close
Kebijakan Lingkungan

Mengimplementasikan Teori Rasional bagi Perusak Lingkungan

Ilustrasi | Foto: Burung Indonesia

Sekalipun berbagai regulasi dalam rangka penataan lingkungan yang lebih baik terus saja digulirkan oleh pemerintah, namun fakta menunjukkan bahwa kerusakan lingkungan terus saja terjadi hingga detik ini. Atas dasar itu, maka kemudian kiranya menjadi patut dipikirkan berbagai upaya yang dapat berkontribusi besar bagi penataan lingkungan yang lebih sehat serta menunjang suasana kehidupan lebih nyaman bagi seluruh makhluk hidup yang berdiam di dalamnya. Guna mengatasai berbagai persoalan yang memicu terjadinya kerusakan lingkungan, maka sudah barang tentu kehadiran peraturan perundang-undangan menjadi suatu kebutuhan mutlak.

Berbagai bentuk persyaratan tentang perlindungan lingkungan hidup selalu dituangkan dalam bentuk ketentuan perundang-undangan maupun persyaratan perizinan agar kemudian dapat diaplikasikan dalam rangka mewujudkan kondisi lingkungan yang lebih terjaga. Dalam praktik sekarang ini, pengaturan dimaksud dapat dilihat dari sejumlah persyaratan tentang baku mutu lingkungan yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup. Adapun upaya penaatan lingkungan dilakukan dalam kondisi di mana ketika persyaratan sudah terpenuhi sedemikian rupa namun terjadi perubahan yang tidak dikehendaki sebagaimana diamanatkan oleh regulasi yang mengaturnya.

Dalam upaya menata lingkungan yang lebih baik, maka kiranya pandangan Zaelke et.al (2005) dalam karyanya “Making Law Work: Environmental and Sustainable Development” dapat dijadikan sebagai rujukan. Menurut Zaelke bahwa setidaknya terdapat dua jenis teori yang cukup ampuh dalam menjawab persoalan dimaksud. Teori pertama adalah teori rasionalist (logic of consequences).

Menurut teori rasional, pada umumnya setiap badan usaha dalam kapasitasnya sebagai aktor rasional selalu menunjukkan aktivitasnya yang mengarah pada upaya pencapaian keuntungan secara ekonomi. Teori ini dimaksudkan agar upaya penegakan hukum dapat melahirkan efek jera dengan turut mempertimbangkan masalah untung rugi sebagaimana yang menjadi orientasi setiap perusahaan yang melakukan perusakan lingkungan. Teori kedua adalah teori normatif (logic of appropriateness).

Tanpa adanya suatu bentuk hukuman yang dapat menimbulkan lahirnya efek jera, maka akan sangat sulit untuk kemudian mengharapkan agar perusahaan-perusahaan yang berpotensi melakukan kerusakan terhadap lingkungan akan menghentikan segala aktivitasnya. Oleh sebab itu, maka upaya penjeraan (deterrence) semestinya dapat untuk dikembangkan dengan penerapan sanksi atau denda yang lebih rasional. Selain itu, upaya untuk meningkatkan aktifitas pemantauan dalam rangka meningkatkan peluang untuk menjaring para perusak lingkungan atau dengan mengubah sejumlah aturan main dalam rangka meningkatkan kemungkinan terjeratnya para pelaku perusak lingkungan merupakan langkah lanjutan yang patut dipikirkan kemudian.

Selain itu, sebagaimana diketahui bahwa teori penjeraan (deterrence theory) juga menjelaskan bahwa pendekatan penjeraan akan efektif apabila kemudian ditemukan kemampuan untuk mendeteksi setiap bentuk pelanggaran yang terjadi, adanya sanksi yang cepat, pasti, dan sepadan atas pelanggaran yang terdeteksi, dan adanya persepsi di antara perusahaan yang menjadi sasaran pengaturan (regulated firm) bahwa kemampuan melakukan deteksi dan sanksi tersebut memang eksist/ada dan benar-benar ada dalam arti sesungguhnya. Arti ada dalam hal ini harus diperluas dalam bentuk pemahaman bahwa bukan hanya ada dalam bentuk formal, namun keberadaannya harus dibuktikan dengan penerapannya di lapangan.

Perluasan Makna dalam Teori Rasional
Selanjutnya, sebagaimana dikemukakan Mas Achmad Santosa (2001:234) bahwa dalam teori rasional ditemukan adanya perluasan terhadap “biaya” yang bukan hanya berpatokan pada biaya moneter semata, namun juga membuka kemungkinan pada jenis hukuman lain seperti stigma moral dan hilangnya reputasi. Oleh sebab itu, teori rasionalis sangat mempengaruhi pendekatan penegakan hukum dalam mencapai penaatan lingkungan atau yang juga dipopulerkan dengan istilah pendekatan Atur dan Awasi (ADA) maupun dalam bahasa lain seperti command and control (CAC).

Pendekatan ini menekankan pada upaya pencegahan pencemaran melalui pengaturan dengan peraturan perundang-undangan, termasuk juga pengaturan melalui izin yang menetapkan persyaratan-persyaratan perlindungan fungsi lingkungan hidup sebagaimana mestinya.

Di sisi lain, sebagaimana dikemukakan oleh Hyronimus Rhiti (2006:27) dalam karyanya yang berjudul  “Hukum Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup” bahwa rusaknya atau tercemarnya lingkungan hidup tidak dapat ditentukan berdasarkan apa yang dianggap sebagai rusak atau tercemar secara kasat mata, melainkan juga harus dibuktikan secara hukum dengan didasarkan pada ketentuan yang berlaku. Oleh karena itu, maka di sinilah peran hukum dalam menjangkau segala aktivitas manusia yang dapat merusak fungsi lingkungan serta perlunya upaya pemulihan lebih lanjut terhadap kerusakan yang ditimbulkan.

Tentunya bahwa model pengaturan seperti yang diuraikan di atas haruslah dibarengi dengan kehadiran suatu sistem pengawasan yang lebih efektif, efisien dan transparan agar penaatan lingkungan dapat dijamin keberlanjutannya. Hal ini dikenal sebagai control approach.  Penggabungan kedua pendekatan tersebutlah yang kemudian disebut sebagai pendekatan Atur dan Awasi (ADA). Pendekatan ini ditujukan agar sumber pencemar potensial dicegah untuk melakukan pelanggaran peraturan perundang-undangan dengan cara “atur”, “awasi” dan kemudian dilanjutkan dengan aksi “ancam dengan hukuman”.

Michael Faure dan Nicole Niessen (2006:275-278) dalam karyanya “Environmental Law in Development: Lesson from the Indonesia Experience”, mengungkapkan bahwa ditemukan tiga jenis instrumen penegakan hukum lingkungan. Pertama adalah model command and control. Pendekatan ini disebut sebagai pendekatan yang bersifat tradisional. Bahkan praktik model ini secara historis telah dilakukan sejak abad ke-19. Pencegahan terhadap kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh praktik industri dilakukan dengan metode pemberian ijin dan lisensi.

Izin atau lisensi secara spesifik harus diberikan sebelum aktivitas usaha dilakukan, dan kebijakan penegakan lingkungan dilakukan melalui pembebanan sejumlah syarat dalam ijin atau lisensi tersebut. Dalam perkembangannya, pendekatan ini masih merupakan instrumen utama yang digunakan oleh negara maju dan berkembang di dalam sistem hukum masing-masing.

Kedua adalah model pendekatan Economic instruments. Sebagai konsekuensi dari kelemahan yang dimiliki oleh pendekatan command and control yaitu kurang fleksibel dalam mengakomodasi kepentingan industri, maka kemudian dikembangkan model pendekatan lain yang lebih berbasis pada pendekatan ekonomi. Kebijakan perlindungan lingkungan yang optimal memerlukan instrument yang menyediakan kepastian hukum yang mendekati fleksibiltas yang lebih rasional, termasuk insentif ekonomi untuk pengembangan inovasi teknologi. Model ekonomi ini secara khusus dapat diberi contoh yaitu pajak-pajak lingkungan dan perdagangan emisi.

Ketiga adalah model pendekatan Instrument mix. Pendekatan ini menyatakan bahwa tidak ada instrumen perlindungan yang tunggal yang dapat memecahkan permasalahan lingkungan secara tuntas. Oleh karena itu kombinasi terhadap berbagai jenis pendekatan sangat memungkinkan untuk dilakukan. Selain command and control yang lebih dibuat fleksibel maka pengenaan pajak lingkungan dapat dilakukan. Di beberapa negara, pajak lingkungan telah dikembangkan secara luas dengan mengkombinasikannya dengan izin atau lisensi lingkungan. Kini yang menjadi persoalan kemudian adalah sejauhmana keseriusan pemerintah dapat membangun sistem penataan lingkungan yang lebih efktif? Barangkali kalau mau serius, tampaknya mengimplementasikan teori rasional bagi para perusak lingkungan patut dilirik sebagai salah satu strategi yang cukup ampuh dalam menjaga kelestarian lingkungan itu sendiri.

*Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan

Tags : hukumlingkungan

Leave a Response