ke tempat lain, dengan bantuan truk untuk pindah rumah itu.

“Kami melawan dan suami kami bersama puluhan laki-laki lain ditangkap dan menjadi tersangka serta hari ini masih dipenjara,” tuturnya.[]

Sumber: acehtrend.com

Tags : perempuansumber daya alam

Leave a Response