close
Green Style

Mengapa Kampanye Rawa Tripa Berhasil? (2)

Hutan gambut Rawa Tripa yang hancur terbakar | Foto: Yusriadi Walhi Aceh

Bagian Kedua dari tulisan Dapatkah Kampanye Menyelamatkan Hutan? Refleksi Kritis Kampanye Rawa Tripa, Aceh, Indonesia

Faktor-faktor kunci apa saja yang berkontribusi terhadap keberhasilan kampanye Rawa Tripa? Bagaimana kampanye dapat mengeksploitasi peristiwa sistem dinamis untuk mendukung kasus ini?

Pertama, kampanye Rawa Tripa memanfaatkan event tingkat nasional, yaitu meningkatnya komitmen pemerintah Indonesia dalam mengurangi perubahan iklim, yang mengarah ke kerjasama yang kuat seperti dengan satuan tugas REDD + dan UKP4 (Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan – Unit Presiden untuk Pengawasan dan Pengawasan Pembangunan).

Pada tahun 2009, pengurangan emisi dan mitigasi perubahan iklim menjadi agenda utama pemerintah Indonesia. Presiden saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono, mengumumkan target: “Pada tahun 2020, Indonesia akan mencapai pengurangan 26% dari keseluruhan emisi menggunakan cara kita sendiri, atau 41% pengurangan emisi dengan bantuan internasional. Proporsi terbesar dari emisi Indonesia berasal dari kebakaran hutan dan perubahan penggunaan lahan, dan oleh karena itu reformasi di sektor ini diharapkan untuk memainkan peran kunci dalam mencapai target pengurangan emisi.

Ini menghasilkan masuknya Indonesia ke dalam inisiatif REDD +. Dengan menggunakan minat dan komitmen tingkat nasional ini dan membandingkannya dengan kasus PT Kallista Alam selama konferensi pers di UNFCCC COP17 di Durban, koalisi dapat memaksa Dr. Kuntoro untuk menjadi sekutu strategis koalisi. Dikombinasikan dengan kampanye media yang agresif, menggeser wacana PT. Kallista Alam dari kasus hukum yang agak kabur, menjadi simbol komitmen nasional pemerintah Indonesia untuk memerangi perubahan iklim.

Kedua, meningkatnya perhatian tingkat internasional dan sekutu tingkat nasional ini, dikombinasikan dengan reorganisasi politik lokal, dapat mengganggu hubungan kekuasaan lokal di Aceh, melonggarkan kekuatan pelindung lokal, yang dieksploitasi secara efektif oleh koalisi. Pada bulan Mei 2012, hasil pemilihan gubernur diumumkan dan dikukuhkan bahwa calon gubernur yang berkuasa, dari Partai Aceh telah memenangkan pemilihan. Ini telah menyebabkan banyak birokrat provinsi Aceh merasa cemas tentang apakah hubungan mereka dengan PT. Kallista Alam, dapat membahayakan posisi mereka di mata pemerintahan baru. Kekhawatiran itu sangat tinggi pada waktu itu mengingat kunjungan pejabat pemerintah pusat Indonesia di Jakarta ketika Dr. Kuntoro terus secara terbuka mendorong gubernur Aceh yang baru terpilih untuk mencabut izin PT. Kallista Alam dan mengejar jalur penuntutan.

Berebut untuk melindungi diri mereka sendiri, sementara pada saat yang sama berusaha mempertahankan hubungan mereka dengan perusahaan, birokrat dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan – Dishutbun dan Badan Pelayanan Perizinan Terpadu – BP2T mengadakan ‘pertemuan darurat’ pada 10 Mei 2012 di Polda Aceh. Juga hadir beberapa staf penasihat Gubernur baru dan perwakilan dari kepolisian provinsi. Setelah menerima informasi bahwa pertemuan ini sedang berlangsung, pejabat BPKEL berusaha untuk bergabung, tetapi ditolak masuk.

Pertemuan ditutup dengan keputusan bahwa mereka harus dapat meyakinkan gubernur yang baru untuk mendukung operasi PT Kallista Alam. Mereka berencana untuk melakukannya melalui pembentukan tim pencari fakta pemerintah provinsi, yang terdiri dari para pihak dalam pertemuan tersebut. Mengetahui sepenuhnya tentang taktik ini, penulis pertama (Farwiza-red) bersikeras untuk bergabung dengan misi pencarian fakta dan dapat melakukannya pada menit terakhir.

Tim pencari fakta gubernur mengunjungi kantor operasional PT. Kallista Alam dan bertemu dengan manajer operasi perusahaan, menyatakan dalam laporan mereka bahwa kebakaran hutan tidak disengaja dan perusahaan melakukan segala daya untuk merespon dengan tepat dengan memadamkan api, tanpa benar-benar mengunjungi daerah yang disengketakan atau berusaha untuk memverifikasi lebih lanjut klaim ini . Ketika ditanya tentang kepatuhan hukum dan operasional perusahaan, para birokrat dari Dishutbun mengklaim perusahaan “selalu komunikatif dan patuh, dan kadang-kadang Juragan sendirilah yang akan berkomunikasi dengan kami”. Juragan adalah tokoh politik lokal dari Partai Aceh yang juga merupakan anggota DPRK Nagan Raya.[]

Tulisan ini bagian Kedua dari tiga tulisan. Artikel ini disarikan dari paper ilmiah yang berjudul ” Can campaigns save forests? Critical reflections from the Tripa campaign, Aceh, Indonesia,” ditulis oleh Farwiza Farhan, mahasiswa asal Aceh yang sedang studi S3 di Department of Anthropology and Development Studies, Radboud University Nijmegen, Belanda. Farwiza juga aktif di LSM Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA). Farwiza menulis bersama Paul Hoebink dari Centre for International Development Issues Nijmegen, Radboud University, Belanda.

Leave a Response