close
Hutan

Mengelola Lingkungan Hidup Dan Hutan

Ilustrasi | Foto: merdeka.com

Oleh: Saminoudin B Tou (Ahli Kehutanan, tinggal di Banda Aceh)

Pikiran dan pemahaman seseorang bisa dilihat dari tulisannya. Berapa kali aku menerima pertanyaan di messenger, kenapa tidak lagi menulis tentang lingkungan hidup atau hutan?

Terakhir aku menanggapinya serius dengan balik bertanya, “Akan kutulis dalam berapa hari ini. Kenapa, apa di tempat kerjamu tidak ada lagi yang mau memikirkannya?” Ia kemudian mengirimkan tawanya,” wkwkwkw…”

Dulu, di zaman kejayaan peradaban Islam, orang sangat gandrung dengan ilmu pengetahuan. Para pemikir tidak hanya menguasai satu dua ilmu pengetahuan. Seorang ahli filsafat misalnya, ia juga ahli matematika, ahli kimia, ahli fisika, ahli geografi, ahli kedokteran, ahli farmasi, dsb. Mereka juga penulis yang handal.

Jadi terlalu sedikit kalau sekarang kita hanya tahu satu ilmu pengetahuan saja. Orang di abad pertengahan jauh lebih hebat.

Memang passion-ku adalah lingkungan hidup dan hutan. Ketika masih di SMA aku sudah tertarik dengan ilmu lingkungan. Aku sangat giat membaca isu-isu lingkungan hidup. Waktu itu ilmu lingkungan baru mulai mau berkembang.

Selepas dari SMA, karena tidak menemukan jurusan lingkungan yang kuinginkan, lalu mengambil kehutanan. Kupikir itulah yang paling dekat kaitannya dengan lingkungan hidup.

Dua kali dalam seminggu aku mengunjungi pusat studi lingkungan hidup universitas. Membaca dan memfotokopi tulisan-tulisan tentang lingkungan hidup. Saat itu salah satu tokoh dan lokomotif lingkungan hidup Indonesia adalah Prof. Otto Soemarwoto. Buku-buku dan tulisannya sampai sekarang masih kusimpan mengisi rak pustaka.

Pernah kusarankan kepada teman yang baru belajar menggeluti isu lingkungan hidup, agar mempelajari laporan Kelompok Roma (Club of Rome) yang berjudul Limits to Growth. Laporan ilmiah yang seolah menjadi lonceng kematian itu, memproyeksikan masa depan bumi jika sumber daya alam terus dieksploitasi.

Itulah tonggak awal yang membawa isu lingkungan ke tingkat global. Pesimisme itu kemudian mendorong PBB mengadakan konferensi tentang lingkungan hidup tahun 1972.

Banyak konferensi dan pertemuan dengan berbagai variannya setelah itu hingga sekarang. Kalau dipelajari kronologisnya secara cermat, akan terlihat bagaimana trend inkonsistensi yang terjadi dari waktu ke waktu.

Dari situ juga bisa dipahami bahwa globalisasi isu lingkungan hidup adalah proyek negara-negara maju. Proyek kejahatan globalisasi, tapi kita ‘memakan’ saja apa yang diberikan.

Untuk negara berkembang, proyek itu hampir tidak ada manfaatnya. Kehadiran utusan negara berkembang di forum-forum internasional hanya seperti orang meramaikan pasar malam. Setelah sekian lama lihatlah, kalau ada, apa hasilnya bagi kesejahteraan rakyat? Tak ada! Cuma menjadi pertunjukan dan pemborosan di tengah kehidupan rakyat yang miskin.

Bagaimana dengan hutan? Baik kualitas maupun kuantitasnya terus merosot. Masa depan hutan sangat runyam. Tapi orang tidak melihat ada sesuatu yang salah. Inilah yang menjadi pokok persoalannya.

Hutan seperti barang bagus yang diletakkan di tempat yang keliru. Atau seperti benda seni di tangan orang yang tidak mengerti. Jadinya barang itu tidak memberi nilai apa-apa.

Celakanya lagi, sekarang hutan seolah menjadi penghambat pembangunan. Inilah akibat hutan di tangan pekerja salon. Waktu habis di salon citra hanya untuk berhias diri.

Belum lama berselang, untuk kesekian kalinya, ada yang tanya, apakah tepat kelembagaan lingkungan hidup digabung dengan kehutanan? Dari dulu aku sudah mengatakan, tidak tepat. Karena masing-masing beban tugasnya sangat berat. Bukan hanya asal bisa membuka atau menghadiri rapat dan menuliskan tanda tangan.

Tapi pusat menggabungkannya dalam satu kementerian. Begitulah maunya orang-orang yang hanya berpikiran politik. Seperti biasa, daerah pun mengikutinya, karena mengira mereka itu telah berada di jalan yang benar.

Apa sebenarnya yang terjadi selama ini adalah tidak dipahaminya akar permasalahan. Banyak program yang seolah merupakan obat, ternyata hanya mengulang kesalahan lama. Boro-boro mengobati, yang terjadi justru menciptakan masalah baru di masa depan.

Sebagaimana dikemukakan Prof. Hariadi Kartodihardjo, ada banyak persoalan mendasar yang tidak disadari. Ada masalah kecakapan SDM, soal kelembagaan dan kebijakan yang akut. Perubahan harus dimulai dari cara berpikir. Cara berpikir ala salon jelas merupakan kesalahan metodologis.

Hiduplah di habitatmu di hutan. Supaya tahu persis apa sesungguhnya yang terjadi, paham bagaimana proses kegagalan demi kegagalan itu terjadi. Bukan pergi bertanya kepada orang asing, mereka tidak tahu apa-apa juga.

Kalau kondisi lingkungan dan hutan bertahun-tahun menjadi makin buruk, itu pasti karena ada penanganan yang salah. Berat untuk mengakuinya, tapi fakta tak pernah akan bohong..![]

Tags : hutanlingkungan

Leave a Response