close
Banjir yang terjadi di Aceh Utara | Foto: ANP

Berbicara tentang perubahan iklim tidak dapat dipisahkan dari isu lingkungan. Perubahan iklim menyebabkan dampak multi dimensi bagi berbagai pihak. Perubahan iklim belum pernah diteliti secara khusus di Aceh namun demikian gejalanya sudah dapat dirasakan. Negara maju perlu bertanggung jawab atas perubahan iklim walaupun negara berkembang juga harus ambil bagian didalamnya. Perlu melakukan langkah kecil dari diri sendiri sebagai antisipasi perubahan iklim.

Mantan Direktur Eksekutif Walhi Aceh, T. Muhammad Zulfikar, menyatakan berbicara tentang perubahan iklim tidak bisa dilepaskan dari isu lingkungan. Perubahan iklim telah menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan. Apalagi Aceh memilikit hutan yang cukup luas, yang diklaim mampu menyerap karbon, tertuduh utama perubahan iklim. Tapi sayangnya hutan Aceh semakin rusak saja. Kebijakan moratorium belum mampu mencegah kerusakan hutan karena tidak efektif. Masih ada saja izin-izin yang diberikan untuk kegiatan tambang dalam hutan lindung.

Ia pernah menjumpai ada pihak yang menyatakan kebijakan moratorium menyesatkan padahal menurut Walhi Aceh sendiri kebijakan ini sudah tepat. Tinggal saja bagaimana melaksanakan isi-isi kandungan kebijakan tersebut secara tepat dan konsisten. Inilah yang menjadi tugas pemimpina Aceh untuk memastikan moratorium berjalan dengan baik.

Selain itu T. Muhammad Zulfikar menekan pentingnya climate justice atau keadilan iklim antar negara maju dan negara berkembang. Negara maju penghasil emisi terbesar tapi negara berkembang diminta untuk menjaga hutan. Seharusnya semua pihak harus ikut menurunkan emisi, menurutnya. Jika keadilan iklim ini tidak dapat diterapkan maka sia-sia saja program mengantisipasi perubahan iklim.

Sementara itu DR Izarul Machdar dari Aceh Climate Change Initiative dalam sebuah kesempatan menyatakan bahwa kurang lebih lima ton karbon dari aktivitas manusia diserap oleh hutan setiap tahunnya. Sedangkan total karbon yang dihasilkan adalah 32 miliar ton. Emisi yang ditimbulkan oleh deforestasi dan degradasi hutan mencapai sekitar 20 persen dari seluruh emisi gas rumah kaca (GRK) per tahun.

Ia juga menyinggung soal Reducing Emission from Deforestation and Degradation (REDD), salah satu skema mitigasi perubahan iklim, dimana Aceh menjadi salah satu daerah pilot proyek. Menurutnya proyek ini harus benar-benar diawasi dengan ketat sehingga tidak merugikan Aceh nantinya.

Walau belum ada penelitian secara spesifik yang menyatakan telah terjadi perubahan iklim, namun sudah mengalami gejal perubahan iklim tersebut. Misalnya saja sekarang warga kota Banda Aceh yang tinggal di dekat kawasan pantai sekarang sudah merasakan dampak pasang air laut. Air laut jika pasang maka bisa menggenangi halaman rumah mereka, padahal dulunya tidak.

Belum lagi bicara tentang kekeringan, musim hujan yang susah diprediksi sehingga menyulitkan petani memulai masa tanam. Gelombang laut yang intensitasnya semakin tinggi dan badai yang semakin sering, curah hujan yang tinggi sehingga sering terjadi banjir di beberapa tempat dan sebagainya.

Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah perubahan-perubahan kecil yang dapat dilakukan manusia. Misalnya menghemat pemakaian energi, sektor yang paling banyak menghasilkan emisi. Pihak-pihak terkait diharapkan memperhatinkan perkembangan kota Banda Aceh dimana lahan hijau semakin sedikit saja.[m.nizar abdurrani]

Tags : perubahan iklim

Leave a Response